Budaya politik merupakan variabel determinan atau berpengaruh terhadap sistem politik. Adakah
masyarakat Indonesia memiliki potensi budaya politik yang kondusig bagi berkembangnya sistem
demokrasi? Pertanyaan ini kiranya menarik untuk dikaji kembali sehubungan dengan
berkembangnya tuntutan demokratisasi yang kini sedang marak sejak keruntuhan rezim Orde Baru
di Indonesia.
Indonesia adalah sebauh wilayah dengan karateristik budaya masyarakatnya yang unik dan
kompleks. Dilihat dari segi asal-usulnya, masyarakat Indonesia merupakan produk sejarah dari
pencampuran berbagai macam ras, yang membangun kehidupan bersama dan bersebaran, dari
banyak pulau/kepulauan, dengan identitas religus yang dipengaruhi oleh terutama empat corak
agama besar (Hindu, Budha, Islam, dan Kristen), dan terdiri dari ratusan jumlah etnik dengan bahasa
yang berlainan, dan sebagainya.
Dengan ciri masyakaratnya yang bersifat plural itu, maka dapat dilihat sebagai pengaruh yang ada
terhadap pembentukan budaya masyarakatnya.
Misalnya, aspek sejarah, geografi, pluralitas agama, etnik, ras, dan bahasa.
Maka, tidaklah mengherankan jika gambaran masyarakat di setiap daerah pun memiliki karateristik
budaya yang beragam.
Tidak perlu disebtukan di sini berbagai macam studi yang telah dilakukan para ahli maupun lembaga
tertentu yang mengungkapkan gambaran mengenai corak budaya masyarakat Indonesia yang
beraneka ragam. Mulai dari masyarakat yang terdapat di Jawa,
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Barat, dan Irian Jaya (Papua).
Yang jelas, di masing-masing daerah pulau/kepuluan tersebut, hidup beragam kelompoke etnik
dengan karateristik budayanya sendiri. Gambaran sifat multi-culture, tersebut dengan segala
kompleksitas faktor sosio-historis yang mempengaruhinya, tentu harus dipertiimbangkan dalam
memahami budaya asli masyarakat Indonesia.
Sayangnya, dari berbagai studi yang ada, perhatian masih jarang dilakukan secara spesifik untuk
mengkaji lebih dalam akar nilai-nilai demokrasi berdasarakan budaya politik yang berkembang dalam
setiap masyarakat daearah. Ada alasan sederhana mengapa hal ini mungkin tidak terlalu menarik
minat para sarjana dan peneliti.
Penyebabnya terutama adalah karena terlanjurnya muncul persepsi umum bahawa dalam budaya
politik lokal yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia tidak terdapat nilai-nilai
demokrasi; apalagi jika masalah ini dipahami menurut berbagai rujukan konsep politik
moderen.Tetapi, pertanyaan: apakah benar dalam budaya politk lokal di Indonesia tidak terdapat
nilai-nilai demokratis?
Pertanyaan ini membuat kita perlu membuat pendifinisian atau konseptualisasi mengenai apa
sesungguhnya yang kita maksudkan jika berbicara tentang demokrasi.Yang pasti demokrasi bukanlah
sebuah konsep yang abstrak atau normatif belaka, tetapi sekaligus merupakan cerimanan perilaku
yang melekat pada diri manusia sebagai warga masyarakat.
Demokrasi merupakan suatu konsep ideal yang ketiak diwujudkan dalam kehidupan bernegara
memerlukan ukuran-ukuran tertentu, dalam kaitannya dengan relaitas politik yang dirujuk. Kriteria-
kriteria tersebut menjadi ukuran nasional, termasuk dari segi budaya, untuk menila apakah suatu
masyarakat tertentu memiliki budaya politik yang demokratis atau tidak.
Banyak sekali pengertian tentang demokrasi yang telah dirumuskan oleh para ilmuwan dan teoritis.
Dari sejumlah pengertian tersebut, meskipun terdapat perbedaan nuansa konseptual, terutama jika
dilihat dari identifikasi kriteria normatif yang dirumuskan oleh masing-masing teoritis, pada
dasarnya terdapat persamaan-persamaan penting yang menunjukkan universalitas konsep
demokrasi berdasarkan krteria-kriteria yang menjadi cerminan perwujudan konsep tersebut.
Herry B. Mayo, misalnya, mencatat setidaknya delaapan ciri utama yang harus diperhatikan untuk
menilai apakah sebuah masyarakat bersifat demokratis atau tidak, yaitu: (1) adanya penyelesaian
perselisihan dengan damai dan suka rela; (2) adanya jaminan bagi terjadinya perubahan secara
damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah; (3) adanya pergantian penguasa yang
berlangsung secara tearatur; (4) adanya pembatasan atas pemakain kekerasan (pakasaan) secara
minimum; (5) adanya pengakuan dan penghormatan atas keanekaragaman; (6) adanya jaminan
penegakan keadilan; (7) adanya upaya memajukan ilmu pengetahuan; (8) adanya pengakuan dan
penghormatan terhadap kebebasan.
Sedangkan William Ebenstein menyebutkan sekitar delapan ciri utama yang dapat dijadikan acuan
untuk memhami dan mengukur demokratis atau tidaknya kehidupan politik sebuah masyarakat,
yaitu: (1) emperisme rasional; (2) penekanan pada individu; (3) negara sebagai alat; (4) kesukarelaan
(voluntarism); (5) hukum diatas hukum; (6) penenkanan pada cara; (7) musyawaram mufakat
sebagai dasar dalam hubungan antar manusia; dan (8) azas persamaan semua manusia. Kesemua
ciri ini diletakkan dalam konteks pengharagaan setiap orang dalam mengekspresikan diri dan
kepentingannya.
Akan halnya Carter dan Hertz mengonseptualisasi tujuh ciri demokrasi, yaitu: (1) pembatasan
terhadap tindakanpemerintah dengan menjamin terjadinya pergantian pemimpin secara berkala,
tertib, damai, melalui alat-alat perwakilan rakyat yang efektif; (2) mengharagai sikap toleransi
terhadap perbedaan pendapat yang berlawanan; (3) menjamin persamaan di depan hukum yang
diwujudkan dengan sikap tunduk kepada rule of law tanpa membedakan kedudukan politik;(4)
adanya kebebasan berpartisipasi dan berposisi bagi partai politik, organisasi kemasyarakatan,
masyarakat dan perorangan, termasuk bagi pers dan media massa; (5) adanya penghormatan
terhadap hak rakyat untuk meberikan pendapatnya betapapun tampak masalah dan tidak populer;
(6) penghargaan terhadap hak-hak minoritas dan perorangan; (7) pengunaan cara persuasif dan
diskursif ketimbang koersif dan repersif.
Adapun Robert A. Dahl mengajukan lima kriteria demokratis, yakni: (1) persamaan hak pilih dalam
menentukan keputusan kolektif yang mengikat; (2) partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama
bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif; (3) pemebebaran
kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian
terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan; (4) kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu
adanya kekuasaan eksklusif bagi masyakarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan
tidak harus diputuskan melalui pemerintahan; (5) pencakapan, yaitu terliputnya masyarkat dalam
kaitannnya dengan hukum. Selanjutnya, Andrews dan Chapman mengemukakan enam ciri
demokrasi, yaitu: (1) hak suara yang luas; (2) pemilihan umum yang bebas dan terbuka; (3)
kebebasan berbicara dan berkumpul; (4) pengharagaan aats rule of law; (5) pemerintah yang
bergantung pada parlemen; dan (6) badan pengadilan yang bebas.
