● Definisi
Infeksi mikobakterium pada kulit akibat penjalaran langsung organ di bawah kulit yang
telah terkena tuberkulosis. Penjalaran ini paling sering berasal dari KGB, tulang atau sendi.
● Etiologi
Skrofuloderma disebabkan oleh infeksi M. Tuberculosis, M. Bovis, M. Atypic. Porte
d'entrée skrofuloderma di daerah leher adalah tonsil atau paru. Porte d'entree diketiak adalah
pada apeks pleura. Terkadang ketiga tempat predileksi terserang sekaligus yakni leher, ketiak,
dan lipatan paha, mengindikasikan kemungkinan besar terjadi penyebaran secara hematogen.
● Manifestasi Klinis
Skrofuloderma awalnya muncul sebagai limfadenitis tuberkulosis berupa pembesaran
KGB tanpa tanda-tanda radang akut. Mula-mula hanya beberapa KGB yang terkena lalu semakin
banyak dan sebagian berkonfluensi. Selain limfadenitis, terdapat juga periadenitis yang
menyebabkan perlekatan KGB tersebut dengan jaringan disekitarnya.
Kemudian kelenjar-kelenjar tersebut mengalami perlunakan, sehingga konsistensinya
kenyal dan lunak (abses dingin). Abses (abses dingin) akan pecah dan membentuk fistel. Muara
fistel meluas hingga menjadi ulkus yang mempunyai sifat khas yakni bentuknya memanjang dan
tidak teratur, di sekitarnya berwarna merah kebiru-biruan (livid), dinding bergaung, jaringan
granulasinya tertutup oleh pus seropurulen atau kaseosa yang mengandung M. tuberculosis, jika
mengering menjadi krusta berwarna kuning. Ulkus-ulkus tersebut dapat sembuh spontan menjadi
sikatriks-sikatriks yang juga memanjang dan tidak teratur. Kadang-kadang di atas sikatriks
terdapat jembatan kulit (skin bridge) yang bentuknya seperti tali dengan kedua ujungnya melekat
pada sikatriks dan sonde dapat dimasukkan di bawahnya.
● Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan munculnya benjolan pada kulit, khususnya pada daerah
predileksi yaitu tempat yang banyak kelenjar getah bening: leher, ketiak, lipat paha. Benjolan
teraba keras dan tidak nyeri. Seiring dengan berjalannya waktu, benjolan menjadi lunak dan
pecah mengeluarkan cairan seperti nanah dan terbentuk ulkus. Keluhan lain yang bisa dialami
pasien adalah demam hilang timbul selama 2 minggu terakhir, meriang, menggigil, penurunan
berat badan, penurunan nafsu makan, batuk, dan terkadang batuk darah. Pada anamnesis,
tanyakan pula riwayat infeksi tuberkulosis paru atau ekstra paru serta riwayat pengobatan
terhadap penyakit tersebut. Selain itu, penting untuk menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan
faktor risiko, seperti status imunitas pasien, kondisi tempat tinggal, adanya penyakit penyerta,
usia, dan gaya hidup.
● Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada skrofuloderma dilakukan melalui inspeksi pada kulit secara
langsung. Pada inspeksi kulit, tampakan klinis yang bisa ditemukan adalah nodul subkutan,
eritema, teraba keras, berbatas tegas, mobile, dan tidak menimbulkan nyeri, gatal, atau perih.
Dalam beberapa bulan, nodul akan membesar dan melunak, kemudian akan pecah dan
membentuk ulkus, sinus, dan fistula. Melalui sinus dan fistula tersebut akan keluar cairan atau
materi kaseosa. Seiring dengan berjalannya waktu, nodul bisa sembuh sendiri dan membentuk
keloid dan atrofi kulit. Lokasi lesi yang tersering adalah leher, aksila, supraklavikula, dan
inguinal.
● Status Dermatologis
Ulkus berbentuk oval, pinggir meninggi, tepi tidak rata, dinding menggaung, dasar kotor,
sekret mukopurulen, tidak berbau. Daerah sekitar ulkus tampak livide dan ditemukan jembatan-
jembatan kulit.
● Diagnosis Banding
Hidradenitis suppurativa, limfogranuloma venereum, limfadenitis lain, limfoma.
● Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan darah tepi: LED meningkat.
- Pemeriksaan tuberkulin: PPD-5TU positif kuat.
- Pemeriksaan bakteriologik: BTA, PCR, atau kultur.
