Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan pengerjaan makalah yang berjudul ”Larangan-larangan
dalam perkawinan". Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqih
Munakahah.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Kami sebagai penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan informasi dan bermanfaat untuk pengembangan
wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Kediri, 20 Maret 2021


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………….......................1


DAFTAR ISI ……………………………………………......................................2
BAB I : PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah   ……………………………………….....................3
BAB II : PEMBAHASAN
•Definisi larangan perkawinan……………………………..........................……4
•Jenis-jenis perkawinan yang dilarang dalam hukum islam…………………..5
•Larangan yang berlaku untuk selamanya….………………………………..…6
•Larangan yang berlaku untuk sementara………………………..…………….9
•Larangan yang diperselisihkan……………………………...................……….10
•Aspek-aspek larangan yang tidak relevan……………………………………..11
BAB III PENUTUPAN
0.Kesimpulan …………………………………………….................................…14
DAFTAR PUSTAKA  …………………………………….......................………15
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Menurut fitrahnya, manusia dilengkapi Tuhan dengan kecenderungan seks (libido


seksualitas). Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin
yang berlainan, seorang perempuan dan lakilaki memiliki daya tarik satu sama lainnya untuk
hidup bersama. Dalam Ilmu Alam, dikemukakan bahwa segala sesuatu terdiri dari dua
pasangan.
Air yang kita minum (terdiri dari oksigen dan hydrogen), listrik, ada positif dan
negatifnya. Islam adalah agama yang fitrah,2 Tuhan menyediakan wadah yang legal untuk
terselenggaranya penyaluran tersebut yang sesuai dengan derajat manusia.3
Perkawinan mempunyai tujuan yang bersifat jangka panjang, sebagaimana keinginan dari
manusia itu sendiri dalam rangka membina kehidupan yang rukun, tenteram dan bahagia
dalam suasana cinta kasih dari dua jenis mahluk ciptaan Allah SWT, yaitu terpeliharanya
lima aspek :
1) alMaqâshid al-Khamsah atau al-Maqâsid al-Syarî’ah, yaitu memelihara agama (hifz
al-dîn)
2) jiwa (hifz al-nafs),
3) akal (hifz al-‘aql),
4) keturunan (hifz al-nasâb)
5) harta (hifz al-mâl), yang (kemudian) disepakati oleh ilmuwan hukum Islam lainnya.
Bahkan menurur Azhar Basyar, seseorang dilarang untuk membujang.
Perkawinan dianjurkan dalam Islam dengan memenuhi syarat dan rukunnya serta
terhindar dari hal-hal yang menghalangi dalam perkawinan seperti telah diatur dalam Alquran
dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.Halangan pernikahan sebagaimana yang
dimaksud disebut juga dengan larangan pernikahan.
Seperti halnya pembatalan perkawinan, larangan perkawinan ternyata membawa
konsekuensi yang tidak jauh berbeda dengan masalah pembatalan perkawinan, dalam
kaitannya dengan perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda
dan sesusuan sampai pada derajat tertentu adalah suatu hal yang bisa mengancam
kelangsungan perkawinannya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Larangan Perkawinan

Perkawinan baru bisa dinyatakan sah apabila telah memenuhi seluruh rukun dan syarat
yang ditentukan, disamping juga harus terlepas dari segala hal yang dapat menghalangi.
Halangan perkawinan itu disebut juga dengan larangan perkawinan.
Larangan perkawinan dalam bahasan ini adalah orang- orang yang tidak boleh melakukan
perkawinan. Yaitu perempuan-perempuan mana saja yang tidak boleh dikawini oleh seorang
lelaki atau sebaliknya lakilaki mana saja yang tidak boleh mengawini seorang perempuan.
Semua itu dinamakan mawāni’ al-nikāh (perkara-perkara yang menghalangi keabsahan
nikah)
Larangan kawin antara seorang pria dan seorang wanita dalam shara‘ dibagi dua, yaitu
1. Larangan yang berlaku untuk selamanya
2. Larangan yang berlaku untuk sementara.
Larangan perkawinan yang berlaku haram untuk selamanya mengandung arti sampai kapan
pun dan dalam keadaan apa pun laki-laki dan perempuan itu tidak boleh melakukan
perkawinan.Larangan dalam bentuk ini disebut mahram mu’abbad.
Sedangkan larangan perkawinan yang berlaku haram untuk sementara waktu mengandung
arti larangan itu berlaku dalam keadaan dan waktu tertentu saja, suatu ketika bila keadaan dan
waktu tertentu itu sudah berubah ia tidak lagi menjadi haram. Larangan dalam bentuk ini
disebut mahram mu’aqqat.

