Anda di halaman 1dari 2

c275191df4219a

Abad Modern dan Sumerisme


Bagikan
 16 Juni 2009 jam 2:00
Menurut penjelasan terbaik yang diberikan oleh Marshall G.S. Hodgson, hakekat Abad Modern
ialah teknikalisme dengan tuntutan efisiensi kerja yang tinggi, yang diterapkan kepada semua
bidang kehidupan. Lebih lanjut dikatakan bahwa abad Modern itu sesungguhnya lebih tepat
disebut Abad Teknik, apalagi jika harus dihindari konotasi moral yang kontroversial pada
perkataan “modern” (“modern” berarti “baik”, “maju”). Teknikalisme an sich melatarbelakangi
timbulnya Revolusi Industri, sedangkan implikasi kemanusiaannya menyembul dalam bentuk
Revolusi Prancis. Dua peristiwa yang secara amat menentukan menandai dimulainya Abad
Modern itu terjadi pada sekitar pertengahan abad ke-18, bukannya di bagian Eropa yang
mempunyai masa lampau yang panjang dan gemilang seperti Yunani dan Romawi, melainkan di
Inggris dan Prancis di Eropa Barat Laut yang merupakan pendatang baru dalam pentas sejarah
umat manusia. Kelak akan ternyata bahwa aspek kemanusiaannya yang tecermin dalam cita-cita
Revolusi Prancis itu lebih memiliki makna daripada segi tekniknya, sehingga sering pula disebut
tentang peranan utama generasi 1789 (Revolusi Prancis) dalam meletakkan dasar-dasar Abad
Modern.

Sebagai suatu zaman baru, Abad Teknik, dalam efeknya terhadap sejarah umat manusia, dapat
dibandingkan dengan Abad Agraria Berkota (Agrarianate Citied Society) yang dimulai oleh
orang-orang Sumeria pada sekitar tiga ribu tahun Sebelum Masehi. Dalam sejarah umat manusia,
bangsa Sumeria adalah manusia pertama yang membangun masyarakat berkota. Mereka juga
yang pertama mampu mengatasi persoalan akibat gejala alam yang besar, yaitu luapan sungai
Dajlah dan Furat, yang kemudian mereka manfaatkan untuk irigasi pertanian lembah “Antara
Dua Sungai” (Mesopotamia). Dengan dipimpin oleh para pendeta mereka dari zigurat-zigurat,
orang-orang Sumeria terus-menerus membuat kemajuan dalam berbagai bidang. Merekalah yang
pertama menggunakan bajak dan weluku secara intensif untuk menggarap tanah, dan dengan
begitu berhasil meningkatkan produksi pertanian. Peningkatan produksi pangan (dan sandang)
tidak saja memperbaiki taraf hidup para petani, tapi juga memungkinkan tumbuhnya kelas baru
di kota-kota yang dapat menikmati hidup makmur tanpa harus terjun langsung dalam pekerjaan
pertanian. Merekalah juga manusia pertama yang membuat tulisan (huruf), menemukan
perunggu dan menggunakan kendaraan beroda.

Berkat kemajuannya, bangsa Sumeria mendapati dirinya mampu dengan gampang mengalahkan
dan menguasai bangsa-bangsa lain di sekitarnya, yaitu masyarakat-masyara-kat pertanian tanpa
kota. Dengan begitu, perang tidak lagi hanya berupa pertempuran antarsuku seperti sebelumnya,
melainkan meningkat skalanya menjadi perang antarbangsa. Maka timbullah pada mereka, untuk
pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, kehi-dupan bernegara dalam arti kata yang
sebenarnya, bahkan dengan wawasan imperialisme dan kolonialismenya. Keadaan ini
selanjutnya menuntut kemampuan yang lebih tinggi untuk mengatur kehidupan bersama secara
lebih cermat dan profesional. Jika selama ini pimpinan masyarakat terbatas hanya kepada para
pemimpin agama sebagai satu-satunya kelas literati, kini diperlukan kelompok orang-orang yang
khusus menangani urusan kenegaraan, terutama perang, dan kelompok lain yang menangani
perdagangan.
Cara dan pandangan hidup Sumeria (“Sumerisme”) itu menjadi model bagi umat manusia selama
5000 tahun, yaitu sejak tumbuhnya masyarakat berkota (citied society) pertama di Sumeria
sampai dengan dimulainya Abad Teknik di Eropa Barat Laut. “Sumerisme” merupakan dasar
pola kebudayaan manusia sejagat, meskipun di sana-sini, misalnya di pedalaman Afrika, Pulau
Irian, dan Australia, masih terdapat kelompok orang-orang yang belum mengenalnya sama
sekali, bahkan sampai sekarang. Sungguh, sejak masa Sumeria itulah umat manusia benar-benar
memiliki “Peradaban” dan memasuki “Zaman Sejarah”.

Yang segera terlanda oleh gelombang “Sumerisasi” itu ialah kalangan bangsa-bangsa Semit di
sekitar Mesopotamia, kemudian bangsa Mesir di Lembah Nil dari kalangan ras Hamit, menyusul
bangsa-bangsa Persia, Yunani, dan India dari kalangan ras Arya. Bangsa-bangsa lain yang lebih
jauh dari Lembah Mesopotamia, melalui perkembangan dan pengaruh berantai, juga akhirnya
terkena oleh arus “Sumerisasi” , seperti ditunjukkan oleh “bangsa” Jawa setelah kedatangan
orang-orang “berperadaban” dari India.

Abad Agraria itu terus-menerus mengalami perkembangan secara progresif, dengan perbaikan
tidak saja dalam hal-hal yang bersangkutan dengan pertanian, tetapi lebih penting lagi
peningkatan konsep kemanusiaan yang mendasarinya atau menjadi implikasinya. Peranan kaum
intelektual yang diwakili oleh golongan literati dari pranata keagamaan tetap berlanjut sebagai
sumber kreativitas dan inovasi. Dalam perkembangan lebih lanjut, pengetahuan tulis-baca
menjadi tidak terbatas hanya kepada kalangan agama, tetapi meluas ke kalangan-kalangan lain
juga. Puncak dari “Sumerisme” itu, dalam artiannya sebagai peradaban duniawi dalam bentuk
masyarakat berkota (citied society) dengan dasar ekonomi agraris dan dengan pengembangan
serta peningkatan optimal aspek kemanusiaannya, ialah Dâr al-Islâm yang berhasil mendominasi
umat manusia selama paling sedikitnya delapan abad.

Anda mungkin juga menyukai