Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Helicobacter pylori (Hp) adalah bakteri batang gram negatif yang secara alami telah
berkolonisasi selama lebih dari 50.000 tahun pada manusia dan mungkin sepanjang evolusi
manusia. Helicobacter pylori hidup di mukosa gaster manusia, dengan menempel di mukosa dan
dalam jumlah yang sangat sedikit masuk ke dalam sel atau penetrasi ke dalam mukosa, namun
distribusinya jarang sistemik (Longo et al, 2013). Lebih dari 90% populasi di negara
berkembang dan setengah populasi dunia telah terinfeksi Hp (Khalilpour et al, 2016). Tingkat
prevalensi infeksi Hp selama dekade pertama dan dekade keenam kehidupan di negara-negara
industri (Eropa Barat dan Amerika Utara) sekitar 10% dan 60% (Longo et al, 2016). Syam et al,
pada tahun 2003 melakukan penelitian pada beberapa center di Indonesia pada 550 pasien
dengan dispesia yang menjalani endoskopik dan didapatkan prevalensi infeksi Hp ditemukan
sebesar 10,2% (Simadibrata et al, 2014).

Helicobacter pylori dapat menyebabkan terjadinya gastritis, ulkus peptikum, dan kanker
gaster. Kebanyakan individu dapat mentolerir keberadaan Hp dengan sedikit gejala atau bahkan
tanpa gejala (Tille, 2017). Helicobacter pylori pada beberapa individu dapat berkembang
menjadi berbagai penyakit dengan beragam gejala, bergantung pada strain bakteri yang berbeda,
kerentanan lingkungan host, dan faktor lingkungan (Longo et al, 2013).

Diagnosis Hp dibedakan menjadi dua kelompok: pemeriksaan invasif yang membutuhkan


biopsi jaringan dari endoskopi dan pemeriksana non-invasif (Longo et al, 2013). Berbagai jenis
pemeriksaan sudah tersedia namun masing-masing pemeriksaan memiliki kekurangan dan
kelebihan. Urea Breath Test (UBT) dipercaya sebagai pemeriksaan yang spesifik namun adanya
penelitian bahwa terdapat banyak jenis bakteri lain di gaster yang juga memproduksi urease
sehingga pemeriksaan UBT masih dipertanyakan akurasinya (Patel et al, 2014). Pemeriksaan
histologi dan Rapid Urea Test (RUT) yang diambil dari jaringan biopsi merupakan tindakan
invasif, memiliki harga yang cukup tinggi dan membutuhkan personel yang terlatih untuk
menginterpretasi histologi. Kultur Hp dari jaringan biopsi sulit dilakukan, membutuhkan waktu
yang lama dan memiliki sensitivitas yang lemah karena Hp merupakan bakteri dengan
pertumbuhan yang lama (Shady et al, 2015). Pemeriksaan serologi Hp memiliki beberapa
keuntungan dimana pemeriksaan ini tidak invasif dan tidak didapatkan hasil yang negatif palsu
pada pasien dengan terapi PPI ataupun antibiotik (Shady, 2015).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Helicobacter Pylori

Helicobacter pylori (Hp) merupakan bakteri batang gram negatif, berbentuk batang

sampai spiral. Helicobanter pylori membutuhkan oksigen untuk hidup namun dalam jumlah yang
sedikit dibandingkan dengan oksigen di lingkungan (micro-aerophilic) dan membutuhkan

karbondioksida untuk berkembang biak (Greenwood et al, 2013).

Helicobacter pylori memiliki multipel flagela unipolar berselubung. Motilitas

menyebabkan Hp dapat keluar dari keasaman pH lambung dan menggali ke dalam mukosa

membentuk kolonisasi (Gambar 2.1b) (Greenwood et al, 2015). Adhesin pada Hp digunakan

untuk kolonisasi pada permukaan mukosa, mediator inflamasi dan sebagai sitotoksin yang dapat

merusak sel host (Gambar 2.1 a) (Tille, 2017).

Gambar 1 Faktor virulensi Hp.