Sedangkan Ulf Sundhauessen menyebutkan tuga syarat demokrasi untuk suatu sistem politik, yaitu:
(1) jaminan atas hak seluruh warga negara untuk dipilih dan memilih dalam pemilu yang
dilaksanakan secara berkala dan bebas; (2) semua warga negara menimkmati kebebasan berbicara,
berorganiasasi, memperoleh informasi, dan beragama; (3) dijaminanya hak yang sama di depan
hukum.
Sementara Amin Rais mengajukan setidaknya sepuluh kriteria sebagai berikut: (1) partisipasi dalam
pembuatan keputusan; (2) persamaan di depan hukum; (3) distribusi penpatan secara adil; (4)
kesempatan pendidikan yang sama; (5) pengakuan dan penghargaan terhadap
empat macam kebebasan: kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan media massa, kebebasan
berkumpul, dan kebebasan beragama; (6) ketersediaan dan keterbukaan infromasi; (7)
mengindahkan fatsoen (tatakrama); (8) kebebasan individu; (9) semangat kerjasama; dan (10) hak
untuk protes.
Demikianlah, berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan di aats, tampak bertapa variasinya
ciri-ciri demokrasi yang dapat dikemukakan.
Namun demikian, dari sejumlah pendapat tersebut, terdapat beberapa kriteria demokrasi yang
menjadi titik persamaan dari keseluruhan pendapat tersebut, sebagai berikut:
1) Penghargaan terhadap inividu. Di sini demokrasi merupakan sebuah padangan yang lebih
menonjolkan aspek individu ketimbang konektivitas;
2) Kebebasan dalam empat hal, yaitu berpendapat; berkumpul atau mengadakan rapat; kebebasan
memperoleh informasi; dan kebebasan beragama;
3) Adanya persamaan kedudukan bagi setiap warga negara di depan hukum tanpa kecuali. Setiap
warga negara berhak mendapatkan perlakuan hukum yang adil tanpa membedakan asal-usul
maupun latar belakang sosial;
4) Adanya pemilihan pemimpin lembaga sosial dan pemerintahan yang dilakukan secara berkala.
5) Adanya hak yang dimiliki oleh setiap warga negara untuk dipilih dan memilih dalam pelaksanaan
pemilu yang dilaksanakan secara berkala.
6) Adanya partisipasi masyakarakat dalam pengambilan keputusan yang mengikat secara kolektif.
7) Adanya hak masyarakat untuk menyampaikan protes dan atau menjadi oposisi berhadapan
dengan penguasa;
10) Pentignya cara musyawarah-mufakat dilakukan dalam penyelesaian setiap perkara dalam
masyarakat.
Keseluruhan kriterian yang dikemukakan di atas kiranya dapat dijadikan basis konseptual untuk
menilai ada tidaknya demokrasi yang berkembang di masyarakat Indonesia. Kriteria-kriteria
Tersebut mungkin sebagian ada yang sudah terwujud, sementara sebagain lainnya sudah nampak
meskipun denganperwujudan yang masih minimal. Namun, tentu saja usaha untuk mewujudkan
sebagai dasar kriteria demokrasi tersebut tergantung pada demokratisasi yang mewarnai
perkembangan politik Indonesia sendiri.
Demokrasi berhubungan erat dengan demokratisasi. Demokratisasi adalah sebuah proses politik
yang dijalankan oleh pemerintah bersama masyarakat untuk menciptakan kehidupan politik yang
demokratis. Dalam konteks itu, berlangsungnya demokratisasi penting untuk dilihat dengan
mengacu kepada dua hal utama yang menjadi dasar demokrasi.
Pertama, adanya seperangkat ketentuan normatif (kriteria nilai-nilai) yang harsu terpenuhi di dalam
masyarakat. Kedua, adanya suatu struktur politik yang berkembang dalam masyarakat bersangkutan
yang memenuhi ketentuan normatif tersebut.
Demokratisasi pada hakikatnya merupakan suatu proses perubahan politik (political change) dari
keadaan yang dianggap lebih kurang demokratis. Alasan bagi adanya perubahan politik itu sendiri
adalah disebabkan oleh ketidakpuasan psikologis yang telah dialami bersama oleh masyarakat
sebagai warga negara terhadap kehidupan politik yang sedang dialami. Karena itu, perubahan politik
dalam konteks demokratisasi tersebut pada dasarnya merupakan sebuah usaha yang legitimate
untuk dilakukan oleh masyrakat itu sendiri dalam menciptkan keadaan yang lebih sesuai dengan
tuntuan budaya politik yang demokratis.
Demokratisasi tidak akan bisa berjalan bila tidak ditunjang oleh adanya budaya politik yang sesuai
dengan prinsip-prinsip demokrasi. Dalam berhadapan dengan tuntutan perubahan, di dalam suatu
masyarakat tertentu kemungkinan terdapat dua sikap yang secara ekstrim bertentangan secara
budaya, yaitu bersifat “mendukung” (positif) di satu sisi, dan kemungkinan pula bersifat
“menentang” (negatif) di sisi lain. Karena itu, demokratisasi sebagai sebuah prsoses perubahan
dalam menciptakan kehidupan politik yang demokratis secara logis akan dihadapkan pula dengan
dua kutub sikap ekstrim, yaitu apakah dalam budaya politik masyarakat bersangkutan terdapat nilai-
nilai yang “pro” ataukah “anti” demokrasi.
Budaya politik, menurut Almond dan Verba, merupakan sikap individu terhadap sistem dan
komponen-komponenya, dan juga sikap inividu terhadap peranan yang dimainkan dalamistem
politik. Singkatnya, budaya politik tidak lain daripada orientasi psilogis terhadap obyek sosial, dalam
hal ini sistem politik.
Positif atau negatif sikap seseorang terhadap sistem politik yang berkembang menuju kondisi
demokratis, adalah tergantung pada corak orientasi budaya politik yang dimilikinya.
Budaya politikb suatu masyarakat dengan sendirinya bekembang dipengaruhi oleh kompleksitas nilai
yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, kehidupan masyarakat dipenuhi oleh
interaksi antar orientasi dan antar-nilai yang memungkinkan timbulnya kontak-kontak di antara
budaya politik suatu kelompok atau golongan, yang mungkin lebih cepat disebut “sub-budaya
politik”, yang pada dasarnya merupakan proses dimana terjadi pengembangan budaya bangsa
dalam proses itu.
Berfungsinya budaya politik dengan baik sebagai budaya bangsa yang matang, menurut Alomond
dan Verba, pada prinsipnya ditentukan oleh tingkat keserasian antar kebudayaan bangsa itu dengan
struktur politiknya.
Dengan demikian, semakin serasi budaya bangsa dengan sturktur politiknya, maka semakin matang
pula budaya politik yang ada di dalam masyarakatnya.
Budaya politik yang matang termanifestasi melalui orientasi pandangan dan sikap individu terhadap
sistem politiknya. Budaya politik yang demokratis akan mendukung terciptanya sistem politik yang
demokratis. Di sini yang dimaksud dengan budaya politik yang dmokratis, menurut Almond dan
Verba, adalah suatu kumpulan sistem keyakinan, sikap,norma, persepsi dan sejenisnya, yang
mendorong terwujudnya partisipasi.
Budaya politik yang demokratis merupakan budaya politik yang partisipatif, yang diistilahkan oleh
Almond dan Verba sebagai civic culture. Karena itu, hubungan antar budaya politik denan
demokrasi (demokratisasi) dalam konteks civic culture tidak dapat dipisahkan.