- Pemeriksaan histopatologi jaringan kulit (biopsi kulit): Histopatologis bagian tengah lesi
tampak nekrosis masif dan gambaran tepi abses/dermis terdiri atas granuloma tuberkuloid.
● Terapi
Prinsip pengobatan tuberkulosis kutis termasuk skrofuloderma sama dengan TB paru.
Non Medikamentosa:
- Keadaan umum diperbaiki, misalnya keadaan gizi dan anemia.
Medikamentosa:
- Topikal:
◆ Jika kering diberikan krim, salep antibiotik dan salep minyak ikan
digunakan untuk merangsang pinggir ulkus agar cepat menutup.
- Sistemik:
◆ Streptomisin 40mg/kgBB/hari
◆ INH 20mg/kgBB/hari
◆ Etambutol 25mg/kgBB/hari
Definisi
Karsinoma sel skuamosa (KSS) adalah tumor ganas kulit yang berasal dari sel keratinosit,
dapat bermetastasis, dan berkembang dari ulkus atau radang kronik, prakanker, atau rangsangan
karsinogen tertentu.
Etiologi
Penyebab KSS paling sering adalah sinar matahari. Penyebab lainnya yaitu sinar radiasi;
panas kronik; granuloma kronik, misalnya lupus vulgaris, lupus eritematosus, sifilis, ulkus dan
radang kronik, misalnya sinus dari osteomielitis, hidradenitis supurativa, parut Iuka bakar dan
keadaan imunosupresi. Karsinogen yang dapat menyebabkan KSS, antara lain bahan kimia
hidrokarbon polisiklik aromatik, arsen, dan virus papiloma humanus (HPV) terutama tipe 16 dan
18. KSS dimulai dengan pertumbuhan sel atipik di epidermis berupa karsinoma insitu kemudian
menembus membran basal masuk ke dermis. Selanjutnya, sel tumor ini dapat menyebar ke
kelenjar getah bening dan alat dalam.
Manifestasi klinis
Secara klinis, KSS berupa plak atau tumor teraba padat, dapat verukosa, atau berbenjol-
benjol, dan berulkus. Tepi tumor tidak jelas, dapat melebihi batas yang terlihat. Lokasi tumor
tergantung penyebabnya. Bila penyebabnya sinar matahari, lokasi tersering adalah daerah
terpajan sinar, misalnya wajah dan lengan bawah. Karsinogen zat kimia pada penyapu cerobong
asap menyebabkan tumor pada skrotum. Lokasi KSS di tungkai, disebabkan sering terjadi Iuka
dan jaringan parut dari trauma kronik.
Anamnesis
Pasien umumnya datang dengan ulkus yang tidak kunjung sembuh atau pertumbuhan
abnormal pada daerah yang terpapar sinar matahari. Adanya faktor risiko, misalnya paparan
matahari yang sering dan lama atau penggunaan imunosupresan, juga harus digali.
Progresivitas tumor juga perlu dinilai untuk menentukan agresivitas KSS kulit. Gejala-gejala
yang berkaitan dengan keterlibatan saraf perifer seperti gangguan sensoris, parestesia, kelemahan
otot dan penglihatan kabur juga ditanyakan.
Pemeriksaan Fisik
Gambaran KSS yang paling sering adalah aktinik keratosis yang berubah menjadi
hiperkeratosis, atau basisnya berubah menjadi infiltratif, atau berubah menjadi nyeri dan
ulseratif. Predileksi terbanyak dari KSS adalah area yang sering terekspos matahari, seperti
wajah dan bagian dorsal tangan.
Pada KSS kulit di regio kepala-leher perlu dilakukan evaluasi kelenjar getah bening. Pada
lesi di daerah dahi, kelopak mata, pipi dan telinga perlu dilakukan evaluasi pada kelenjar getah
bening parotis. Pada lesi di daerah bibir dan perioral perlu dilakukan evaluasi pada kelenjar getah
bening submental dan servikal
Status dermatologis
KSS in situ merupakan prekursor dari KSS kulit invasif. KSS in situ biasanya muncul
berupa bercak atau papul merah muda bersisik yang mirip dengan keratosis aktinik. KSS kulit
pada bibir biasanya terletak pada vermilion border bibir bawah. Umumnya lesi ini disertai
dengan actinic cheilitis yang muncul berupa xerosis, fisur, atrofi, dan dispigmentasi.
2. Bowen’s disease
Bowen’s disease adalah KSS in situ dengan status dermatologis plak eritema berbatas tegas
di ekstremitas bawah.
