Anda di halaman 1dari 28

SARI PUSTAKA

CONGENITAL TALIPES EQUINO VARUS (CTEV)

Oleh:
dr. IGB IndraAngganugraha PJ

Pembimbing :
dr. KadekAyuCandra Dewi, SpOT

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU BEDAH


BAGIAN/SMFILMU BEDAH FK UNUD/RSUP SANGLAH
DENPASAR
2016

i
LEMBAR PENGESAHAN

Sari Pustaka ini telah disetujui

pada ..................................................

Pembimbing

dr. Kadek Ayu Candra Dewi, SpOT

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Bedah

FK Unud/RSUP Sanglah

Dr.Wiargitha Sp.B.

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena rahmat-Nya, penulis dapat
menyelesaikan Sari Pustaka yang merupakan salah satu tugas dalam Program Pendidikan
Dokter Spesialis Bedah FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar. Sari Pustaka ini mengambil judul
tentang Congenital Talipes Equinovarus (CTEV).
Adapun tujuan penulisan sari pustaka ini adalah untuk memperdalam wawasan
tentang CTEV serta melatih kemampuan membuat tulisan ilmiah dan prasyarat dalam
mengikuti pendidikan bedah dasar di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana – Rumah
Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

Penulis mengucapkan terima kasih kepada :


1. Prof. DR. Dr. Sri Maliawan, SpBS., sebagai Kepala Bagian Ilmu Bedah FK
Unud/RSUP Sanglah yang telah memberikan izin demi terlaksananya Sari Pustaka
ini.
2. Dr. IB Darmaputra, SpB-KBD, sebagai Kepala SMF Ilmu Bedah FK Unud/RSUP
Sanglah yang telah menyediakan fasilitas ilmiah di SMF Bedah.
3. Dr. Wiargitha, SpB., sebagai Ketua Program Studi Ilmu Bedah FK Unud/RSUP
Sanglah yang telah memberikan motivasinya.
4. dr. Kadek Ayu Candra Dewi, SpOT, sebagai pembimbing yang telah memberikan
saran dan masukan terbaiknya.
Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam Sari Pustaka ini karena itu dengan
segala kerendahan hati penulis menerima saran dan kritik dari siapapun demi perbaikan.

Denpasar, Januari 2016

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan …………………………………………………………………….. i


Kata Pengantar …………………………………………………………………………. ii
Daftar Isi ………………………………………………………………………………… iii
BAB I : PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang ……………………………………………………………… 1
1.2.Tujuan ………………………………………………………………………. 1
1.3.Manfaat …………………………………………………………………….. 2
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Definisi ……………………………………………………………………... 3
2.2.Epidemiologi ………………………………………………………………... 3
2.3.Etiopatogenesis……………………………………………………….……… 4
2.4.Klasifikasi ………………………………………………………………….... 5
2.5.Patologi Anatomi..…………………………………………………………..... 7
2.6.Diagnosis…………………………………………………………………….. 8
2.7.Pemeriksaan Penunjang …………………………………………………….. 8
2.8.Penatalaksanaan …………………………………………………………….. 8
BAB III : PENUTUP
3.1. Kesimpulan .………………………………………………………….… 24
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………… 25

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Congenital idiopathic talipesequinovarus (CTEV) atau yang
dikenaljugasebagaiclubfoot, merupakansalahsatudefekkongenital yang paling
seringterjadi.Hipocratesmemperkenalkankelainaninisekitar 300
tahunsebelummasehi.Prevalensikejadian 1-2 per 1000 kelahiran.Biasanyaanaklaki-
lakilebihseringterkenadengan ratio 2:1.Padakasus unilateral, kaki
kananlebihseringterkena.Penyebabnyasampaisaatinibelumdiketahuisecarapasti,
namunbanyakteori yang diajukanolehbebrapapeneliti.Clubfoot
dapatdenganjelasterlihatsaatbayilahir, ditandaidenganempatkomponenyaituequinus,
midfootcavus, forefoot adduction danhindfootvarus.
Penanganan clubfoot sebaiknyadimulaisesegeramungkin, di hari-
hariawalusiaanakuntukmendapatkanhasil yang memuaskan. Terapinon
operatiflebihdisukaidandisarankan di
berbagaibelahanduniadibandingkandenganterapioperatif.
Tindakanoperatifmemilikihasiljangkapendek yang baik,
namununtukjangkapanjangberbagaikomplikasibanyakditemukan.Terapinon operatif yang
popular adalahmetodedariPonseti, koreksidilakukandenganmanipulasidanpemakaian serial
cast.Namunsekitar 50% kasusdenganterapinon
operatifmemerlukantindakanoperatifuntukkoreksi yang optimal.

1.2 Tujuan
1. Menjelaskantentanginsiden,definisidanklasifikasidariCTEV
2. MenjelaskantentangprinsippenangananCTEV
3. Menjelaskantentangkomplikasi yang mungkinterjadisertarehabilitasi yang
harusdilakukanpadaCTEV

ii
1.3 Manfaat
1. Untukakademisi
:meningkatkanpengetahuantentangCTEVdansebagaiacuankepustakaanilmiah.
2. Untukpraktisi
:meningkatkanpengetahuantentangCTEVdanketrampilanpenanganannya.

iii
BAB II
CONGENITAL TALIPES EQUINOVARUS (CTEV)

2.1 DEFINISI
CTEV, bisa disebut juga dengan clubfoot, merupakan suatu kombinasi
deformitas yang terdiri dari supinasi dan adduksi forefoot pada sendi midtarsal, heel
varus pada sendi subtalar, equinus pada sendi ankle, dan deviasi pedis ke medial
terhadap lutut (1,6). Deviasi pedis ke medial ini akibat angulasi neck talus dan
sebagian internal tibial torsion (Salter, 1999).
Kata talipes equinovarus berasal dari bahasa Latin, dimana talus (ankle), pes
(foot), equinus menunjukkan tumit yang terangkat seperti kuda, dan varus berarti
inversidan adduksi (inverted and adducted) (Noordin et al, 2002).
Deformitas CTEV meliputi tiga persendian, yaitu inversi pada sendi subtalar,
adduksi pada sendi talonavicular, dan equinus pada ankle joint. Komponen yang
diamati dari clubfoot adalah equinus, midfoot cavus, forefoot adduction, dan hindfoot
varus (Meena et al, 2014)

