Anda di halaman 1dari 38

BAB III

ASPEK HUKUM PERAMPASAN HARTA YANG DI


SERTAI DENGAN PEMBUNUHAN

A. Pengertian Pencurian Dengan Pemberatan

Dalam kamus Bahasa Indonesia, “pencurian” berasal dari kata “curi” yang

berarti “mengambil barang tanpa diketahui pemiliknya”. Pencurian merupakan kata

kerja. Dalam rumusan perbuatan pidana, elemen-elemenya dapat diperinci sebagi

berikut:

1. perbuatan ‘mengambil”

2. yang diambil harus sesuatu barang.

3. barang itu “harus atau seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang

lain”

4. pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk “memiliki”

barang itu dengan “melawan hukum”

Mengambil sama halnya dengan mengambil untuk dikuasainya, maksudnya

waktu pencuri mengambil barang itu, barang tersebut belum ada dalam kekuasaanya.

Apabila waktu memiliki itu barangnya sudah ada di tangannya, maka perbuatan

tersebut bukan pencurian tetapi penggelapan.

Dapat dikatakan, pengambilan tersebut sudah dapat dikatakan selesai,

apabila barang tersebut sudah pindah tempat. Apabila orang tersebut baru memegang

37
38

saja barang itu, dan belum berpindah tempat, maka orang tersebut belum bisa

dikatakan mencuri, melainkan mencoba mencuri. Sedangkan barang yang di ambil

adalah milik dari orang lain, dan pengambilan itu merupakan kesengajaan dengan

maksud untuk memilikinya.

Demikian ketentuan-ketentuan yuridis mengenai tindak pidana pencurian.

Apabila pencurian di sertai dengan adanya unsur-unsur tambahan yang menyertakan,

maka pencurian dengan pemberatan atau pencurian dengan kualifikasi.

Seperti dalam ketentuan Pasal 363, yang berbunyi, “ Dengan hukuman

penjara selam-lamanya tujuh tahun, dihukum,

(1) pencurian hewan.

(2) pencurian pda waktu kebakaran, letsan, banjir, gempa bumi, atau gempa laut,

letusan gunung api, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-

hara , pembrontakan atau kesengsaraan di masa perang.

(3) Pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup

yang ada rumahnya, dilakukan oleh orang yang ada di situ tiada dengan setahunya

atau bertentangan dengan kemauanya orang yang berhak (yang punya).

(4) pencurian dilakukan oleh dua orang bersama-sma atau lebih.

(5) pencurian yang dilakukan oleh tersalah dengan masuk ke tempat kejahatan itu

atau dapat mencapai barang untuk diambilnya dengan jalan membongkar,

memecah atau memanjat atau dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu

atau pakaian jabatan palsu.


39

Pencurian disertai dengan pemberatan apabila di sertai dengan syarat-syarat

tambahan, Pasal 363 di sertai dengan ayat (2), (3), (4), dan (5). Dari aspek hukum

pencurian merupakan suatu perbuatan kejahatan yang dilakukan seseorang terhadap

benda milik orang lain.

Tindak pidana pencurian di tinjau dari segi pelanggaran, karena tindak pidana

tersebut sesungguhnya merupakan suatu pelanggaran terhadap suatu larangan dalam

undang-undang. Oleh karenanya tindak pidana pencurian yang di atur dalam

Undang-Undang merupakan tindak pidana formal, maka tindak pidana tersebut harus

dianggap sebagai telah selesai dilakukan oleh pelakunya yakni setelah pelaku tersebut

melakukan perbuatan ‘mengambil’.

Apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan ‘mengambil” itu ? Di dalam

perundang-undangan atau bagi para pembuat undang-undang sebenarnya tidak pernah

memberikan definisi, atau pengertian jelas mengenai “mengambil’ini. Sedangkan

dalam pengertian sehari-hari, ‘mengambil’ mempunyai lebih dari satu arti, masing-

masing:

a. mengambil dari tempat di mana suatu benda itu semula berada;

b. mengambil benda dari penguasaan orang lain.

Sehingga dapat dimengerti, pengertian tersebut kemudian memunculkan berbagai

pendapat tentang mengambil tersebut. Pendapat dari Mr. Blok, “mengambil itu ialah

suatu perilaku yang membuat suatu benda berada dalam penguasaanya yangnyata,

atau berada di bawah kekuasaanya atau di dalam detensinya, terlepas dari maksudnya

tentang apa yang ia inginkan dengan benda tersebut” .


40

Mengambil sama halnya dengan mengambil untuk dikuasainya, maksudnya

waktu pencuri mengambil barang itu, barang tersebut belum ada dalam kekuasaanya.

Apabila waktu memiliki itu barangnya sudah ada di tangannya, maka perbuatan

tersebut bukan pencurian tetapi penggelapan.

Dapat dikatakan, pengambilan tersebut sudah dapat dikatakan selesai,

apabila barang tersebut sudah pindah tempat. Apabila orang tersebut baru memegang

saja barang itu, dan belum berpindah tempat, maka bisa dikatakan mencuri,

melainkan mencoba mencuri. Sedangkan barang yang di ambil adalah milik dari

orang lain, dan pengambilan itu merupakan kesengajaan dengan maksud untuk

memilikinya.

Demikian ketentuan-ketentuan yuridis mengenai tindak pidana pencurian.

Apabila pencurian di sertai dengan adanya unsur-unsur tambahan yang menyertakan,

maka pencurian dengan pemberatan atau pencurian dengan kualifikasi.

Seperti dalam ketentuan Pasal 363, yang berbunyi, “ Dengan hukuman

penjara selam-lamanya tujuh tahun, dihukum,

(1) pencurian hewan.

(2) pencurian pda waktu kebakaran, letsan, banjir, gempa bumi, atau gempa laut,

letusan gunung api, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-

hara , pembrontakan atau kesengsaraan di masa perang.


41

(3) Pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup

yang ada rumahnya, dilakukan oleh orang yang ada di situ tiada dengan setahunya

atau bertentangan dengan kemauanya orang yang berhak (yang punya).

(4) pencurian dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih.

(5) pencurian yang dilakukan oleh tersalah dengan masuk ke tempat kejahatan itu

atau dapat mencapai barang untuk diambilnya dengan jalan membongkar,

memecah atau memanjat atau dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu

atau pakaian jabatan palsu.

Pencurian disertai dengan pemberatan apabila di sertai dengan syarat-syarat

tambahan, Pasal 363 di sertai dengan ayat (2), (3), (4), dan (5). Dari aspek hukum

pencurian merupakan suatu perbuatan kejahatan yang dilakukan seseorang terhadap

benda milik orang lain. Berikut ini akan di bahas sebab-sebab pencurian apabila di

tinjau dari aspek psikologis dan sosial.

Ada keadaan tambahan lain yang timbulnya sesudah dilakukan perbuatan

yang tertentu tetapi tidak merupakan “bijkomende voowaarde van strafbaarheid”.