Mengacu dalam status hukum yang kuat, posisi yang cukup strategis dan luhur tujuan
perkawinan, maka Hukum Islam mengatur semua aspek dalam perkawinan yang
diorientasikan untuk menjaga eksistensi dan keharmonisannya. Aspek-aspek itu mencakup
ranah preventif (pencegahan perkawinan), agar mawaddah wa ar-rahmah sebagai tujuan
perkawinan tetap terjaga optimal dan tidak terlepas.Mengenai upaya preventif, di dalam
hukum perkawinan islam(fiqih almunakahah) dikenal adanya beberapa perkawinan yang
dilarang oleh syara
B. Jenis jenis perkawinan yang dilarang dalam hukum perkawinan islam

Larangan perkawinan dalam hukum islam ini semata untuk menghindari madharatyang akan
terjadi jika perkawinan tetap dilaksanakan. Adapun jenisjenis perkawinan yang dilarang
dalam hukum perkawinan islam antara lain adalah sebagai berikut:

1. Nikah Mutah

Nikah mut’ah, adalah nikah untuk sementara waktu, misalnya : tigahari, seminggu,


sebulan, dsb, dengan imbalan tertentu

2. Nikah Sigar

Dari Nafi’ dari Ibnu Umar, sesungguhnya Rasulullah SAW melarangnikah


syighar. Sedang nikah syighar itu ialah seorang laki-lakimenikahkan anak
perempuannya kepada seseorang dengan syaratimbalan, ia harus dikawinkan
dengan anak perempuan orangtersebut, dan keduanya tanpa mahar. 

3. Nikah Muhallil

Nikah tahlil, ialah seorang laki-laki menikahi wanita dengan niat


akanmenceraikannya setelah mencampurinya agar wanita itu bisamenikah kembali
dengan bekas suaminya yang telah menthalaqnyatiga kali. Maka laki-laki tersebut
disebut Muhallil, adapun bekassuami/istri yang menghendaki demikian
disebut Muhallal lahu.

4. Nikah Pinangan Atas Pinangan

(Seorang) mukmin itu saudara bagi mukmin lainnya. Oleh karena itu tidak halal
bagi seorang mukmin membeli atas pembelian saudaranya dan tidak pula
meminang atas pinangan saudaranya hingga dia meninggalkannya.’”[2] Seseorang
yang meminang pinangan saudaranya dapat memasukkan (menyebabkan)
permusuhan dalam hati. Karena itu, Islam melarangnya.

5. Melakukan perkawinan dalam masa iddah

Adalah masa tunggu bagi seorang perempuan yang cerai dari suaminya untuk dapat
melakukan perkawinan lagi, hal ini agar dapat diketahui apakah perempuan ini
mengandung atau tidak. Jika perempuan itu mengandung, maka ia diperbolehkan
kawin lagi setelah anaknya lahir; apabila ia tidak mengandung, maka ia harus
menunggu selama 4 bulan 10 hari jika bercerai karena suami meninggal dunia atau
selama tiga kali suci dari haid jika dikarenakan cerai hidup.