Adanya gambaran perwujudan sifat demokratis atau tidak dari budaya politik yang berkembang di
dalam suatu masyarakat, dengan demikian tidak hanya dapat dilihat dari interaksi antar individu
dengan sistem politiknya, tetapi juga interkasi antar individu dalam konteks kelompok atau golongan
dengan kelompok dan golongan sosial lainnya. Dengan kata lain, bahwa budaya politik dapat dilihat
manifestasinya dalam hubungan antara masyarakat dengan struktur politiknya, dan dalam hubungan
antar kelompok dan golongan dalam masyarakat itu.
Jadi, disamping orientasi terhadap sistem atau struktur politik, menurut Almond dan Powell,
terdapat lagi aspek lain dari budaya politik yang berkaitan dengan pandangn dan sikap invidu dalam
masyarakat sebagai sesama warga negara.
Sikap atau pandangan ini berkaitan dengan “rasa percaya” (trust) dan “permusuhan” (hostility) yang
terdapat antar warga negara yang satu dengan warga negara lainnya atau antar golongan yang satu
dengan golongan lainnya dengan masyarakat.
Perasaan-perasaan atau perilaku individual tersebut merupakan budaya politik mungkin terlihat
pada pandangan dan sikap seseorang terhadap pengelompokan yang ada disekitarnya dalam
bentuk kualitas politik yang sering kita temukan yaitu konflik dan kerjasama. Kemampuan untuk
menciptakan keseimbangan antara konflik dan konsensus secara beradab, melalui prosedur yang
tersedia, karena itu, juga dapat menjadi dasar penilaian dalam melihat potensi budaya politik
demokratis yang berkembang dalam masyarakat bersangkutan.Konteks Indonesia
Berbicara tentang budaya politik yang demoktratis dalam konteks masyarakat Indonesia, dengan
demikian kiranya jelas gambarannya bahwa masalah yang harus diperhatiakn amat terkait dengan
persoalan latar belakang “sub-budaya etnik dan daerah” yang berkembang yang bersifat majemuk.
Dengan keanekaragaman latar berlakang itu, maka kondisinya sudah pasti membawa pengaruh
terhadap budaya politik bangsa Indonesia sendiri.
Kemungkinan dalam interaksi antar sub-budaya politik yang majemuk itu adalah terjadinya jarak
tidak hanya antar budaya politik budaya daearh dan etnik yanga ada satu dengan lainnya, tetapi juga
antar budaya politik pada tingkat nasional dengan budaya politik tingkat daerah.
Apabila pada tingkat nasional yang tampak lebih menonjol didominasi oleh pandangan dan sikap
antar sub-sub budaya politik yang saling berinteraksi, maka di tingkat daerah yang mungkin
berkembang adalah sub-budaya politik” yang lebih kuat dalam arti primordial.
Studi tentang budaya politik yang mengungkapkan adanya perbedaan ciri secara primordial
mengenai setiap daerah dan etnik tertentu di Indonesia, kiranya telah banyak dilakukan oleh para
ahli. dan berbagai penelti lainnya yang telah menghasilkan karya-karya terkenal mereka.
Kelemahan yang terasakan dari berbagai penelitian yang ada adalah bahwa upaya untuk
mengungkap hubungan antar budaya politik daerah (lokal) dengan demokratisasi itu sendiri dalam
kerangka sistem politik secara nasional tampaknya belum banyak, jika tidak dikatakan belu ada,
yang mencoba secara khusus untuk mendekatinya.
Suatu budaya politik nasional yang hendak dikembangkan oleh bangsa manapun didunia, termasuk
Indonesia, adalah budaya politik yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokarsi. Demokratisasi
sebagai suatu proses pembangunan politik menuju penciptaan civic culture atau “budaya bangsa”
yang matang secara demokrasi yang selama ini diharapkan dapat tercipta sebenarnya amat
ditentukan oleh berkembangnya budaya politik derah yang kondusif ke arah cita-cita tersebut.
Karena itu, dalam rangka menjawab permasalahan tersebut, maka adanya upaya untuk
mengindetifikasi budaya politik daerah yang berkolerasi positif maupun negatif dengan
demokratisasi amat penting artinya, untuk mengetahui dan memahami tantangan dan prospek
keberhasilan demokratisasi yang kini sedang dijalankan di negeri ini. Dengan demikian, masalah
yang penting dijawab adalah apakah budaya politik yang berkembang di masyarakat itu pro atau anti
demokrasi?Memang, hal yang menarik untuk digarisbawahi bahwa pertanyaan mengenai ada atau
tidaknya budaya politik demokratis di Indonesia kiranya telah banyak menjadi perdebatan selama
ini.
Berbagai pendapat yang diperoleh dari hasil pengamatan maupun penelitian yang asih terbatas
mungkin membuat kesimpulan yang berbeda. Dua titik ekstrim dapat digeneralisasi. Pendapat
pertama, di satu sisi menyatakan bahwa budaya politik demokratis tidak punya akar dalam
masyarakat negeri ini. Sementara pendapat kedua, di sisi lain ada yang menyanggahnya. Masing-
masing dapat saja menawarkan hasil temuan studi maupun pengamatan yang berbeda.
Pendapat yang lebih rasional dan hati-hati yang berupaya menengahi kedua titik ekstrim tersebut
mungkin lebih tepat, bahwa disamping budaya anti-demokrasi, terdapat pula budaya atau benih-
benih budaya yang demokratis yang berkembang dimasyarakat Indonesia. Dengan demikian,
permasalahan pokoknya sesungguhnya mungkin lebih terletak pada konteks tingkatan budaya
politik yang telah dicapai dalam masyarakat Indonesia, denga melihat setidaknya gejala dominan
yang ditemukan dan variannya dalam kasus per kasus, serta kriteria-kriteria normatif demokrasi
yang dijadikan acuan seperti yang telah dipaparkan sebelumnya.
Salah satu basis argumen bagi contoh pendapat yang menungkapkan bahwa di dalam budaya asli
masyarakat Indonesia, demokrasi bukan merupakan “barang baru mengacu pada sistem nilai
musyawarah-mufakat. Praktik demokrasi berdasarkan prinsip musyawarah-mufakat tersebut
dianggap telah berlangsung sejak berabad-abad, sejak masyrakat hidup dalam sifat perkauman di
zaman kerajaan-kerajaan, hingga kini seperti tampak masih berusaha diperthankan di dalam
kehidupan masyarakat Indonesia.
Tradisi yang hidup dalam masyrakat pertanian tradisional ini, yang disebut juga tradisi berembung,
bahkan sudah menjadi praktik yang terlembangkan dalam bentuk yang unik di berbagai daearh
seperti kerapatan Nagari, Rembung Desa, Musyawarah Subak, dan forum-forum musyawarah
masyarakat desa lainnya.
Praktik demokrasi lainnya adalah tradisi pepe atau penyampaian pendapat (protes) yang dilakukan
rakyat terhadap penguasa melalui aksi diam. Tradisi ini juga telah melembaga dalam kehidupan
masyrakat jawa tradisional masa lalu.
Namun demikian, berbeda dengan pendapat yang positif yang dikemukakan di atas, di sisi lain ada
juga pendapat yang tampaknya cukup dominan dalam wacana politik Indonesia, yang
mengemukakan bahwa budaya politik demokratis tidak dikenal dalam masyarakat Indonesia.
Berbagai ciri budaya yang ditampilkan sebagai penguat argumen pendukung tesis negatif ini, antara
lain mengacu pada budaya masyarakat Indonesia, seperti feodalisme, klientalisme, primodalisme
(suku, agama, ras, dan pengelompokan sosial lainnya yang dianut secara emosional), dan
sebagainya. Dikatakan bahwa budaya anti-demokrasi ini telah mengakar sejak dulu dan masih
bertahan / dipertahankan dalam berbagai praktik kehidupan masyarakat hingga ini.