(a) struktur dari Hp (b) motilitas Hp (Struthers and Westran, 2005)

Helicobacter pylori dapat memproduksi urease yang dapat menghidrolisis urea

membentuk ammonia (NH3) yang secara signifikan akan meningkatkan pH di sekeliling Hp dan

membuatnya dapat bertahan dari asam lambung (Gambar 2.1a) (Tille, 2017). Helicobacter pylori

juga dapat memproduksi protein yang disebut CagA dan diinjeksikan ke dalam sel epitel gaster

yang kemudian akan mempengaruhi ekspresi gen sel host, mengiduksi sitokin, mengganggu
struktur sel, dan berinteraksi dengan sel tetangga, sehingga Hp akan dapat menginvasi epitel

gaster (Tille, 2017).

2.2 Helicobacter pylori pada Sindroma Dispepsia

Helicobacter pylori dapat ditemukan pada air yang terkontaminasi, menyebar secara

fekal-oral dan transmisi langsung dari manusia ke manusia. Kolonisasi Hp tidak menyebabkan

sekuel klinis yang bermakna, namun pada beberapa individu, dapat menyebabkan penyakit

tergantung pada strain bakteri, kerentanan host, dan faktor lingkungan (Gambar 2.1) (Longo et

al, 2013).

Gambar 2. Faktor yang Berkontribusi pada infeksi Hp.

Kolonisasi Hp dapat menyebabkan kerusakan jaringan melalui beberapa mekanisme. Hp

memiliki urease yang dapat menghidrolisis urea dan menghasilkan NH3 yang dapat menetralisir

asam lambung sehingga Hp dapat bertahan hidup dan berkolonisasi. Hp yang berkoloni pada

individu dengan hipokloridia atau akloridia dapat merusak jaringan dengan menghasilkan

sitotoksin dan fosfolipase (Gambar 2.3) (Khalilpour et al, 2016). Kolonisasi Hp menginduksi
pembentukan formasi mucosa-associated lymphoid tissue (MALT) dan infiltrasi sel PMN dan

menghasilkan gastritis aktif (Greenwood et al, 2012).

Beberapa strain Hp memiliki CagA, protein spesifik yang dapat mempengaruhi

transduksi sinyal dari sel host, menginduksi proliferatif dan inflamasi dan merubah sitoskeletal

sel host yang dapat meningkatkan produksi asam lambung yang dapat merusak jaringan dan

apoptosis jaringan. Sel-sel inflamasi kemudian akan melepaskan radikal bebas yang juga dapat

menyebabkan kerusakan jaringan. (Longo et al, 2013 and Kalilpour et al, 2016). Hp juga dapat

menginduksi autoantibodi dan menghancurkan parietal sel (Kalilpour et al, 2016).

2.3 Epidemiologi Helicobacter pylori

Di Indonesia, data prevalensi infeksi Hp pada pasien ulkus peptikum (tanpa riwayat

pemakaian obat-obatan anti-inflamasi non-steroid/OAINS) bervariasi dari 90-100% dan untuk

pasien dyspepsia fungsional sebanyak 20-40% dengan berbagai metode diagnostik (pemeriksaan

serologi, kultur, dan histopatologi). Prevalensi infeksi Hp pada pasien dyspepsia yang menjalani

pemeriksaan endoskopik di berbagai rumah sakit pendidikan di Indonesia (2003-2004)

ditemukan sebesar 10,2%. Prevalensi yang cukup tinggi ditemui di Makasar tahun 2011 (55%),

Solo tahun 2008 (51,8%), Yogyakarta (30,6%) dan Surabaya tahun 2013 (23,5%), serta

prevalensi terendah di Jakarta (8%) (PGI & KSHPI, 2014).


Gambar 3 Skema patogenesis Hp.

a. Mekanisme infeksi Hp (i) Lokasi Hp di gaster manusia (ii) Gambaran mikroskopik lokasi
Hp (iii) Gambaran mikroskopik Hp di mukosa dan permukaan sel epitel (iv) Ulkus gaster

dan duodenum

b. Mekanisme pathogenesis Hp

2.4 Diagnosis Helicobacter pylori

Sejumlah tes dengan akurasi dan sensitivitas yang beragam telah dikembangkan untuk

mendiagnosis infeksi H. pylori. Tes ini dapat dipisahkan menjadi pendekatan invasif dan

noninvasif, tergantung pada apakah diperlukan endoskopi. Pilihan tes tergantung pada faktor-

faktor seperti situasi klinis, ketersediaan, biaya, kemungkinan infeksi sebelum pemeriksaan
dilakukan, prevalensi infeksi pada populasi, penggunaan antibiotik yang dapat mempengaruhi

