Anda di halaman 1dari 11

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/334973511

Gender dan Stereotipe: Konstruksi Realitas dalam Media Sosial Instagram

Article  in  Share Social Work Journal · August 2019


DOI: 10.24198/share.v9i1.19691

CITATIONS READS

0 2,001

2 authors, including:

Feryna Nur Rosyidah


Universitas Padjadjaran
2 PUBLICATIONS   2 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Feryna Nur Rosyidah on 29 October 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


ISSN:2339 -0042 (p)
Share: Social Work Jurnal VOLUME: 9 NOMOR: 1 HALAMAN: 10-19 ISSN: 2528-1577 (e)
Doi: 10.24198/share.v9i1.19691

Gender dan Stereotipe: Konstruksi Realitas dalam Media


Sosial Instagram
Feryna Nur Rosyidah1, Nunung Nurwati2

1. Pascasarjana Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjaradjaran
ferynanurr@gmail.com
2. Program Studi Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran
nngnurwati@yahoo.co.id

ABSTRAK
Artikel ini berfokus pada permasalahan gender dan stereotipe khususnya dalam hal konstruksi realitas sosial
yang terjadi dalam media sosial Instagram. Pendekatan kualitatif dengan metode etnografi virtual yang
dilakukan untuk melihat fenomena sosial dan kultur pengguna di ruang siber. Fokus kajian dalam artikel
ini adalah membahas; (1) konstruksi realitas dalam media sosial, dan (2) hubungan antara gender dan
stereotipe yang terjadi dalam ruang media sosial Instagram. Informasi yang berkembang dalam media sosial
telah menciptakan suatu area tanpa batas yuridiksi, sehingga interaksi yang terjadi juga telah menciptakan
suatu hubungan tanpa batas. Media sosial menjadi salah satu sarana bagi masyarakat untuk mengumpulkan
kepercayaan diri serta dukungan dari lingkungannya, memudahkan mereka dan meningkatkan rasa ingin
tahu akan dunia yang lebih luas, serta dijadikan sebagai sarana untuk memuaskan hasrat baik yang bersifat
positif maupun negatif yang tidak dapat mereka lakukan di dunia nyata. Pada penggunaan media sosial ini
ternyata gender adalah satu-satunya variabel demografi yang sangat signifikan berpengaruh dalam
penggunaan media sosial, karena ada beberapa perbedaan antara pengguna media sosial laki-laki dan
perempuan. Dapat disimpulkan bahwa dalam hal perubahan ini, telah terjadi pembentukan identitas yang
di rekonfigurasi ruang dan waktu yang terikat dengan teknologi baru.
Kata Kunci: Gender, Stereotipe, Realitas Sosial, Media Sosial, Instagram

ABSTRACT
This article focuses on issues of gender and stereotypes especially in terms of the construction of social
realities that occur on Instagram social media. A qualitative approach with virtual e t h n o g r a p h i c
methods is carried out to see the social phenomena and culture of users in cyberspace. The focus of the
study in this article is to discuss; (1) the construction of reality in social media, and (2) the relationship
between gender and stereotypes that occur in the social media space of Instagram. Information that
develops in social media has created an area without boundary jurisdiction, so that the interaction that
occurs has also created a relationship without limits. Social media is one means for the community to gather
confidence and support from the environment, facilitate them and increase the curiosity of the wider world,
and serve as a means to satisfy both positive and negative desires that they cannot do in the world real. In
the use of social media it turns out that gender is the only demographic variable that is very significantly
influential in the use of social media, because there are several differences between male and female social
media users. It can be concluded that in terms of this change, there has been a formation of identities that
are reconfigured by space and time that are tied to new technology.
Keywords: Gender, Stereotypes, Social Reality, Social Media, Instagram

Pendahuluan sejak lama. Setiadi (2011) mengatakan bahwa


terdapat perbedaan mendasar antara gender dan
Pada dasarnya semua orang sepakat bahwa
jenis kelamin (seks), jenis kelamin lebih
perempuan dan laki-laki berbeda. Pembedaan
mengarah pada pembagian fisiologi atau anatomi
yang terbentuk dalam masyarakat tidak terjadi
manusia secara biologis. Adapun konsep gender
secara alamiah, akan tetapi terkonstruksi sudah

10
ISSN:2339 -0042 (p)
Share: Social Work Jurnal VOLUME: 9 NOMOR: 1 HALAMAN: 10-19 ISSN: 2528-1577 (e)
Doi: 10.24198/share.v9i1.19691