C. Larangan yang Berlaku untuk Selamanya


Larangan perkawinan yang berlaku untuk selamanya atau disebut mahram mu’abbad, terbagi
menjadi tiga kelompok yaitu pertama:
1. Adanya hubungan kekerabatan
disebabkan oleh adanya hubungan kekerabatan atau nasab. Yang termasuk dalam kategori ini
ada tujuh macam wanita, yaitu:

a. Ibu, ibunya ibu, ibunya ayah, dan seterusnya dalam garis lurus keatas.
b. Anak perempuan, anak perempuannya anak laki-laki, anak
perempuannya anak perempuan, dan seterusnya dalam garis lurus ke bawah.
c. Saudara perempuan, baik saudara perempuan sekandung, seayah, atau seibu.
d. Saudara perempuan ayah, baik hubungannya kepada ayah secara kandung, seayah atau
seibu. Termasuk juga saudara perempuan kakek
e. Saudara perempuan ibu, baik hubungannya kepada ibu secara
kandung, seayah atau seibu. Termasuk juga saudara perempuan nenek kandung, seayah atau
seibu, dan seterusnya dalam garis lurus ke atas.
f. Anak perempuan saudara laki-laki, baik sekandung, seayah atau seibu. Cucu perempuan
saudara laki laki, baik sekandung, seayah atau seibu, dan seterusnya dalam garis lurus ke
bawah.
g. Anak perempuan saudara perempuan. Baik sekandung, seayah atau seibu. Cucu perempuan
saudara perempuan. Baik sekandung, seayah atau seibu, dan seterusnya dalam garis lurus ke
bawah.
Hikmah dari larangan perkawinan yang disebabkan adanya hubungan nasab adalah
untuk menghormati kerabat. Merupakan hal yang mustahil secara fitrah, orang yang
merasakan syahwat terhadap ibunya atau ia hendak berpikir untuk bersenang-senang
dengannya, karena cinta kasih yang terjalin di antara keduanya.
Apa yang dijelaskan mengenai keharaman menikahi ibu, dikatakan pula dalam ketetapan
keharaman menikahi perempuan perempuan berdasarkan keturunan yang lainnya.
Antara seorang laki-laki dengan kerabat dekatnya mempunyai perasaan yang kuat yang
mencerminkan suatu penghormatan. Maka akan lebih utama kalau dia mencurahkan perasaan
cintanya itu kepada perempuan lain melalui perkawinan sehingga terjadi hubungan yang baru
dan rasa cinta kasih sayang yang terjadi antara kedua manusia itu menjadi sangat luas
Sebaliknya seorang perempuan tidak boleh kawin untuk selama-lamanya karena
hubungan kekerabatan dengan laki-laki tersebut di bawah ini:
a. Ayah, ayahnya ayah dan ayahnya ibu dan seterusnya ke atas.
b. Anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki atau anak laki-laki
dari anak perempuan, dan seterusnya menurut garis ke bawah.
c. Saudara laki-laki, baik saudara laki-laki sekandung, seayah, atau
seibu.
d. Saudara laki-laki ayah, baik hubungannya kepada ayah secara kandung, seayah atau seibu.
Termasuk juga saudara laki-laki kakek, baik kandung, seayah atau seibu, dan seterusnya
dalam garis lurus ke atas.
e. Saudara laki-laki ibu, baik hubungannya kepada ibu secara kandung, seayah atau seibu.
Termasuk juga saudara laki-laki nenek kandung, seayah atau seibu, dan seterusnya dalam
garis lurus ke atas.
f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki, baik sekandung, seayah atau seibu. Cucu laki-laki dari
saudara laki-laki, baik sekandung, seayah atau seibu, dan seterusnya dalam garis lurus ke
bawah.
g. Anak laki-laki dari saudara perempuan, baik sekandung, seayah atau seibu. Cucu laki-laki
dari saudara perempuan, baik sekandung, seayah atau seibu, dan seterusnya dalam garis lurus
ke bawah.