hasil tes, dan lain-lain. Uji invasif biasanya digunakan untuk yang memiliki gejala yang

mengindikasikan penyebab masalah serius. Pada orang dewasa, kondisi seperti usia lanjut,

anemia, muntah terus-menerus, riwayat gejala yang lama, penurunan berat badan yang persisten

atau kurang nafsu makan, pendarahan gastrointestinal, atau sakit perut parah yang

mengindikasikan adanya ulkus dengan komplikasi mungkin memerlukan pemeriksaan

menyeluruh ini. Jenis tes ini tidak hanya mendiagnosis jumlah kerusakan pada lambung tetapi

juga memungkinkan klinisi untuk secara langsung mangambil sampel jaringan untuk

diperiksakan ada tidaknya organisme H. pylori. Uji noninvasif dapat mengidentifikasi H. pylori
dalam sampel, namun tidak menunjukkan jumlah kerusakan jaringan. (Kalilpour et al, 2016)

Uji invasif antara lain histologi, Rapid Urease Test (RUT), kultur mikrobiologi, dan

polymerase chain reaction (PCR) memerlukan tindakan endoskopi dan juga dikenal dengan tes

berbasis biopsi. Uji non-invasif yaitu stool antigen test, serologi, dan urea breath test (UBT).

(Talebi Bezmin Abadi A, 2018)

Pewarnaan histopatologi tetap menjadi salah satu metode terbaik untuk mendeteksi

infeksi H. pylori, dan bersamaan dengan pengamatan visual dengan endoskopi, dapat

memberikan informasi penting berdasarkan kondisi patologis lambung. Kelemahan endoskopi

adalah mahal, tidak menyenangkan bagi pasien, dan membutuhkan operator yang khusus untuk

melakukan pemeriksaan. Endoskopi terlalu mahal dalam beberapa kasus untuk digunakan

sebagai tes diagnostik rutin untuk pasien dengan keluhan pada lambung. Selain itu, kesalahan

sampling dapat terjadi dan menyebabkan hasil negatif palsu yang dapat menyebabkan diagnosis
yang tidak akurat.

Gambar 4. Gambaran histopatologi Hp

Kultur bakteri merupakan salah satu pilihan untuk mendeteksi keberadaan H. pylori.

Kultur H. pylori yang sukses adalah standar emas untuk diagnosis. Salah satu kelebihan

diagnosis kultur adalah uji kepekaan antibiotik yang dapat dilakukan pada kasus resistensi

antibiotik namun media yang digunakan untuk pembiakan H. pylori mahal, ditambah dengan

kondisi khusus untuk perawatan, dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan

hasilnya lambat dibandingkan metode lainnya. Hp merupakan organisme fastidious yang


membutuhkan media kaya nutrisi seperti Columbia Blood Agar. Pertumbuhan Hp lambat sekitar

5-7 hari sampai mencapai pertumbuhan yang optimal dan membutuhkan sedikit oksigen serta 5-

10% karbondioksida untuk berkembang biak (kondisi microaerophilic). Koloni yang ditemukan

pada sediaan agar berbentuk bulat, kecil, dan transparan. Identifikasi Hp dapat dilakukan dengan

konfirmasi urease, katalase dan oksidase positif dan pada mikroskopik didapatkan morfologi

spiral gram negatif. (Blanchard, 2012)

Gambar 5. Morfologi koloni Hp

Rapid urease test (RUT) digunakan untuk mendeteksi enzim urease H. pylori pada sel

lambung. Sampel biopsi kecil ditempatkan dalam botol uji yang berisi larutan RUT dan

diinkubasi semalaman pada suhu 37 ° C. Sampel kemudian diamati untuk perubahan warna dari

kuning ke merah muda yang mengindikasikan hasil positif. Ada beberapa versi tes ini yang

cukup sensitif dan spesifik untuk H. pylori, namun jumlahnya bervariasi dalam jumlah waktu

yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasilnya. Metode ini paling efisien dan terjangkau untuk

digunakan sebagai prosedur diagnostik rutin. Hasil positif palsu pada pemeriksaan ini dapat

disebabkan oleh adanya organisme lain yang mengandung urease seperti Proteus mirabilis,
Citrobacter freundii, Klebsiella pneumonia, Enterobacter cloacae, dan Staphylococcus aureus.