2.2 EPIDEMIOLOGI
CTEV rata-rata muncul dalam 1-2:1000 kelahiran bayi di dunia dan
merupakan salah satu defek saat lahir yang paling umum pada system
musculoskeletal(Baruah et al, 2013).
Insidensi CTEV beragam pada beberapa Negara, di Amerika Serikat
2,29:1000 kelahiran; pada ras Kaukasia 1,6:1000 kelahiran; pada ras Oriental
0,57:1000 kelahiran; pada orang Maori 6,5-7,5:1000 kelahiran; pada orang China
0,35:1000 kelahiran; pada ras Polinesia 6,81:1000 kelahiran; pada orang Malaysia
1,3:1000 kelahiran; dan 49:1000 kelahiran pada orang Hawaii (Hosseinzaideh, 2014).
Terdapat predominansi laki-laki sebesar 2:1 terhadap perempuan, dimana 50%
kasusnya adalah bilateral. Pada kasus unilateral, kaki kanan lebih sering terkena.
(Bergerault et al, 2013).
Insidensi akan semakin meningkat (pada 25% kasus) bila ada riwayat keluarga
yang menderita CTEV. Kemungkinan munculnya CTEV bila ada riwayat keluarga
yaitu sekitar 1:35 kasus, dan sekitar 1:3 (33%) bila anak terlahir kembar identic
(Noordin et al, 2002).

3
2.3 ETIOPATOGENESIS
Etiologi dari CTEV belum sepenuhnya dimengerti. CTEV umumnya
merupakan isolated birth defect dan diperkirakan idiopatik, meskipun kadang muncul
bersamaan dengan myelodysplasia, arthrogryposis, atau kelainan kongenital multiple
(Dobbs, 2009).
Ada beberapa teori yang telah diajukan untuk menjelaskan etiologi CTEV,
yaitu (Nordin, 2002) :
1. Faktor mekanik in utero
Teori ini merupakan yang pertama dan tertua, diutarakan oleh Hippocrates.
Dia percaya bahwa kaki tertahan pada posisi equinovarus akibat adanya
kompresi dari luar uterus. Namun Parker pada 1824 dan Browne pada 1939
mengatakan bahwa keadaan dimana berkurangnya cairan amnion, seperti
oligohidramnion, mencegah pergerakan janin dan rentan terhadap kompresi
dari luar. Amniocentesis dini diperkirakan memicu deformitas ini.
2. Defek neuromuskuler
Beberapa peneliti masih berpendapat bahwa equinovarus adalah akibat dari
adanya defek neuromuskuler, walaupun ada beberapa studi yang menemukan
gambaran histologis normal. Peneliti menemukan adanya jaringan fibrosis
pada otot, fascia, ligament dan tendon sheath pada clubfoot, hal ini
diperkirakan mengakibatkan kelainan pada tulang (Maranho et al, 2011).
Adanya jaringan fibrosis ini ditandai dengan terekspresinya TGF-beta dan
PDGF pada pemeriksaan histopatologis, keadaan ini juga berperan dalam
kasus-kasus resisten (Herring, 2014).
3. Primary germ plasma defect
Irani dan Sherman telah melakukan diseksi pada 11 kaki equinovarus dan 14
kaki normal, mereka menemukan neck talus selalu pendek dengan rotasi ke
medial dan plantar. Mereka berpendapat hal ini karena adanya defek pada
primary germ plasma.
4. Arrested fetal development
 Intrauterina
Heuter dan Von Volkman pada 1863 mengemukakan bahwa adanya
gangguan perkembangan dini pada usia awal embrio adalah penyebab
clubfoot kongenital.

4
 Pengaruh lingkungan
Beberapa zat seperti agen teratogenik (rubella dan thalidomide) serta
asap rokok memiliki peran dalam terbentuknya CTEV, dimana terjadi
temporary growth arrest pada janin (Meena et al, 2014)
5. Herediter
Pada janin perkembangan kaki terbagi menjadi dua fase, yaitu fase fibula (6,5
– 7 minggu kehamilan) dan fase tibia (8-9 minggu kehamilan). Ketika terjadi
gangguan perkembangan saat kedua fase tersebut, maka kemungkinan
terjadinya CTEV akan meningkat (Herring, 2014).

Semua teori di atas belum dapat menjelaskan secara pasti etiologi dari CTEV,
namun kita dapat menyimpulkan bahwa penyebab CTEV adalah multifactorial dan
proses kelainan telah dimulai sejak limb bud development (Herring, 2014).

2.4 KLASIFIKASI
Untuk menilai suatu CTEV sangatlah subyektif dan berdasarkan keparahan
deformitas dan fleksibilitas kaki pasien, namun ada juga yang menggolongkannya
berdasarkan pemeriksaan radiologis (Maranho et al, 2011).Klasifikasi diperlukan
untuk membantu menentukan prognosis dan juga mengevaluasi keberhasilan terapi
(Herring, 2014).
Ada beberapa system skoring dan klasifikasi yang dipakai di berbagai Negara,
namun system klasifikasi dari Dimeglio dan Pirani yang paling banyak digunakan.
Keduanya memberikan nilai berdasarkan pemeriksaan fisik. (Meena et al, 2014).
Dimeglio pada tahun 1991 membagi CTEV menjadi empat kategori
berdasarkan pergerakan sendi dan kemampuan untuk mereduksi deformitas (Nordin et
al, 2002):
1. Soft foot; dapat disebut juga sebagai postural foot dan dikoreksi dengan
standard casting atau fisioterapi.
2. Soft > Stiff foot; terdapat pada 33% kasus. Biasanya lebih dari 50% kasus
dapat dikoreksi, namun bila lebih dari 7 atau 8 tidak didapatkan koreksi maka
tindakan operatif harus dilakukan.
3. Stiff > Soft foot; terdapat pada 61% kasus. Kurang dari 50% kasus terkoreksi
dan setelah casting dan fisioterapi, kategori ini akan dilakukan tindakan
operatif.