Adanya keadaan tambahan tersebut terdakwa telah melakukan perbuatan pidana, yang

dapat dituntut untuk dijatuhi pidana sebagaimana di ancamkan. tapi dengan adanya

keadaan tambahan tadi, acaman pidana lalu diberatkan.1

Dengan demikian, tindak pidana pemberatan adalah suatu perbuatan yang

melawan ketentuan hukum, kemudian menyebabkan atau di ikuti dengan perbuatan


42

lain yang menjadi syarat selesainya perbuatan itu. Dengan demikian dalam rumusan

tindak pidana dengan mencantumkan semua unsur pokok, kualifikasi dan ancaman

pidana2.

Misalnya, penganiayaan menurut pasal 351 ayat 1 KUHP di ancam dengan

pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan. Tapi jika perbuatan itu

menimbulkan luka-luka berat, ancaman pidana diberatkan menjadi lima tahun, dan

jika mengakibatkan mati menjadi tujuh tahun. (Pasal 351 ayat 2 dan 3)

Dalam merumuskan tindak pidana, tindakan pemberatan ini termasuk dalam

unsur akibat konstitutif3, dimana unsur akibat konstitutif terdapat pada,

(1) tindak pidana material (materieel delicten) atau tindak pidana dimana akibat

menjadi syarat selesainya tindak pidana,

2) tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagi syarat pemberat pidana.

3) tindak pidana dimana akibat merupakan syarat dipidannya pembuat.

Dalam membedakan ketiga hal tersebut di atas, dalam tindakan pidana

materiil, timbulnya akibat itu bukan untuk memberatkan pertanggungjawaban pidana,

dalam arti berupa alasan pemberat pidana, tetapi menjadi syarat selesainya tindak

pidana.

Perbedaan lain adalah unsur akibat konstitutif pada tindak pidana materiil

adalah unsur pokok tindak pidana, artinya jika unsur ini tidak timbul, tindak

pidanaya tidak terjadi, yang terjadi adalah percobaannya.


43

Pada tindak pidana materiil, yaitu tindak pidana yang berisi larangan

menimbulkan akibat tertentu. Dengan akata lain, dapat dirumuskan tindak pidana

materiil adalah suatu tindak pidana yang menurut bunyi redaksi rumusannya

mengandung unsur akibat dari perbuatan sebagai syarat selesainya tindak pidana.

Unsur akibat ini juga dengan akibat konstitutif (contitutif gevolg) .

Misalnya, tindak pencurian, dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana,

apabila, pelaku pencurian pada suatu malam datang ke suatu rumah kemudian dengan

menggunakan alat (mencongkel) pintu.serta mengambil barang. Perbuatan itu bisa

dikatakan tindak pidana karena telah mengambil barang, sedang unsur-unsur

tambahan, seperti datang pada malam hari dan menggunakan alat sebagai syarat

pemberatan tindak pidana.

Tetapi, apabila ketika baru masuk rumah sudah ketahuan, perbuatan itu masuk

dalam kategori percobaan pencurian. Dalam hal ini unsur pokok belum terpenuhi,

maka perbuatan itu dapat dikatakan hanya sebagai percobaan.

Sementara itu, unsur akibat sebagai syarat memperberat pidana karena bukan

merupakan unsur pokok tindak pidana, artinya jika syarat ini tidak timbul, tidak

terjadi percobaan, melainkan terjadinya tindak pidana selesai. Misalnya, pada Pasal

288 jika akibat luka berat (ayat 2) tidak timbul, maka yang terjadi adalah kejahatan

yang selesai, yakni bersetubuh dengan wanita yang belum waktunya dikawini dan

menimbulkan luka, dan bukan percobaan bersetubuh dengan wanita yang belum
44

waktunya dikawini yang menimbulkan luka berat. Persamaannya adalah bahwa

dalam kedua unsur itu, akibat timbul setelah perbuatan itu dilakukan.

Kemudian, mengenai unsur akibat sebagai syarat dapat dipidananya pembuat

ialah tanpa timbulnya akibat dari perbuatan yang dirumuskan dalam Undang-Undang

itu tidak dipidana. Baru dapat dipidana apabila akibat terlarang itu telah timbul.

Misalnya, Pasal 288, perbuatan persetubuhan dengan isterinya itu tidak dapat

dipidana, dan baru dipidana jika dari persetubuhan itu mendatangkan akibat luka dan

atau kematian isterinya yang belum waktunya dikawini itu telah timbul.

Maksud diperberatnya pidana pada dasar pemberatan pidana khusus adalah

pada si pembuat dapat dipidana melampuai atau di atas ancaman maksimum pada

tindak pidana bersangkutan. Hal sebab diperberatnya dicantumkan secara tegas

dalam dan mengenai tindak pidana tertentu tersebut. Di sebut dasar pemberat khusus,

karena hanya berlaku pada tindak pidana tertentu yang dicantumkan alasan

pemberatan itu saja, an tidak berlaku pada tindak pidana lain.

Di lihat dari berat ancaman pidana pada tindak pidana tertentu yang sama atau

kualifikasinya, maka dapat dibedakan dalam tindak pidana dalam bentuk pokok

(bentuk standard), bentuk yang lebih berat, dan bentuk yang lebih ringan. Pada pasal

mengenai tindak dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkp, unsur-unsurnya.

Artinya, rumusan dalam bentuk pokok mengandung arti yuridis dari ( kualifikasi)
45

jenis tindak pidana itu, yang ancaman pidannya berada di antara bentuk yang

diperberat dan bentuk yang diperingan.

Sebagai ciri dari tindak pidana dalam bentuk yang diperberat ialah harus

memuat semua unsur yang ada pada bentuk pokoknya ditambah lagi satu atau lebih

dari unsur khususnya yang bersifat memberatkan. Unsur khusus yang membertakan

inilah yang dimaksud dengan dasar penberatan pidana khusus itu. Unsur khusus ini

berupa unsur tambahan atau ditambahkan pada unsur-unur tindak pidana jenis yang

bersangkutan dalam bentuk pokok.

Kemudian dirumuskan menjadi tindak pidana yang berdiri sendiri dengan

diancam dengan pidana yang lebih berat dari bentuk pokoknya. Jadi untuk

membuktikan pidana jenis yang diperberat haruslah membuktikan unsur-unsur yang

ada dalam pokoknya terlebih dahulu. Walaupun dalam pasal yang bersangkutan

unsur-unsur dalam bentuk pokok itu tidak di ulang dengan merumuskannya lagi,

melainkan hanya disebut kualifikasinya atau disebut pasal bentuk pokoknya. Barulah

membuktikan adanya unsur khusus dari bentuk yang diperberat.

Tindak pidana dengan kualifikasi pencurian bentuk pokoknya (Ps.362)

dirumuskan: “ barang siapa mengambil suatu benda yang sebagian atau seluruhnya

milik orang lain dengan maksud untuk dimiliki dengan melawan hukum, di ancam

karena pencurian dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima ) tahun atau pidana

denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.


46

Rumusan tindak pidana di atas terdiri dari unsur –unsur, ialah;

Unsur-unsur obyektif, terdiri dari :

1. perbuatan, mengambil.

2. obyeknya, suatu benda.

3. sebagian atau seluruhnya milik orang lain.

Unsur-unsur subyektif:

1. dengan maksud untuk dimiliki.

