OLEH :
NAMA KELOMPOK :
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya pada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Upacara Megedong Gedongan dan Upacara Otonan” yang bertujuan untuk memenuhi tugas mata
kuliah Acara Agama Hindu II tepat pada waktunya. Dan juga kami mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang turut membantu kelancaran dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahannya, baik
dalam isi maupun sistematikanya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan wawasan
kami. Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan
makalah ini. Kami mengharapkan makalah ini dapat memberikan manfaat, khususnya bagi kami
dan umumnya bagi pembaca.
Penulis
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI ................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.3 Tujuan............................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................... 7
ii | A C A R A A G A M A H I N D U
BAB I
PENDAHULUAN
Umat Hindu mempunyai tri krangka Agama Hindu yang terdiri dari tattwa atau
filsafat, etika atau susila dan ritual atau upacara. Upacara merupakan lapisan yang paling
luar, terdiri dari aktivitas-aktivitas, tetapi merupakan satu kesatuan yang bulat dengan
kerangka yang lainnya. Upacara merupakan salah satu kerangka Agama Hindu berupa
rangkaian kegiatan, dalam upaya menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa. Upacara merupakan wujud nyata/realisasi atau aktivitas agama yang berlandaskan
tuntunan kitab suci Weda serta sastra-sastra Agama yang dibentangkan dalam berbagai
pustaka.
Yadnya merupakan korban suci yang dipersembahkan dengan tulus ikhlas tanpa
adanya yadnya, maka keharmonisan itu tidak akan dapat terwujud. Yadnya bagi umat
Hindu disebabkan karena adanya ikatan hutang karma yang di sebut Tri Rna yang terdiri
dari Dewa Rna yaitu hutang kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena sudah
menciptakan alam semesta beserta isinya sehingga manusia wajib untuk membayarnya.
Hutang kepada orang tua dan leluhur yang disebut dengan Pitra Rna seseorang wajib
membayarnya karena orang tua dan leluhur kita senantiasa melindungi dan melahirkan
sampai akhir hayatnya, yang terakhir hutang kepada Rsi atau Guru yang telah memberikan
ilmu pengetahuan baik sosial, spiritual, dan ilmu lainnya hutang ini disebut dengan Rsi
Rna. Ketiga ikatan hutang inilah yang mendorong manusia untuk berbuat dan
melaksanakan kewajiban mereka sendiri dengan membayarnya melalui beryadnya,
prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam beryadnya yaitu keikhlasan, kesucian dan
pengabdian tanpa pamrih. Umat Hindu mengenal lima macam yadnya yang disebut dengan
Panca Yadnya terdiri dari Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya, dan
Bhuta Yadnya. Pada umumnya upakara-upakara yadnya untuk umat Hindu adalah
bertujuan untuk mendapat kesejahteraan lahir batin memohon berkah dan keselamatan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa sepanjang diijinkan hidup didunia ini.
1.3 Tujuan
Upacara Megedong Gedongan berasal dari kata Gedong yang artinya adalah
bangunan yang ada dalam kandungan. Sudah selayaknya kita sebagai orang tua
membuatkan gedong bayi agar bayi dalam kandungan menjadi nyaman. Upacara ini di
buatkan mulai dari usia kandungan enam bulan atau 210 hari. Masyarakat Hindu Bali
mempercayai dengan dilakukannya upacara ini, bayi dalam kandungan tidak mudah
gugur. Upacara ini juga bertujuan untuk menguatkan sang anak dan sang ibu agar
persalinan berjalan lancar. Disamping itu sang bayi di harapkan setelah lahir dapat
memiliki budi yang luhur, menjadi seorang anak yang berguna bagi keluarga,
masyarakat, dan negara, serta selalu diberikan keselamatan dalam hidup.
1. Bangunan yang menyerupai gedong atau kamar yang bermakna, bangunan itu
adalah simbul dari kehamilan.
2. Nasi rare adalah nasi yang menyerupai bayi sebagai alasnya adalah daun sente,
yang berisikan bawang, jahe, garam dan sebuah lampu dari bahan pangi yang
telah kosong berisi minyak kelapa, sumbu dan di alasi dengan sidi tepung.