5
4. Stiff foot; merupakan kategori paling parah, sering kali bilateral dan
memerlukan tindakan koreksi secara operatif.

Gambar 1
Klasifikasi Dimeglio

6
Tabel 2
Klasifikasi Dimeglio

Gambar 2
Contoh Foto Klinis Pemeriksaan CTEV

7
Setiap komponen mayor dari clubfoot (equinus, heel cavus, medial, roatasi
calcaneopedal block, forefoot adduction) dikategorikan dari I – IV. Poin tambahan
ditambahkan untuk deep posterior dan medial creases, cavus dan kondisi oto yang
buruk (Meena et al, 2014).
Sistem klaifikasi Pirani memiliki suatu skala perhitungan yang sederhana,
yang terdiri dari tiga variable pada hindfoot dan tiga pada midfoot. Setiap variable
dapat menerima nilai nol, setengah, dan satu poin (Maranho et al, 2011).

Gambar 3
Klasifikasi Pirani

Tabel 2
Parameter Pirani

8
2.5PATOLOGI ANATOMI
Deformitas mayor clubfoot termasuk hindfoot varus dan equinus dan forefoot
adductus dan cavus. Kelainan ini merupakan hasil abnormalitas intraosseus (abnormal
morfologi) dan abnormalitas interosseus (hubungan abnormal antar tulang)
(Hoosseinzaideh, 2014).
Deformitas intraosseus paling sering muncul di talus, dengan neck talar yang
pendek dan medial dan plantar deviasi dari bagian anterior. Pada permukaan inferior
talus, facet medial dan anterior belum berkembang. Kelainan pada calcaneus, cuboid,
dan navicular tidaklah terlalu parah dibandingkan talus. Pada calcaneus ditemukan
lebih kecil dari kaki normal, dan sustentaculum yang belum berkembang (Herring,
2014).
Deformitas interosseus terlihat seperti medial displacement dari navicular
pada talar head dan cuboid pada calcaneus, secara berurutan. Herzenberg dkk
menunjukkan bahwa talus dan calcaneus lebih internal rotasi sekitar 20 o terhadap
aksis tibiofibular pada clubfoot dibandingkan dengan kaki normal. Pada studinya,
body of the talus dilaporkan eksternal rotasi di dalam ankle mortise. Adanya internal
tibial torsion pada clubfoot masih kontroversial (Hoosseinzaideh, 2014).
Kontraktur dan fibrosis ligament sisi medial kaki, termasuk spring ligament,
master knot of Henry, ligament tibionavicular, dan fascia plantaris, juga berkontribusi
dalam abnormalitas clubfoot (Hoosseinzaideh, 2014).
Abnormalitas otot telah diamati selama operasi release deformitas clubfoot.
Dobbs dkk melaporkan bahwa flexor digitorum accesorius longus muscle terlihat
pada anak-anak yang menjalani operative release sekitar 6,6% dan lebih banyak lagi
pada anak-anak dengan adanya riwayat keluarga (prevalensi 23%). Flexor digitorum
accesorius longus dilaporkan ada sekitar 1% sampai 8% pada cadaver dewasa normal.
Anomalous soleus muscle juga telah dijelaskan dan dilaporkan berhubungan dengan
tingginya angka rekurensi (Hoosseinzaideh, 2014).
Studi pada suplai darah telah menunjukkan abnormalitas atau tidak adanya
arteri tibialis anterior sekitar 90% dari clubfoot. Tidak adanya arteri tibialis anterior
juga dilaporkan namun jarang. Arteri anomaly ini meningkatkan risiko komplikasi
vaskuler jika salah satu arteri dominan terkena saat comprehensive soft-tissue release
atau Achilles tenotomi (Hoosseinzaideh, 2014).

9
2.6 DIAGNOSIS
Diagnosis clubfoot dapat ditegakkan sejak prenatal, setidaknya paling cepat
pada trimester kedua. Biasanya diagnosis terbukti saat kelahiran bayi yang ditandai
dengan adanya heel equinus dan inverted foot terhadap tibia. True clubfoot harus
dibedakan dengan postural clubfoot, dimana kaki tidak dapat sepenuhnya dikoreksi
secara pasif (Hoosseinzaideh, 2014).
Postural clubfoot terjadi karena posisi janin saat di dalam uterus. Pada
kelainan ini tidak didapatkan kontraktur yang signifikan, skin creases yang dalam
atrofi dan rigiditas ekstremitas (Herring, 2014).
Dalam pemeriksaan kita harus menyingkirkan juga apakah kasus yang
dihadapi idiopatik atau nonidiopatik. Pada kasus nonidiopatik akan memiliki
prognosis yang lebih buruk dan memiliki tingkat rekurensi yang tinggi. CTEV dengan
arthrogryposis, diastrophic dysplasia, Mobius atau Freeman-Sheldon syndrome, spina
bifida dan spinal dysraphism, serta fetal alcohol syndrome penanganannya hampir
pasti meliputi tindakan operatif. Terkecuali CTEV dengan Down syndrome dan
Larsen syndrome, penanganan seringkali hanya secara nonoperatif (Herring, 2014).

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan radiologi dini tidaklah informatif dibandingkan dengan
pemeriksaan fisik, dikarenakan hanya akan tampak ossification center pada tulang
tarsal, calcaneus, dan metatarsal. Setelah usia 3 atau 4 bulan, tulang-tulang tersebut
telah cukup terosifikasi, dan pemeriksaan radiologi dapat dilakukan dengan proyeksi
film anteroposterior dan lateral dengan stress dorsofleksi (Baruah et al, 2013).
Pada proyeksi AP diukur sudut talocalcaneal (30-50o) dan talo-metatarsal I (0-
10o), sedangkan pada proyeksi lateral diukur sudut talocalcaneal (30-50o) dan
tibiocalcaneal (10-20o). Sudut-sudut tersebut akan menghilang/berkurang pada CTEV,
sehingga dapat memprediksi keparahan dan respon terhadap intervensi yang akan
diberikan (Nordin, 2001).