2. dengan cara melawan hukum.

Unsur melawan hukum dapat dimasukan ke dalam unsur yang bersifat

obyektif mupun subyektif. Pada rincian di atas dimasukan ke dalam unsur subyektif,

dengan alasan bahwa unsur ini diletakan di belakang unsur maksud (kesengajaan

sebagai maksud). artinya unsur melawan hukum di sini di tuju atau diliputi oleh unsur

kesengajaan. Unsur batinlah yang menyebabkan perbuatan mengambil benda milik

orang lain itu menjadi dan melekat sifatnya yang terlarang (melawan hukum).

Unsur melawan hukum pada pencurian dapat juga dimasukan ke dalam unsur

obyektif dengan alasan perbuatan mengambil benda milik orang lain itu menjadi

tercela, karena tidak mendapat izin atau bertentangan dengan kehendak si pemilik.

Dalam bentuk pencurian yang diperberat di rumuskan dalam Pasal 363 dan

365. Dalam kedua pasal ini, unsur-unsur pokok pencurian telah ada di dalamnya dari

perkataan pencurian. Sedangkan, unsur khusus yang memberatkan pidana terdapat


47

dalam banyak unsur, misalnya pada ayat (1) dari Pasal 363 terdiri dari banyak

alternatif, yaitu pemberat pada unsur obyeknya yakni ternak, terletak pada saat atau

kejadian ketika melakukan pencurian itu (waktu lebakaran,letusan, banjir, gempa

bumi dan lain sebagainya) pada pembuatnya lebih dari satu (dengan bersekutu) dan

seterusnya.

Dalam pencurian yang diperberat lagi dari pada Pasal 363 ialah pencurian

dengan kualifikasi kekerasan atau disebut juga dengan pencurian dengan kekerasan

atau disebut juag dengan pencurian dengan kekerasan Pasal 365.Hal tersebut

merupakan bersatunya dari berbagai unsur (kumulatif), baik yang bersifat obyektif

maupun yang bersifat subyektif. Pada ayat (1) dari pasal ini berupa rumusan dari

pencurian dengan kekerasan, alasan dasar pemberat pidana, yaitu bergabungnya

unsur-unsur obyektif:

1. Cara atau upaya yang digunakan:

- kekerasan.

- ancaman kekerasan.

2. yang ditujukan pada orang lain.

3. waktu penggunaan upaya kekerasan dan atau ancaman kekerasan itu

ialah :

- sebelum.

- pada saat.
48

- setelah berlangsungnya pencurian.

unsur-unsur subyektif

4. digunakanya kekerasan atau ancaman kekerasan itu, dengan maksud

yang ditujukan:

- untuk mempersiapkan pencurian.

- untuk mempermudah pencurian, atau

- untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya

apabila tertangkap tangan atau,

- untuk tetap menguasai benda yang dicuri apabila tertangkap tangan.

Dengan adanya unsur subyektif dalam unsur pemberat, terkandung maksud

atau kehendak yang sangat kuat pada diri si pembuat untuk mewujudkan kehendak

yang bersifat melawan hukum tersebut.

B. Unsur-Unsur Dalam Tindak Pencurian Dengan Kekerasan

Tindak pidana pencurian dengan kekerasan oleh pembentuk undang-undang

telah di atur dalam Pasal 365 KUHP yang rumusanya sebagai berikut:

(1) Di pidana dengan pidana penjara selama-lamanya Sembilan tahun, pencurian

yang di dahului, disertai atau dilihat dengan kekerasan atau dengan ancaman

kekerasan terhadap orang-orang yang dilakukan dengan maksud untuk

mempersiapkan atau memudahkan pencurian tersebut, atau untuk memungkinkan

dirinya sendiri atau lain-lain peserta dalam kejahatan dapat melarikan diri jika
49

diketahui pda waktu itu juga ataupun untuk menjamin penguasaan atas benda

yang telah dicuri.

(2) Di jatuhkan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun.

1. jika tindak pidana itu dilakukan pada waktu malam hari dalam sebuah tempat

kediaman atau di atas sebuah pekarangan tertutup yang di atasnya terdapat

sebuah tempat kediaman atau di tas jalan umum, atau di atas kereta api atau

trem yag bergerak.

2. jika tindak pidana itu dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama.

3. jika untuk mendapat jalan masuk ketenpat kejahatan, orang yang bersalah

telah melakukan pembongkaran atau pemanjatan atau telah memakai kunci-

kunci palsu, suatu perintah palsu atau seragam palsu.

4. jika tindak pidana itu telah mengakibatkan luka-luka berat pada tubuh.

(3) Dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun, jika tindak pidana

itu telah mengakibatkan matinya orang.

(4) Di jatuhkan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara

sementara selama-lamanya dua puluh tahun, jika tindak pidana itu mengakibatkan

luka berat pada tubuh atau matinya orang yang dilakukan oleh dua orang atau

lebih secara bersama-sama dan disertai dengan salah satu keadaan yang

disebutkan dalam angka 1 dan angka 3.


50

Tindak pidana pencurian yang di atur dalam pasal 365 juga merupakan suatu

pecurian dengan kualifikasi atau merupakan suatu pencurian dengan unsur-unsur

yang memberatkan.

Dengan demikian maka yang di atur dalam pasal 365 KUHP itu sesungguhnya

merupakan satu kejahatan, dan bukan dua kejahatan yang terdiri dari kejahatan

‘pencurian’ dan kejahatan ‘pemakaian kekerasan terhadap orang’ ataupun bukan

merupakan suatu samenloop dari kejahatan ‘pencurian dengan kejahatan ‘pemakaian

kekerasan terhadap orang’.

Dalam pasal 89 KUHP, pembentuk undang-undang telah menyamakan

dengan melakukan kekerasan yakni perbuatan membuat orang dalam keadaan

pingsan atau tidak berdaya. Kekerasan atau ancaman kekerasan seperti yang

dimaksudkan di atas itu harus ditujukan kepada orang-orang, akan tetapi tidaklah

perlu bahwa orang tersebut merupakan pemilik dari benda yang akan dicuri atau telah

di curi.

Menurut Simons, kekerasan itu tidak perlu merupakan sarana atau cara untuk

melakukan pencurian, melainkan cukup jika kekerasan tersebut terjadi ‘sebelum’,

selama’ dan ‘sesudah’ pencurian itu dilakukan dengan maksud seperti yang dikatakan

di dalam rumusan pasal 365 ayat (1) KUHP, yakni;

1. untuk mempersiapkan atau untuk memudahkan pencurian yang akan dilakukan,


51

2. jika kejahatan yang mereka lakukan itu ‘op heteredaad betrapt’ atau dikatahui

pada waktu sedang dilakukan, untuk memungkinkan dirinya sendiri atau lain-lain

peserta kejahatan dapat melarikan diri.

3. untuk menjami tetap mereka kuasainya benda yang telah mereka curi.

Dari hal di tas dapat diketahui bahwa tidak setiap pencurian disertai dengan

pemakaian kekerasan, seperti yang dimaksud dengan pasal 365 ayat (1) KUHP,

yakni misalnya, pencurian pada malam hari dalam sebuah tempat kediaman yang

disertai dengan kekerasan dengan maksud untuk dapat melakukan perbuatan

melanggar susila anak gadis pemilik rumah.