Gejala bertahannya budaya anti-demokrasi tersebut dapat dilihat terutama dalam interaksi antara
rakyat dengan penguasa atau antara bawahan dan atasan, baik pada lembaga birokrasi tradisional
maupun modern di segala level. Budaya ini dianggap sebagai warisan masa lalu yang telah
berkembang sejak zaman kejayaan kerajaan-kerajaan di Nusantara, yang kemudian dipupuk dan
dilestarikan oleh penguasa kolonial demi kepentingan mempertahankan penjajahan, namun
berlanjut dan bahkan sengaja dilestarikan oleh penguasa birokrasi pemerintah di Indonesia hingga
sekarang.
Perbenturan pendapat antara dua pendukung tesis pendapat di atas telah muncuk sejak awal
kemederdekaan negeri ini di masa lalu, pada saat dimana ketika itu sedang diperdebatkan konsep
dasar bagi proses penataan sistem politik Indonesia pasca-klonial.
Dalam proses perdebatan tersebut, timbul perbedaan pandangan di kalangan elit poilitik mengenai
sistem politik yang dianggap sesuai dengan budaya Indonesia. Cermin perbedaan ini tampak
terutama dalam sosok Hatta dan Seokarno. Kedua pemimpin memiliki prsepsi yang berbeda
mengenai demokrasi. Dalam konteks kelembagaan, corak sistem demokrasi parlementer seperti
yang tampak pada tahun 1949 hingga 1950 -an merupakan reprentasi cita-cita Bung Hatta,
sedangkan Demokrasi Terpimpin seperti dipraktikkan pada tahun 1959 hingga pertengahan 1960-an,
adalah cerminan cita-cita penggasnya, Seokarno.
Kedua sistem politik (Demokrasi Libera dan Demokrasi Termpinpin) yang pernah dilalui dalam
sejarah bangsa Indonesia tersebut, oleh banyak penilian, dibedakan secara krusial sebagai periode
demokrasi dan otoritarisme. Dalam konteks budaya politik, di satu pihak periode Demokrasi
Parlementer yang disokong oleh Bung Hatta tersebut oleh Soekarno dipandang sebagai cerminan
praktik demokrsi berdasarkan budaya Barat, sementara di sisi lain praktik Demokrasi Terpimpin yang
oleh Seokarno diklaim sesuai dengan asli Indonesia dikritik tajam oleh Bung Hatta merupakan
cerminan budaya feodal dan otoriter atau anti-demokrasi. Dari sini tampak ambivalensi pemahaman
diantara kedua pemipin bangsa tersebut, yang mungkin dapat dianggap merepresentasikan
pembelahan pandangan kebanyakan elit Indonesia pula mengenai makna budaya politik yang
hendak dibentuk dalam masyarakat Indonesia.Perubahan dari Orde Lama (era Demokrasi Terpimpin)
ke Orde Baru pun pada dasarnya merpakan pergantian rezim.
Era Orde Baru tidak lain hanya merupakan lanjutan dan peyempurnaan dari model sistem politik
Orde Lama. Budaya politik yang dikembangkan pun tidak jauh berbeda. Ciri otoritarian malahan kian
menonjol. Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, apa yang dianggap sebagai warisan budaya
feodal jawa dilembagakan dalam hubungan antara rakyat dengan penguasa. Sistem politik
Orde Baru tidak hanya dianggap sebagai cerminan budaya feodal yang pernah dipraktikkan pada
zaman kekuasaan raja-raja Jawa (Mataram) di masa lalu, namun bahkan lebih jauh juga dianggap
kelanjutan dai sistem birokrasi zaman klonial Belanda. Oleh rezim Soeharto, sistem politik tersebut
juga diklaim sebagai sistem yang sesuai dengan budaya asli Indonesia yang disebutnya sebagai
Sistem Demokrasi Pancasila yang murni.
Namin demikian, dalam perkembangannya, dengan runtuhnya pemerintahan Orde Baru setelah
berkuasa selama lebih dari 32 tahun di bawah kepemimpinan otoritarian rezim Soeharto,
bagaimanapun telah menciptakan implikasi yang amat “radikal” terhadap kehidupan politik
Indonesia. Budaya politik Indonesia kembali dipertanyakan dalam kaitannya dengan tuntutan
demokrasi yang mencaut ke permukaan.
Jika dilihat dari segi sejarah, konteks perubahan politik tersebut secara artifisial mungkin untuk
dinyatakan sebagai proses transfromasi sistem politik yang keempat dalam perjalanan panjang yang
telah dilalui oleh negeri ini sejak kemerdekaan (1945), setelah pengalaman Demokrasi Parlementer
(1949-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1965), dan Demokrasi Pancasila (1966-1998) yang
jargonistik.
Apa sebutan simbolik bagi sistem politik baru yang kini sedang dalam pencairan format
kekhususannya itu, untuk berbeda atau dibedakan dengan karateristik sistem-sistem politik yang
pernah ada sebelumnya? Apakah perlu untuk memproklamirkan pula eksitensi dan identitasnya
secara eksklusif dengan menambahkan embel-embel tertentu di
belakang kata demokrasi yang hendak diwujudkannya? Tampaknya hingga dewasa ini belum ada
sebutan yang disepakati bersama kalangan elit.
Istilah yang digunakan di sana-sini baru sebatas sebutan formal terhadap kabinet pemerintah,
seperti Kabinet Reformasi Pembangunan di masa Presiden BJ Habibie, dan selanjutnya Kabinet
Persatuan Nasional di era Presiden KH. Abdurrahman Wahid; dan Kabinet Gotong Royongi di era
Presiden Megawati Soekarnoputri; dan Kabinet Indonesia Bersatu di era Presiden Susilo Bambang
Yudhyono (SBY).
Menandai gambaran perbuhan politik tersebut, sebagaimana lazimnya tindakan yang dilakukan oleh
sebuah rezim penguasa yang baru, terjadi retrukturisasi kelembagaan politik dan revisi produk
hukum. Misalnya, dalam hal revisi produk hokum, antara lain lahir dari UU Partai Politik, UU Pemilu;
UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPD; UU tentang Pemerintah Daerah dan
Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah; dan sebagainya. Di samping itu, dalam konteks pembaharuan
kelembagaan terbentuk pula lembaga-lembaga baru seperi Komite Ombudsman, Komisi
Pemeberantasan Korupsi (KPK), dan berbagai insitusi lainnya.
Terjadinya perubahan sistem politik tersebut pada dasarnya merupakn respons pemerintah pasca
Orde Baru(pemerintah era Reformasi) terhadap tuntutan dan asipirasi demokrasi. Kita ketahui
bahwa gejolak masyarakat yang terutama dipicu oleh gerakan kaum terdidik (khususnya mahasiswa)
sebagai lapisan kelas menengah (middle class), telah menimbulkan dampak perubahan siginifikan
terhadap format sistem format politik. Karena itu, maka tuntutan untuk melakukan reformasi
terhadap sistem politik dan kenegaraan tersebut pada dasarnya merupakan kehendak umum atau
harapan umum dimana masyarakat berkepentingan atas terciptanya kehidupan politik yang lebih
baik dari pada di masa lalu, yaitu suatu sistem yang benar -benar terbuka dan demokratis.
Inisiatif perubahan itu tentu saja tidak berarti harus ditafsirkan sepihak semata adalah sepenuhnya
dipicu oleh tuntutan masyarakat. Bagaimanapun, adanya keinginan pemerintah yang berkuasa juga
menentukan setidaknya pada tingkat responsibilitas dan rasionalisasi dimana tuntutan rakyat itu
dengan segera ditangkap dan diterjemahkan kedalam berbagai kebijakan umum (public policy) yang
reformatif. Dengan demikian, maka hubungan positif antara masyarakat dan pemerintah merupakan
hubungan yang simbiotik idelaistis-mutualistik, sehingga perubahan itu mungkin terjadi secara
asipiratif.