2.8 PENATALAKSANAAN
Hampir seluruh ahli bedah Orthopaedi sepakat bahwa terapi non operatif
merupakan pilihan pertama dalam menangani kasus CTEV. Mereka pun setuju
semakin awal terapi dimulai, maka semakin baik hasilnya, sehingga mencegah terapi
operatif lanjutan (Herring, 2014).

10
Tata laksana CTEV sebaiknya dimulai pada beberapa hari awal kehidupan
sang bayi. Tujuannya adalah mendapatkan kaki yang estetik, fungsional, bebas nyeri
dan plantigrade (Bergerault, 2013). Prinsip terapi meliputi koreksi pasif yang gentle,
mempertahankan koreksi untul periode waktu yang lama, dan pengawasan anak
hingga usai masa pertumbuhan (Salter, 2009).
Pengawasan diperlukan karena walaupun telah terkoreksi, 50% kasus akan
terjadi rekurensi dan adanya kontraktur soft tissue dapat menyebabkan terbatasnya
pergerakan sendi. Tata laksana non-operatif lebih disukai di berbagai belahan dunia
karena extensive surgery memiliki hasil yang buruk dalam jangka panjang
(Bergerault, 2013).

Metode Ponseti
Metode ini diperkenalkan oleh Ignacio Ponseti pada akhir tahun 1940an
sebagai jawaban atas terapi operatif yang sedang popular namun masih menimbulkan
nyeri dan deformitas residu (Dobbs, 2009).
Komponen dari metode ini meliputi serial manipulasi yang gentle dan casting
setiap minggunya, diikuti Achilles tenotomy. Terkadang digunakan juga foot
abduction brace untuk mencegah dan mengatasi relaps (Dobbs, 2009).
Ponseti memberikan sebuah akronim CAVE sebagai panduan untuk tahapan
koreksi CTEV. Pada metode ini terjadi relaksasi kolagen dan atraumatik remodeling
pada permukaan sendi dan menghindari fibrosis, seperti yang terjadi bila dilakukan
operasi release (Herring, 2014).
Dibutuhkan komitmen dan kerjasama yang baik dengan orang tua pasien,
dikarenakan metode ini setidaknya butuh waktu selama 4 tahun. Terapi dapat dimulai
dalam beberapa hari setelah kelahiran. Batas akhir usia belum ditentukan dikarenakan
adanya keberhasilan metode ini saat diterapkan pada anak usia lebih dari 1 tahun.
Tercatat sekitar 95% kasus yang ditangani dengan metode ini tidak memerlukan
posterior medial dan laterat release. Terkadang diperlukan sedasi pada anak-anak usia
lebih dari 15 bulan karena nyeri yang ditimbulkan saat manipulasi (Dobbs, 2009).
Dalam setiap sesi manipulasi, disarankan bersamaan dengan waktu memberi makan
anak. Hal ini bertujuan agar sang anak lebih relaks sehingga lebih mudah saat
pemasangan cast (Herring, 2014).
Serial casting dapat menggunakan bahan plaster atau fiberglass dan tidak
ditemukan perbedaan hasil diantara kedua bahan tersebut. Cast terpasang dipasang

11
dari jari kaki hingga 1/3 atas paha dengan lutut fleksi 90 o dan akan diganti setiap 5-7
hari (Dobbs, 2009). Biasanya diperlukan 5-6 kali penggantian cast untuk
mendapatkan koreksi yang baik (Herring, 2014).
Walaupun biasanya metode Ponseti digunakan pada idiopathic clubfoot, pada
beberapa kasus dapat juga digunakan pada non-idiopathic clubfoot (yang disertai
dengan arthrogryposis, myelomeningocele, berbagai syndrome genetic, dan kelainan
neuromuskuler. Metode Ponseti juga digunakan pada complex clubfoot dan kasus
relaps meski telah menjalani extensive soft tissue release surgery (Dobbs, 2009).
Deformitas cavus dikoreksi terlebih dahulu dengan cara supinasi forefoot
relatif terhadap hindfoot melalui penekanan pada metatarsal I. Pada kebanyakan
kasus, deformitas cavus akan terkoreksi dengan satu kali pemasangan long leg cast
(Herring, 2014).
Forefoot adduction, hindfoot varus, dan hindfoot equinus akan dikoreksi pada
pemasangan cast ke 2-4. Koreksi aduksi forefoot dan hindfoot varus dilakukan secara
simultan dengan supinasi pedis dan counterpressure pada head of talus. Dengan
teknik ini calcaneus, navicular dan cuboid akan displace secara gradual ke lateral.
Manuver penting ini mengoreksi mayoritas deformitas dari clubfoot dan harus
dilakukan pada setiap sesi dengan memperhatikan tiga hal:
 Abduksi forefoot harus dilakukan dengan dengan sedikit supinasi
pedis, sehingga koreksi pada deformitas cavus tetap terjaga dan
colinearity dari metatarsal tetap terjaga.
 Jangan melakukan dorsofleksi premature terhadap tumit, hal ini
bertujuan agar calcaneus dapat terabduksi secara bebas dibawah talus
dan eversi ke posisi pedis netral, serta mencegah rocker bottom
deformity.
 Berikan counterpressure pada pada sisi lateral head of talus. Koreksi
hindfoot varus dan calcaneal inversion akan sulit bila counterpressure
diberikan pada sisi lateral pedis, bukan pada sisi lateral head of talus.
Secara umum diperlukan 3-4 minggu manipulasi dan casting untuk
melonggarkan sisi medial struktur ligamen pada tulang tarsal dan molding parsial dari
persendiannya(Herring, 2014).