merupakan istilah yang digunakan untuk manusia. Menyangkut motif, Schutz (dalam
membedakan antara laki-laki dan perempuan Kuswarno, 2009: 111) membaginya menjadi dua,
yang didasarkan pada aspek sosiokultural, gender yaitu: tindakan sosial merupakan tindakan yang
merupakan atribut dan perilaku yang terbentuk berorientasi pada perilaku orang atau orang lain
melalui proses sosial. Adanya pelabelan terhadap pada masa lalu (because motif), dan sekarang atau
pihak-pihak tertentu muncul sebagai akibat akan datang (in-order-to).
adanya pembedaan dalam konsep gender. Peran Instagram merupakan salah satu platform
gender memberikan warna dan pengaruh dalam media sosial yang paling populer dan sedang
menentukan penggunaan satu obyek atau material digemari masyarakat saat ini. Terdapat lebiih dari
tertentu. 45 juta pengguna aktif Instagram di Indonesia
Revolusi industri yang memunculkan setiap bulannya. Kata Instagram berasal dari kata
teknologi-teknologi baru menguatkan pembagian “insta” yang berarti “instan” dan “gram” yang
kerja secara seksual. Interseksionalitas antar mempunyai arti “telegram”. Berdasarkan kedua
gender dan teknologi dapat dilihat dengan kata tersebut, Instagram dapat diartikan
banyaknya perempuan dan laki-laki yang menampilkan dan menyampaikan informasi
memanfaatkan teknologi dan mendapatkan berupa foto atau ambar secara cepat lewat aplikasi
manfaat dari teknologi tersebut. Hubungan yang yang dapat diakses oleh orang lain. Instagram
telah terbentuk bukanlah hubungan yang baku, adalah sebuah aplikasi berbagi foto dan video
kaku dan statis, tetapi hubungan yang bisa yang memungkinkan pengguna mengambil foto
berubah dan diubah. Stereotype perempuan atau video, menerapkan filter digital, dan
dengan segala feminitasnya dan penggunaan membagikannya ke berbagai layanan jejaring
perasaan ketimbang rasio menjadi salah satu hal sosial, termasuk milik Instagram sendiri.
yang dijadikan untuk mematahkan semangat Berangkat dari latar belakang tersebut,
perempuan dalam lingkup ilmu pengetahuan. artikel ini bertujuan untuk menjelaskan konstruksi
Media sosial adalah dalah satu bentuk realitas yang terjadi dalam media sosial
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Instagram, serta hubungan antara gender dan
dalam bidang komunikasi. Tanpa memerlukan stereotipe yang terjadi dalam ruang media sosial
keahlian khusus, memanfaatkan media sosial Instagram.
menjadi sangat mudah (user friendly). Hampir
semua kalangan masyarakat menjadi pengguna Metode
dari beberapa platform media sosial yang terus Kajian ini menggunakan pendekatan
menerus bermunculan dan memiliki keunggulan kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan studi
serta fungsi yang berbeda satu sama lain. Media etnografi virtual. Studi etnografi virtual
sosial digunakan para remaja untuk berlomba- merupakan metode etnografi yang dilakukan
lomba menjadikan identitas dirinya sebagai untuk melihat fenomena sosial dan kultur
remaja yang “up to date” dengan cara menjadi pengguna di ruang siber. Sebagai sebuah kultur
pengguna aktif sosial media dengan check in dan artefak kultural, cyberspace atau dunia siber
place di tempat-tempat yang high class, foto-foto bagi peneliti etnografi virtual bisa mendekati
bersama teman-teman, genre music, film dan beberapa objek atau fenomena yang ada di
buku yang sedang popular. Berdasarkan internet (Nasrullah dalam Nugraha, 2015, hlm.
pandangan Schutz, tindakan sosial dapat 240). Metode yang digunakan bertujuan untuk
dipahami melalui penafsiran untuk memperjelas mengungkapkan kondisi penggunaan media
atau memeriksa makna yang sesungguhnya, sosial serta dampaknya di kalangan pelajar.
sehingga dapat memberikan konsep kepekaan
Penelitian dilakukan pada kondisi objek
yang implisit. Proses pemahaman aktual kita, dan
yang alami, peneliti sebagai instrumen kunci,
pemberian makna terhadapnya, sehingga ter-
teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi
refleksi dalam tingkah laku (dalam Kuswarno,
dokumentasi, data yang dihasilkan bersifat
2009: 18). Semua tingkah laku manusia pada
deskriptif, analisis data dilakukan secara induktif,
hakikatnya memiliki motif. Motif-motif ini
dan penelitian ini lebih menekankan makna
memberi tujuan dan arah kepada tingkah laku

11
ISSN:2339 -0042 (p)
Share: Social Work Jurnal VOLUME: 9 NOMOR: 1 HALAMAN: 10-19 ISSN: 2528-1577 (e)
Doi: 10.24198/share.v9i1.19691