Namun demikian, ada sebuah persoalan yang mungkin amat menarik untuk kembali dipertanyakan
dalam proses reformasi itu, yakni apakah dengan perubahan sistem politik sebagai realisasi tuntutan
dan harapan demokratisasi tersebut telah diikuti atau diiring pula dengan adanya perubahan
budaya politik (?). Bagaimanapun, hubungan antara perubahan formal yang terjadi pada level
prosedural (kelembagaan) politik ini dalam kaitannya dengan perubahan substantif pada level
budaya politik adalah amat siginifikan dipertanyakan; mengingat proses demokratisasi bukan semata
merupakan perubahan sistem kelembagaan, tetapi juga perubahan pada tataran nilai-nilai politik.
Pemerintah Orde Baru di bawah rezim Soeharto di masa lalu, terlepas dari kelemahannya sebagai
suatu sistem politik yang otoritarian, harus diakui telah berhasil menciptakan sistem politik yang
kokoh.
Sedemikian “berhasil” sistem politik menurutperspektif kepentingan rezim yang berkuasa ketika itu,
sehingga proses pelembagaan politik (political institutionalization) yang diciptakan mampu
membuahkan tingkat stabilitas yang amat maksimal bagi orientasi program pembangunan yang
dijalankan.
Meminjam istilah Hutington, rezim Orde Baru Sepanjang era kekuasannya yang panjang ketika itu
berhasil menciptakan sautu tertib politik (political order) yang amat dibutuhkan melalui
pelembagaan partisipasi politik dengan tujuan untuk menciptakan kestabilan politik pembangunan.
Keberhasilan itu bahkan lebih jauh telah menjadi penyangga (buffer) terhadap rezim dalam
upayanya untuk tetap mempertahankan ¸termasuk dalam hal proses pengendalian kekuatan sosial
dan politik.Persoalan serius yang kemudian tampak terus diabaikan oleh rezim Orde
Baru hingga keruntuhannya, dan juga oleh rezim pemerintah sebelumnya, baik di masa Demokrasi
Parlementer maupun Orde Lama, adalah faktor budaya politik (political culture) yang justru amat
sangat siginifikan dalam proses pelembagaan politik tersebut. Sistem politik yang berhasil dibangun
tidak ditunjang pemberdayaan budaya politik yang demokratis yang seharusnya pada saat yang
sama didorong perkembangannya secara akomodatif. Dalam kenyataanya, justru perilkau rezim
yang berkuasa malah cenderung tetap mengembangkan dan mempertahankan pola budaya politik
yang anti-demokratis, hingga akhirnya terjatuh sebagai akibat ambisi kekuasaanya itu sendiri.
Kini, dalam era reformasi, setelah keruntuhan rezim Orde Baru, barulah mungkin kita tersadar
kembali akan kenyataan sejarah untuk kesekian kalinya terhadap semua kegagalan dalam memberi
perhatian bagi pembangunan budaya politik yang demokratis. Rezim Orde Baru telah menjadi
korban perilaku kekuasaan dan sistem politiknya sendiri. Biarlah pengalaman itu, dan juga
pengalaman-pengalaman beberapa pemerintahan yang pernah ada sebelumnya, menjadi pelajaran
berharga bagi kita. Saatnya kini dimensi budaya politik mendapatkan perhatian yang lebih serius.
Diharapkan perjalanan pemerintah kita tidak lagi terperangkap pada kekeliruan pembangunan
politik seperti ”seekor keledai terantuk pada batu yang sama”.
Permasalahnnya yang penting untuk segera direspons adalah terletak pada tuntutan perubahan
budaya politik di dalam masyarakat. Sebab, dari faktor tersebutlah kita akan dapat melihat
sumbangan yang mungkin dapat diberikan oleh dimensi budaya politik terhadap demokratisasi
kehidupan politik. Diakui, dalam era reformasi saat ini, arus mayarakat sipil telah menciptakan
tekanan yang amat kuat terhadap pemerintah yang berkuasa agar benar-benar menujukkan political
civil untuk membangun demokrasi, dan hal itu telah menggelinding sebagaimana terbukti dengan
terjadinya penataan kelembagaan yang dibutuhkan bagi berkembangnya demokrasi.
Namun demikina, masalah krusial yang dihadapi adalah bahwa proses konsolidasi kelembagaan
demokrasi itu tidak akan ada artinya tanpa ditunjang oleh berseminya atau berkembangnya nilai-
nilai demokrasi dalam masyarakat. Sejauh ini nampaknya perubahan politik yang terjadi sejak
keruntuhan rezim Orde Baru tak lebih hanya merupakan perubahan pada tataran prosedural
(instutisional) belaka.
Perubahan itu cenderung lebih bersifat legalistik ketimbang substantif. Sistem politik yang berhasil
dibangun baru sampai pada bentuk demokrasi semu (pseudo demokrasi); pada dasaraya tataran
perubahan institusional yang sudah berlangsung tersebut belum ditunjang pula oleh terjadinya
perubahan pada tataran budaya politik.
Untuk itulah, maka suatu upaya pembangunan budaya politik Indonesia yang kondusif dalam
kaitannya dengan demokrasi atau demokratisasi amat penting untuk segera dievaluasi dan dikaji
mendalam, sehingga dapat diketahui berbagai hambatan dan peluang yang sedang dihadapi dalam
perubahan politik Indonesia yang sebenarnya. Untuk tujuan tersebut, ada tigga masalah utam yang
perlu dikaji, yaitu: pertama, hubungan antar budaya politik dan demokratiasi menurut persepsi
budaya politik masyarakat lokal di negeri ini;kedua, identifikasi potensi budaya politik lokal antara
yang pro atau anti demokrasi (demokratisasi); dan ketiga, rumusan kerangka acuan demokrasi yang
diperoleh dari perspektif budaya lokal sebagai dasar bagi usaha membangun sistem demokrasi itu
sendiri.
Dari jawaban yang diperoleh atas berbagai gambaran masalah budaya politik yang berkembang
dalam masyarakat Indonesia berdasarkan perspektif local itulah, suatu identifiksi dan upaya
sistematis dapat dilakukan oleh pemerintah bersama masyarakat untuk memabangun sistem
demokrasi yang sesuai dengan konteks politik Indonesia dengan mengacu kriteria-krietria demokrasi
bersifat universal yang telah dipaparkan sebelumnya. Hal inilah yang kiranya menjadi tantangan
serius yang mendesak untuk ditelusuri jawabannya oleh para akedimisi dan peneliti Indonesia
dewasa ini.
Perilaku politik atau tindakan-tindakan politik yan g dilakukan oleh warga negara adalah suatu
kegiatan baik perorangan maupun kelompokyang ditujukan untuk mempengaruhi kebijakan politik
(Pemerintah). Istilahperilaku politik dalam perkembangan selanjutnya sangat terkait dengankonsep
budaya politik. Kedua konsep ini tidak bisa terpisahkan antara satudengan lainnya. Namun sejatinya
kedua konsep ini berbeda jika dipahamisecara lebih luas.
Perilaku politik lebih mengarah pada tindakan -tindakanyang disebabkan cara pandang individu atas
sistem politik yangdilaksanakan dalam aktivitas berpolitik dia. Sedangkan budaya politik
lebihberkonotasi pada pelembagaan dari perilaku politik warga negara yangtelah menyatu dalam
aktivitas sosial dan politik.Pada tataran praksis, budaya politik warga negara akan nampakdalam
proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentinganpublik, dalam proses rekrutmen
politik partai politik atau lembagalegislatif, pada proses kampanye politik dan aktivitas menyalurkan
suarapolitiknya dalam pemilu (eksekutif dan legislatif) m aupun dalam pemilihankepala daerah
(pilkada).
