Kerangka Dasar Agama and Ajaran Islam
Kerangka Dasar Agama and Ajaran Islam
Oleh:
Ade Nurman (NIM.520518081)
Email : abasiyah14@gmail.com
Muhammad Hendra (NIM.520518071)
Email : hendrawafi@gmail.com
Wa Nurlinda Wally (NIM.520518072)
Email : nrlindawally14@gmail.com
ABSTRAK
Islam memiliki kerangka dasar agama dan ajaran yang sangat sempurna dan
mengatur dalam kehidupan umat manusia. ajaran Islam bersumber dari wahyu
(Al-Qur‟an) dan sunnah (Al-Hadits), serta dari ra‟yu (akal pikiran) manusia
melalui ijtihad. kerangka dasar agama Islam terdiri dari (1) Akidah, (2) Syariah
dan (3) Akhlak. Makna atau pengertian Akidah adalah Iman, keyakinan yang
menjadi pegangan hidup setiap pemeluk ajaran (agama) Islam. Syariah adalah
norma yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia
dengan manusia lain dan hubungan manusia dengan benda dan alam di
lingkungan hidupnya. akhlak. Akhlak berasal dari khuluk yang berarti perangai,
sikap, tingkah laku, watak, budi pekerti. Secara garis besar akhlak berkenaan
dengan sikap dan perbuatan manusia. Dalam memahami ajaran agama Islam perlu
dipahami dasar-dasar agama itu sendiri agar dapat mengetahui agama Islam secara
keseluruhan. Terdapat beberapa istilah dalam hukum Islam yang perlu di jelaskan
antara lain yaitu: Hukum, Hukm/Ahkam, Syariat atau syariah dan fikih atau fiqh.
1
A. Pendahuluan
Islam merupakan agama yang memiliki ajaran yang sangat sempurna dan
mencakup segala panduan atau pedoman yang dibutuhkan umat manusia. Proses
perkembangan agam Islam tidak terlepas dari perjuangan Nabi Muhammad SAW.
Sehingga perkembangan Islam masih ada sampai sekarang dan berkembang
sangat pesat. Islam bermakna sebagai sebuah ketundukan dan penyerahan diri
seorang hamba saat berhadapan dengan Tuhannya. Hal ini maksudnya adalah
harusnya seorang hamba harus merasa kecil dan lemah dalam berhadapan dengan
Tuhannya.
Banyak umat Islam tidak menjalankan perintah Allah SWT dengan benar
karena tidak mengetahui dan memahami ajaran agama Islam secara menyeluruh.
Oleh karena itu untuk memahami ajaran agama Islam secara keseluruhan perlu
dipahami dulu dasar-dasar agama Islam atau biasa disebut kerangka dasar ajaran
agama Islam. dengan memahami kerangka dasar ajaran agama Islam, kita dapat
memahami ajaran agama Islam secara Keseluruhan. Dengan mengikuti sistematik
Iman, Islam, dan Ikhsan yang berasal dari hadits Nabi Muhammad, kerangka
dasar agama Islam terdiri dari (1) Akidah, (2) Syariah dan (3) Akhlak. Dengan
adanya artikel ini di harapkan dapat memberikan pemahaman tentang agama
Islam khususnya kerangka dasar agama dan ajaran Islam, Hukum, Hukm/ahkam,
Syariah dan Fiqh.
2
B. Kerangka Dasar Agama dan Ajaran Islam
Yang dimaksud dengan (1) Akidah, secara etimologis (menurut ilmu bahasa
yang menyelidiki asal-usul kata serta perubahan-perubahan dalam bentuk dan
makna) adalah ikatan, sangkutan. Dalam pengertian teknis makna akidah adalah
Iman, keyakinan yang menjadi pegangan hidup setiap pemeluk agama Islam.
akidah, karena itu, selalu dikaitkan dengan rukun Iman atau arkanul iman yang
merupakan asas seluruh ajaran islam. Pembahasan tentang akidah dilakukan oleh
ilmu tersendiri yang disebut „ilmu kalam‟ (ajaran Islam) yakni ilmu yang
membahas dan menjelaskan tentang Kalam ilahi (mengenai akidah), atau „ilmu
tauhid‟ karena membahas tentang keesahan Allah (tauhid) atau „usuluddin‟ karena
membahas dan memperjelas asas agama Islam. Menurut Ibnu Khaldun, ilmu
kalam adalah ilmu yang membahas akidah untuk mempertahankan iman dengan
mempergunakan akal pikiran (Gazalba, 1975:213).2
1
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Cet: 20, Jakarta: Rajawali Pers, 2014). hlm. 32.