daripada generalisasi (Sedarmayanti dan Hidayat, berkembang dalam masyarakat (dalam Mulia,
2011, hlm. 33). Peneliti mengumpulkan data awal 2004, hlm. 4).
dengan cara menganalisis beberapa dokumen Martin, Ruble, & Szkrybalo (2002, hlm. 67)
terkait permasalaha penelitian yang berfungsi menyatakan bahwa menurut teori kognitif sosial,
sebagai dasar bagi peneliti terkait konstruksi gender berkembang melalui mekanisme yang
realitas dalam media sosial Instagram. Adapun terdiri atas observasi, imitasi, penghargaan, dan
sumber data yang digunakan dalam penelitian ini hukuman. Menurut pandangan kognitif interaksi
adalah beberapa dokumen tentang penggunaan antara anak dan lingkungan sosial merupakan
media sosial secara global. Analisis data dalam kunci utama untuk perkembangan gender.
penelitian ini dilakukan dengan mengabstraksi Menurut Santrock (2009, hlm. 232) beberapa
beberapa data yang telah didapat dan pengkritik berpendapat bahwa penjelasan ini
dikumpulkan serta dikelompokkan. kurang memperhatikan pikiran dan pemahaman
anak, serta menggambarkan bahwa anak
Hasil dan Pembahasan menerima peran gender secara pasif, serta gender
Gender dan Stereotipe dan seks memiliki perbedaan dari segi dimensi.
Gender dapat didefinisikan sebagai keadaan Isilah seks (jenis kelamin) mengacu pada dimensi
dimana individu yang lahir secara biologis biologis seorang laki-laki dan perempuan,
sebagai laki-laki dan perempuan yang kemudian sedangkan gender mengacu pada dimensi sosial-
memperoleh pencirian sosial sebagai laki-laki dan budaya seorang laki-laki dan perempuan.
perempuan melalui atribut-atribut maskulinitas Gender diartikan sebagai konstruksi
dan feminitas yang sering didukung oleh nilai- sosiokultural yang membedakan karakteristik
nilai atau sistem dan simbol di masyarakat yang maskulin dan feminim. Istilah gender
bersangkutan. Istilah gender seringkali tumpang dikemukakan oleh para ilmuwan sosial dengan
tindih dengan seks (jenis kelamin), padahal dua maksud untuk menjelaskan perbedaan perempuan
kata tersebut memiliki makna yang berbedad. dan laki-laki yang mempunyai sifat bawaan dan
Seks merupakan pensifatan atau pembagian dua bentukan budaya. Gender adalah perbedaan
jenis kelamin manusia yang ditentukan secara peran, fungsi, dan tanggungjawab antara laki-laki
biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi
Secara etimologis kata ‘gender’ berasal dari sosial dan dapat berubah sesuai dengan
bahasa Inggris yang berarti ‘jenis kelamin’ (dalam perkembangan jaman.
Echols & Shadily, 1983, hlm. 265). Kata ‘gender’ Dari beberapa definisi di atas dapat
bisa diartikan sebagai ‘perbedaan yang tampak dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang
antara laki-laki dan perempuan dalam hal nilai dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan
dan perilaku (dalam Neufeldt, 1984, hlm. 561). antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi
Secara terminologis, ‘gender’ bisa didefinisikan kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku,
sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki- mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor
laki dan perempuan (dalam Lips, 1993 hlm. 4). nonbiologis lainnya. Gender berbeda dengan sex,
Definisi lain tentang gender dikemukakan oleh meskipun secara etimologis artinya sama sama
Elaine Showalter. Menurutnya, ‘gender’ adalah dengan sex, yaitu jenis kelamin (Echols dan
pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari Shadily, 1983, hlm. 517).
konstruksi sosial budaya (dalam Showalter, 1989, Sejarah perbedaan gender antara seorang
hlm. 3). Gender bisa juga dijadikan sebagai pria dengan seorang wanita terjadi melalui proses
konsep analisis yang dapat digunakan untuk yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa
menjelaskan sesuatu (dalam Umar, 1999, hlm. sebab, seperti kondisi sosial budaya, kondisi
34). Lebih tegas lagi disebutkan dalam Women’s keagamaan, dan kondisi kenegaraan. Dengan
Studies Encyclopedia bahwa gender adalah suatu proses yang panjang ini, perbedaan gender
konsep kultural yang dipakai untuk membedakan akhirnya sering dianggap menjadi ketentuan
peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik Tuhan yang bersifat kodrati atau seolah-olah
emosional antara laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi.
Inilah sebenarnya yang menyebabkan awal

12
ISSN:2339 -0042 (p)
Share: Social Work Jurnal VOLUME: 9 NOMOR: 1 HALAMAN: 10-19 ISSN: 2528-1577 (e)
Doi: 10.24198/share.v9i1.19691

terjadinya ketidakadilan gender di tengah-tengah dihadapi sepanjang sejarah evolusioner. Dalam