2. Karena adanya hubungan perkawinan

Larangan perkawinan karena adanya hubungan perkawinan


yang disebut dengan hubungan musāharah. Perempuan-perempuan yang
tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki untuk selamanya karena
hubungan musāharah ada empat, yaitu:

a. Perempuan yang telah dikawini oleh ayah (ibu tiri)


Haram hukumnya menikahi perempuan yang telah dikawini oleh ayah dan
perempuan yang telah dikawini oleh kakek hingga ke atas. Pada masa jahiliyyah
diperbolehkan mengawini perempuan yang telah dikawini oleh ayah,kemudian Islam
mengharamkan mengawini perempuan yang telah dikawini oleh ayah. Keharaman
mengawini perempuan yang telah dikawini oleh ayah adalah sebab adanya akad,
meskipun wanita tersebut belum pernah dijimak oleh ayah

b. Perempuan yang telah dikawini oleh anak laki-laki (menantu)


Haram hukumnya mengawini istri anak (menantu), istri anaknya anak laki-laki, istri
anaknya anak perempuan dan seterusnya hingga ke bawah. Keharaman mengawini
perempuan yang telah dikawini oleh anak adalah sebab adanya akad, meskipun
perempuan tersebut belum dijimak oleh anak.

c. Ibu istri (mertua)


Keharaman mengawini ibu istri adalah sebab adanya akad, baik
istrinya itu sudah disetubuhi atau belum.

d. Anak perempuan dari istri (anak tiri)


Haram hukumnya mengawini anak perempuan istri dengan
syarat istri (ibu anak tiri tersebut) telah digauli.

Bila seorang laki-laki tidak boleh mengawini karena hubungan


musāharah sebagaimana disebutkan di atas, sebaliknya seorang perempuan
tidak boleh kawin dengan laki-laki untuk selamanya disebabkan hubungan
musāharah sebagai berikut :

a. Laki-laki yang telah mengawini ibunya atau neneknya


b. Laki-laki yang telah mengawini anak atau cucu perempuannya
c. Ayah dari suami atau kakeknya
d. Anak laki-laki dari suaminya atau cucunya

Larangan ini bertujuan untuk menjaga keberadaan keluarga dari pertentangan,


untuk hal-hal yang penting, semisal dengan putusnya kekerabatan, buruknya
pengertian, tersebarnya kecemburuan antara ibu dengan anak perempuannya atau
ayah dengan anak laki-lakinya, dan sebagainya yang terkadang mengakibatkan
pertentangan antara anggota satu keluarga. Hikmah lain atas larangan pernikahan
dengan kerabat-kerabat dekat, yakni menyebabkan kelemahan fisik anak-anaknya.

3. Karena hubungan persusuan.

a. Ibu susuan.
Yaitu ibu yang menyusui, maksudnya seorang wanita yang pernah menyusui
seorang anak. Ibu susuan dipandang sebagai ibu bagi anak yang disusui itu
sehingga haram melakukan perkawinan.
b. Anak susuan.
Termasuk dalam anak susuan itu ialah anak yang dipersusukan istri, anak yang
disusukan anak perempuan, anak yang dipersusukan istri anak laki-laki, dan
seterusnya dalam garis lurus ke bawah.
c. Saudara sepersusuan.
Termasuk dalam saudara sesusuan itu ialah seseorang yang dilahirkan ibu
susuan, yang disusukan ibu susuan,yang dilahirkan istri ayah susuan, anak yang
disusukan istri ayah susuan, yang disusukan ibu, yang disusukan istri ayah susuan.
d. Paman susuan.
Yang termasuk paman susuan itu ialah saudara dari ayah susuan, saudara dari
ayahnya ayah susuan.
e. Bibi susuan.
Termasuk dari arti bibi susuan itu ialah saudara dari ibu susuan, saudara dari
ibu dari ibu susuan.
f. Anak saudara laki-laki atau perempuan sesusuan.
Termasuk dalam arti anak saudara ini adalah anak dari saudara sesusuan, cucu
dari saudara sesusuan, dan seterusnya ke bawah. Orang-orang yang disusukan
oleh saudara sesusuan, yang disusukan oleh anak saudara sesusuan, yang
disusukan oleh saudara perempuan, yang disusukan oleh istri saudara
laki-laki, dan seterusnya garis lurus ke bawah dalam hubungan nasab dan susuan.