Kejahatan tersebut bukan merupakan kejahatan seperti yang dimaksud dalam

pasal 365 aya (2) angka 1 KUHP, karena kekerasan yang dilakukan orang dalam

pasal 365 ayat (1) KUHP.

Kejahatan seperti yang dimaksudkan di atas itu merupakan suatu gabungan

dari beberapa tindak pidana ataupun yang juga di sebut sebagai “samenloop van

meerdere strafbare feiten”, yakni gabungan dari tindak pidana yang di atur dalam

pasal 363 ayat (1) angka 3 KUHP yang diancam dengan pidana penjara selama-

lamanya tujuh tahun, dan tindak pidana yang di atur dalam pasal 285 KUHP yang

diancam dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun, sehingga

berdasarkan ketenyuan yang di atur dalam pasal 65 ayat (1) jo, ayat (2) KUHP, bagi
52

pelakunya dapat dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya 12 tahun + (1/3 x 12

tahun) = 16 tahun.

Sesuai dengan penafsiran Hoge Raad, bahwa dipakainya kekerasan atau

ancaman kekerasan pada pencurian dengan kekerasan itu merupakan suatu permulaan

pelaksanaan dari tindak pidana pencurian dengan seperti yang dimaksudkan dalam

pasal 365 KUHP, maka kenyataan bahwa dalam laci korban atau di dalam lemari

korban tidak terdapat uang atau perhiasan yang ingin dicuri oleh pelaku, setelah

sebelumnya ia mengancam orang seisi rumah dengan senjata tajam untuk tidak

bergerak dari tempatnya atau berteriak meminta tolong, tidak menyebabkan pelaku

tersebut tidak dapat dituntut karena telah melakukan suatu ‘percobaan pencurian

dengan kekerasan’ seperti yang diatur dalam pasal 365 KUHP.

Dalam kasus ini, penggunaan kekerasan terlihat pada fakta, para pelaku

melakukan kekerasan dengan mengikat dengan tali dan menyumpal mulut korban.

Kemudian, dilakukan pada malam hari di tempat pekarangan rumah atau

kediaman. Yang dimaksudkan dengan “malam hari” itu menurut pembentuk undang-

undang dalam pasal 98 KUHP ialah ‘waktu antara matahari terbenan dengan matahari

terbit” Atau dalam Wetboek van strafrecht adalah waktu yang diperuntukan istirahat

malam, yakni sebagai pengganti dari kata ‘nuit’ yang berarti malam hari .

Pengertian “tempat kediaman” adalah setiap bangunan yang diperuntukan

dan dibangun sebagai tempat kediaman. Termasuk dalam pengertiannya yakni kereta-
53

kereta, atau mobil-mobil yang dipakai sebagai tempat kediaman serta kapal-kapal

yang dengan sengaja telah dibangun sebagi tempat kediaman.

Menurut, Satauchid Kartanegara, dapat dimasukan dalam pengertiannya yakni

gerbong-gerbong kereta api dan gubug-gubug terbuat dari kaleng-kaleng bekas atau

kertas karton yang biasanya dipakai oleh orang tuna wisma sebagi tempat kediaman.

Yang dimaksud dengan “pekarangan tertutup” ialah pekarangan yang diberi

penutup untuk membatasai pekarangan tersebut dari pekarangan-pekarangan lain

yang ada di sekitarnya. Pekarangan tertutup itu tidak perlu merupakan suatu

pekarangan yang tertutup rapat,misalnya dengan tembok atau kawat berdurui,

melainkan cukup jika pekarangan tersebut di tutup misalnya, dengan pagar bamboo,

dengan tumbuhan-tumbuhan, dengan tumpukan batu walaupun tidak rapat dan mudah

dilompati orang , bahkan juga dengan galian yang tidak berair.

Unsur yang lain yang memberatkan pada tindak pidana pencurian, karena

tindak pidana pencurian seperti yang dimaksudkan dilakukan oleh dua orang atau

lebih secara bersama-sama.

Yang dimaksudkan dengan dilakukan “dua orang atau lebih” secara bersama-

sama itu, ialah dilakukan dalam bentuk “medelplegen” atau “turut melakukan “

seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 55 ayat (1) angka 1 KUHP ataupun dalam

bentuk apa yang lazim di sebut “mededaderschap”4 pidana -pekarangan lain yang

terdapqat di sekitarnya.
54

Apabila dalam tindak pidana pencurian terdapat suatu “medelplegen” Atau

“turut melakukan” atau dalam bentuk yang lazim disebut “mededaderschap.

Menurut Profesor van Hamel, suatu “medelplegen” itu hanya ada jika tindakan-

tindakan tiap-tiap peserta dalam tindak pidana itu menghasilkan suatu “daderschap”

yang sempurna. Dengan demikian tiap-tiap peserta di dalam tindak pidana pencurian

itu harus memenuhi semua unsur tindak pidana pencurian seperti yang di atur dalam

ketentuan undang-undang.

Agar orang tersebut dapat dinyatakan terbukti “bersama-sama dengan pelaku

telah melakukan tindak pidana pencurian, maka di samping ‘opzet’ pelaku

sebagaimana yang dimaksudkan di atas itu harus terbukti, harus juga terbukti bahwa

ia telah memenuhi semua unsur tindak pidana pencurian.

Dari hal tersebut dapat di simpulkan agar pelaku dapat dinyatakan terbukti

bersalah telah “bersama-sama melakukan suatu pencurian”, untuk itu pelaku harus

dapat dibuktikan :

1. bahwa para pelaku tinak pidana pencurian itu menyadari bahwa mereka

telah “ bekerja sama pada waktu melakukan pencurian

2. bahwa para pelaku tindak pidana pencurian itu telah menghendaki untuk

“bekeja sama secara fisik” dalam melakukan pencurian.


55

3. bahwa masing-masing peserta dalam tindak pidana pencurian itu di

samping terbukti memenuhi unsur “opzet” juga terbukti memenuhi semua

unsur tindak pidana pencurian.

Mengenai ‘bewuste samenwerking’ (kerja sama yang di sadari) dan ‘fisieke

samnewerking (kerja sama secara fisik) seperti yang dimaksudkan di atas itu, telah

diperjanjikan sebelum para pelaku melakukan tindak pidana pencurian mereka,

melainkan cukup jika pada waktu mereka melakukan tindak pidana pencurian

tersebut, mereka menyadari bahwa mereka telah bekerja sama secara fisik.

Unsur yang memberatkan pidana pada tindak pidana pencurian yang di atur

dalam pasal 363 ayat (1) angka 5 KUHP itu ialah karena untuk dapat memperoleh

jalan masuk ke tempat kejahatan atau untuk dapat mencapai benda yang akan

diambilnya itu, pelaku telah melakukan pembongkaran, perusakan, pemanjatan atau

telah memkai kunci-kunci palsu, perintah palsu, atau seragam palsu.