2
Ibid., hlm. 33.
3
hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan sosial, hubungan sosial
dengan benda dan alam lingkungan hidupnya. Norma ilahi yang mengatur tata
hubungan itu berupa (a) „kaidah ibadah‟ dalam arti khusus atau yang disebut juga
kaidah ibadah murni, mengatur cara dan hubungan langsung manusia dengan
Tuhan, dan (b) „kaidah muamalah‟ yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia lain dan benda dalam masyarakat. 3
Kaidah „ibadah‟ (a), yakni norma yang mengatur cara dan tata cara manusia
berhubungan langsung dengan Tuhan, tidaka boleh ditambah-tambah atau
dikurangi. Sebabnya karena tata hubungan dengan Tuhan itu tetap, tidak boleh
diubah-ubah. Ketentuannya telah pasti diterapkan oleh Allah sendiri dan
dijelaskan kemudian secara rinci oleh Rasul-Nya. Tentang (b) „kaidah-kaidah
muamalah‟ hanya pokok-pokoknya saja yang ditentukan dalam Al-Qur‟an dan
Sunnah Nabi Muhammad. Perinciannya „terbuka‟ bagi akal manusia yang
memenuhi syarat untuk „berijtihad‟ (berusaha sungguh-sungguh dengan
mempergunakan seluruh kemampuan) mengaturnya lebih lanjut dan menentukan
kaidahnya menurut ruang dan waktu.
Karena itu pula mengenai hubungan sosial manusia kaidahnya dapat saja
berubah dan diadakan perubahan melalui, misalnya, penafsiran (interpretasi) yang
perumusannya disesuaikan dengan masa dan tempat tertentu. Sebagai contoh
dapat dikemukakan misalnya mengenai (perubahan) kaidah yang membolehkan
seorang laki-laki beristri lebih dari seorang yang tercantum dalam Al-Qur‟an surat
Al-Nisa (4) ayat 3 dihubungkan dengan ayat 129 surat yang sama, yang kini dapat
dibaca dalam semua undang-undang perkawinan umat Islam. 4 ketetapan Allah
yang langsung berhubungan dengan kehidupan masyarakat (bidang muamalah) ini
terbatas pada yang pokok-pokok saja. Penjelasan Nabi, kalaupun ada, tidak
terinci seperti dalam bidang ibadah. Karena itu, seperti telah disinggung di atas,
sifatnya terbuka untuk dikembangkan melalui ijtihad manusia yang memenuhi
syarat untuk pengembangan itu. Karena sifatnya yang demikian, dalam semua
3
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Cet: 20, Jakarta: Rajawali Pers, 2014). hlm. 34.
4
Ibid., hlm. 35.
4
perbuatan „boleh‟ dilakukan, kecuali kalau tentang perbuatan itu telah ada
larangan dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi Muhammad. Untuk menyebut
sekedar contoh, misalnya, kaidah larangan membunuh, mencuri, merampok,
berzina, menuduh orang lain melakukan perzinaan, meminum minuman yang
memabukkan, memakan riba (QS. 2:178-179, 5:39, 5:33, 24:4, 2:219, 3:130), dan
sebagainya. 5
5
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Cet: 20, Jakarta: Rajawali Pers, 2014). hlm. 36.
6
Ibid., hlm. 37.
5
akhlak terhadap hewan, bahkan (c) akhlak terhadap bumi dan air serta udara yang
ada di sekitar kita.7
Ilmu tasawuf adalah ilmu yang menjelaskan tata cara pengembangan rohani
manusia dalam rangka usaha mencari dan mendekatkan diri dengan Allah.