12
Gambar 4
Teknik koreksi Ponseti

Equinus merupakan deformitas terakhir yang dikoreksi, dan koreksi harus


dilakukan ketika hindfoot dalam posisi sedikit valgus dan pedis abduksi 70 o relative
terhadap cruris. Derajat abduksi tampak ekstrem namun diperlukan untuk mencegah
rekurensi deformitas. Equinus dapat dikoreksi dengan dorsofleksi pedis secara
progresif setelah varus dan adduksi pedis telah terkoreksi. Dorsofleksi pedis
dilakukan dengan penekanan pada seluruh bagian telapak kaki dan kurangi penekan
pada head metatarsal untuk menghindari rocker bottom deformity. Equinus dapat
dengan sempurna dikoreksi melalui stretching dan casting yang progresif.
Setelah cast keempat, pedis harus bisa abduksi 50 o dan varus harus sudah
terkoreksi, namun biasanya equinus masih ada (1). Calcaneus akan terkoreksi dengan
sendirinya tanpa manipulasi menjadi eversi dan dorsofleksi (3).
Setelah cast dilepas, foot abduction orthosis (sering disebut Denis Browne bar
and shoes) diberikan untuk mencegah rekurensi deformitas, untuk remodeling
persendian dengan tulang-tulang dalam posisi baik, dan untuk meningkatkan kekuatan
otot kaki. Alat ini berupa sepatu yang terhubung dengan dynamic bar (kira-kira
sepanjang bahu pasien). Rotasi sepatu terhadap bar sekitar 60-70o eksternal rotasi
pada kaki clubfoot dan 40o eksternal rotasi pada kaki normal. Alat ini dipakai 22-23
jam sehari selama 3 bulan, lalu saat tidur malam dan siang (12-14 jam sehari) hingga
anak berusia 1 tahun, dan saat tidur malam hingga usia 3-4 tahun (3). Pasien
disarankan untuk control satu bulan berikutnya dan dilanjutkan dengan interval 3
bulan (Dobbs, 2009).

13
Orthosis terdiri dari dua sepatu yang dihubungkan dengan sebuah papan yang
mampu memposisikan sepatu selebar bahu. Papan harus mampu menahan sepatu 70
derajat eksternal rotasi dan 5-10 derajat dorsofleksi. Pada kasus unilateral, kaki
normal harus berada di 40 derajat eksternal rotasi. Menahan kaki selebar bahu
membantu abduksi pedis. Orthosis digunakan setiap hari hingga 3-4 bulan, lalu
dilanjutkan pemakaian saat tidur siang dan malam selama 2-4 tahun.
Pada 90% kasus diperlukan adanya Achilles tenotomy (percutaneous Achilles
Tenotomy/ pAT) untuk mengoreksi kontraktur equinus. Tindakan ini dilakukan
dengan anestesi local pada anak usia dibawah 1 tahun (tanpa adanya overlengthening
atau kelemahan otot) dan dengan sedasi di ruang operasi untuk anak yang lebih tua.
Untuk anestesi local disarankan hanya menggunakan anestesi topical terlebih dahulu
dan anestesi injeksi diberikan setelah prosedur tenotomy. Hal ini untuk menghindari
kesulitan dalam palpasi tendon sehingga berpotensi merusak neurovaskuler di area
tersebut. Tenotomy dapat dilakukan dengan thin cataract knife yang steril di klinik
(setelah EMLA cream menganastesi kulit secara local selama 30 menit). Beberapa
dokter lebih memilih mengerjakan di ruang operasi untuk anak >3 bulan, karena akan
lebih mudah memasang cast tanpa adanya resistensi dari anak (Herring, 2014).
Setelah steril, pedis ditahan oleh asisten dengan tekanan dorsofleksi yang
ringan hingga sedang. Tekanan yang terlalu kuat akan cenderung mengencangkan
kulit dan menyulitkan untuk palpasi tendon dengan baik. Pisau memasuki kulit
sepanjang batas medial tendon Achilles. Karena biasanya calcaneus terelevasi pada
fat pad, maka penting untuk memotong tendon 0,5 – 1 cm proksimal dari insersinya,
dimana akan cenderung untuk menyebar ke tuberositas calcaneus. Setelah
dimasukkan, pisau didorong ke medial tendon dan dirotasikan di bawahnya.
Counterpressure dengan jari telunjuk dari arah berlawanan akan mendorong tendon ke
pisau dan mencegah laserasi yang tidak diinginkan. Pergerakan yang berlebihan dari
pisau ke arah lateral akan berisiko mencederai vena saphena dan nervus suralis.
Tenotomy yang berhasil ditandai dengan palpable pop dan adanya kemampuan untuk
dorsofleksi tambahan sejauh 15-20o. Tidak perlu ada jahitan dan dipasangkan cotton
cast padding steril, diikuti dengan pemasangan long leg cast pada maksimal
dorsofleksi dengan abduksi 70 derajat.
Pedis diimobilisasi selama 3-4 minggu; kebanyakan bayi memerlukan
imobilisasi sekitar 3 minggu, pemasangan lebih lama masih diperbolehkan untuk anak
berusia >6 bulan. Long leg cast dipasang dengan posisi abduksi 60-70o dan

14
dorsofleksi 5-10o (1,3). Suatu studi menyebutkan bahwa penyembuhan tendon terjadi
dalam 3 minggu saat terpasang cast (Dobbs, 2009).

Gambar 5
Percutaneous heel cord tenotomy

Suatu alternatif dari percutaneous heel cord tenotomy telah disarankan oleh
Alvarez dkk. Toksin Botulinum A diinjeksikan ke kompleks otot triseps surae untuk
melemahkan fungsinya. Dilaporkan keberhasilan jangka pendek sekitar 50 dari 51
bayi dengan clubfoot.
Teknik modifikasi diterapkan pada kaki yang complex idiopathic atau atypic.
Kaki ini biasanya pendek dan tebal, dengan fixed equinus dan posterior crease yang
dalam, serta hiperfleksi metatarsal. Saat pemasangan cast, forefoot harus diabduksi,
dan dorsofleksi melalui penekanan pada head metatarsal, serta pAT dilakukan lebih
awal (3).
Terkadang penekanan pada metatarsal sebelum mengoreksi calcaneal varus
mengakibatkan iatrogenic conves foot atau rocker bottom deformity. Keadaan ini
ditangani dengan pemasangan cast dalam posisi slight equinus selama 1-2 minggu
untuk retraksi plantar ligament (3).
Kasus relaps merupakan tantangan dalam penangan clubfoot. Biasanya
intoleransi saat pemakaian brace adalah penyebabnya. Kebanyakan kasus relaps
ditemukan deformitas varus dan equinus hindfoot. Pada relaps awal, penanganan
hanya dengan serial casting dan dilanjutkan dengan brace. Bila setelah cast terdapat
<15o dorsofleksi, diperlukan Achilles tenotomy ulangan (Dobbs, 2009).

