Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan pengerjaan makalah yang berjudul ”Larangan-larangan
dalam perkawinan". Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqih
Munakahah.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Kami sebagai penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan informasi dan bermanfaat untuk pengembangan
wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Latar Belakang
Perkawinan baru bisa dinyatakan sah apabila telah memenuhi seluruh rukun dan syarat
yang ditentukan, disamping juga harus terlepas dari segala hal yang dapat menghalangi.
Halangan perkawinan itu disebut juga dengan larangan perkawinan.
Larangan perkawinan dalam bahasan ini adalah orang- orang yang tidak boleh melakukan
perkawinan. Yaitu perempuan-perempuan mana saja yang tidak boleh dikawini oleh seorang
lelaki atau sebaliknya lakilaki mana saja yang tidak boleh mengawini seorang perempuan.
Semua itu dinamakan mawāni’ al-nikāh (perkara-perkara yang menghalangi keabsahan
nikah)
Larangan kawin antara seorang pria dan seorang wanita dalam shara‘ dibagi dua, yaitu
1. Larangan yang berlaku untuk selamanya
2. Larangan yang berlaku untuk sementara.
Larangan perkawinan yang berlaku haram untuk selamanya mengandung arti sampai kapan
pun dan dalam keadaan apa pun laki-laki dan perempuan itu tidak boleh melakukan
perkawinan.Larangan dalam bentuk ini disebut mahram mu’abbad.
Sedangkan larangan perkawinan yang berlaku haram untuk sementara waktu mengandung
arti larangan itu berlaku dalam keadaan dan waktu tertentu saja, suatu ketika bila keadaan dan
waktu tertentu itu sudah berubah ia tidak lagi menjadi haram. Larangan dalam bentuk ini
disebut mahram mu’aqqat.
Mengacu dalam status hukum yang kuat, posisi yang cukup strategis dan luhur tujuan
perkawinan, maka Hukum Islam mengatur semua aspek dalam perkawinan yang
diorientasikan untuk menjaga eksistensi dan keharmonisannya. Aspek-aspek itu mencakup
ranah preventif (pencegahan perkawinan), agar mawaddah wa ar-rahmah sebagai tujuan
perkawinan tetap terjaga optimal dan tidak terlepas.Mengenai upaya preventif, di dalam
hukum perkawinan islam(fiqih almunakahah) dikenal adanya beberapa perkawinan yang
dilarang oleh syara
B. Jenis jenis perkawinan yang dilarang dalam hukum perkawinan islam
Larangan perkawinan dalam hukum islam ini semata untuk menghindari madharatyang akan
terjadi jika perkawinan tetap dilaksanakan. Adapun jenisjenis perkawinan yang dilarang
dalam hukum perkawinan islam antara lain adalah sebagai berikut:
1. Nikah Mutah
2. Nikah Sigar
3. Nikah Muhallil
(Seorang) mukmin itu saudara bagi mukmin lainnya. Oleh karena itu tidak halal
bagi seorang mukmin membeli atas pembelian saudaranya dan tidak pula
meminang atas pinangan saudaranya hingga dia meninggalkannya.’”[2] Seseorang
yang meminang pinangan saudaranya dapat memasukkan (menyebabkan)
permusuhan dalam hati. Karena itu, Islam melarangnya.
Adalah masa tunggu bagi seorang perempuan yang cerai dari suaminya untuk dapat
melakukan perkawinan lagi, hal ini agar dapat diketahui apakah perempuan ini
mengandung atau tidak. Jika perempuan itu mengandung, maka ia diperbolehkan
kawin lagi setelah anaknya lahir; apabila ia tidak mengandung, maka ia harus
menunggu selama 4 bulan 10 hari jika bercerai karena suami meninggal dunia atau
selama tiga kali suci dari haid jika dikarenakan cerai hidup.
a. Ibu, ibunya ibu, ibunya ayah, dan seterusnya dalam garis lurus keatas.
b. Anak perempuan, anak perempuannya anak laki-laki, anak
perempuannya anak perempuan, dan seterusnya dalam garis lurus ke bawah.
c. Saudara perempuan, baik saudara perempuan sekandung, seayah, atau seibu.
d. Saudara perempuan ayah, baik hubungannya kepada ayah secara kandung, seayah atau
seibu. Termasuk juga saudara perempuan kakek
e. Saudara perempuan ibu, baik hubungannya kepada ibu secara
kandung, seayah atau seibu. Termasuk juga saudara perempuan nenek kandung, seayah atau
seibu, dan seterusnya dalam garis lurus ke atas.
f. Anak perempuan saudara laki-laki, baik sekandung, seayah atau seibu. Cucu perempuan
saudara laki laki, baik sekandung, seayah atau seibu, dan seterusnya dalam garis lurus ke
bawah.
g. Anak perempuan saudara perempuan. Baik sekandung, seayah atau seibu. Cucu perempuan
saudara perempuan. Baik sekandung, seayah atau seibu, dan seterusnya dalam garis lurus ke
bawah.