Apabila jumlah bakteri pada sampel tidak banyak dan bila ada penyebab-penyebab lain yang

menyebabkan penurunan jumlah bakteri seperti penggunaan antibiotik, bismuth, atau PPI dapat

menyebabkan hasil negatif palsu. Bila sudah mendapatkan terapi PPI, pemeriksaan RUT

direkomendasikan sekitar dua minggu setelah terapi dihentikan. (Uotani et al, 2014)

Gambar 6. Rapid Urease Test

PCR adalah teknik molekuler yang paling umum digunakan untuk diagnosis H. pylori,

walaupun belum distandarisasi. Belum ada upaya yang dilakukan sejauh ini untuk membakukan

proses preparasi sampel atau amplifikasi PCR itu sendiri. Laboratorium menggunakan metode

in-house yang berbeda yang sering memiliki sensitivitas dan tingkat kepercayaan yang

bervariasi. PCR telah berhasil dilakukan untuk mengidentifikasi DNA H. pylori pada jaringan

lambung dengan mengamplifikasi gen antigenik seperti gen urease, gen adhesin, dan gen 16S

rRNA. Target yang sangat spesifik untuk diagnosis PCR dari H.pylori adalah gen 16S rRNA.

Gen ini adalah target umum yang mengkonfirmasi infeksi H. pylori dan sebelumnya telah

digunakan untuk membantu reklasifikasi organisme. Urease adalah target spesifik untuk

mendeteksi infeksi H. pylori, dan amplifikasi positif DNA spesifik bakteri dapat dianggap

sebagai bukti langsung adanya patogen. Gen ini secara rutin diperoleh dari sampel klinis seperti
darah, jaringan biopsi, feses, air liur, whole blood, dan kultur untuk tujuan diagnostik, namun

spesifisitas dan sensitivitas diagnosis bervariasi, sesuai dengan persiapan sampel yang berbeda

dan berbagai kondisi laboratorium. Metode PCR Monoplex, multiplex, dan nested berguna untuk

mengidentifikasi H. pylori secara spesifik pada sampel biologis. Teknik PCR real-time

kuantitatif (Q) adalah teknik yang lebih maju dibandingkan metode konvensional lainnya untuk

diagnosis klinis H. pylori, namun teknik ini membutuhkan endoskopi untuk mendapatkan sampel

biopsi. Banyak rangkaian primer telah dilaporkan untuk menargetkan H. pylori, yang sebagian

besar ditargetkan pada urutan nukleotida RNA subunit kecil yang mengandung daerah spesifik

spesies. Rangkaian primer lain menargetkan urutan DNA UreA, UreB, UreC, dan VacA yang
sangat repetitif. (Kalilpour et al, 2016)

Tes yang menarik untuk mendeteksi H. pylori adalah urea breath test. Metode ini adalah

pilihan noninvasif untuk diagnosis H. pylori sebelum dan sesudah perawatan. Urea breath test

menggunakan teori bahwa H. pylori menghasilkan urease, enzim yang memetabolisme urea

menjadi amonia dan karbon dioksida (CO2). Untuk tes ini, pasien menelan tablet yang

mengandung sejumlah kecil urea berlabel 13C. 13C adalah bentuk nonradioaktif dari karbon

yang sedikit lebih berat dari pada karbon biasa. 13-CO2 diserap melalui lapisan perut dan dibawa

ke sistem peredaran darah. Setelah 20 menit, sampel napas dianalisis dengan mesin. Pasien tanpa

infeksi H. pylori akan menghasilkan sedikit atau tidak ada 13-CO2, dan urea akan diekskresikan

dalam feses dan urine. Urea breath test dikenal sebagai standar baku untuk deteksi in vivo

infeksi H. pylori dan juga merupakan cara yang baik untuk mengevaluasi apakah terapi H. pylori

telah berhasil memberantas organisme tersebut. Namun, tes ini mungkin kurang dapat

diandalkan untuk anak-anak karena rendahnya produksi CO2 pada anak dibandingkan dengan

orang dewasa.