15
Untuk anak lebih dari 3 tahun dengan kombinasi hindfoot varus dan
supination forefoot memerlukan pendekatan yang berbeda. Hindfoot varus dan
adduction dikoreksi terlebih dahulu dan diikuti dengan serial casting. Setelah
terkoreksi, dilakukan full tibialis tendon transfer ke cuneiform ketiga dan diikuti
dengan casting selama 6 bulan tanpa perlu pemakaian brace lagi (Dobbs, 2009).

Gambar 6
Ponseti cast

Gambar 7
Brace orthosis

Rekurensi parsial biasanya terjadi pada 2-3 tahun pertama, sekitar 1/3 kasus
relaps, dan penyebab paling sering adalah ketidakpatuhan pemakaian brace orthosis.
Koreksi pada relaps tahun pertama cukup dengan manipulasi dan serial cast, untuk

16
anak yang lebih tua akan lebih sulit memasang cast. Pemakaian brace merupakan
keharusan untuk menjaga hasil koreksi. Pada 2/3 kasus relaps lainnya memerlukan
intervensi bedah, namun tidak untuk anak <18 bulan. Jenis operasi meliputi heel cord
lengthening, posterior ankle release, atau plantar facial release akan mampu
mengembalikan plantigrade foot.
Pada pasien lebih dari 2-3 tahun dynamic swing phase supination deformity
akan muncul sebagai akibat medial overpull dari tendon tibialis anterior. Reduksi
inkomplit dari navicular ke head of talus akan mengubah fungsi tendon ini dari
dorsifleksor menjadi foot supinator. Bila tidak dikoreksi, keadaan ini akan menjadi
hindfoot varus berulang. Pada pasien-pasien ini dilakukan transfer anterior tibialis ke
3rd cuneiform setelah beberapa koreksi dengan cast. Untuk mencegah bowstringing,
tendon sebaiknya dibiarkan di bawah anterior retinaculum ankle. Sangat penting
untuk menilai rekurensi equinus karena untuk menentukan kebutuhan Achilles tendon
Z-lengthening saat transfer tibialis anterior. Walaupun operasi akan sukses, namun
tidak menjamin hasil akan menjadi plantigrade.
Pada beberapa studi, pasien relaps yang memerlukan tindakan operatif sekitar
32-35%. Prosedur paling umum yang dikerjakan adalah transfer tendon tibialis
anterior yang mengoreksi swing phase supination. Pada pasien relaps yang gagal
dalam terapi non operatif dan memerlukan complete posteromedial release biasanya
terdeteksi dini dan mendapatkan operasi sebelum mereka berusia 2 tahun.

French Method
Selain metode Ponseti, terdapat satu metode populer lain sebagai alternative
menghindari tindakan operasi, yaitu French atau functional method. Metode ini
memerlukan manipulasi setiap harinya dan diikuti dengan pemakaian adhesive
tapping untuk menjaga posisi kaki yang telah dikoreksi dengan peregangan
(stretching). Pemakaian taping akan tetap memberikan beberapa pergerakan, berbeda
dengan Ponseti. Metode ini juga focus pada penguatan otot peroneus sebagai cara
untuk menjaga hasil koreksi (Dobbs, 2009).
Terapi harian berlangsung selama dua bulan, lalu menjadi 3 kali seminggu
selama enam bulan. Saat kaki telah berhasil terkoreksi, tetap dilakukan home exercise
dan night splint hingga sang anak mencapai usia berjalan, kira-kira usia 2-3 tahun
(Herring, 2014).

17
Tujuan dari terapi ini adalah mereduksi talonavicular joint, stretch out dari
medial tissue, dan secara berurutan mengoreksi forefoot adduction, hindfoot varus,
dan calcaneus equinus (Herring, 2014).
Pada tahap pertama, os navicular di-release secara progresif dari malleolus
medial dan dari posisi medialnya pada head talus. Awalnya, relaksasi ini akan belum
sempurna karena talus masih pada posisi patologis, namun akan membaik seiring
waktu.
Tahap kedua adalah mengoreksi forefoot adduction dengan stabilisasi dari
adduksi menyeluruh calcaneus-forefoot block. Manuver ini meregangkan semua sendi
(naviculocuneiform, cuneiform-metatarsal, dan MTP). Setelah semua sendi teregang,
forefoot adduction akan terus berkurang dengan melanjutkan peregangan medial skin
crease. Untuk menjaga pasif ROM yang baru, ekstensor ibu jari dan peroneal harus
dikuatkan. Untuk itu, terapis merangsang reflek kutaneus dengan memijat halus
bagian lateral pedis.
Tahap ketiga adalah reduksi progresif dari hindfoot varus. Diawali setelah
talonavicular joint tereduksi dan dapat dilakukan bersamaan dengan koreksi forefoot
adduction. Calcaneus bergerak secara gradual kearah posisi netral dan akhirnya
menjadi valgus. Ankle tereksternal rotasi bersamaan saat calcaneus diposisikan
menjadi valgus. Lutut dijaga tetap 90 derajat selama maneuver.
Tahap akhir dari program ini adalah mengoreksi equinus dari calcaneus,
dimana sering sulit karena kontraktur dari posterior sof tissue yang tidak mudah
diregangkan dengan manipulasi. Calcaneus dibawa secara progresif dari plantar fleksi
ke dorsofleksi sementara lutut tetap dalam fleksi. Lalu lutut diekstensikan dengan
hati-hati. Manuver ini dilakukan berulang-ulang.Lateral arch ditopang dengan baik
untuk melindungi midfoot teregang (midfoot break).
Walaupun dikatakan menyebabkan inflamasi, fibrosis dan kekakuan, metode
ini memberikan keseimbangan otot dan suasana biomekanik yang mengubah pola
pertumbuhan strukutr osteokondral dari pedis (3). Dimeglio pada 1996 melaporkan
keberhasilan metode ini sebesar 74%, tanpa memerlukan intervensi bedah. Adapun
tindakan posterior release dilakukan bila ada residual equinus. Kelemahan dari
metode ini adalah butuh komitmen orang tua untuk menjalani terapi harian selama
dua bulan awal (Dobbs, 2009).