Hikmah dari larangan perkawinan yang disebabkan adanya hubungan nasab adalah
untuk menghormati kerabat. Merupakan hal yang mustahil secara fitrah, orang yang
merasakan syahwat terhadap ibunya atau ia hendak berpikir untuk bersenang-senang
dengannya, karena cinta kasih yang terjalin di antara keduanya.
Apa yang dijelaskan mengenai keharaman menikahi ibu, dikatakan pula dalam ketetapan
keharaman menikahi perempuan perempuan berdasarkan keturunan yang lainnya.
Antara seorang laki-laki dengan kerabat dekatnya mempunyai perasaan yang kuat yang
mencerminkan suatu penghormatan. Maka akan lebih utama kalau dia mencurahkan perasaan
cintanya itu kepada perempuan lain melalui perkawinan sehingga terjadi hubungan yang baru
dan rasa cinta kasih sayang yang terjadi antara kedua manusia itu menjadi sangat luas
Sebaliknya seorang perempuan tidak boleh kawin untuk selama-lamanya karena
hubungan kekerabatan dengan laki-laki tersebut di bawah ini:
a. Ayah, ayahnya ayah dan ayahnya ibu dan seterusnya ke atas.
b. Anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki atau anak laki-laki
dari anak perempuan, dan seterusnya menurut garis ke bawah.
c. Saudara laki-laki, baik saudara laki-laki sekandung, seayah, atau
seibu.
d. Saudara laki-laki ayah, baik hubungannya kepada ayah secara kandung, seayah atau seibu.
Termasuk juga saudara laki-laki kakek, baik kandung, seayah atau seibu, dan seterusnya
dalam garis lurus ke atas.
e. Saudara laki-laki ibu, baik hubungannya kepada ibu secara kandung, seayah atau seibu.
Termasuk juga saudara laki-laki nenek kandung, seayah atau seibu, dan seterusnya dalam
garis lurus ke atas.
f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki, baik sekandung, seayah atau seibu. Cucu laki-laki dari
saudara laki-laki, baik sekandung, seayah atau seibu, dan seterusnya dalam garis lurus ke
bawah.
g. Anak laki-laki dari saudara perempuan, baik sekandung, seayah atau seibu. Cucu laki-laki
dari saudara perempuan, baik sekandung, seayah atau seibu, dan seterusnya dalam garis lurus
ke bawah.
a. Ibu susuan.
Yaitu ibu yang menyusui, maksudnya seorang wanita yang pernah menyusui
seorang anak. Ibu susuan dipandang sebagai ibu bagi anak yang disusui itu
sehingga haram melakukan perkawinan.
b. Anak susuan.
Termasuk dalam anak susuan itu ialah anak yang dipersusukan istri, anak yang
disusukan anak perempuan, anak yang dipersusukan istri anak laki-laki, dan
seterusnya dalam garis lurus ke bawah.
c. Saudara sepersusuan.
Termasuk dalam saudara sesusuan itu ialah seseorang yang dilahirkan ibu
susuan, yang disusukan ibu susuan,yang dilahirkan istri ayah susuan, anak yang
disusukan istri ayah susuan, yang disusukan ibu, yang disusukan istri ayah susuan.
d. Paman susuan.
Yang termasuk paman susuan itu ialah saudara dari ayah susuan, saudara dari
ayahnya ayah susuan.
e. Bibi susuan.
Termasuk dari arti bibi susuan itu ialah saudara dari ibu susuan, saudara dari
ibu dari ibu susuan.
f. Anak saudara laki-laki atau perempuan sesusuan.
