Anda di halaman 1dari 2

c275191df4219a

Abad Modern: Aspek Teknik dan Aspek Kemanusiaan


Bagikan
 16 Juni 2009 jam 1:48
Nurcholish Madjid (Ensiklopedi Nurcholish Madjid, jilid I, h. 1)

Apabila kita perhatikan, satu hal yang tampaknya tak mungkin dihindari dari teknikalisme ialah
implikasinya yang materialistik. Dalam menghadapi dan menyertai kemodernan, kaum Muslim
dituntut untuk memperhitungkan segi materialisme ini. Kalkulasi pribadi, inisiatif per-orangan,
efisiensi kerja, adalah pekerti-pekerti yang baik dan bermanfaat besar. Tetapi, bagaimanapun,
kata Marshall Hodgson, seorang sejarawan dunia, menundukkan nilai-nilai keakhlakan dan
kemanusiaan ke bawah pemaksimalan efisien teknis, betapapun besar hasilnya, kemungkinan
sekali akan terbukti merupakan mimpi buruk yang tak rasional.

Telah diketahui bahwa aspek kemanusiaan abad modern ini bisa, dan telah menjadi kenyataan,
lebih penting dan menentukan daripada aspek teknikalismenya. Dari sudut pandangan
kemanusiaan modern Barat, generasi 1789 yang secara garis besar merupakan angkatan dua
revolusi, yaitu Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis, adalah peletak dasar-dasar segi
kemanusiaan bagi kemodernan. Cita-cita kemanusiaan yang dirumuskan dalam slogan Revolusi
Prancis, “Kebebasan, Persamaan, dan Persaudaraan,” memang belum seluruhnya terwujud
dengan baik. Tetapi harus diakui bahwa dunia belum pernah menyaksikan usaha yang lebih
sungguh-sungguh dan sistematis untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan itu dalam bentuk
pelaksanaan yang terlembagakan daripada yang dilakukan orang (Barat) sejak terjadinya dua
revolusi tersebut. Pengejawantahan terpenting cita-cita itu ialah sistem politik demokratis, yang
sampai saat ini menurut kenyataan baru mantap di kalangan bangsa-bangsa Eropa Barat Laut dan
keturunan mereka di Amerika Utara.

Aspek teknik yang material dan aspek kemanusiaan yang nonmaterial itu berjalan hampir seiring
di Eropa Barat Laut, dan pemunculannya ke permukaan juga terjadi secara hampir bersamaan,
yaitu dalam Revolusi Industri dan Revolusi Prancis. Tetapi bagi bangsa-bangsa lain yang hendak
mencoba mengejar ketertinggalannya, jika tidak mungkin mengambil kedua aspek itu sekaligus,
sering dihadapkan kepada pilihan yang tidak begitu mudah untuk menetapkan mana dari kedua
aspek itu yang harus didahulukan. Biasanya, bentuk kesiapan tertentu suatu bangsa akan
mendorongnya untuk secara pragmatis menentukan pilihan tanpa kesulitan. India, misalnya,
disebabkan oleh jumlah cukup besar dari kalangan atasnya yang berpendidikan Barat di bawah
pemerintahan kolonial Inggris, secara amat menarik menunjukkan keberhasilannya untuk sampai
batas tertentu menerapkan aspek kemanusiaan modern Barat, yaitu demokrasi sistem
pemerintahannya. Keberhasilan itu terjadi dengan seolah-olah mengingkari kenyataan sosial
masyarakat Hindu yang mengenal sistem kasta yang kaku, yang sama sekali tidak selaras dengan
keseluruhan cita-cita kemanusiaan modern. Meskipun India berhasil mewujudkan dirinya
sebagai “demokrasi terbesar di muka bumi”, perkembangan lebih lanjut menunjukkan bahwa
kemelaratan rakyatnya senantiasa menjadi sumber ancaman kelangsungan demokrasi itu.

Sebaliknya, saat-saat terakhir ini kita bisa menyaksikan peningkatan secara luar biasa
kemakmuran material beberapa negara Timur Tengah pemilik petrodollar. Jika dibenarkan
menggunakan kriteria India itu kepada gejala Timur Tengah, maka dapat dikatakan bahwa
kebalikan dari India, negara-negara petrodollar itu memiliki kesiapan tertentu untuk mengambil
dari Barat dan mengadopsi, secara lahirnya, aspek teknik dan kemodernan. Tetapi jika tidak
segera atau bersama dilakukan penggarapan yang serius terhadap aspek pengembangan
kemanusiaannya, ada kemungkinan bahwa “kemajuan” material itu justru akan merupakan epoh
sejarah setempat yang ternyata nantinya menimbulkan penyesalan yang mendalam. Nampaknya,
tantangan ini telah disadari sepenuhnya oleh para pemimpin negara-negara itu.

Anda mungkin juga menyukai