masyarakat. tinjauan terkini, menemukan hasil dari 44 meta-
Salah satu jenis stereotype bersumber dari analisis perbedaan dan persamaan gender.
pandangan gender. Banyak sekali ketidakadilan Sebagian besar bidang, termasuk kemampuan
terhadap jenis kelamin yang bersumber dari matematika, komunikasi, dan agresi, ditemukan
pendangan (streotype) yang dilekatkan pada sedikit perbedaan gender. Perbedaan terbesar
mereka. Ada berbagai cara untuk memandang muncul pada keterampilan motorik dan agresi
perkembangan gender. Beberapa menekankan fisik (pria lebih agresif secara fisik daripada
faktor biologis dalam perilaku laki-laki dan wanita) (Hyde, 2005, hlm. 586).
perempuan yang lain menekankan faktor sosial Ketidakberdayaan perempuan adalah
atau kognitif (Lippa, 2005, hlm. 47). Menurut sebagai akibat dari konstruksi sosial yang selama
LeDoux (dalam Santrock, 2009, hlm. 220) ini menempatkan perempuan pada kedudukan
pendekatan biologis menjelaskan perbedaan yang subordinat, memberikan nilai yang kurang
dalam otak perempuan dan laki-laki. Satu berarti bagi apa yang dikerjakannya. Stereotype
pendekatan berfokus pada perbedaan antara perempuan dengan segala feminitasnya dan
perempuan dan laki-laki di dalam corpus penggunaan perasaan ketimbang rasio menjadi
collosum, sekumpulan sel saraf yang salah satu paling diunggulkan untuk mematahkan
menggabungkan dua belahan otak. Corpus semangat perempuan dalam ilmu pengetahuan.
collosum pada perempuan lebih besar daripada Ilmu eksakta yang mementingkan rasionalitas
pada laki-laki dan ini menjelaskan mengapa dijauhkan dari perempuan. Perempuan dipaksa
perempuan lebih sadar dibandingkan dengan laki- untuk lebih tertarik pada ilmu sosial dan urusan
laki tentang emosi mereka sendiri dan emosi domestik. Semua ini tidak terlepas dari konstruksi
orang lain (Santrock, 2009, hlm. 221). Ini terjadi kerja berdasarkan jenis kelamin (sex based
karena otak kanan mampu meneruskan lebih division of labor) (Saguni, 2014, hlm. 196). Di
banyak informasi tentang emosi ke otak kiri. bidang reproduksi, ketidakberdayaan itu terlihat
Bagian otak yang terlibat dalam pengungkapan dari hubungan yang tidak berimbang antara laki-
emosional menunjukkan lebih banyak aktivitas laki dan perempuan dalam hal seksual dan
metabolis pada perempuan dibandingkan pada reproduksi, seperti tercermin dalam kasus
laki-laki. Selain itu, bagian lobus parietal (salah pemaksaan hubungan kelamin, pemerkosaan,
satu cuping otak di bagian ujung kepala) yang istri/perempuan yang berisiko tinggi terkena HIV-
berfungsi dalam keterampilan visual dan ruang AIDS, dan penyakit-penyakit lain yang ditularkan
pada laki-laki, lebih besar daripada perempuan melalui hubungan seksual sebagai akibat dari
(Frederikse et.al, 2000, hlm. 147). kehamilan yang tidak diinginkan, bahkan
Stereotype sering kali negatif dan bisa bermacam-macam cara berkeluarga berencana
dikemas dalam prasangka dan diskriminasi. hampir seluruhnya ditujukan untuk perempuan.
Seksisme (sexism) adalah prasangka dan Berdasarkan uraian tersebut, stereotype
diskriminasi terhadap satu individu karena jenis merupakan generalisasi dari kelompok kepada
kelamin seseorang. Seseorang yang mengatakan orang-orang di dalam kelompok. Stereotype
bahwa wanita tidak bisa menjadi insinyur yang adalah pemberian sifat tertentu terhadap sesorang
kompeten, sedang mengungkapkan seksisme. berdasarkan kategori yang bersifat subjektif
Begitu pula seseorang yang mengatakan bahwa hanya karena dia berasal dari kelompok lain.
pria tidak bisa menjadi guru anak-anak yang Stereotype didasarkan pada penafsiran yang kita
kompeten. Kontroversi Gender mengungkapkan hasilkan atas dasar cara pandang dan latar
beberapa perbedaan substansial dalam belakang budaya. Dekonstruksi sosial dan
kemampuan fisik, keterampilan membaca dan reorientasi diperlukan untuk merubah
menulis, agresi, dan pengaturan diri, hanya ada pemahaman hubungan gender seperti yang selama
sedikit perbedaan dalam kemampuan matematika, ini disosialisasikan. Orientasi baru dalam
dan ilmu pengetahuan. Buss (2007, hlm. 505) pemahaman hubungan gender yang harus
berpendapat bahwa perbedaan gender itu luas dan disosialisasikan secara luas adalah hubungan
disebabkan oleh masalah-masalah adaptif yang gender yang seimbang dan harmonis, hubungan

13
ISSN:2339 -0042 (p)
Share: Social Work Jurnal VOLUME: 9 NOMOR: 1 HALAMAN: 10-19 ISSN: 2528-1577 (e)
Doi: 10.24198/share.v9i1.19691