Termasuk dalam arti anak saudara ini adalah anak dari saudara sesusuan, cucu
dari saudara sesusuan, dan seterusnya ke bawah. Orang-orang yang disusukan
oleh saudara sesusuan, yang disusukan oleh anak saudara sesusuan, yang
disusukan oleh saudara perempuan, yang disusukan oleh istri saudara
laki-laki, dan seterusnya garis lurus ke bawah dalam hubungan nasab dan susuan.
b. Sumpah li’an
Li’an yaitu perceraian yang terjadi karena tuduh-menuduh antara suami istri tentang zina
dimana suami mengatakan bahwa istrinya berzina dan anak yang dalam kandungannya terjadi
dari zina, sedangkan istrinya menolak tuduhan tersebut dan keduanya tetap berpegang pada
pendiriannya, dimana suami menguatkan tuduhannya sedangkan istrinya menguatkan
bantahannya. Maka cerailah antara suami dan istri tersebut, untuk selamanya.
Seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina tanpa mendatangkan empat orang saksi,
maka suami diharuskan bersumpah empat kali dan yang kelima kali dilanjutkan dengan
menyatakan bersedia menerima laknat Allah apabila tindakannya itu dusta. Istri yang
mendapat tuduhan itu bebas dari hukuman zina kalau mau bersumpah seperti suami diatas
empat kali dan yang kelima kalinya diteruskan bersedia mendapat laknat Allah bila tuduhan
suami itu benar. Sumpah demikian disebut sumpah li’an. Jika terjadi sumpah
li’an antara suami istri maka putuslah hubungan perkawinan keduanya untuk selamanya.
Keharaman ini didasarkan firman Allah dalam surat al-Nûr ayat 6-9. Pelaksanaan hukum
li’an sangat memberatkan dan menekan perasaan, baik bagi suami maupun bagi istri yang
dalam perkara li’an ini. Bahkan dapat mempengaruhi jiwa masing-masing, terutama setelah
mereka berada dalam ketenangan berfikir dan perasaan kembali. Hal ini tidak lain adalah; 1)
Karena bilangan sumpah li’an, 2) Karena tempat paling mulia untuk berli’an. 3) Karena masa
yang paling penting untuk li’an, 4) Karena sumpah itu dilakukan dihadapan jama’ah
(manusia banyak).
Pengaruh li’an adalah terjadinya perceraian antara suami istri. Bagi suami, maka istri menjadi
haram untuk selamanya. Ia tidak boleh rujuk atau nikah lagi dengan akad baru.
Berdasarkan hal tersebut, maka nikah seorang budak dengan majikannya yang perempuan
sama sekali tidak sah. Dan jika ada seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan
merdeka, kemudian ia menjadikannya sebagai budak, maka nikahnya pun tidak sah, karena
hukum pemilikan budak itu lebih kuat daripada nikah.
Bolehnya seorang laki-laki merdeka menikahi budak perempuan dengan dua syarat;
1) Takut terjerumus kedalam perzinaan,
2) tidak ada kesanggupan untuk menikahi perempuan merdeka.
Demikian menurut pendapat Imam Safi’i, Imam Maliki dan Imam Hanbali. Sedangkan Imam
Hanafi berpendapat, bolehnya tidak bergantung pada dua syarat tersebut. Yang menghalangi
adalah adanya istri yang merdeka atau sedang dalam menunggu masa iddah.Tidak halal bagi
seorang muslim menikahi budak ahli kitab.
Demikian menurut pendapat Imam Syafi’i, Imam Maliki dan Imam Hanbali. Sedangkan
Imam Hanafi, berpendapat halal. Para Imam Madzhab, bersepakat tentang tidak halalnya
seorang muslim menyetubuhi budakbudak ahli kitab yang diperoleh dengan jalan
memilikinya.
Menurut Imam Abu Tsawr, halal menyetubuhi segala budak yang diperoleh dengan jalan
pernikahan, walaupun beragama lain. Menurut pendapat Imam Syafi’i dan Imam Hanbali,
seorang yang merdeka tidak boleh menikahi seorang budak. Imam Hanafi dan Imam Maliki
mengatakan, boleh menikahi hingga empat orang, sebagaimana bolehnya menikahi
perempuan merdeka. Seorang budak hanya boleh beristri dua orang. Menurut pendapat Imam
Syafi’i, Imam Hanafi dan Imam Hanbali. Imam Maliki berpendapat, boleh beristri lebih dari
dua orang. Seorang yang telah berzina dengan seorang budak boleh menikahinya dan
menyetubuhinya tanpa penangguhan persenggamaan untuk mengetahui kekosongan rahim.