Kata “verbreking” atau “perusahan “ itu merupakan sebuah kata yang oleh

pembentuk undang-undanh telah ditambahkan ke dalam rumusan tindak pidan

pencurian yang di atur dalam pasal 363 ayat (1) angka 5 KUHP atas saran profesaor

de VRIES dengan alasan karena ‘perusakan’ terhadap bneda-benda yang kecil itu

tidak termasuk dalam pengertiannya kata ‘braak’, melainkan hanya sekedar

merupakan suatu ‘verbreking’ saja.5 .


56

Perbuatan-perbuatan para pencuri meruskan pintu atau jendela untuk

memasuki sebuah rumah, misalnya dengan cara ‘mencukil”, memecahkan atau

mengangkat kaca ‘ atau dengan cara ‘melepaskan daun pintu atau daun jendela dari

engkelnya’ itu bukan merupakan ‘braak’ atau ‘ pembongkaran’ melainkan hanya

merupakan ‘verbreingen’ atau ‘perusakan perusakan’.

Jika seorang pencuri telah berhasil memasuki sebuah rumah dengan maksud

untuk mecuri barang-barang kepunyaan pemilik rumah tersebut setelah sebelumnya ia

berhasil merusakan pintu depan dari rumahnya yang bersangkutan, apakah orang

dapat mengatakan bahwa ia telah mulai melakukan suatu pencurian, padahal ia sama

sekali belum menyentuh sebuah barang pun yang terdapat di dalam rumah tersebut.

Mengenai ‘pemanjatan’ seperti yang dimaksud di atas, pembentuk undag-

undang tidak memberikan penjelasannya, akan tetapi dalam pasal 99 KUHP hanya

mengatakan bahwa “termasuk dalam pengertian memanjat ialah perbuatan memasuki

melalui jalan masuk yang tidak disediakan untuk maksud tersebut atau melalui

sebuah lubang yang dengan sengaja telah digali untuk maksud yang sama, demikian

juga perbuatan-perbuatan melompat sebuah selokan atau parit yang dimaksudkan

untuk dipakai sebagai penutup.

Menurut professor Simons yang dimaksudkan dengan kunci-kunci palsu atau

valse sleuttels itu adalah kunci-kunci yang oleh orang yang berhak, tidak dipakai atau

telah tidak dipakai lagi untuk membuka sebuah selot, sehingga termasuk dalam
57

pengertiannya yakni kunci-kunci sebenarnya yang hilang, yang oleh pemiliknya telah

diganti dengan kunci yang lain.

Dalam pasal 100 KUHP pembentuk undang-undang mengatakan, bahwa

termasuk dalam pengertian ‘kunci palsu’ yakni setiap alat yang tidak diperuntukan

untuk membuka suatu selot tertentu

C. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pembunuhan

1. Pengertian tentang tindak pidana pembunuhan

Tindak pidana pembunuhan oleh pasal 338 KUHP dirumuskan sebagai barang

siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

dengan penjara paling lama 15 tahun.(KUHP;1991:207).

Hal ini merupakan suatu rumusan secara materiil yaitu “menyebabkan sesuatu

tertentu” tanpa menyebutkan ujud dari tindak pidana. Unsur-unsur yang dapat ditarik

dari pasal 338 KUHP adalah :

a) Perbuatan itu harus disengaja, dengan kesengajaan itu harus timbul seketika itu

juga, ditujukan maksud supaya orang itu mati.

b) Melenyapkan nyawa orang lain itu harus merupakan yang “positif” walaupun

dengan perbuatan yang kecil sekalipun.

c) Perbuatan itu harus menyebabkan matinya orang, disini harus ada hubungan

kausal di antara perbuatan yang dilakukan itu dengan kematian orang tersebut.

Dari unsur-unsur pasal 338 KUHP di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :

1) Dengan sengaja
58

Dalam KUHP tidak dijelaskan apa arti kesengajaan, tetapi didalam MvT

(memorie van Toelieting) disebutkan “pidana pada umumnya hendaknya

dijatuhkan hanya pada barang siapa yang melakukan perbuatan yang dilarang

yang dikehendaki dan diketahui”. Terwujudnya perbuatan seperti yang

dirumuskan dalam undang-undang berpangkal tekad adalah azaz dari perbuatan

kesengajaan. Teori berpangkal tekad karena akibat itu hanya dapat dibayangkan

dan dicita-citakan saja oleh orang yang melakukan suatu perbuatan. Kesengajaan

adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlukan

menurut perumusan undang-undang. Dalam ilmu hukum pidana dibedakan dalam

3 corak kesengajaan, yaitu :

(i) Kesengajaan sebagai tujuan Kesengajaan ada, apabila si pelaku benar-benar

menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya

ancaman hukum pidana.

(ii) Kesengajaan sebagai kepastian

Kesengajaan semacam ini ada, apabila si pelaku tahu benar bahwa suatu

akibat pasti ada dari perbuatan itu.

(iii) Kesengajaan sebagai kemungkinan Kesengajaan ada, apabila dalam

pemikiran si pelaku hanya suatu kemungkinan belaka akibat yang akan terjadi

dari suatu perbuatan.

2) Menghilangkan nyawa orang lain

Unsur-unsur tindak pidana yang menyebabkan hilangnya nyawa korban

adalah sebagai berikut :


59

a) Adanya suatu perbuatan yang menyebabkan matinya orang lain

b) Adanya kesengajaan yang tertuju pada terlaksananya kematian orang lain

c) Kesengajaan merampas nyawa dilakukan segera setelah timbulnya niat untuk

membunuh

d) Orang lain merupakan unsur yang menunjukkan bahwa merampas nyawa

orang lain merupakan perbuatan positif sekalipun dengan perbuatan kecil.

Delik ini mengandung unsur dan kualifikasi yaitu pembunuhan dan sanksi

pidana. Delik ini juga dirumuskan secara materiil artinya menitik beratkan

pada akibat hilangnya nyawa, tentang bagaimana cara menghilangkan nyawa

itu.

2. Jenis-jenis tindak pidana pembunuhan

Kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen bet leveri) adalah berupa

penyerangan terhadap nyawa orang lain. Kepentingan hukum yang dilindungi dan

yang merupakan obyek kejahatan ini adalah nyawa (leven) manusia. Pembunuhan

ini termasuk tindak pidana materiil (materiale delict), artinya untuk kesempurnaan

tindak pidana ini tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan itu, akan tetapi menjadi

syarat juga adanya akibat dari perbuatan itu. Kejahatan terhadap nyawa dalam KUHP

dibedakan atas dua dasar, yaitu atas dasar unsur kesalahannya dan atas dasar

obyeknya (nyawa). Kejahatan terhadap nyawa atas dasar kesalahannya, dibedakan

menjadi dua, yaitu:

a) Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus misdrijven),

adalah kejahatan yang dimuat dalam Bab XIX KUHP, Pasal 338 s/d Pasal 350.
60

b) Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan tidak dengan sengaja (culpose

misdrijven), adalah kejahatan yang dimuat dalam Bab XXI (khusus Pasal 359).