Tes antigen feses adalah metode diagnosis non-invasif antigen H. pylori pada feses

pasien yang dicurigai memiliki infeksi H. pylori aktif. Studi telah membuktikan keakuratan uji

antigen feses dengan menggunakan H. pylori stool antigen (HpSA) test untuk mendeteksi infeksi

H. pylori. Tes ini sangat sensitif, presisi, dan sangat baik untuk mendiagnosis infeksi pada anak-
anak yang tidak mampu melakukan UBT. Namun demikian, beberapa penelitian telah

menunjukkan hasil false negative yang meningkat untuk tes antigen feses selama terapi proton

pump inhibotor (PPI). Proton pump inhibitor seperti omeprazole atau lansoprazole adalah

kelompok obat yang bekerja dengan mengurangi jumlah asam lambung yang dibuat oleh kelenjar

di lapisan lambung, penghambat sekresi asam yang paling baik yang tersedia. Metode tes antigen

feses ini ada 2 jenis, yaitu enzyme immunoassay (EIA) dan immunokromatografi (ICT).

(Kalilpour et al, 2016)

Infeksi H. pylori merangsang respon imun yang kuat yang menghasilkan produksi

antibodi. Antibodi spesifik terhadap H. pylori dalam serum, whole blood, air liur, dan feses dapat
dideteksi menggunakan metode serologi seperti enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

dan western blotting. Tes antibodi yang positif bersamaan dengan gejala dispepsia cukup

meyakinkan klinisi untuk meresepkan terapi antibiotik untuk mengeradikasi infeksi H. pylori.

Kelemahan tes darah adalah adanya antibodi dalam sirkulasi selama beberapa bulan sampai

tahun setelah tidak adanya infeksi dapat menghasilkan misdiagnosis dan terapi yang tidak tepat

akibat hasil pemeriksaan serologi yang positif palsu. (Kalilpour et al, 2016)

Selain itu, ada pula tes serologi. Pemeriksaan ini merupakan tes imunokromatografi yang

digunakan untuk deteksi cepat antibodi IgG terhadap H. pylori dalam serum, plasma, atau whole

blood manusia. Alat tersebut dipakai sebagai tes diagnosis klinis untuk mendiagnosis infeksi H.

pylori pada pasien dengan gangguan lambung. Sebagai tambahan, adanya antibodi terhadap

current infection marker (CIM) rekombinan mengindikasikan infeksi saat ini. Rapid Test

merupakan pemeriksaan imunokromatografi fase padat tidak langsung dimana antibodi dalam

sampel serum, plasma, atau whole blood membentuk kompleks antibodi-antigen dengan antigen

H. pylori immobilized pada membran. Ikatan kompleks antibodi-antigen kemudian dideteksi oleh

IgG anti-human yang telah dikonjugasikan dengan colloidal gold. Garis kontrol mengandung

protein A yang berikatan dengan IgG manusia dan IgG anti-human – colloidal gold conjugate

yang mengindikasikan perlakuan sampel yang benar.


Masing-masing pemeriksaan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang berbeda-beda.

Khalifehgholi et al melakukan penelitian yang membandingkan lima metode diagnostik untuk

Hp dengan standar baku emas apabila ditemukan hasil positif pada 2 dari 3 pemeriksaan yaitu

RUT, PCR, dan histologi. Pada hasil penelitian tersebut didapatkan sensitivitas yang terbaik pada

histologi dan RUT, yaitu masing-masing 95.6%. Untuk spesifisitas yang tertinggi pada RUT,

yaitu mencapai 100%. Sedangkan untuk sensitivitas yang paling rendah pada pemeriksaan stool

antigen test (73.9%) dan spesifisitas pada serologi (55.6%).

Tabel 1. Perbandingan lima metode pemeriksaan Hp


BAB III
RANGKUMAN

Helicobacter pylori (Hp) merupakan bakteri batang gram negatif, berbentuk batang

sampai spiral, bersifat microaerophilic.

Diagnosis Hp dibedakan menjadi dua kelompok: pemeriksaan invasif yang membutuhkan

biopsi jaringan dari endoskopi dan pemeriksana non-invasif. Uji invasif antara lain histologi,
Rapid Urease Test (RUT), kultur mikrobiologi, dan polymerase chain reaction (PCR)

memerlukan tindakan endoskopi dan juga dikenal dengan tes berbasis biopsi. Uji non-invasif

yaitu stool antigen test, serologi, dan urea breath test (UBT). Sensitivitas yang terbaik pada

histologi dan RUT, spesifisitas yang tertinggi pada RUT. Sedangkan untuk sensitivitas yang

paling rendah pada pemeriksaan stool antigen test dan spesifisitas pada serologi.

Anda mungkin juga menyukai