(istibra’), demikian menurut pendapat Imam Syafi’i. Sedangkan Imam Hanafi berpendapat,
bahwa tidak boleh disetubuhi sebelum istibra’ terlebih dahulu selama satu kali haidh atau
sampai melahirkan jika ia hamil. Sedangkan Imam Maliki memakruhkan menikahi wanita
pezina secara mutlak.
Imam Hanbali berpendapat, tidak boleh menikahi perempuan yang telah dizinai kecuali
dengan dua syarat;
a) Telah taubat dari perbuatannya,
b) Istibra’, yaitu hingga ia melahirkan jika hamil atau menunggu tiga kali haid jika ia tidak
hamil.
Dalam hal larangan menikah dengan seorang budak, baik KUHPer maupun UU No 1 tahun
1974 Tentang Perkawinan serta KHI tidaklah relevan dengan fikih klasik, karena Undang-
Undang di Indonesia tidak mengatur tentang perbudakan, sehingga tidak relevan. Memang
kenyataan di masyarakat Indonesia tidak ada praktek perbudakan sehingga memang tidak
dibutuhkan Undang-Undang tentang Perbudakan.
Pada dasarnya bahwa secara filosofis, konstruksi larangan perkawinan dalam UU Perkawinan
di Indonesia maupun KHI, secara prinsip relevan dengan fikih. Karena disinyalir mengadopsi
pendapat para ulama fikih, khususnya imam madzhab empat, sehingga hasil legislasi hukum
positif di Indonesia khususnya undang-undang perkawinan tidak mengalami rekonstruksi
apalagi mendeskonstruksi fikih. Hanya saja, karena secara konteks bahwa masyarakat
Indonesia yang terdiri dari beragamnya budaya, etnis dan suku bangsa, sehingga secara
sosial-kultural dan secara antropologis mengalami penyesuaian. Selain itu, dikarenakan
proses legislasi yang begitu panjang dan alur politik orde baru yang begitu deras dan kesan
patrelinial yang mendominasi terwujudnya corak peraturan perundang-undangan tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari larangan perkawinan dalam fikih serta relevansinya dengan peraturan
hukum perkawinan di Indonesia, bahwa tidak semua perempuan dapat dinikahi, tetapi
syarat perempuan yang boleh dinikahi hendaknya bukan orang yang haram bagi laki-laki
yang akan mengawininya. Larangan perkawinan mencakup halangan abadi (ta’bíd), yaitu
tidak dapat dinikahi selamanya, dikarenakan nasab, perkawinan dan persusuan. Larangan
sementara (gairu ta’bíd) adalah orang yang haram dikawin untuk masa tertentu, seperti
halangan bilangan, mengumpulkan, kehambaan, kafir, ihrám, iddah, perceraian tiga kali
dan peristrian. Pada prinsipnya peraturan hukum perkawinan di Indonesia, baik UU No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun KHI merupakan legeslasi hukum Islam. Pada
prinsipnya, seluruh pasal dalam peraturan hukum perkawinan di Indonesia yang
menyangkut tentang larangan perkawinan, releven dengan apa yang diutarakan dalam
fikih, namun terdapat larangan perkawinan yang tidak terlegeslasikan dalam Undang-
Undang Perkawinan di Indonesia, seperti larangan perkawinan dengan hamba, sedangkan
pasal yang kontroversial, yaitu pasal 40 huruf c. KHI dalam pasal tersebut menjelaskan
bahwa seorang laki-laki muslim dilarang melakukan perkawinan dengan wanita yang
tidak beragama Islam, sebagaimana dalam fikih, yaitu mereka yang tidak beragama Islam,
dalam arti musyrik, penganut Majusi, Nasrani, Yahudi dan Ahli kitab.
Daftar Pustaka
https://loveislamsite.wordpress.com/2015/12/11/kitab-nikahnikah-mutahtahlil-syighar-dan-
jahiliyah/
https://almanhaj.or.id/3555-seseorang-dilarang-meminang-pinangan-saudaranya-orang-tua-
menawarkan-puterinya.html
http://digilib.uinsby.ac.id/3569/3/Bab%202.pdf
https://www.google.com/search?q=nikah+mutah+%2C+nikah.sigar&client=ms-opera-mini-
android&channel=new
https://www.google.com/search?q=surat+an+nisa+ayat+22+23&client=ms-opera-mini-
android&channel=new
https://m.ayobandung.com/read/2020/06/18/96385/5-jenis-nikah-ini-hukumnya-haram
http://repo.iain-tulungagung.ac.id/4390/3/BAB%20II.pdf
https://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/muslimheritage/article/download/1049/717