Hikmah dari larangan perkawinan karena susuan adalah sebab makan


(menyusu) memiliki pengaruh besar dalam pembentukan diri seseorang, bukan
hanya secara fisik, namun juga menyangkut jiwa dan akhlak. Dengan adanya
hubungan kekerabatan karena persusuan menjadikan tubuh mereka (tulang,
daging, dan darahnya) dibentuk dari satu jenis makanan. Karena itu terlihat ada
keserupaan dalam karakter akhlak mereka.

D. Larangan yang berlaku untuk sementara


Larangan perkawinan yang berlaku untuk sementara atau disebut mahram mu’aqqat
adalah larangan perkawinan dengan seorang wanitadalam waktu tertentu saja, karena adanya
sebab yang mengharamkan. Apabila sebab itu hilang maka perkawinan boleh dilaksanakan.
Yang termasuk mahram mu’aqqat adalah sebagai berikut:
a. Mengumpulkan dua orang perempuan yang masih bersaudara, baik saudara sekandung,
saudara seayah atau saudara seibu maupun saudara sepersusuan.Ulama fikih menyatakan
bahwa mengawini dua orang wanita yang berhubungan kekerabatan bisa membuat pecahnya
hubungan kekerabatan sehingga menimbulkan permusuhan yang terus menerus antara
kerabat itu.
b. Wanita yang ada dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki lain.
Bahkan perempuan yang sedang dalam perkawinan itu dilarang untuk dilamar, baik dalam
ucapan terus terang maupun secara sindiran meskipun dengan janji akan dikawini setelah
diceraikan habis masa iddahnya. Keharaman itu berlaku selama suaminya masih hidup atau
belum dicerai oleh suaminya dan selesai pula menjalani idahnya ia boleh dikawini oleh siapa
saja.
c. Wanita yang telah ditalak tiga kali tidak halal kawin lagi dengan bekas suaminya, kecuali
telah kawin dengan laki-laki lain dan telah dicerai serta telah habis masa idahnya.
d. Wanita yang sedang menjalani iddah, baik iddah karena kematian maupun karena talak.
Perempuan yang dalam masa idah tidak diperbolehkan bagi laki-laki selain suaminya untuk
meminang atau menikahinya, sampai habis masa iddahnya
e. Kawin dengan pezina
ini berlaku baik bagi laki-laki yang baik dengan wanita pelacur, ataupun antara wanita-
wanita yang baik dengan laki laki pezina haram hukumnya, kecuali setelah masing-masing
bertaubat
f. Perkawinan beda agama.
Yang dimaksud dengan beda agama di sini ialah perempuan muslimah dengan laki-laki non
muslim dan sebaliknya laki-laki muslim dengan perempuan non muslim.
g. Larangan Karena Ihram
Perempuan yang sedang ihram, baik ihram haji atau ihram umrah, tidak boleh dikawini oleh
laki-laki baik laki-laki tersebut sedang ihram atau tidak. Larangan ini tidak berlaku lagi
sesudah lepas masa ihramnya.
h. Mengawini lebih dari empat orang wanita.
Seorang laki-laki dalam perkawinan poligami hanya boleh mengawini empat orang wanita,
kecuali salah seorang dari istri yang empat itu telah diceraikan dan habis masa iddahnya.
Dengan begitu haram hukumnya mengawini perempuan kelima dalam masa tertentu, yaitu
selama seorang dari istri yang empat itu belum diceraikan.
i. Halangan kafir, yaitu wanita musyrik haram dinikah. Maksud wanita musyrik ialah yang
menyembah selain Allah. Tidak halal bagi seorang muslim dan tidak sah pernikahannya atas
orang kafir dan orang murtad karena ia telah keluar pada aqidah dan petunjuk yang benar.