Pola-pola perilaku politik yang nampak kepermukaan dan cenderung menjadi hal yang biasa secara
umum, dapat mengindikasikan bahwa telah terjadi proses pelembagaan perilaku politik warga
negara menjadi budaya politik. Tentu saja perilaku politik yangdikehendaki untuk menjadi budaya
politik warga negara Indonesia adalah budaya politik yang bisa membangun secara konstruktif bagi
pendewasaan sistem politik Indonesia. Artinya budaya politik tersebut semakin menjadi bagian yang
mencirikan bahwa pendidikan politik warga negara Indonesia semakin berkualitas. Bukti adanya
peningkatan kualitas budaya politik warga negara adalah dalam hal proses politik yang didalamnya
setiap warga negara terlibat atau melibatkan diri. Dia berpartisipasi politik secara dewasa dalam
menentukan pilihan dan keputusan politiknya.
Bagaimana fakta budaya politik yang ada dan terjadi dalam aktivitas politik masyarakat Indonesia?
Nampaknya masih jauh panggang dari api. Fenomena yang terjadi masih mengin dikasikan bahwa
budaya politik Indonesia belum memiliki identitas yang jelas dan ajeg. Untuk itu perlu upaya
konstruktif, fokus dan terprogram dalam pembangunan budaya politik Indonesia. Upaya
membangun gerakan budaya politik Indonesia adalah tanggung jawab segenap elemen bangsa. Ini
bertujuan agar pola-pola tindakan politik warga negara dapat terarah dan terprogram menuju pada
proses pencapaian kesejahtaraan masyarakat.
Demokrasi dalam Penyelenggaraan Negara Demokrasi sebagai pilihan sistem politik Indonesia
memiliki tujuan ideal dalam hal pengakuan atas hak- hak politik warga n egara. Upaya penjaminan
atas kehidupan politik rakyat diatur dalam UUD 1945 dan UU Perpolitikan lainnya. Demokrasi
modern yang telah berjalan dalam beberapa waktu pasca reformasi politik tahun 1998 dihadapkan
pada kenyataan kompleksitas permasalahan yang terjadi dalam masyarakat.
Tuntutan akan kebutuhan pemimpin negara (Pusat dan Daerah) yang sesuai dengan harapan
masyarakat dan berjalannya proses demokratisasi dalam pemilu dan pilkada secara jujur, adil dan
akuntabel adalah perlu dijawab melalui penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good
government). Ini harga yang tidak bisa ditawa r lagi jika Republik Indonesia ingin menjadi negara
yang memiliki jati diri dalam percaturan i nternasional. Karena salah satu tuntutan demokrasi adalah
dilaksanakannya supremasi hukum dalam setiap lini pemerintahan negara baik di Pusat maupun
Daerah.
Proses berdemokrasi pada pemerintahan Negara Indonesia harus dibuktikan oleh lembaga -lembaga
penjamin baik di Pusat maupun Daerah (Presiden, DPR , DPD maupun DPRD). Mereka harus
meyakinkan rakyat bahwa demokrasi dipastikan akan berjalan dengan baik. Presiden sebagai kepala
negara dan pemerintahan harus mampu membawa kabinetnya dalam penyelenggaraan pemer
intahan yang bersih, transparan dan akuntabel. MPR, DPR dan DPD sebagai lembaga legislatif yang
merumuskan dan menetapkan garis- garis politik n egara harus mampu membuat regulasi yang
relevan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat dan n egara.
Pada sisi yang lain pola hubungan antara lembaga-lembaga tinggi negara harus berjalan secara baik
dan seimbang. Dalam konsep demokrasi tidak dibenarkan adanya dominasi antara lembaga dalam
negara. Hal yang ideal terjadi adalah bermitra dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya
masing- masing untuk mewujudkan tujuan negara.
Pada tingkat penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, pun tidak luput dari tuntutan adany a
kebutuhan demokratisasi dalam pelaksanaan otonomi daerah. Amanah UU No 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa pemerintahan daerah diarahkan untuk
mempercepat terwuj udnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta meningkatkan daya saing daerah dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,keistimewaan dan kekhususan suatu
daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Upaya mewujudkan penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang baik dengan prinsip demokrasi sebagai salah satu pilarnya dilaksanakan
oleh DPRD dan Pemeri ntah Daerah. Keduanya menjalankan kemitraan sebagai c o-equal partner
dalam melaksanakan fungsi pemerintahan dalam batas kewenangan yang menjadi tanggung jawab
Daerah. Dengan demikian demokratisasi dalam penyelenggaraan Negara Indonesia menjadi
kebutuhan ya ng benar dan sah berdasarkan perundang-undangan. Amanah UUD 1945 adalah
merupakan bukti konkrit bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama di depan hukum dan d
alam berpolitik. Artinya warga n egara dapat menjalankan hak dan kewajibannya secara politik tanpa
ada tekanan dan pemaksaan dari pihak manapun.
Korelasi antara perilaku politik, budaya politik dan demokrasi nampaknya akan terlihat pada proses
politik berlangsung. Tahapan dalam pemilu dan pilkada bisa dijadikan sebagai barometer untuk
melihat seberapa besar tingkat kualitas ketiga konsep tersebut dilaksanakan secara ideal oleh warga
negara dalam berpolitik.
Budaya Politik yang Ideal Bud aya politik didefinisikan oleh Almond dan Verba (1963) sebagai suatu
sikap orientasi yang khas suatu warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya,
dan sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem itu. Pengertian budaya politik ini
membawa pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu
orientasi sistem dan orientasi individu.
Sebagai sebuah sistem, organisasi politik (negara) hendaknya memiliki orientasi yang bertujuan
mengupayakan kesejahteraan warga negara . Aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai
pengakuan pada adanya fenomena dalam masyarakat tertentu yang semakin mempertegas bahwa
masyarakat secara keseluruhan tidak dapat terlepas dari orientasi individu. Artinya, hakikat politik
sebenarnya bukan berorientasi pada individu pemegang kekuasaan dalam politik, melainkan
kesejahteraan rakyat yang men jadi orientasinya. Konsep budaya politik yang didefinisikan oleh
Almond dan Verba di atas sebagai suatu sikap orientasi yang khas dari warga negara terhadap sistem
politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem itu,
dapat mengandung pemahaman yang luas. Pengertian budaya politik ini membawa pada suatu
pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu orientasi sistem dan
orientasi individu. Sebagai sebuah sistem, organisasi politik hendaknya memiliki orientasi yang
hendak mengupayakan kesejahteraan warga negara . Aspek individu dalam orientasi politik hanya
sebagai pengakuan pada adanya fenomena dalam masyarakat tertentu yang semakin mempertegas
bahwa masyarakat secara keseluruhan tidak dapat terlepas dari orientasi individu. Artinya, hakikat
politik sebenarnya bukan berorientasi pada individu pemegang kekuasaan dalam politik, melainkan
kesejahteraan rakyat yang menjadi orientasinya. Kesejahteraan rakyat menjadi tujuan dari politik
dalam negara. Warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan
lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka
menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik .
Dalam pemahaman dan pengertian lain, budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang
dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya,
seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga d i Indonesia, menurut Benedict
R.O'G Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite
dengan kelompok massa.