Dengan pengembangan rohani, kaum sufi ingin menyelami makna syariat tersebut
di atas secara lebih mendalam dalam rangka menemukan hakikat agama Islam.
mengenai (b) sikap terhadap sesama makhluk dapat dibagi dua, yakni (1) sikap
terhadap sesama manusia, dan (2) sikap terhadap makhluk yang bukan manusia.
Sikap terhadap sesama manusia disebut akhlak. Padanannya dalam bahasa asing
adalah ethic. Ilmu yang menjelaskan sikap terhadap sesama manusia disebut ilmu
akhlak (ajaran islam) atau ethics (R.Rachmat Djatnika,1985:31). Dalam ilmu
akhlak terdapat istilah-istilah baik dan buruk. Istilah-istilah itu dan istilah-istilah
keakhlakan yang lain, dijelaskan oleh ilmu akhlak agar singkat itu dapatlah
dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan ilmu akhlak dalam tulisan ini adalah
ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, serta segala sesuatu yang berkenaan
dengan sikap yang seyogianya diperlihatkan manusia terhadap manusia lain,
dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya.8
7
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Cet: 20, Jakarta: Rajawali Pers, 2014). hlm. 38.
8
Ibid., hlm. 39-40.
6
penjelasan isi (dengan sedikit perubahan) seperti yang telah diuraikan. Dari
paparan tersebut dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Islam sebagai agama
mempunyai sistem sendiri yang bagian-bagiannya saling bekerja sama untuk
mencapai suatu tujuan sumbernya adalah tauhid yang menjadi inti akidah. Dan
akidah itu mengalir syariah dan akhlak Islami. Ketiganya (akidah, syariah,
akhlak), seperti telah disebut di muka mengatur perbuatan dan sikap seseorang
baik di lapangan ibadah maupun di lapangan muamalah. 9
C. Hukum
Jika kita berbicara tentang hukum, secara sederhana segera terlintas dalam
pikiran kita peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah-
laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa
kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan
atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.
Bentuknya mungkin berupa hukum yang tidak tertulis seperti hukum adat,
mungkin juga berupa hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan seperti
hukum Barat.10
9
Ibid., hlm. 42.
10
Ibid., hlm. 43.
7
tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa
masyarakat itu”. 11
11
Enju juanda, Hukum Dan Kekuasaan , Vol. 5, No. 2 - September 2017. hlm. 182.
12
Ibid., hlm. 182.
13
Amir syarifuddin, Ushul fiqh, (Cet: 2, Jakarta: Logos wacana ilmu, 2000). hlm. 5.
14
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Cet: 20, Jakarta: Rajawali Pers, 2014). hlm. 43-44.
8
D. Hukm dan Ahkam
Disamping hukum taklifi, dalam pembagian hukum syara’ ada pula hukum
wadh’i yakni hukum yang mengandung „sebab‟, „syarat‟ dan „halangan‟
terjadinya hukum dan hubungan hukum. Adapun (1) „Sebab‟ yang menurut
rumusannya, merupakan sesuatu yang tampak dijadikan tanda adanya hukum.
Misalnya (a) kematian menjadi sebab adanya (hukum) kewarisan, (b) akad nikah
menjadi sebab halalnya hubungan suami-istri. Selanjutnya yaitu (2) „syarat‟
15
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Cet: 20, Jakarta: Rajawali Pers, 2014). hlm. 44.
16
Firdaus, Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara
Komperhensif, (Jakarta: Zikrul, 2004). hlm. 239.
17
Ibid., hlm. 236.