Berdasar atas obyeknya (kepentingan hukum yang dilindungi), maka

kejahatan terhadap nyawa dengan sengaja dibedakan menjadi tiga macam, yaitu ,

a) Kejahatan terhadap nyawa orang pada umumnya, dimuat dalam Pasal 338,339,

340, 344, dan 345 KUHP.

b) Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan,

dimuat dalam Pasal 341, 342, dan 343 KUHP.

c) Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam kandungan ibu (janin),

dimuat dalam Pasal 346, 347,348, dan 349 KUHP. (Adami Chazawi, 2001: 55).

Tindak pidana pembunuhan yang merupakan kejahatan terhadap nyawa yang

dilakukan dengan sengaja atas dasar obyeknya, terbagi atas beberapa jenis, yaitu:

i) Pembunuhan Biasa dalam Bentuk Pokok/ Doodslag (Pasal 338 KUHP)

Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (pembunuhan) dalam

bentuk pokok, dimuat dalam Pasal 338 KUHP, yang rumusannya adalah sebagai

berikut:

“Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain dipidana karena

pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

Dari rumusan tersebut, dapat diketahui unsur-unsur pembunuhan, yaitu:

a) Unsur obyektif

(1) Perbuatan : menghilangkan nyawa.

(2) Obyeknya : nyawa orang lain.


61

b) Unsur subyektif : dengan sengaja

Dalam perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) terdapat tiga syarat

yang harus dipenuhi, yaitu:

a) Adanya wujud perbuatan;

b) Adanya suatu kematian (orang lain);

c) Adanya hubungan sebab dan akibat (causal verband) antara perbuatan dan

akibat kematian (orang lain).

Tiga syarat yang ada dalam unsur perbuatan menghilangkan nyawa

tersebut, harus dibuktikan. Walaupun antara satu dengan yang lain dapat

dibedakan, akan tetapi tidak dapat dipisahkan, merupakan suatu kebulatan.

Apabila tidak terdapat salah satu diantara tiga syarat, maka perbuatan

menghilangkan nyawa tidak terjadi. Antara unsur subyektif sengaja dengan

unsur obyektif mengenai wujud perbuatan menghilangkan nyawa, terdapat

syarat yang juga harus dibuktikan, yaitu pelaksanaan perbuatan menghilangkan

nyawa (orang lain) harus seketika itu juga atau tidak lama setelah timbulnya

kehendak (niat) untuk menghilangkan nyawa orang lain itu. Apabila terdapat

tenggang waktu yang cukup lama sejak timbulnya kehendak untuk membunuh

dengan pelaksanaannya, di mana dalam tenggang waktu yang cukup lama itu

pelaku dapat memikirkan tentang berbagai hal, misalnya memikirkan apakah

kehendaknya akan diwujudkan dalam pelaksanaan atau tidak, dengan cara apa

kehendak itu akan diwujudkan dan sebagainya, maka pembunuhan itu telah
62

masuk ke dalam pembunuhan berencana (Pasal 340), dan bukan lagi

pembunuhan biasa.

Perbuatan menghilangkan nyawa orang lain itu harus merupakan

perbuatan "positif walaupun dengan perbuatan yang sekecil apapun. Unsur

tingkah laku "menghilangkan nyawa" orang lain, menunjukkan bahwa

kejahatan pembunuhan adalah suatu tindak pidana materiil, yaitu suatu tindak

pidana yang melarang menimbulkan akibat tertentu (akibat yang dilarang atau

akibat konstitutif / constitutief gevolg). Dalam tindak pidana pembunuhan

harus ada hubungan diantara perbuatan yang dilakukan itu dengan kematian

orang tersebut. Pada saat timbul akibat hilangnya nyawa tidaklah harus

seketika atau tak lama setelah perbuatan, melainkan dapat timbul beberapa

lama kemudian. Jadi kematian atau akibat itu harus disebabkan oleh perbuatan

itu.

ii) Pembunuhan yang Diikuti, Disertai, atau Didahului oleh tindak Pidana Lain

(Pasal 339 KUHP)

Pembunuhan yang dimaksud ini adalah sebagaimana yang dirumuskan dalam

Pasal 339 KUHP, yang berbunyi:

“Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh sesuatu perbuatan


pidana yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau
mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun
peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk
memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum,
diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama dua juluh tahun”.

Dari rumusan tersebut, dapat diketahui unsur-unsurnya, sebagai berikut:


63

a) Semua unsur pembunuhan (obyektif dan subyektif) Pasal 338.

b) Yang diikuti, disenai, atau didahului oleh tindak pidana lain.

c) Pembunuhan itu dilakukan dengan maksud:

(1) Untuk mempersiapkan tindak pidana lain yang dilakukan sesudah

pembunuhan itu. Sengaja membunuh sebagai persiapan untuk perbuatan

pidana lain. Pembunuhan itu diikuti oleh perbuatan pidana lain.

(2) Untuk mempermudah pelaksanaan tindak pidana lain. Pembunuhan itu

bersamaan atau disertai dengan perbuatan pidana lain. Sengaja

membunuh untuk memudahkan perbuatan pidana lain.

(3) Dalam hal tertangkap tangan ditujukan untuk menghindarkan diri sendiri

maupun peserta lainya dari pidana atau untuk memastikan penguasaan

benda yang diperolehnya secara melawan hukum atau supaya apa yang

didapat dari perbuatan itu tetap akan ada di tangannya.

Kejahatan pokok yang terdapat dalam Pasal 339 KUHP adalah pembunuhan

yang diperberat (gequlificeerde doodslag). Sifat yang memberatkan pidana dalam

bentuk pembunuhan khusus ini terletak pada unsur b) dan c).

Dalam pembunuhan yang diperberat ini terdapat dua tindak pidana sekaligus,

yaitu tindak pidana pembunuhan dalam bentuk pokok (Pasal 338 KUHP) dan

tindak pidana lain (selain pembunuhan). Tindak pidana lain itu tidak boleh baru

percobaan, namun harus terjadi. Adanya unsur diikuti, disertai, atau didahului

oleh tindak pidana lain, menunjukkan bahwa tindak pidana lain itu harus sudah
64

terjadi. Apabila tindak pidana lain itu baru merupakan percobaannya, sedangkan

pembunuhannya telah terjadi, maka yang terjadi adalah percobaan pembunuhan.

Kata "diikuti" dimaksudkan, diikuti kejahatan lain. Pembunuhan itu

dimaksudkan untuk mempersiapkan dilakukannya kejahatan lain. Kata "disertai"

dimaksudkan, disertai kejahatan lain. Pembunuhan itu dimaksudkan untuk

mempermudah terlaksananya kejahatan lain itu. Kata "didahului" dimaksudkan,

didahului kejahatan lainnya atau menjamin agar pelaku kejahatan tetap dapat

menguasai barang-barang yang diperoleh dari kejahatan.

Dalam Pasal 339 terdapat hubungan yang erat (yang bersifat subyektif)

antara pembunuhan dengan tindak pidana lain itu. Hal ini tampak dari adanya

kalimat "dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah

pelaksanaannya". Artinya pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempermudah

atau mempersiapkan tindak pidana lain. Unsur maksud itu menghubungkan antara

pembunuhan itu dengan tindak pidana lain (subyektif). Secara obyektif, apakah

pembunuhan yang dilakukan itu benar-benar memberi kemudahan dalam

melaksanakan tindak pidana lain, dan itu merupakan hal yang tidak penting.

