Kelas :B
Kelompok : 3
Nama : Nabila Yuriska
a. Syariat, seperti telah disinggung dalam uraian erdahulu terdapat di dalam al-
Qur’an dan kitab-kitab hadis. Kalau kita berbucara tentang syariat, yang
dimaksud adalah wahyu Allah dan sunnahh Nabi Muhammad sebagi Rasul-
Nya.sedangkan apabila kita berbicara tetang fikih, yang dimaksud adalah
pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syariar dan hasil
pemahaman itu.
b. Syariat bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang lebih luas
karena ke dalamnya, oleh banyak ahli, dimasukkan juga akidah dan akhlak.
Sedangkan fikih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum
yang mengatur perbuatan manusia, yang biasanya disebut sebagai perbuatan
hukum.
c. Syariat adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, karena itu berlaku
abadi sedangkan fikih adalah karya manusia yang tidak berlaku abadi, dapat
berubah dari masa ke masa.
d. Syariat hanya satu, sedangkan fikih mungkin lebih dari satu seperti (misalnya)
terlihat pada aliran-aliran hukum yang disebut dengan istilah mazahib atau
mazhab-mazhab itu.
e. Syariat menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedangkan fikih menujukkan
keragamannya.
Pergaulan Sejenis.
Nabi Muhammad SAW menetapkan tata krama yang harus diperhatikan, beliau
bersabda: “Tidak dibolehkan laki-laki melihat aurat (kemaluan) laki-laki lain,
begitu juga perempuan tidak boleh melihat kemaluan perempuan lain. Dan tidak
boleh laki-laki berkemul dengan laki-laki lain dalam satu kain, begitu juga
seorang perempuan tidak boleh berkemul dengan sesama perempuan dalam satu
kain.” (HR. Muslim)
c). Implementasi Muamalah di Bidang Politik
Luar Negeri.
Sebagai Kepaa Negara, Rasulullah melaksanakan hubungan dengan Negara-
negara lain. Menurut Tahir Azhari, (Negara Hukum, 1992) Rasulullah mengirim
sekitar 30 buah surat kepada kepala Negara lain, diantaranya kepada Al-Muqauqis
Penguasa Mesir, Kisra Penguasa Persia dan Kaisar Heraclius, Penguasa tinggi
Romawi di Palestina. Nabi mengajak mereka masuk Islam, sehingga politik luar
negri negara Islam adalah dakwah semata. Bila mereka tidak bersedia masuk
Islam, maka diminta untuk tunduk, dan bila tidak mau juga, maka barulah Negara
itu diperangi
Prinsip Politik Islam
Muhammad S.El.Wa dalam bukunya “On The Political System of Islamic
State” mengatakan bahwa prinsip politik Islam pada hakekatnya terdiri atas
“Musyawarah (syura), Keadilan, Kebebasan, Persamaan dan Pertanggungjawaban
pemimpin atas berbagai kebijakan yang diambilnya.”
Dalam sistem hukum Islam ada lima hukm atau kaidah yang dipergunakan
sebagai patokan mengukur perbuatan manusia baik di bidang ibadah maupun di
lapangan muamalah. Kelima jenis kaidah tersebut, disebut al-ahkam al-khamsah
atau penggolongan hukum yang lima (Sajuti Thalib, 1985: 16), yaitu (1) ja’iz tau
mubah atau ibahah, (2) sunnat, (3) makruh, (4) wajib dan (5) haram.
Penggolongan hukum yang lima atau yang disebut juga lima kategori hukum atau
lima jenis hukum ini, di dalam kepustakaan hukum Islam disebut juga hukum
taklifi (Masyfuk Zuhdi, 1987: 5) yakni norma atau kaidah hukum Islam yang
mungkin mengandung kewenangan terbuka, yaitu kebebasan memilih untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu hukum taklifi itu, mengandung anjuran
untuk dilakukan karena jelas manfaatnya bagi pelaku (sunnat). Penjelasan lebih
lanjut tentang hukum taklifi yang merupakan bagian hukum syara’ atau hukum
syar’i ini akan diuraikan nanti dalam al-ahkam al-khamsah (di bawah). Hukum
syara’ atau hukum syar’i ini disebut juga hukum syariat. Selain dari (1) hukum
taklifi tersebut di atas, hukum syariat itu terdiri juga dari (2) hukum wadh’i, yakni
hukum yang mengandung ‘sebab’, ‘syarat’ dan ‘halangan’ terjadinya hukum dan
hubungan hukum. Ketiga kandungan hukum wadh’i itu adalah: (1) ‘Sebab’, yang
menurut rumusannya, merupakan sesuatu yang tampak yang dijelaskan tanda
adanya hukum. Misalnya (a) kematian menjadi sebab adanya (hukum) kewarisan,
(b) akad nikah menjadi sebab halalnya hubungan suami-istri. Karena rumusannya
yang demikian itu, banyak ahli yang menyamakan sebab dengan illat, yaitu
keadaan yang mempengaruhi ada atau tidak adanya suatu hukum.
d). Ruang-Lingkup Hukum Islam
Pertama: (a). Hukum perdata (Islam) adalah (1) munakahat mengatur segala
sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian serta akibat-akibatnya;
(2) wirasah mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli
waris, harta peninggalan serta pembagian warisan. Hukum Kewarisan Islam ini
disebut juga hukum fara’id, (3) muamalat dalam arti yang khusus, mengatur
masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal
jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan, dan sebagainya;
Kedua: (b). Hukum publik (Islam) adalah (4) jinayat yang memuat aturan-aturan
mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam
jarimah hudud maupun dalam jarimah ta’zir. Yang dimaksud dengan jarimah
adalah perbuatan pidana. jarimah hudud adalah perbuatan pidana yang telah
ditentukan bentuk dan batas hukumannya dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi
Muhammad saw (hudud jamak dari hadd = batas). Jarimah ta’zir adalah perbuatan
pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa sebagai
pelajaran bagi pelakunya (ta’zir= ajaran atau pengajaran); (5) ah-ahkam as-
sulthaniyah membicarakan soal-soal yang berhubungan dengan kepala negara,
pemerintahan,baik pemerintah pusat maupun daerah, tentara, pajak dan
sebagainya; (6) siyar mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan
pemeluk agama dan negara lain; (7) mukhasamat mengatur soal peradilan,
kehakiman, dan hukum acara.