E. Larangan yang diperselisihkan


Selain bentuk larangan perkawinan tersebut di atas, yang berkaitan dengan nasab, persusuan
dan musaharah, ada beberapa larangan yang diperselisihkan, yaitu:
a. Zina (Perzinaan)
Kawin dengan pezina, baik antara laki-laki baik-baik dengan perempuan pelacur atau
perempuan baik-baik dengan laki-laki pezina, tidak dihalalkan, kecuali setelah masing-
masing mengatakan bertaubat. Firman Allah SWT., dalam surat al-Nûr ayat 3, apabila pezina
benar-benar bertaubat, mohon ampun kepada Allah, menyesali perbuatannya di masa lampau
dan berjanji tidak akan kembali lagi berbuat zina, diikuti dengan ketaatan menjalankan
aturan-aturan Allah SWT.
Sehubungan dengan perkawinan laki-laki dengan perempuan pezina, akan diarahkan pada
masalah perkawinan perempuan hamil karena hubungan zina, baik dengan laki-laki yang
mengakibatkan kehamilan atau laki-laki lain.
Kebanyakan fuqaha’ berpendapat bahwa perkawinan laki-laki dengan wanita zina
dibolehkan, sebab ia tidak tersangkut kepada hak orang lain, bukan istri dan bukan pula orang
yang menjalani ‘iddah. Ada lagi sebagian fuqaha’ yang berpendapat lain, wanita zina tidak
boleh dikawini.
Untuk lebih jelas dapat diadakan perincian kemungkinankemungkinan sebagai berikut:
1)Wanita zina kawin dengan laki-laki kawan berzinanya sebelum nampak hamil akibat zina
yang dilakukan.
2)Wanita zina kawin dengan laki-laki kawan berzinanya dalam keadaan hamil akibat zina
yang dilakukan. Dalam dua macam kemungkinan tersebut, menurut pendapat kebanyakan
fuqaha’, laki-laki kawan berzina boleh mengawininya seketika, tanpa menanti ada atau
tidaknya tanda-tanda kehamilan pada kemungkinan pertama, dan tanpa menanti kelahiran
anak pada kemungkinan kedua; suami dibolehkan mengadakan persetubuhan sesudah akad.
3)Wanita zina kawin dengan laki-laki lain, bukan kawan berzinanya, padahal ia dalam
keadaan hamil dari zina.
4)Wanita zina kawin dengan leleki bukan pezinanya, tetapi tidak dalam keadaan hamil.

b. Sumpah li’an

Li’an yaitu perceraian yang terjadi karena tuduh-menuduh antara suami istri tentang zina
dimana suami mengatakan bahwa istrinya berzina dan anak yang dalam kandungannya terjadi
dari zina, sedangkan istrinya menolak tuduhan tersebut dan keduanya tetap berpegang pada
pendiriannya, dimana suami menguatkan tuduhannya sedangkan istrinya menguatkan
bantahannya. Maka cerailah antara suami dan istri tersebut, untuk selamanya.
Seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina tanpa mendatangkan empat orang saksi,
maka suami diharuskan bersumpah empat kali dan yang kelima kali dilanjutkan dengan
menyatakan bersedia menerima laknat Allah apabila tindakannya itu dusta. Istri yang
mendapat tuduhan itu bebas dari hukuman zina kalau mau bersumpah seperti suami diatas
empat kali dan yang kelima kalinya diteruskan bersedia mendapat laknat Allah bila tuduhan
suami itu benar. Sumpah demikian disebut sumpah li’an. Jika terjadi sumpah
li’an antara suami istri maka putuslah hubungan perkawinan keduanya untuk selamanya.
Keharaman ini didasarkan firman Allah dalam surat al-Nûr ayat 6-9. Pelaksanaan hukum
li’an sangat memberatkan dan menekan perasaan, baik bagi suami maupun bagi istri yang
dalam perkara li’an ini. Bahkan dapat mempengaruhi jiwa masing-masing, terutama setelah
mereka berada dalam ketenangan berfikir dan perasaan kembali. Hal ini tidak lain adalah; 1)
Karena bilangan sumpah li’an, 2) Karena tempat paling mulia untuk berli’an. 3) Karena masa
yang paling penting untuk li’an, 4) Karena sumpah itu dilakukan dihadapan jama’ah
(manusia banyak).
Pengaruh li’an adalah terjadinya perceraian antara suami istri. Bagi suami, maka istri menjadi
haram untuk selamanya. Ia tidak boleh rujuk atau nikah lagi dengan akad baru.