3. Sabit yang fungsinya untuk membersihakan tepi sungai sebagai simbul Arda
Candra atau bulan sabit yang bermkana permohonan penyucian kehadapan
Sang hyang Siwa yang memberi kekuatan pada sungai tersebut.
Upacara dilaksanaan di beji atau di tempat permandian, terlebih dahulu wanita yang
hamil masuk di gedong dihadapan sanggar surya dengan perlengkapanya antara lain :
Gedong dengan di pasang kain hitam di tiga sisi dan bagian pintunya di pasang
benang hitam sebagai simbul.
Dan sebagai tampul gedongnya di tancapkan di tancapkan carang dapdap setiap
sudut.
Bambu runcing dengan bambu gading sepanjang satu meter.
Ceraken di bungkus dengan kain, daun kembung diisi air dan ikan yang hidup
di sawah di antaranya : belut, nyalian, lele, yuyu, rujak rujakan, basan buat,
beras, kemiri, porosan, gegantusan, peselan, canang genten.
Bungkus gading berisi gambar bayi dan sabit.
Kata Otonan berasal dari bahasa Jawa Kuno yang telah menjadi kosa kata bahasa
Bali yang berasal dari kata “wetu” atau “metu” yang artinya keluar, lahir atau
menjelma. Dari kata “wetu” menjadi “weton” dan selanjutnya berubah menjadi “oton”
atau “otonan”. Hari kelahiran umat Hindu di Indonesia, khususnya di Bali diperingati
berdasarkan kalender Bali yang disebut pasaran. Kalender ini mempergunakan
perhitungan “Wuku” yang jumlahnya 30 Wuku (210 hari) dalam satu tahun Bali, Sapta
Wara (Pasaran Tujuh) dan Panca Wara (Pasaran Lima). Jadi hari kelahiran seseorang
diperingati setiap enam bulan sekali menurut perhitungan 35 hari sekali.
Otonan merupakan peringatan hari yang khusus atau special karena setiap orang
mempunyai hari kelahiran yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Pelaksanaan
Otonan bertujuan untuk:
Otonan tidak mesti dibuatkan upacara yang besar dan mewah, yang terpenting
adalah nilai rohaninya, sehingga nilai tersebut dapat mentransformasikan pencerahan
kepada setiap orang yang melaksanakan otonan. Tidak ada gunanya otonan yang besar
namun si anak tidak pernah diajarkan untuk sungkem dan hormat pada orang yang lebih
tua, akan sia-sia upacara otonan itu jika hanya untuk pamer kepada tetangga. Otonan
harus dapat merubah perilaku yang tidak benar menjadi tindakan yang santun, hormat,
3.2 Saran
Saran penulis mengenai pembahasan dalam makalah ini yaitu, kita harus selalu
menghargai setiap kelahiran yang ada, sejak bayi masih didalam kandungan harus kita
buatkan upacara agar bayi terhidar dari hal-hal yang ingin mengganggunya dan juga dapat
menguatkan ibu dan bayi agar tetap sehat sampai sang anak lahir ke dunia. Setelah lahir
sang anak wajib upacarai seperti upacara kepus puser, satu bulan tujuh hari, tiga bulanan,
sampai otonan. Otonan merupakan upacara peringatan kelahiran seseorang berdasarkan
perhitungan Bali, jadi tidak hanya ulang tahun yang diperingati satu tahun sekali saja yang
harus dilaksanakan tetapi otonan yang diperingati setiap 6 bulan sekali juga harus
dilaksanakan.
I Nyoman Singgih Wikarman, Bayuh Oton atau Ruwatan Menurut Kelahiran, Paramitha, Surabaya,
1998, hlm. 28
Buku yang berjudul “Parikramaning Pemangku-Pinandita” oleh Ida Pandita Mpu Nabe Dwija
Witadharma Sanyasa.
http://www.wayanyasa.net/2013/03/upacara-magedong-gedongan-upacara-bayi.html?m=1
https://yanartha.wordpress.com/makna-otonan-dan-cara-memperinggati-hari-kelahiran-
menurut-hindu/
http://inputbali.com/budaya-bali/makna-dan-pentingnya-otonan-hari-kelahiran-dalam-hindu