kemitraan antara laki-laki dan perempuan. eksistensi diri, menampung pemikiran,


Hubungan kemitraan ini memungkinkan melepaskan pikiran, hiburan atau kepuasan, dan
terjadinya hubungan persamaan dan hubungan membangun jejaring sosial, b) Selain itu media
salirtg menghormati antar jenis kelamin, yang sosial juga menjadi sarana yang sangat efektif
tercermin juga dalam perilaku seksual yang untuk sharing, publikasi karya, membentuk
bertanggung jawab. Hubungan yang seimbang komunitas, dan sarana edukasi pemikiran
dan kemitraan juga berarti dapat menjamin, baik alternatif (kritis), c) Terkait kebebasan, media
laki-laki maupun perempuan terhadap akses sosial dimaknai lebih memberikan kebebasan dan
informasi, pendidikan, dan sebagainya. melepaskan narasumber dari ikatan nilai atau
norma budaya, d) dialogis dan mempertajam
Konstruksi Media Sosial dalam Kehidupan pemikiran atau terbiasa menerima kritik, itu dapat
Masyarakat terjadi karena media sosial dimaknai sebagai
Pengertian dari media sosial menurut Jacka dan tempat berdebat, berargumen, mempermalukan
Scott (2011, hlm. 98) adalah satu set teknologi atau mendapatkan respon atau apresiasi dari
yang berbasis web broadcast dimana pengguna lain (Maryani dan Arifin, 2012, hlm. 7).
memungkinkan demokratisasi atas isi, Penggunaan media sosial dalam segala
memberikan kesempatan kepada pengguna yang kegiatan dapat dikategorikan sebagai perbahan
muncul sebagai konsumen dari isi menjadi sosial karena mampu memunculkan gejala-gejala
publisher. Media sosial atau dalam bahasa Inggris perubahan struktur sosial pada masyarakat,
‘social media’ , menurut tata bahasa terdiri dari mengubah cara lama dengan efisiensi ruang dan
kata ‘social’ yang memiliki arti kemasyarakatan waktu. Perubahan sosial berarti adanya perubahan
atau sebuah interaksi dan ‘media’ adalah sebuah pada struktur dan fungsi masyarakat, perubahan
wadah atau tempat sosial itu sendiri. Menurut tersebut dapat diketahui dengan adanya
Kaplan dan Haenlein (2010, hlm. 53), sosial modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola
media sebagai a group of Internet-based kehidupan manusia (Davis dan Koenig dalam
applications that build on the ideological and Naszir, 2008, hlm. 78). Hal tersebut diperkuat
technological foundations of Web 2.0, and that oleh MacIver (dalam Soekanto dan Sulistiyowati,
allow the creation and exchange of User 2014, hlm. 45) mengatakan bahwa “Perubahan-
Generated Content. perubahan sosial dikaitkannya sebagai
Keberadaan media sosial pada saat ini perubahan-perubahan dalam hubungan sosial
sangatlah memberikan pengaruh yang kuat (social relationships) atau sebagai perubahan
terhadap perubahan di dalam masyarakat dan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan
sosial. Pada saat ini media sosial telah membuat sosial”. Perubahan sosial dapat terjadi dalam
ide tentang sebuah ‘global village’ yang bentuk material maupun non-material, dan dapat
diungkapkan McLuhan (dalam Toivo, 2012, hlm. mempengaruhi hubungan sosial dan
57) bahwa dalam era ini manusia telah saling keseimbangan yang ada di masyarakat sebagai
terhubung melalui teknologi komunikasi internet bentuk penyesuaian dan perkembangan pola-pola
dengan media sosial yang merupakan bagiannya. kehidupan menuju hal yang lebih baik.
Ide dari McLuhan tersebut juga senada dengan Media sosial telah menghapus batasan-
sebuah istilah yang diungkapkan Friedman batasan dalam bersosialisasi. Hilangnya batas
(dalam Toivo, 2012, hlm. 66) yaitu ‘flat world’ di ruang dan waktu, pengguna media sosial dapat
awal abad 21, dimana orang-orang akan saling berkomunikasi kapanpun dan dimanapun mereka
terhubung melalui komputer dan semakin berada. Semakin berkembangnya internet
cepatnya transfer informasi melalui kabel optik. memunculkan pola interaksi yang dapat dilakukan
Hal ini dapat dikatakan sebagai revolusi modern tanpa harus berada dalam ruang dan waktu yang
dimana hampir dapat menghilangkan batasan bersamaan. Ragam platform yang terdapat pada
antara waktu dan ruang. media sosial ini, banyak pelajar yang
Adanya keragaman makna tentang memanfaatkannya sebagai sarana untuk
keberadaan media sosial, yang terungkap adalah berinteraksi dengan teman, berbagi tugas-tugas
a) Media sosial dapat menjadi sarana untuk sekolah, bermain game, atau sekedar mengisi

14
ISSN:2339 -0042 (p)
Share: Social Work Jurnal VOLUME: 9 NOMOR: 1 HALAMAN: 10-19 ISSN: 2528-1577 (e)
Doi: 10.24198/share.v9i1.19691