18
Gambar 8
French method

TINDAKAN OPERATIF
Tindakan operatif sebaiknya dihindari dan dibatasi hanya sebagai terapi
tambahan terapi konservatif. Indikasi tindakan operatif adalah pada kasus resisten,
kasus yang berkaitan dengan sindroma dan neurogenic, kasus rekuren, dan adanya
deformitas residu setelah tindakan extensive soft tissue release (Dobbs, 2009).
Operasi berulang sebaiknya dihindari karena haya akan mengakibatkan
kekakuan sendi, luka operasi, pengerasan jaringan dan bahkan atrofi karena
imobilisasi dalam waktu lama. Salah satu penyebab operasi berulang biasanya adalah
koreksi yang tidak adekuat, sehingga memerlukan koreksi berikutnya.
Dengan menggunakan Ponsetti atau French method, jumlah operasi akan lebih
sedikit pada kasus-kasus relaps atau kegagalan koreksi. Biasanya posterior release,
seperti Achilles tendon lengthening dan posterior capsulotomy dari sendi tibiotalar

19
dan subtalar, cukup untuk mengoreksi sisa equinus dan minimal hindfoot varus.
Sekitar 15% idiopati clubfoot memerlukan posteromedial release.
Beberapa teknik operasi dan prosedur telah dikemukakan untuk
mengembalikan clubfoot kembali ke posisi anatomis, beberapa diantaranya adalah:
1. Turco : One stage posteromedial release
Koreksi terhadap calcaneus dengan dilakukan subtalar release (lateral,
posterior, medial) dan juga calcaneofibular ligament.
2. Carrol : Plantar fascial release dan capsulotomy dari calcaneocuboid joint
3. Goldner : Koreksi dari rotasi talus dan tibiotalar joint release
4. McKay dan Simons : Prosedurnya lebih ekstensif, mayoritas struktur peritalar
dibebaskan.

Komplikasi pasca operasi dapat ditemui bila tidak dilakukan pengawasan yang
baik, meliputi beberapa hal diantaranya:
1. Hilangnya koreksi
Penyebabnya adalah setelah minggu ke 4 pasca operasi, cast menjadi terlalu
longgar dan tidak diganti sehingga posisi kaki akan berubah. Bila terjadi
infeksi luka operasi, posisi kaki harus tetap dipertahankan saat perawatan luka.
Walaupun terjadi infeksi pada pin tract, sangat penting untuk tetap
dipertahankan mengingat risiko hilangnya koreksi dan navicular dorsal
subluxation bila pin dilepas secara premature. Perawatan luka dan pemberian
antibiotic dapat diberikan hingga waktu pelepasan pin sesuai waktunya.
2. Navicular dorsal subluxation
Hal ini menyebabkan kaki cavovarus yang memendek. Dikatakan sering
terjadi setelah prosedur Turco dan Carrol, serta pelepasan pin yang premature.
Terjadi rotasi subluksasi, dimana bagian medial navicular terputar ke superior.
Operasi revisi dilakukan untuk mereduksi navicular dan sebaiknya pada anak
<6 tahun.
3. Valgus overcorrection
Gejalanya berupa nyeri pada bagian medial kaki dan memerlukan operasi
revisi untuk memperbaikinya.
4. Dorsal bunion
Pada clubfoot, hal ini terjadi karena overpull otot fleksor ibu jari pada kaki
yang lemah untuk plantar fleksi (kelemahan triceps). Dikoreksi dengan

20
kapsulotomi sendo MTP yang terfleksi, pemanjangan flexor hallucis longus
tendon, dan release atau transfer flexor hallucis brevis untuk menjadi
ekstensor.

Revisi dan Prosedur Sekunder


Timbulnya rekurensi walupun pernah tercapai hasil koreksi yang memuaskan,
merupakan hal yang memerlukan perhatian khusus. Biasanya rekurensi diakibatkan
oleh koreksi yang tidak sempurna pada awalnya. Bila kita sudah yakin bahwa koreksi
telah sempurna maka perlu dicurigai adanya suatu”true recurrence” yang dapat
disebabkan oleh kelainan lainnya, seperti kelainan neurologis (occult spinal
dysraphism). Untuk ememastikannya diperlukan pemeriksaan elektrofisiologi dan
MRI.
Prevalensi terjadinya rekurensi setelah dilakukan soft tissue release berkisar
pada 10%., namun tidak semua memerlukan revisi karena persepsi dan keputusan
dokter dan keluarga berbeda-beda. Dalam menentukan revisi harus dipertimbangkan
komplikasinya, seperti kekakuan dan kelemahan otot akibat tindakan bedah dan
imobilisasi berulang. Tujuan tindakan revisi adalah untuk mendapatkan “the realistic
foot” dengan sesedikit mungkin prosedur bedah.
Jadi operasi revisi dilakukan harus dengan mengetahui masalah atau
deformitas yang ingin dikoreksi, seperti posisi kaki yang buruk (supinasi/inversi)
yang nantinya akan menimbulkan nyeri.