Kedua jenis kelompok yang nyata ada dalam Negara Indonesia, dipastikan memiliki pola budaya
politik yang berbeda pula. Sementara itu, mengenai objek politik dalam pembahasan mengenai
budaya politik menurut Almond dan Verba (1963) mencakup tiga komponen: kognitif, afektif, dan
evaluatif . Komponen kognitif digunakan untuk mengukur tingkat pengetahuan seseorang mengenai
jalannya system politik, tokoh-tokoh pemerintahan, kebijaksanaan yang mereka ambil, atau
mengenai simbol- simbol yang dimiliki sistem politiknya secara keseluruhan. Dalam pemahaman
pada komponen ini, lebih menyoroti pada seberapa besar seseorang mengetahui tentang system
politik dan bagian-bagian yang ada di dalamnya. Komponen afektif berbicara tentang aspek perasaan
seorang warga negara yang dapat membuatnya menerima atau menolak sistem politik tertentu.
Sikap yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam keluarga atau lingkungan seseorang juga
dapat mempengaruhi pembentukan perasaan tersebut. Sehingga kondisi tersebut akan terus
terbawa dalam perilaku dan cara bersikap terhadap jalannya proses dalam sistem politik. Sementara
komponen evaluatif ditentukan oleh evaluasi moral yang dimiliki seseorang. Di sini, nilai moral dan
norma yang dianut dapat menentukan serta menjadi dasar sikap dan penilaiannya terhadap sistem
politik. Oleh karena itu, diperlukan penanaman nilai – nilai moral bagi masyarakat, agar dapat
menilai dan memihak dengan benar dan arif, salah satunya melalui institusi pendidikan. Ketiga
komponen dalam
objek politik yang menjadi bagian dari indikator untuk menilai seberapa besar tingkat budaya politik
yang melekat dalam warga negara tersebut. Bila dikaitkan dengan warga negara sebagai individu,
maka konsep budaya politik pada hakikatnya berpusat pada imajinasi (pikiran dan perasaan)
manusia yang merupakan dasar semua tindakan. Oleh karena itu, dalam menuju arah pembangunan
dan modernisasi dalam penyelenggaraan n egara, suatu masyarakat akan menempuh jalan yang
berbeda antara satu masyarakat dengan yang lain dan itu terjadi karena peranan kebudayaan
sebagai salah satu faktor. Budaya politik ini dalam suatu derajat yang sangat tinggi dapat
membentuk aspirasi, harapan, preferensi, dan prioritas tertentu dalam menghadapi tantangan yang
ditimbulkan oleh perubahan sosial politik. Setiap masyarakat memiliki common sense yang bervarisi
dari satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain, yang berimplikasi pada perbedaan persepsi
tentang kekuasaan, partisipasi, pengawasan (control) sosial, serta kritik masyarakat. Pengaruh ini
akan terus terbawa dalam aktivitas politik dalam pengambilan keputusan politik dalam pemilu,
pilkada maupun cara berpartisipasi dalam berbagai kegiatan politik, sosial dan pembangunan.
Sehingga keluaran dari proses politik yang berlangsung dapat mencirikan tingkat budaya politik
warga masyarakat tersebut.
Affan Gaffar (2005) dalam teori politiknya mengemukakan bahwa budaya politik masyarakat
Indonesia terbagi menjadi tiga: hierarkhi tegar, patronage (patron-client), dan neo patrimonialistik.
Hierarki yang tegar memilahkan dengan mengambil jarak antara pemegang kekuasaan dengan
rakyat sehingga kalangan birokrat sering menampakkan diri dengan self-image yang bersifat
benevolent. Seolah-olah mereka sebagai kelompok pemurah, baik hati dan pelindung rakyat,
sehingga ada tuntutan rakyat harus patuh, tunduk, dan setia pada penguasa. Perlawanan terhadap
penguasa akan menjadi ancaman bagi rakyat. Lebih tragis lagi, suatu upaya untuk melindungi hak
mereka sendiri pun diartikan sebagai perlawanan pula. Dalam pemahaman budaya politik yang
bersifat hierarkhi tegar maka pola hubungan yang terjadi terpisahkan antara penguasa (negara) dan
yang dikuasai (rakyat). Budaya politik patronage menurut Gaffar sebagai budaya yang paling
menonjol di Indonesia. Pola hubungan dalam budaya politik patronage ini bersifat individual, yakni
antara si patron dan si client , majikan dan pembantu, atasan dan bawahan. Antara keduanya terjadi
interaksi yang bersifat resiprokal atau timbal balik dengan mempertukarkan kekuasaan, kedudukan,
jabatan dengan tenaga, dukungan, materi, dan loyalitas. Budaya politik ini menjadi salah satu
penyebab maraknya praktik KKN dan ketidakadilan dalam masyarakat. Berikutnya adalah budaya
politik neo-patrimonialistik karena Negara memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik,
seperti birokrasi di samping juga memperlihatkan atribut yang bersifat patrimonialistik. Ini
mengandung pemahaman bahwa negara modern d an rasional akan didukung oleh b ir okrasi,
namun dalam praktiknya pola tradisional dengan bercirikan patrimonialistik t etap ada dalam
penyelenggaraan n egara.
Dalam model yang ketiga ini pola KKN lebih ‘ditutupi’ mel alui tameng kebijakan atau hukum.
Sehingga dalam tataran permukaan, masyarakat umum melihat bahwa sistem politik negara
berjalan baik. Padahal sejatinya ia masih sebagai budaya politik yang bercirikan patronage.
Nurcholish Madjid (1999) menyatakan, “Sistem politik yang sebaiknya diterapkan di Indonesia
adalah sistem politik yang tidak hanya baik untuk kelompok, tetapi yang sekiranya juga akan
membawa kebaikan untuk semua anggota masyarakat Indonesia”. Artinya, cita-cita politik
seharusnya bertujuan untuk me wujudkan kebaikan bersama secara kemanusiaan, tidak hanya
menguntungkan kelompok atau golongan, terlebih individu tertentu sebagai pemegang kekuasaan.
Apapun budaya politik yang dianut, yang terpenting bahwa pengua sa politik jangan menjauh dari
realitas rakyat yang telah memilihnya.
Secara sederhana dapat diasumsikan bahwa budaya politik masyarakat idealnya tetap sebagai pola
orientasi dan sikap yang mampu berkontribusi melalui tinda kan- tindakan konstruktif dalam sistem
p olitik. Pemilihan umum yang damai, p ilkada yang tidak bergejolak dan semakin berkurangnya
konflik politik di masyarakat, menjadi ciri bahwa budaya politik semakin membaik.
Kondisi tersebut akan berdampak secara positif dalam proses pembangunan yang dilaksanakan oleh
pemerintahan yang terpili h. Namun fenomena yang sering terjadi, sebagai mi sal pasca pemilu 2004
atau 2009 atau pilkada se panjang tahun 2006 sampai 2010 ini, menunjukkan bahwa setelah
memenangkan pemilu atau pilkada dan berhasil menjadi pemimpin, mereka lupa diri dan bahkan
mereka tidak lagi perduli pada rakyat. Bila kekuasaan masih didominasi oleh sistem feudal dan
patrimonial-irrasional, maka demokrasi yang didambakan oleh setiap orang akan sulit terwujud.
Budaya politik yang seperti tersebut sangat tidak mendukung terhadap upaya demokratisasi dalam
penyelenggaraan Negara Indonesia. Dengan demikian sampai saat ini kondisi budaya politik
Indonesia masih jauh dari ideal. Ini merupakan permasalahan yang harus terus diupayakan menjadi
semakin baik dan terbangun secara konstruktif.
Fakta yang terlihat di dalam masyarakat Indonesia, mayoritas masyarakat Indonesia menganut
budaya politik yang bersifat parokial -kaula di satu pihak dan budaya politik partisipan di pihak lain.