F. Aspek-Aspek Larangan Yang Tidak Relevan


Dalam fikih klasik, halangan kehambaan merupakan salah satu hal yang menjadikan
larangan dalam perkawinan, barang siapa yang menikahi perempuan merdeka tidak boleh
baginya untuk menikahi budak perempuan hingga istri merdeka diceraikan dan habis masa
iddah-nya. Hal tersebut dapat menyakiti istri (perempuan merdeka). Karena dalam menikahi
budak perempuan atas perempuan merdeka hal itu menyakitkan karena merendahkannya, dan
itu tidak diperbolehkan.Jika seorang budak laki-laki menikah dengan majikannya, maka
nikahnya tidak dibenarkan, karena adanya pertentangan hukum perbudakan dan nikah dalam
hal pemberian nafkah dan bepergian, dimana seorang budak berhak mendapatkan nafkah dari
majikannya, sedangkan dalam hukum pernikahan seorang istri berhak mendapatkan nafkah
dari suaminya. Selain itu, menurut hukum perbudakan, seorang wanita boleh mengajak
budaknya bepergian kemana saja ia suka, sedangkan dalam hukum pernikahan, sang istri
tergantung pada suaminya.

Berdasarkan hal tersebut, maka nikah seorang budak dengan majikannya yang perempuan
sama sekali tidak sah. Dan jika ada seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan
merdeka, kemudian ia menjadikannya sebagai budak, maka nikahnya pun tidak sah, karena
hukum pemilikan budak itu lebih kuat daripada nikah.
Bolehnya seorang laki-laki merdeka menikahi budak perempuan dengan dua syarat;
1) Takut terjerumus kedalam perzinaan,
2) tidak ada kesanggupan untuk menikahi perempuan merdeka.
Demikian menurut pendapat Imam Safi’i, Imam Maliki dan Imam Hanbali. Sedangkan Imam
Hanafi berpendapat, bolehnya tidak bergantung pada dua syarat tersebut. Yang menghalangi
adalah adanya istri yang merdeka atau sedang dalam menunggu masa iddah.Tidak halal bagi
seorang muslim menikahi budak ahli kitab.
Demikian menurut pendapat Imam Syafi’i, Imam Maliki dan Imam Hanbali. Sedangkan
Imam Hanafi, berpendapat halal. Para Imam Madzhab, bersepakat tentang tidak halalnya
seorang muslim menyetubuhi budakbudak ahli kitab yang diperoleh dengan jalan
memilikinya.
Menurut Imam Abu Tsawr, halal menyetubuhi segala budak yang diperoleh dengan jalan
pernikahan, walaupun beragama lain. Menurut pendapat Imam Syafi’i dan Imam Hanbali,
seorang yang merdeka tidak boleh menikahi seorang budak. Imam Hanafi dan Imam Maliki
mengatakan, boleh menikahi hingga empat orang, sebagaimana bolehnya menikahi
perempuan merdeka. Seorang budak hanya boleh beristri dua orang. Menurut pendapat Imam
Syafi’i, Imam Hanafi dan Imam Hanbali. Imam Maliki berpendapat, boleh beristri lebih dari
dua orang. Seorang yang telah berzina dengan seorang budak boleh menikahinya dan
menyetubuhinya tanpa penangguhan persenggamaan untuk mengetahui kekosongan rahim.
(istibra’), demikian menurut pendapat Imam Syafi’i. Sedangkan Imam Hanafi berpendapat,
bahwa tidak boleh disetubuhi sebelum istibra’ terlebih dahulu selama satu kali haidh atau
sampai melahirkan jika ia hamil. Sedangkan Imam Maliki memakruhkan menikahi wanita
pezina secara mutlak.
Imam Hanbali berpendapat, tidak boleh menikahi perempuan yang telah dizinai kecuali
dengan dua syarat;
a) Telah taubat dari perbuatannya,
b) Istibra’, yaitu hingga ia melahirkan jika hamil atau menunggu tiga kali haid jika ia tidak
hamil.
Dalam hal larangan menikah dengan seorang budak, baik KUHPer maupun UU No 1 tahun