3. Erythroplasia of Queyrat
Erythroplasia of Queyrat adalah KSS in situ pada shaft penis dengan gambaran plak
eritema tipis pada shaft penis
4. KSS Invasive
Lesi invasive melewati dermis, umumnya diklasifikasikan berdasarkan differensiasi
keratinosit (batas tegas, batas tidak jelas, dan infiltrative). Gambaran yang ditemukan umumnya
berupa nodul hiperkeratotik soliter berwarna merah muda atau papula pada area yang terkena
sinar matahari.
5. Keratoacanthomas
Lesi invasive dengan gambaran klinis unik, berupa nodul eritematous dengan inti
hiperkeratotik di tengahnya.
Pemeriksaan penunjang
1. Dermoskopi Struktur vaskular polimorfik berupa linear ireguler/serpentine,
hairpin/looped, glomerular/coiled dan dotted. Sedangkan struktur keratin berupa white
circle, white pearl/clod central keratin, dan central keratin with blood spot.
2. Biopsi Spesimen diambil pada bagian lesi yang dicurigai infiltrasi lebih dari superfisial.
3. Histopatologi Pada pemeriksaan harus mencantumkan subtipe perubahan morfologi pada
sel, derajat diferensiasi, dalamnya tumor dalam millimeter, kedalaman invasi, dan
pemeriksaan keterlibatan saraf, vaskular, dan kelenjar getah bening.
4. Computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) Dilakukan bila
terdapat kecurigaan perluasan penyakit pada tulang, saraf maupun jaringan lunak lain.
5. Pemeriksaan kelenjar getah bening.
Diagnosis banding
1. Keratosis aktinik
2. Penyakit Bowen
3. Karsinoma sel basal
4. Melanoma tipe amelanotik nodular
5. Keratoakantoma
6. Karsinoma sebasea
7. Pioderma gangrenosum atipikal
Terapi
a. Terapi non-medikamentosa
1. Pencegahan pajanan sinar ultraviolet:
Konseling kebiasaan dalam pencegahan kanker kulit.
Penggunaan tabir surya
Penggunaan tabir surya dengan SPF 15 dapat mengurangi insidens karsinoma sel
skuamosa dalam penilaian 4,5 tahun.
Pemakaian tabir surya dihubungkan dengan penurunan risiko karsinoma sel skuamosa
pada 8 tahun follow up
2. Pencegahan pada populasi risiko tinggi:
Asitretin oral
Mengurangi risiko kanker kulit non-melanoma pada pasien transplantasi ginjal.
Tretinoin topikal
Tidak dapat mencegah karsinoma sel skuamosa pada pasien dengan risiko.
Nikotinamid oral
Obat anti-inflamasi non steroid (OAINS)
Celexocib15
Cyclic photodynamic therapy dengan ALA16
3. Pencegahan pada populasi risiko rendah:
Obat anti-inflamasi non steroid (OAINS)
Beta carotene
Penggunaan beta carotene tidak terbukti memiliki manfaat namun tidak menimbulkan
efek samping.
4. Medikamentosa
Krim imiquimod 5%19**
Catatan: **Menunggu persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan
5. Tindakan
Bedah pisau
Angka rekurensi sebesar 5% pada yang belum metastasis. Merupakan terapi pilihan pada
sebagian besar kasus karsinoma sel skuamosa.
Mohs micrographic surgery (MMS)
Superficial ablative techniques
Kuret dan bedah listrik (BL)
Sekitar 1,7% pasien mengalami rekurensi setelah dilakukan kuret dan BL pada karsinoma
sel skuamosa tipe risiko rendah.
Bedah beku
Sekitar 0,8% pasien dilaporkan mengalami rekurensi setelah dilakukan cryotherapy pada
karsinoma sel skuamosa risiko rendah. 20 (B,3)
Filariasis
Definisi
Filariasis merupakan infeksi menular yang disebabkan oleh cacing filaria. Penyakit ini dapat
tertular melalui perantara berbagai jenis nyamuk. Saat terinfeksi, penderitanya akan mengalami
pembengkakan pada tungkai bawah kaki. Hal tersebut membuat filariasis juga dikenal dengan
sebutan penyakit kaki gajah.
Etiologi
Filariasis disebabkan oleh nematoda filaria yang tinggal di jaringan subkutan maupun di
pembuluh limfe. Di antara 8 spesies filaria yang dapat menginfeksi manusia, hanya Wucheria
bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori, dan Onchocerca volvulus yang dapat menyebabkan
manifestasi berat dan morbiditas.