waktu luang. Media sosial yang banyak digemari yang dimilikinya dalam rangka mencari eksistensi
oleh masyarakat khususnya pelajar saat ini dan pengakuan diri.
menghadirkan berbagai fitur atau fasilitas yang Kesadaran akan bagaimana hidup dirinya
memberikan kesempatan bagi penggunanya untuk akan dinilai oleh orang lain dalam individu secara
dapat mendokumentasikan setiap aspek tidak sadar meningkat. Perlu disadari bahwa
kehidupannya. Sebagai contoh aplikasi Instagram berbagai fitur yang dimiliki oleh media sosial
yang menawarkan kemudahan bagi pengguna justru membiasakan masyarakat untuk hidup dan
untuk berbagi foto dan video yang dilengkapi mempresentasikan kehidupan yang “likeable”
fitur-fitur tambahan seperti lokasi, live video, (Jurgenson, 2012, hlm. 86). Seperti halnya dalam
boomerang, atau bahkan melakukan percakapan pemilihan foto untuk dijadikan profile picture
pribadi disertai dengan berbagai macam emoticon ataupun status yang diperbaharui semuanya
menarik. didasarkan pada sejauh mana hal tersebut akan
Penggunaan media sosial juga disukai oleh orang lain. Kekuatan transformatif
mengakibatkan berubahnya gaya komunikasi dan yang dihadirkan oleh media sosial ini menjadi
karakteristik seseorang seperti membanggakan salah satu jawaban atas maraknya penggunaan
diri sendiri secara berlebihan atas apa yang media sosial pada masyarakat saat ini. Media
dimilikinya. Beberapa orang cenderung menjadi sosial dirasa menjadi salah satu sarana bagi
pengguna yang aktif dalam media sosial. bahkan, masyarakat untuk mengumpulkan kepercayaan
seringkali mereka terlalu banyak memposting diri serta dukungan dari lingkungannya.
berbagai hal dari mulai kegiatan sehari-hari Munculnya rasa ketergantungan aktivitas
hingga ke permasalahan yang berbentuk privasi. masyarakat dalam berselancar pada jejaring sosial
Hal tersebut dilakukan sebagai ajang utuk dilatarbelakangi kurangnya pengawasan dan
menunjukkan keberadaan dirinya kepada dunia perhatian dari lingkungan terdekat, khususnya
luar. Masyarakat yang menjadi pengguna media keluarga. Sikap dan peran orang tua sangat
sosial seringkali berlomba-lomba untuk penting terhadap masalah pengaruh negatif dari
menampilkan dan membuat branding tentang media sosial. Akan tetapi, peran masyarakat
dirinya kepada dunia luar. Melalui berbagai foto, sebagai komponen pendukung sosialisasi serta
video, pernyataan yang ada di media sosial, pembentuk kepribadian seseorang memiliki andil
mereka ingin menunjukkan dan mengarahkan yang cukup besar.
pandangan orang lain bahwa mereka adalah Dengan kemunculan media sosial sebagai
seperti yang mereka gambarkan. Seperti yang ruang baru untuk berinteraksi, memudahkan
disebutkan Goffman (dalam Mulyana, 2011, hlm. mereka dan meningkatkan rasa ingin tahu mereka
156) terkait konsep Dramaturgi, bahwa individu akan dunia yang lebih luas. Media sosial juga
akan menampilkan dirinya sebaik mungkin. dijadikan sebagai sarana untuk memuaskan hasrat
Ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin baik yang bersifat positif maupun negatif yang
menyajikan suatu gambaran diri yang akan tidak dapat mereka lakukan di dunia nyata.
diterima orang lain. Dalam konsep Dramaturgi, Internet dan perkembangan teknologi informasi
kehidupan sosial dimaknai sama seperti merupakan alat yang berpotensi dalam perilaku
pertunjukkan drama dimana terdapat aktor yang menyimpang dan merusak dalam kehidupan
memainkan perannya. Akan tetapi, para pelajar remaja yang menjadikan mereka sebagai korban
yang belum memiliki pengendalian diri yang secara online (Dowdell, 2011; Staksrud, Olafsson,
sempurna dalam mengekspresikan dirinya & Livingstone, 2013). Berdasarkan kutipan
menjadi rawan terjerumus pada hal-hal yang akan tersebut muncul konstruksi baru dalam
merugikan bahkan mencelakakan dirinya. perkembangan penggunaan media sosial yaitu
Sebagai contoh, penggunaan aplikasi Instagram remaja yang menggunakan internet dan media
yang belum terkontrol, beberapa pelajar kerap kali sosial telah membuka celah dalam diri mereka
mengunggah foto maupun video dengan pakaian sendiri untuk menjadi korban bullying, pelecehan
yang kurang senonoh dan sopan hanya untuk seksual, dan perilaku menyimpang lainnya.
mendapatkan pujian dan likes dari para followers

15
ISSN:2339 -0042 (p)
Share: Social Work Jurnal VOLUME: 9 NOMOR: 1 HALAMAN: 10-19 ISSN: 2528-1577 (e)
Doi: 10.24198/share.v9i1.19691