Unsur obyektif dalam Pasal 339 KUHP terdapat pada unsur/ perkataan

diikuti, disertai, atau didahului, yang ditempatkan antara unsur pembunuhan

dengan tindak pidana (lain). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan (obyektif)

yang erat antara pembunuhan dengan tindak pidana lain. Dari sudut obyektif,

perkataan mempersiapkan menunjukkan bahwa pembunuhan itu adalah sebagai

langkah awal untuk melakukan tindak pidana lain, artinya pembunuhan itu
65

dilakukan terlebih dahulu. Kenyataan dilakukannya pembunuhan itu sebelum

melakukan tindak pidana lain ini bersifat obyektif dan harus dibuktikan.

Mempersiapkan adalah dituju oleh unsur maksud, dan dalam hal ini yang harus

dibuktikan adalah:

a) Secara obyektif, bahwa pembunuhan itu dilakukan terlebih dahulu dari tindak

pidana lain.

b) Secara subyektif . maksud yang terkandung dalam batin terdakwa adalah

sebagai maksud untuk mempersiapkan tindak pidana lain. Walaupun

keduanya bisa dibedakan, namun tidak bisa dipisahkan. Unsur subyektif

dalam Pasal 339 KUHP terdapat pada unsur/ perkataan dengan maksud. Hal

ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang bersifat subyektif (hubungan

alam batin pelaku) antara pembunuhan dengan tindak pidana lain tersebut.

Adanya hubungan obyektif maupun hubungan subyektif antara pembunuhan

dengan tindak pidana lain, dapat dilihat dari perkataan atau unsur-unsur: dikuti,

disertai, atau didahului dan dengan maksud untuk mempersiapkan dan seterusnya.

a) Dari unsur diikuti dan maksud mempersiapkan Apabila pembunuhan itu

diikuti (gevolgd) oleh tindak pidana lain, yang artinya pembunuhan itu

dilakukan terlebih dahulu, baru kemudian tindak pidana lain, maka maksud

untuk melakukan pembunuhan itu adalah untuk mempersiapkan tindak pidana

lain itu.

b) Dari unsur disertai dan maksud mempermudah Apabila pembunuhan itu

disertai (vergezeld) oleh tindak pidana lain, yang artinya bahwa pelaksanaan
66

pembunuhan dengan pelaksanaan tindak pidana lain terjadi secara

berbarengan/serentak, maka maksud melakukan pembunuhan itu ditujukan

pada hal mempermudah atau memperlancar pelaksanaan tindak pidana lain.

Unsur/perkataan disertai, menunjukkan bahwa ada hubungan yang bersifat

obyektif antara pembunuhan dengan tindak pidana lain. Membuktikan

hubungan ini adalah membuktikan bahwa pelaksanaan kedua kejahatan itu

secara berbarengan. Unsur perkataan maksud (untuk mempermudah),

menunjukkan adanya hubungan yang bersifat subyektif antara pembunuhan

dengan tindak pidana lain. Dilakukannya pembunuhan dimaksudkan untuk

memudahkan dalam melakukan tindak pidana lain itu. Apabila pembunuhan

itu benar-benar secara obyektif berperan untuk mempermudah atau

memperlancar pelaksanaan tindak pidana lain itu, dalam hal ini tidaklah

penting dan tidak perlu untuk dibuktikan. Sebab keadaan obyektif itu bukan

merupakan syarat atau unsur, yang merupakan syarat adalah maksudnya saja

yaitu maksud untuk mempermudah.

c) Dari unsur didahului dan maksud melepaskan diri dan seterusnya Apabila

pembunuhan itu didahului (voorafgegaan) oleh tindak pidana lain, dalam hal

ini tindak pidana lain itu dilakukan lebih dahulu daripada pembunuhan, maka

maksud melakukan pembunuhan itu adalah dalam hal tertangkap tangan

ditujukan:

(1) untuk menghindari dirinya sendiri maupun peserta lainnya dari pidana;
67

(2) untuk memastikan penguasaan benda yang diperolehnya dari tindak pidana

lain.

Adanya hubungan yang bersifat obyektif, adalah bahwa pembunuhan itu

didahului oleh tindak pidana lain, artinya dilakukan setelah melakukan tindak

pidana lain, dan keadaan inilah yang harus dibuktikan. Sedangkan apa peranan

pembunuhan itu terhadap tindak pidana lain, tidak ada, karena tindak pidana lain

itu sudah selesai dilaksanakan. Di sini tidak ada hubungan secara obyektif.

Hubungan subyektif terdapat dalam perkataan unsur dengan maksud untuk

melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dan seterusnya, dan

unsur ini harus dibuktikan.

Perkataan melepaskan diri dari pidana mempunyai arti bahwa maksud pelaku

membunuh ditujukan agar ia maupun peserta lainnya tidak dapat ditangkap,

diadili, dan dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana lain itu. Timbulnya

maksud yang demikian tersebut harus:

(1) sebelum atau setidak-tidaknya pada saat mewujudkan perbuatan

menghilangkan nyawa;

(2) pada saat berada dalam hal tertangkap tangan (obyektif). Peserta lain yang

dimaksud adalah orang lain yang ikut terlibat bersama (dengan dirinya)

dalam hal melakukan tindak pidana lain, bukan terlibat dalam pembunuhan.

Mereka hanya dipersalahkan atas perbuatan pidana yang lainnya saja. Yang

dimaksud tertangkap tangan menurut Pasal 339 KUHP adalah pada saat
68

seseorang sedang dalam melakukan tindak pidana ia diketahui oleh orang

lain sebagai yang melakukan tindak pidana itu.

Dalam Pasal 339 KUHP terdapat hubungan antara unsur maksud (kesalahan)

dengan unsur tertangkap tangan, yaitu bahwa dalam hal pembunuhan yang

didahului oleh tindak pidana lain, dan dalam melakukan tindak pidana lain itu

tertangkap tangan, ia melakukan pembunuhan, maka pembunuhan itu dilakukan

dengan maksud yang ditujukan untuk memastikan penguasaan benda yang

diperolehnya secara melawan hukum. Maksud dari memastikan adalah agar ia

tetap dapat menguasai benda yang diperoleh secara melawan hukum. Diperoleh

secara melawan hukum artinya benda itu didapatnya dari melakukan tindak

pidana lain itu, dalam hal ini adalah tindak pidana mengenai harta benda,

misalnya pencurian, pemerasan, dan sebagainya. Tindak pidana yang ada dalam

Pasal 339 KUHP ada dua, yaitu pembunuhan dan tindak pidana lain selain

pembunuhan. Orang yang dipertanggungjawabkan atas pembunuhan (339) adalah

hanya bagi orang yang melaksanakan pembunuhan itu atau orang yang

perbuatannya mempunyai andil (misalnya pelaku peserta atau pelaku pembantu)

terhadap pembunuhan ketika pembunuhan itu berlangsung. Sedangkan bagi orang

lain yang tidak ikut terlibat secara aktif atau fisik dengan pembunuhan itu, ia

hanya dipertanggungjawabkan atas tindak pidana lain yang dilakukannya saja.

iii) Pembunuhan Berencana (moord)


69

Pembunuhan berencana adalah pembunuhan yang paling berat ancaman

pidananya dari seluruh bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia. Pembunuhan

berencana diatur dalam Pasal 340 KUHP, yang rumusannya adalah:

"Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu

menghilangkan nyawa orang lain, dipidana karena pembunuhan dengan

rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama

waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun".