Sikap ikatan primodal isme masih sangat mengakar dalam masyarakat Indonesia. Masih kuatnya
paternalisme dalam budaya politik Indonesia menjadikan pola orientasi dan sikap politik masyarakat
bersifat patronage. Hal ini Nampak dalam pola-pola perilaku masyarakat termasuk pula dalam
perilaku birokrat dan elite politik. Budaya politik masyarakat l ebih didominasi parokial kaula dan
pada sisi lain diikat oleh primordialisme, maka hal ini cenderung tidak akan membangun demokrasi
Indonesia yang konstruktif.
Nilai- nilai yang dianut masyarakat telah membatasi dirinya untuk tidak bebas bergerak, termasuk
dalam pengambilan keputusan di bidang politik baik pada aras pemerintahan pusat maupun di
daerah. Benturan – benturan nilai yang terjadi relatif tidak bisa berkolaborasi secara positif dengan
etika dan prinsip-prinsip demokrasi modern. Warga masyarakat telah terpolakan dalam budaya
sungkan, dan ewuh pakewuh. Politik balas jasa adalah bagian yang telah menyatu dalam diri mereka
dan membatasi diri dalam menyalurkan aspirasi politiknya. Ini menjadikan tidak berkembangnya
budaya politik.
Terdapat berbagai penyebab mengapa budaya politik masyarakat tidak berkembang secara
konstruktif atas sistem politik demokrasi di Indonesia, salah satunya adalah terjadinya krisis
keteladanan dalam kaderisasi kepemimpinan dalam masyarakat sosial dan masyarakat politik. Krisis
keteladanan menjadi salah satu penyebab muramnya wajah perpolitikan di tanah air. Buktinya
adalah betapa sulitnya kita menemukan sosok pemimpin yang mampu menjadi panutan bagi setia p
masyarakat.
Pada setiap momen dimana proses pergantian pemimpin politik (negara) maupun daerah, melalui
pemilu maupun pilkada, maka sudah dipastikan tidak ada sosok yang mampu menjadi panutan
masyarakat. Rendahnya keteladanan pemimpin bagi rakyatnya mengakibatkan timbulnya krisis
kepercayaan masyarakat. Kondisi seperti ini berimbas pada hilangnya legitimasi penguasa itu sendiri.
Jika dalam penyelenggaraan politik dan pemerintahan sudah tidak dimilikinya legitimasi maka sudah
dipastikan akan terjadinya pola hubungan disharmonis antara masyarakat warga negara dan
pemerintah atau wakil politik yang terpilih. Hanya pemerintah atau wakil lembaga politik yang
memiliki komitmen dan berjiwa teladanlah yang dipastikan akan membawa pada harmonisnya
penyelenggaraan pemerintahan.
Untuk membangun keteladanan sebagai wujud dari gerakan budaya politik Indonesia, maka
diperlukan sikap dari para elite politik, pejabat negara dan tokoh-tokoh yang duduk pada lembaga
tinggi maupun lembaga pu blik di tingkat daerah. Proses membangun kualitas keteladanan para
pelaku politik tersebut tidak bisa ber langsung secara instan, karena harus terpolakan dan
tersistematisa sikan secara baik. Hal tersebut jelas memerlukan upaya serius dari berbagai
komponen bangsa dan para pengambil keputusan.
Upaya membangun gerakan budaya politik Indonesia bisa dilakukan melalui program pendidikan,
baik jalur pendidikan formal maupun non formal. Sebagai alasannya bahwa pendidikan tidak dapat
terpisah dari struktur kebudayaan, di mana proses pendidikan itu terjadi. Art inya penanaman nilai -
nilai positif bagi masyarakat bisa dimulai dari pendidikan ini. Proses pendidikan bukan semata-mata
transmisi kebudayaan dan ilmu pengetahuan, tetapi merupakan proses dekonstruksi dan rekon
struksi kebudayaan. Tentu saja nilai- nilai, norma, etika dan cara bersikap dalam berpolitik
merupakan bagian yang diberikan dalam program pendidikan.
Dalam hal pendidikan politik, maka peranan partai politik sangatlah penting. Sebagai lembaga yang
merepresentasikan kelompok masyarakat politik dalam ideologi maupun nilai-nilai yang dianut,
harus mampu menjadikan dirinya sebagai change agent bagi perubahan orientasi dan sikap politik
masyarakat kadernya menjadi semakin baik. Hal tersebut akan bisa dicapai manakala partai politik
memiliki komitmen terhadap kepentingan bangsa dan negara.
Kelompok masyarakat dalam o rganisasi sosial kemasyarakatan (Ormas) dan LSM yang berorientasi
pada peningkatan kapasitas warga Bmasyarakat juga memiliki peran penting dalam membangun
gerakan budaya politik Indonesia. Kelompok ini memiliki predikat sebagai masyarakat yang melek
politik. Di dalamnya terdiri dari individu - ind ividu yang mengerti dan memahami sistem politik dan
bagian-bagian yang ada di dalamnya. Idealnya Ormas dan LSM ini mengambil andil dalam proses
gerakan membangun budaya politik. Peran serta yang dapat dilakukan adalah melalui
pendampingan, advokasi dan peningkatan kapabilitas masyarakat melalui pelatihan dan kegiatan
lainnya.
Terdapat tiga kategori jenis orientasi yang sebaiknya dikonstruksikan oleh elite po litik, pejabat
publik , ormas, LSM dan pihak -pihak terkait kepada warga masyarakat. Jenis orientasi yang
dimaksud yaitu: orientasi terhadap struktur politik pemerintahan, orientasi terhadap bagian –bagian
yang ada di dalam sistem politik dan orientasi terhadap aktivitas politiknya. Orientasi masyarakat
terhadap politik tersebut diupayakan agar mampu berkontribusi terhadap pembangunan budaya
politik Indonesia yang semakin baik. Membangun gerakan budaya politik yang konstruktif seperti
diuraikan di atas, hendaknya dilaksanakan secara berkelanjutan. Karena ini terkait dengan
regenerasi dan kaderisasi kepemimpinan politik negara.
Tujuannya ke depan agar dalam setiap perhelatan politik, maupun proses dalam berbagai
penyelenggaraan pemerintahan baik di Pusat maupun di Daerah dapat berjalan dengan baik sesuai
dengan aturan main dan UU yang berlaku. Masyarakat akan semakin dewasa dalam berpolitik dan
tingkat konflik politik semakin berkurang, sehingga stabilitas politik n egara akan tetap terjaga dalam
koridor hukum yang menjadi landasannya.
Penutup
Budaya politik di Indonesia menunjukkan adanya pergeseran dari nilai- nilai luhur untuk mencapai
kesejahteraan rakyat menjadi tiang penyangga politik dari kelompok tertentu. Politik yang
sebenarnya bertujuan mencapai kesej ahteraan rakyat tersebut telah berubah menjadi alat untuk
kepentingan pribadi atau kelompoknya dan sarana penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya.
Fenomena budaya politik Indonesia masih cenderung feodal dan masih bersifat patron-client. Hal ini
50 governance, Vol. 1, No. 1, November 2010 mengindikasikan tidak ada kesesuaian antara cita- cita
yang diharapkandengan realitas yang terjadi dalam budaya politik Indonesia. Mendasarkan pada
kenyataan tersebut, maka aspek yang perlu dibenahi dan diharapkan mampu memperbaiki kualitas
budaya politik Indonesia adalah melalui pendidikan politik warga negara baik secara formal maupun
non formal.
Upaya membangun gerakan budaya politik Indonesia ini menjadi tanggung jawab semua pihak:
pemerintah, partai politik dan warga masyarakat itu sendiri. Ketiganya memegang tanggung jawab
dan peranan penting dalam mewujudkan budaya politik masyarakat Indonesia yang semakin baik.