Soft Tissue Surgery


Percutaneus Achilles Tenotomy
Prosedur ini dilakukan untuk membantu mengoreksi residual equinus dengan
memanjangkan tendon Achilles. Manfaat yang didapat dengan prosedur ini adalah
dapat mengurangi lamanya pengobatan, menurunkan risiko rekurensi, mencegah talar
flattening (nut cracker effect) atau convex foot, dan mengurangi jumlah surgical
release. Adapun risiko yang menyertai seperti triceps insufficiency dan posterior tibial
vascular nerve lesion. (Bergerault, 2013)
Complete transverse section dilakukan sekitar 1-2 cm dari insersi. Masukkan
blade tip ukuran 11 atau jarum ke bagian medial tendon dan pindahkan ke
posterolateral. Tanda telah tercapainya complete sectioning adalah adanya click-like
perception dari hiatus pada tendon saat dorsofleksi 15-20o. Setelah 21 hari

21
diimobilisasi dengan LLC (femoropedal immobilization) tendon akan terlihat
continuous melalui ultrasound dan struktur akan tampak normal setelah 1 tahun
(Bergerault, 2013).

Anterior TIbial Muscle Surgery


Muscular disequilibrium sering terjadi pada m.tibialis anterior pasca terapi,
termasuk pemanjangan tendon Achilles. Ditandai dengan dynamic supination pedis
saat oscillating phase, dengan kurangnya anteromedial support, piano key sign dan
forefoot supination pada dorsofleksi aktif ankle. (Bergerault, 2013)
Bila tidak terkoreksi setelah usia berjalan, akan menyebabkan risiko deformity
fixation (pes cavus, forefoot adduction, hindfoot varus, navicular dorsal subluxation).
Operasi ini direkomendasikan untuk dilakukan saat pasien berumur 2-3 tahun, dan
biasanya ditujukan untuk kasus-kasus rekurensi dengan flexible foot. Beberapa
tindakan yang tercakup didalamnya adalah:
 Transfer sebagian tendon tibialis anterior ke cuboid untuk menjaga
keseimbangan dorsofleksi.
 Transfer anterior tibialis tendon ke lateral cuneiform. Prosedur ini
merupakan bagian integral dari penanganan rekurensi Ponseti. Tercatat
15,2% rekurensi kembali, namun tindakan ini dapat mencegah
degenerative joint lesion.
 Z-lengthening tendon anterior tibialis. Prosedur ini juga dikerjakan
pada Posteromedial release. Dengan memanjangkan bagian medial
akan memendekkan tendon anterior tibialis. (Bergerault, 2013)

Posteromedial Soft-tissue Release (PMR)


Dengan memanjangkan tendon dan membelah aponeurosis dan kapsul sendi,
PMR akan mengoreksi tibiotarsal dan subtalar equinus, CPB adduction dan
mediotarsal adduction. Operasi ini sebaiknya dilakukan sebelum usia 1 tahun. Diawali
dengan posterior release lalu menuju bagian medial pedis. Talonavicular joint untuk
sementara direduksi maksimal untuk mencegah navicular dorsal subluxation. Bila
terjadi adduksi akibat incomplete correction atau orientasi calcaneocuboid joint yang
patologis, lateral column pedis dapat dipendekkan melalui calcaneus substraction
osteotomy (Lichtblau technique).

22
Didapatkan koreksi pada 75-85% kasus dengan 20-40% rekurensi, yang akan
memerlukan operasi revisi. Adapun risiko lain adalah hipo dan hiperkoreksi, dorsal
bunion, dan triceps insufficiency.
Kualitas terapi akan menurun seiring waktu. Sekitar 20 tahun pasca operasi
akan timbul keluhan seperti nyeri, menurunnya kekuatan dan daya tahan, walaupun
tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Terdapat juga forefoot dorsoflexion dan
adduksi dengan hindfoot equinus. PMR merupakan pilihan terakhir pada kasus
resisten terhadap terapi konservatif. (Bergerault, 2013)

Bony Surgery
Lateral Column Shortening
Terkadang koreksi tidak dapat dilakukan karena adanya length disparity pada
kedua sisi kaki (medial dan lateral). Prosedur Evans menyarankan untuk
mengombinasikan posteromedial release dengan lateral column shortening.
Calcaneal Osteotomy
Dapat dilakukan pada fixed heel varus tanpa atau pun dengan deformitas
residual yang signifikan. Prosedur ini dapat dikombinasikan dengan prosedur lain dan
tidak mengganggu prosedur triple arthrodesis di masa mendatang.
Supramalleolar Osteotomy
Adanya toe-in gati yang persisten, >2 standar deviasi, merupakan indikasi
pada 8-25% pasien.
Triple Arthrodesis
Untuk anak lebih dari 10 tahun, penanganan deformitas residu adalah triple
arthrodesis. Prosedur ini bukkan hanya untuk mengoreksi deformitas residu anamun
untuk mempertahankan posisi seteleah koreksi.

23
BAB III

KESIMPULAN

Congenital talipes equinovarus atau CTEV merupakan salah satu deformitas


pada bayi yang paling sering ditemui, dengan insidensi 1-2:1000 per kelahiran.
Sampai saat ini masih belum dapat dipastikan apa yang menjadi penyebab terjadinya
CTEV, walaupun sudah banyak teori yang diajukan namun belum ada satu pun yang
dapat menjelaskan dengan sempurna. Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis,
diamana terdapat supinasi dan adduksi forefoot pada sendi midtarsal, heel varus pada
sendi subtalar, equinus pada sendi ankle, dan deviasi pedis ke medial terhadap lutut.
Tidak diperlukan bantuan pemeriksaan radiologis sebagai penunjang karena tidak
memberikan informasi yang berarti. Biasanya CTEV muncul sebagai kelaianan
tersendiri, namun tidak jarang merupakan bagian dari suatu sindrom.
Penatalaksanaan CTEV meliputi dua aspek, yaitu non operatif dan operatif.
Para ahli setuju bahwa terapi non operatif haruslah menjadi pilihan utama terapi.
Metode Ponseti dan French method telah banyak digunakan di berbagai belahan dunia
dan memiliki hasil akhir yang memuaskan. Tindakan operatif diperlukan hanya bila
terapi non operatif gagal, hal ini dikarenakan komplikasi jangka panjang yang lebih
buruk dibandingkan terapi non operatif.

24

Anda mungkin juga menyukai