9
adalah sesuatu yang kepadanya tergantung suatu hukum. Misalnya, (a) syarat
wajib mengeluarkan zakat harta adalah kalau telah mencapai nisab (jumlah
tertentu) dan haul (waktu tertentu), (b) berwudhu dan menghadap kiblat syarat
sempurnanya shalat seorang Muslim. (3) Halangan atau mani‟ adalah sesuatu
yang dapat menghalangi hubungan hukum . Misalnya (a) pembunuhan
menghalangi hubungan kewarisan, (b) keadaan gila merupakan halangan bagi
seseorang melakukan tindakan atau hubungan hukum (Masifuk Zuhdi, 1987:16-
19). 18
E. Syariah
Dengan demikian, syariah bisa diartikan dengan arti yang sangat luas, dan
dapat pula diartikan dalam arti yang sempit. Hal ini penting diperhatikan, karena
para ulama tidak selalu sama dalam mengartikan syariah. Ada yang menganggap
syariah itu sama dengan Fiqh dan ada yang menganggap bahwa syariah khusus
18
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Cet: 20, Jakarta: Rajawali Pers, 2014). hlm. 46
19
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),
hlm. 39.
10
untuk hukum yang didasarkan kepada dalil yang qath’i saja. Bahkan, ada yang
menganggap bahwa syariah itu adalah keseluruhan ajaran agama. Syariah dalam
arti sempit sama pengertiannya dengan Fiqh Nabawi, yaitu hukum yang
ditunjukkan dengan tegas oleh Al-Qur‟an atau Hadits. Fiqh dalam arti sempit
sama pengertiannya dengan Fiqh ijtihadi, yaitu hukum yang dihasilkan melalui
ijtihad para mujtahid. 20
F. Fiqh
Kata fiqh atau fiqih secara etimologi berasal dari kata fiqhan yang
merupakan masdar dari fi’il madhi faqiha dan fi’il mudhari’nya yafkahu, berarti
paham. 21 Fiqh itu berarti mengetahui, memahami, dan mendalami ajaran-ajaran
agama secara keseluruhan. jadi dalam pengertian Fiqh dalam arti yang sangat luas
sama dengan pengertian syariah. Inilah pengertian Fiqh pada masa sahabat atau
pada masa abad pertama Islam. kitab-kitab fiqh menjelaskan tentang hukum
‘amali. (al-ahkam, al-syar’iyyah, al-amaliyyah, al-muktasa min addillatiha al-
tafsiliyyah). Buku-buku tersebut dalam waktu yang lama menguasai percakapan
dan diskursus pemikiran Islam, hingga akhirnya ia menjadi sentral dan rujukan
utama dan rujukan utama umat Islam. 22
20
A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian Perkembangan Dan Penerapan Hukum Islam,
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2005). hlm. 1-3.
21
Firdaus, Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara
Komperhensif, (Jakarta: Zikrul, 2004). hlm. 3.
22
Muhathir Muhammad Iqbal, Merumuskan Konsep Fiqh Islam Perspektif Indonesia,
Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, Vol. 2, Nomor 1, Januari-Juni 2017. hlm. 2.
23
Opcit., hlm. 4.
11
terperinci. Hukum-hukum syara’ tersebutlah yang dinamai dengan Fiqh; baik ia
dihasilkan dengan jalan ijtihad ataupun tanpa ijtihad.24
24
Rohidin, pengantar hukum Islam: dari semenanjung Arabia hingga Indonesia
(Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books, 2016). hlm. 9.
25
Ibid., hlm. 9.
12
KESIMPULAN
Dalam sistem hukum Islam ada lima hukm atau kaidah yang di pergunakan
sebagai patokan mengukur perbuatan manusia baik di bidang ibadah maupun di
lapangan muamalah. Kelima jenis kaidah tersebut, disebut al-ahkam al-khamsah
atau penggolongan hukum yang lima (Sajuti Thalib, 1985:16), yaitu (1) ja’iz atau
mubah atau ibahah (2) sunnat (3) makruh (4) wajib (5) haram. Syariah dalam
arti sempit sama pengertiannya dengan Fiqh Nabawi, yaitu hukum yang
ditunjukkan dengan tegas oleh Al-Qur‟an atau Hadits. Fiqh dalam arti sempit
sama pengertiannya dengan Fiqh ijtihadi, yaitu hukum yang dihasilkan melalui
ijtihad para mujtahid.
13
DAFTAR PUSTAKA
Ali Muhammad, Daud. 2014. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers.
Firdaus. 2004. Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam
Secara Komperhensif. Jakarta: Zikrul.
14