Realitas Gender dalam Media Sosial virtual’ untuk menciptakan realitas visual bagi
Instagram siapapun yang berkecimpung didalamnya.
Mereka dengan bebasnya mengekspresikan diri
Instagram menjadi media sosial favorit karena melalui foto agar terlihat dan dikenal menjadi
penggunanya dapat men-sharing kehidupan ‘siapa’, dan bahkan menciptakan dunia yang
pribadi melalui bentuk visual. Pada prakteknya, seperti ‘apa’. Seperti halnya ketika kita melihat
instagram bagaikan sebuah jurnal pribadi yang foto-foto diri yang ditampilkan para informan
berbentuk album foto virtual para penggunanya, dalam penelitian ini, yang masing-masing dari
dimana mereka dapat meng-upload foto apapun mereka memiliki karakter identitas yang berbeda-
yang mereka inginkan, setiap saat kapanpun, beda. Mereka mencoba untuk mepresentasikan
menentukan lokasi foto dimanapun, serta dirinya dengan penampilan semenarik mungkin
menuliskan judul foto apapun. Sehingga kehadapan penonton dunia maya agar terlihat
konsekuensi didalamnya, media sosial layaknya dominan ditengah-tengah riuknya beragam
instagram kerap dimanfaatkan sebagai ajang identitas virtual masyarakat digital.
arena memproduksi realitas yang termediasi Realitas visual yang cenderung dipilih
(mediated reality) melalui citra visual foto.Jika untuk disampaikan merupakan citra yang dapat
kita melihat dari aspek sosial, fotografi dapat meningkatkan harga diri individu di dunia maya.
dilihat dari kecenderungan masyarakat Sejauh ini, harga diri atau self-esteem dimengerti
mempergunakan fotografi sebagai fungsi sosial. sebagai penilaian individu terhadap performa
Penggunaan fotografi disajikan untuk dirinya sendiri, atas kemampuan, keberartian,
mendefinisikan makna sosial seperti apa yang di kehormatan, dan keberhargaan dirinya. Tentunya
definisikan pada gambar tersebut. penilaian tersebut, tidak dapat diukur tanpa
Wilayah kebudayaan termasuk media sosial melihat pengakuan dari orang-orang sekitar untuk
Instagram adalah wilayah otonom yang memiliki menganalisa : apakah perilaku yang dilakukan
bentuk kekuasaan (hegemoni), logika sosial, dan sudah sesuai dengan apa yang diidealkan (bagi
pasar simboliknya sendiri. Instagram sebagai masyarakat) (Putri, 2016, hlm. 93).
media sosial ternyata merupakan ruang sosial Pada penggunaan media sosial ini ternyata
alam dua dimensi yang secara utuh eksis dalam gender adalah satu-satunya variabel demografi
kehidupan kebudayaan media, yaitu ruang-ruang yang sangat signifikan berpengaruh dalam
sosial bentukan dimensi kebudayaan. Berawal penggunaan media sosial, karena ada beberapa
dari penggunaan media sosial, masyarakat mulai perbedaan antara pengguna media sosial laki-laki
membangun relasi di dunia maya dengan akun dan perempuan. Perempuan melakukan empat
pribadinya. Menawarkan pertemanan dan relasi di sampai lima kali lebih banyak waktu untuk
dunia maya lewat foto sebagai identitas profil. menggunakan media sosial dibandingkan dengan
Dengan adanya foto dalam tampilan profil, pria (Tufekci, 2008, hlm. 24). Sheldon (dalam
mereka dengan mudah dapat memilih siapa saja Sponcil & Gitimu, 2013, hlm. 352) juga
yang akan menjadi teman di dunia maya. menemukan bahwa perempuan lebih menyukai
Selanjutnya, proses menambah teman di dunia media sosial untuk menjalin hubungan dengan
maya tidak terjadi begitu saja. Ada unsur memilih keluarga dan teman-teman, melewatkan waktu,
siapa yang akan menjadi teman atau tidak. Dapat hiburan, akan tetapi pria lebih menyukai
dilihat tanpa riset yang mendalam di media sosial, menggunakan media sosial untuk bertemu dengan
perempuan dengan paras yang dianggap cantik orang baru. Perempuan yang kuliah juga lebih
oleh orang banyak akan lebih banyak memiliki menyukai menggunakan internet untuk
teman di dunia maya daripada perempuan yang berkomunikasi dan menjalin hubungan, seperti
dianggap buruk wajahnya. Foto yang dipajang menghubungi teman-teman, keluarga, dan
sebagai gambar profil merupakan syarat utama pasangannya (dalam Baym, Zhang, Kunkel,
yang dapat menentukan bagaimana seseorang Ledbetter, & Mei-Chen, 2007, hlm. 749).
akan menjadi populer di dunia maya Pengalaman pendidikan dari pria dan wanita juga
Karena sifatnya yang serba visual, media merupakan faktor penting yang mempengaruhi
sosial Instagram dimanfaatkan sebagai ‘panggung penggunaan media sosial. Pria dan wanita yang

16
ISSN:2339 -0042 (p)
Share: Social Work Jurnal VOLUME: 9 NOMOR: 1 HALAMAN: 10-19 ISSN: 2528-1577 (e)
Doi: 10.24198/share.v9i1.19691

mendapatkan pendidikan tinggi akan lebih


menyukai menggunakan media sosial dalam P EN GALAMAN
menunjang aktivitasnya setiap hari (Lenhart et al, C YB ER B ULLYIN G
2010, dalam Sponcil & Gitimu, 2013, hlm. 355). DALAM MED IA SO SIAL
Menurut riset yang dilakukan oleh firma Platform Media Sosial
kemanan digital, Norton, 76% dari 1.000

42
responden wanita yang berusia dibawah 30 tahun

37

32
pernah mengalami pelecehan seksual secara
online (Aprillia, 2017). Kekerasan terhadap