Manifestasi klinis
Sebagian besar filariasis merupakan asimtomatik. Gejala yang timbul biasanya berbeda-beda
bergantung dari masing-masing spesies filaria.
Anamnesis
Gejala khas pada filariasis limfatik atau kaki gajah adalah limfedema berat pada kaki
yang diikuti dengan penebalan kulit dan hilangnya fungsi dari area yang terkena. Gejala lain
yang perlu ditanyakan pada filariasis limfatik atau kaki gajah adalah:
Demam filarial: demam, rigor dan tremor yang bertahan selama 1 – 3 jam, muntah
Limfangitis dan limfadenitis: Nyeri dan eritema di kelenjar limfe yang terkena
Limfedema: Pembengkakan pembuluh limfe, biasanya hanya di satu ekstremitas dan
lebih sering ditemukan pada ekstremitas bawah. Dapat disertai rasa nyeri
Hidrokel: Pembengkakan skrotum, dapat didahului dengan funikulitis
Dermatolimfangiadenitis akut: Nyeri pada daerah yang terkena, demam, menggigil, nyeri
kepala, dan muntah
Kiluria: Bocornya cairan limfe ke urine sehingga urine berwarna putih susu
Eosinofilia pulmoner tropis: Batuk, sesak napas, suara napas mengi, dan nyeri dada
Onchocerca volvulus
Gejala filariasis yang disebabkan oleh onchocerca volvulus adalah kulit gatal dan ruam
yang biasanya terkonsentrasi pada satu ekstremitas. Selain itu, dapat ditemukan perubahan warna
kulit, adanya nodul di bawah kulit, hilangnya elastisitas kulit, gangguan penglihatan, dan
pembengkakan kelanjar getah bening yang tidak nyeri.
Loa loa
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik disesuaikan dengan gejala dari masing-masing spesies filaria, tetapi gejala
yang dapat ditemukan pada hampir semua jenis filariasis adalah perubahan pada kulit, misalnya
penebalan atau perubahan warna kulit.
Pada kasus filariasis limfatik umumnya ditemukan juga demam dan pembengkakan kelenjar
limfa.
Status dermatologis
Kelainan pada kulit yang muncul pada kasus filariasis umumnya diawali oleh limfedema.
Limfedema yang diikuti dengan fibrosis jaringan adiposa sekitar akan menyebabkan
dermatosklerosis yang menyebabkan kulit berlipat-lipat, timbul nodul dan kutil, papilomatosis,
hiperpigmentasi, dan hipertrikosis.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk filariasis bergantung dari manifestasi yang timbul karena masing-
masing jenis filariasis memiliki diagnosis banding yang berbeda.
Pada filariasis limfatik dengan gejala limfedema akut, diagnosis banding yang dapat dipikirkan
adalah penyebab limfedema lainnya, misalnya infeksi bakterial, tromboflebitis, selulitis, dan
trauma.
Pasien filariasis yang menunjukkan gejala kiluria memiliki diagnosis banding berupa
fosfaturia, piuria, dan urin kaseosa pada kasus tuberkulosis ginjal.
Infeksi loiasis memiliki diagnosis banding kondisi lain yang dapat menyebabkan
kerusakan jaringan kulit dan hipereosinofilia, seperti infeksi cacing tambang, toxocariasis,
strongiloidosis, askariasis, schistosomiasis, dan sistiserkosis.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan bertujuan untuk menemukan bukti adanya filaria di
tubuh, baik melalui penemuan antigen, mikrofilaria atau cacing dewasa. Pemeriksaan dapat
dilakukan dengan menggunakan sampel darah maupun biopsi kulit. Pemeriksaan lain dapat
dilakukan untuk menunjang diagnosis. Pemeriksaan molekuler tidak rutin dilakukan karena tidak
efektif dan membutuhkan biaya yang mahal.
Terapi
1. Pemberian Antiparasit
2. Pembedahan
Selain antiparasit dan pembedahan, tata laksana lain seperti steroid dan antibiotik dapat
diberikan. Pemberian steroid dilakukan pada kasus eosinofilia pulmoner tropis (tropical
pulmonary eosinophilia / TPE), sedangkan pemberian antibiotik dilakukan pada pasien dengan
dermatolimfangiodenitis akut (acute dermatolymphangioadenitis / ADLA).