1974 Tentang Perkawinan serta KHI tidaklah relevan dengan fikih klasik, karena Undang-
Undang di Indonesia tidak mengatur tentang perbudakan, sehingga tidak relevan. Memang
kenyataan di masyarakat Indonesia tidak ada praktek perbudakan sehingga memang tidak
dibutuhkan Undang-Undang tentang Perbudakan.
Pada dasarnya bahwa secara filosofis, konstruksi larangan perkawinan dalam UU Perkawinan
di Indonesia maupun KHI, secara prinsip relevan dengan fikih. Karena disinyalir mengadopsi
pendapat para ulama fikih, khususnya imam madzhab empat, sehingga hasil legislasi hukum
positif di Indonesia khususnya undang-undang perkawinan tidak mengalami rekonstruksi
apalagi mendeskonstruksi fikih. Hanya saja, karena secara konteks bahwa masyarakat
Indonesia yang terdiri dari beragamnya budaya, etnis dan suku bangsa, sehingga secara
sosial-kultural dan secara antropologis mengalami penyesuaian. Selain itu, dikarenakan
proses legislasi yang begitu panjang dan alur politik orde baru yang begitu deras dan kesan
patrelinial yang mendominasi terwujudnya corak peraturan perundang-undangan tersebut.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan dari larangan perkawinan dalam fikih serta relevansinya dengan peraturan
hukum perkawinan di Indonesia, bahwa tidak semua perempuan dapat dinikahi, tetapi
syarat perempuan yang boleh dinikahi hendaknya bukan orang yang haram bagi laki-laki
yang akan mengawininya. Larangan perkawinan mencakup halangan abadi (ta’bíd), yaitu
tidak dapat dinikahi selamanya, dikarenakan nasab, perkawinan dan persusuan. Larangan
sementara (gairu ta’bíd) adalah orang yang haram dikawin untuk masa tertentu, seperti
halangan bilangan, mengumpulkan, kehambaan, kafir, ihrám, iddah, perceraian tiga kali
dan peristrian. Pada prinsipnya peraturan hukum perkawinan di Indonesia, baik UU No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun KHI merupakan legeslasi hukum Islam. Pada
prinsipnya, seluruh pasal dalam peraturan hukum perkawinan di Indonesia yang
menyangkut tentang larangan perkawinan, releven dengan apa yang diutarakan dalam
fikih, namun terdapat larangan perkawinan yang tidak terlegeslasikan dalam Undang-
Undang Perkawinan di Indonesia, seperti larangan perkawinan dengan hamba, sedangkan
pasal yang kontroversial, yaitu pasal 40 huruf c. KHI dalam pasal tersebut menjelaskan
bahwa seorang laki-laki muslim dilarang melakukan perkawinan dengan wanita yang
tidak beragama Islam, sebagaimana dalam fikih, yaitu mereka yang tidak beragama Islam,
dalam arti musyrik, penganut Majusi, Nasrani, Yahudi dan Ahli kitab.

Daftar Pustaka
https://loveislamsite.wordpress.com/2015/12/11/kitab-nikahnikah-mutahtahlil-syighar-dan-
jahiliyah/
https://almanhaj.or.id/3555-seseorang-dilarang-meminang-pinangan-saudaranya-orang-tua-
menawarkan-puterinya.html
http://digilib.uinsby.ac.id/3569/3/Bab%202.pdf
https://www.google.com/search?q=nikah+mutah+%2C+nikah.sigar&client=ms-opera-mini-
android&channel=new
https://www.google.com/search?q=surat+an+nisa+ayat+22+23&client=ms-opera-mini-
android&channel=new
https://m.ayobandung.com/read/2020/06/18/96385/5-jenis-nikah-ini-hukumnya-haram
http://repo.iain-tulungagung.ac.id/4390/3/BAB%20II.pdf
https://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/muslimheritage/article/download/1049/717

Anda mungkin juga menyukai