Jika bagian-bagian hukum Islam bidang muamalah dalam arti luas di atas
dibandingkan dengan susunan hukum Barat seperti yang telah menjadi tradisi
diajarkan dalam Pengantar Ilmu Hukum di tanah air kita, maka butir (1) dapat
disamakan dengan hukum perkawinan, butir (2) dengan hukum kewarisan, butir
(3) dengan hukum benda dan hukum perjanjian, perdata khusus, butir (4) dengan
hukum pidana, butir (5) dengan hukum ketatanegaraan yakni tata negara dan
administrasi negara, butir (6) dengan hukum internasional, dan butir (7) dengan
hukum acara.
(c). Siwak
Syariat Islam juga memperhatikan kebersihan mulut dan gigi melalui perintah
siwak. Dalam arti khusus, bersiwak adalah membersihkan gigi dengan
menggunakan kayu siwak, sedangkan dalam arti umum adalah tiap benda yang
digunakan untuk membersihkan gigi. Dari pengertian ini, siwak dapat diartikan
dengan sikat gigi atau sejenisnya. Nabi menganjurkan bersiwak setiap kali hendak
shalat, memasuki masjid, sebelum tidur, ketika bangun tidur dsb. Hudzaifah
meriwayatkan bahwa Rasulullah jika bangun malam maka menggosok giginya
dengan siwak. Betapa pentingnya siwak ini, dinyatakan dalam hadis.
f). Sifat yang Harus Dimiliki oleh Tenaga Medik dan Para Medik
Yang dimaksud dengan tenaga medik adalah para dokter, sedang tenaga para
medik ialah perawat, bidan, laboran dsb. Mereka merupakan manusia-manusia
yang mempunyai keahlian yang terdidik dalam mengobati penyakit, dan merawat
penderita, tingkah laku mereka yang baik dapat mempercepat kesembuhan.
(a). Beriman
(b). Tulus dan ikhlas karena Allah.
(c). Jujur, artinya menyampaikan secara terbuka tentang apa yang diketahui.
(d). Penyantun, artinya ikut merasakan penderitaan orang lain.
(e). Peramah, bergaul tidak kaku dan menyenangkan.
(f). Sabar, tidak emosional dan lekas marah.
(g). Tenang, tidak gugup betapapun dalam keadaan gawat.
(h). Teliti, berhati–hati, cermat dan rapi.
h). Adab Merawat Orang yang Sedang Sakaratul Maut dan Meninggal Dunia.
Manusia yang sedang sakit atau menderita, layaknya cenderung mendekatkan diri
kepada Allah. Oleh karena itu segenap tindak tanduk dan tutur kata tenaga medik
dan para medik hendaknya menunjukkan kearifan dan kasih sayang. Terlebih lagi
kepada orang yang sedang sakit keras atau menghadapi sakaratul maut.
Sakaratul maut dilihat dari ajaran Islam
Sakaratul maut arti hafiahnya adalah mabuk maut, maksudnya adalah si sakit
dalam keadaan naza’, yaitu dalam keadaan dicabut nyawanya oleh malaikat maut,
sedang dalam proses pemisahan nyawa dari badannya. Dalam melukiskan
cengkeraman maut itu Rasullulah bersabda : Dia seperti tiga ratus pukulan dengan
pedang (HR Ibnu Abu Dunya Al Hasan). Diriwayatkan dalam sebuah Hadis yang
artinya: Menjelang Rasululah wafat, di sisi beliau ada sebuah mangkuk berisi air,
kemudian beliau mencelupkan tangan ke dalam air, mengusap wajah dan berdoa:
Ya Allah mudahkanlah atas saya sakaratul maut (HR. Bukhari dan Muslim)
Kewajiban tenaga medik / para medik terhadap pasien meninggal dunia.
Tutup mata dan mulutnya, ikat dagunya agar mulut tidak terbuka kembali,
letakkan kedua tangannya di dada, dan ikat kedua jempol kakinya agar kaki tidak
terbuka, Menghadapkan si pasien ke arah kiblat, dengan posisi miring di atas sisi
kanan. Mentalkin pasien. Rasulullah bersabda : Talkinkanlan orang–orang yang
hampir wafat dengan kalimat Laa ilaaha illallah (HR Al-Jamaah). Dalam Hadits
yang lain diriwayatkan yang artinya : Barang siapa yang akhir kehidupannya
mengucapkan Laa ilaaha illallah pasti masuk surga (H Ahmad dan Abu Dawud)
Daftar Pustaka
Mujilan, dkk. (n.d). Buku Rancangan Pengajaran (BRP) Mata Kuliah MPK
Agama
Islam. Depok : Universitas Indonesia.
Nurhayati. 2018. Memahami konsep syariah, fikih, hukum, dan ushul fikih. Jurnal
hukum ekonomi syariah. Diakses dari
https://media.neliti.com/media/publications/288541-memahami-konsep-
syariahfikih-hukum-dan-7029c398.pdf [16 Oktober 2020]