Dari rumusan tersebut dapat diketahui unsur-unsurnya sebagai berikut:

a) Unsur subyektif

(1) Dengan sengaja, yaitu kesengajaan yang harus disertai dengan suatu

perencanaan terlebih dahulu;

(2) Dengan rencana terlebih dahulu.

b) Unsur obyektif

(1) Perbuatan menghilangkan nyawa;

(2) Obyeknya: nyawa orang lain.

Pembunuhan yang terdapat dalam Pasal 340 KUHP ini adalah pembunuhan

yang dilakukan dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu dalam keadaan

tenang untuk menghilangkan nyawa orang lain. Berencana disini meliputi

bagaimana cara pelaksanaan pembunuhan, alat atau sarana yang akan digunakan,

tempat atau lokasi akan dilaksanakannya pembunuhan, waktu pelaksanaannya,

atau bahkan cara pelaku pembunuhan berencana untuk meghilangkan jejak,

misalnya: dengan membuang alat atau sarana yang digunakan untuk melakukan
70

kejahatan, memakai sarung tangan agar tidak meninggalkan sidik jari pelaku

ataupun dengan membuang mayat korban di tempat yang dirasakan aman.

Para perancang KUHP (WvS) menganggap bahwa pembunuhan berencana

adalah kejahatan yang sangat menyinggung asas-asas kemanusiaan yang adil dan

beradab. Dalam pembunuhan berencana ini diperlukan suatu akal licik atau niat

yang sangat jahat, alat atau sarana yang memadai, waktu yang tepat serta motif

yang kuat untuk menggerakkan seseorang untuk melakukan pembunuhan yang

keji. Oleh karena itu, ancaman pidana pada pembunuhan berencana, lebih berat

dibandingkan dengan pembunuhan dalam Pasal 338 maupun 339.

Hal ini diletakkan pada adanya unsur dengan rencana terlebih dahulu.

Pembunuhan berencana diancam dengan pidana mati untuk melindungi

ketemtaman dan kesejahteraan umum. Menurut M. Sudrajat Bassar, unsur-unsur

yang terdapat dalam kejahatan pembunuhan berencana ini adalah sebagai berikut:

a) Adanya kesengajaan (dolus premidilalus), yaitu kesengajaan yang harus

disertai dengan suatu perencanaan terlebih dahulu;

b) Yang bersalah di dalam keadaan tenang memikirkan untuk melakukan

pembunuhan itu dan kemudian melakukan maksudnya dan tidak menjadi soal

berapa lama waktunya;

c) Di antara saat timbulnya pikiran untuk membunuh dan saat melakukan

pembunuhan itu, ada waktu ketenangan pikiran. Pembunuhan berencana

berbeda dengan pembunuhan biasa


71

(Pasal 338). Dalam pembunuhan biasa, pelaku mempunyai pikiran untuk

membunuh itu timbul dalam keadaan marah, dan keharuan itu berlangsung terus

sampai ia melaksanakan pembunuhan itu, maka dalam hal ini tidak ada

perencanaan yang dipikirkan dalam hati yang tenang.6

Unsur dengan rencana terlebih dahulu pada dasarnya mengandung tiga

syarat/unsur, yaitu:

a) Memutuskan kehendak dalam suasana tenang;

b) Tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan

pelaksanaan kehendak;

c) Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang.

Tiga unsur tersebut bersifat kumulatif, saling berhubungan, dan merupakan

suatu kebulatan yang tidak terpisahkan. Apabila sudah terpisah/terputus, maka

sudah tidak ada lagi dengan rencana terlebih dahulu. Untuk dapat diterimanya

suatu rencana terlebih dahulu, maka perlu adanya suatu tenggang waktu pendek

atau panjang dalam mana dilakukan pertimbangan dan pemikiran yang tenang.

Pelaku harus dapat memperhitungkan makna dan akibat-akibat perbuatannya,

dalam suatu suasana kejiwaan yang memungkinkan untuk berfikir.

Memutuskan kehendak dalam suasana tenang adalah pada saat memutuskan

kehendak untuk membunuh itu dilakukan dalam suasana (batin) yang tenang.

Suasana (batin) yang tenang adalah suasana tidak tergesa-gesa atau tiba-tiba, tidak

dalam keadaan terpaksa dan emosi yang tinggi. Tanda-tandanya adalah sebelum
72

memutuskan kehendak untuk membunuh itu, telah dipikir dan dipertimbangkan,

telah dikaji untung dan ruginya.

Pemikiran dan pertimbangan seperti ini hanya dapat dilakukan apabila ada

dalam suasana tenang sebagaimana waktu ia memikirkan dan mempertimbangkan

dengan mendalam itulah ia akhiraya memutuskan kehendak untuk berbuat.

Sedangkan perbuatannya tidak diwujudkan ketika itu. Pembunuhan berencana

adalah pembunuhan yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu secara

tenang. Unsur perancangan ini tidak perlu ada tenggang waktu lama antara waktu

merancangkan dan waktu melakukan perbuatan pembunuhan.

Sebaliknya, walaupun ada tenggang waktu yang tidak begitu pendek, belum

tentu dapat dikatakan ada rancangan lebih dahulu secara tenang. Semua

tergantung dari keadaan konkret dan setiap peristiwa. Antara timbulnya niat untuk

membunuh dengan pelaksanaannya itu harus masih ada waktu si pembuat untuk

dengan tenang memikirkan, misalnya dengan cara bagaimana pembunuhan itu

akan dilakukan.

Unsur waktu dalam pembunuhan berencana ini tidak boleh terlalu sempit,

akan tetapi sebaliknya juga tidak perlu terlalu lama. Yang penting disini adalah

apakah di dalam waktu itu si pembuat dengan tenang masih dapat berfikir-fikir,

yang sebenarnya ia masih ada kesempatan untuk membatalkan niatnya akan

membunuh itu, akan tetapi ia tidak mempergunakannya.

Unsur yang berupa pelaksanaan pembunuhan dilakukan dalam suasana

(batin) tenang merupakan unsur yang terpenting. Maksudnya suasana hati pada
73

saat melaksanakan pembunuhan itu tidak dalam suasana yang tergesa-gesa,

amarah tinggi, rasa takut yang berlebihan, dan lain sebagainya.


128
Moeljatno, Op. Cit. h.60
2 8
Lihat cara pencantuman unsur-unsur dan kulifikasi tindak pidana, dalam Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, h. 116
3
Ibid. h.112,
4
Lamintang, Op. Cit. hal. 588
5
Simons, Leerboek II, dalam Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Sinar Baru
Bandung1989, hlm. 46
6
(M. Sudrajat Bassar, 1986: 124):

Anda mungkin juga menyukai