12

10
perempuan tidak hanya terkungkung pada batasan

9
seksual dan psikis, tapi juga penyempitan makna
oleh opini publik, sehingga kebebasan untuk
menyatakan jati diri terbungkam. Dalam hal
penggunaan media sosial Instagram penyematan
feminitas sebagai sifat perempuan yang seolah
Chart 1. Platform Media Sosial yang Berpotensi Tinggi
kodrati, kerap berujung pada dikotomi “baik” dan dalam Cyberbullying
“tidak baik”. Perempuan yang layak, sebagaimana Sumber: The Annual Bullying Survey (2017)
biasa digaungkan oleh gambar-gambar kutipan
seksis tersebut, mentok pada mereka yang mau Era digitalisasi dan informasi ini menuntut
mengabdi pada laki-laki di ruang privat. Kata sifat perempuan untuk dapat memahami dan
“cantik” masih tetap diasosiasikan pada potret menggunakan teknologi tersebut dengan bijak.
perempuan berambut panjang lurus, berkulit Media sosial yang ada pada saat ini tentu saja
putih, dan bertubuh langsing atau montok. mempengaruhi kehidupan kaum perempuan,
Memproduksi persepsi bahwa perempuan- sebagaimana diketahui ternyata penggunaan
perempuan lain yang bertubuh gendut, berkulit media sosial didominasi kaum perempuan.
cokelat, maupun berambut keriting adalah Seorang perempuan boleh saja gemar berpakaian
perempuan-perempuan non-primadona. seksi sebagai wujud otonomi atas tubuhnya
Banyak pula gambar yang memperlihatkan sendiri. Dan laki-laki yang memahami kesetaraan
foto perempuan-perempuan berpakaian terbuka gender tentu paham bahwa esensi perempuan
dengan penyertaan kutipan yang menjurus ke melebihi anatomi fisik yang dapat memancing
stereotipe seksual di dalam media sosial birahi. Feminisme bukan lantas mengubah posisi
Instagram. Tidak berusaha menyudahi salah di mana perempuan menyingkirkan laki-laki dari
kaprah yang telanjur tertanam pada jalan pikir puncak podium. Pemahaman tentang gender
mayoritas masyarakat, banyak yang justru diperlukan dalam beberapa kasus diskriminasi
menyatakan bahwa penampilan seronok itulah yang terjadi dalam Instagram, hal tersebut dapat
yang menjadi bakal terjadinya pelecehan fisik. dijadikan sebagai ideologi yang membebaskan,
Bentuk-bentuk ajakan untuk chat yang menggoda baik perempuan maupun laki-laki, untuk
dan mengganggu merupakan hal yang sudah biasa menentukan hidupnya tanpa merasa direpresi oleh
terjadi dalam konteks penggunaan media sosial. kungkungan-kungkungan sosial.
Berdasarkan hasil survey Ditch the Label,
Instagram dengan persentase sebesar 42% Kesimpulan
merupakan platform media sosial yang Meningkatnya kesadaran pengguna akan
penggunanya paling sering menglami bagaimana hidup dirinya akan dinilai oleh orang
cyberbullying. Facebook dengan 37%, Snapchat lain telah membuat peningkatan terhadap
dengan 31%, WhatsApp dengan 12%, Youtube penggunaan media sosial khususnya Instagram.
dengan 10%, dan Twitter dengan 9% (lihat Chart Perkembangan teknologi komunikasi dan
1). informasi memberikan kemudahan dalam
berinteraksi. Kehadiran media sosial sebagai
bukti perkembangan teknologi komunikasi

17
ISSN:2339 -0042 (p)
Share: Social Work Jurnal VOLUME: 9 NOMOR: 1 HALAMAN: 10-19 ISSN: 2528-1577 (e)
Doi: 10.24198/share.v9i1.19691

ternyata memberikan pengaruh terhadap perilaku stereotype yang terjadi di dunia nyata maupun di
masyarakat. media massa, berbagai pandangan positif maupun
Rendahnya pengetahuan masyarakat akan negatif lebih banyak diberikan terhadap kaum
pemahaman gender menyebabkan pandangan perempuan. Hal tersebut terjadi karena mayoritas
stereotype masih muncul di dalam penggunaan pengguna media sosial Instagram sendiri adalah
media sosial Instagram. Sama halnya dalam perempuan.

Referensi
Aprillia, I. (2017). Cewek Ini Pernah Mengalami Jurgenson, N. (2012). When atoms meet bits:
Pelecehan Seksual di Media Sosial, Ini Social media, the mobile web and
Cara Menghadapinya. augmented revolution. Future
cewekbanget.grid.id/Love-Life-And-Sex- Internet, 4(1), 83-91.
Education/Cewek-Ini-Pernah-Mengalami- Kaplan, A. M., & Haenlein, M. (2010). Users of
Pelecehan-Seksual-Di-Media-Sosial-Ini- the world, unite! The challenges and
Cara-Menghadapinya (di akses pada opportunities of Social Media. Business
tanggal 03 April 2018, pukul 13.59 WIB). horizons, 53(1), 59-68.
Baym, N. K., Zhang, Y. B., Kunkel, A., Ledbetter, Kuswarno, E. (2009). Fenomenologi: metode
A., & Lin, M. C. (2007). Relational quality penelitian komunikasi: konsepsi, pedoman,
and media use in interpersonal dan contoh penelitiannya. Widya
relationships. New Media & Society, 9(5), Padjadjaran.
735-752. Lenhart, A., Purcell, K., Smith, A., & Zickuhr, K.
Buss, D. M. (2007). The evolution of human (2010). Social Media & Mobile Internet Use
mating. Acta Psychologica Sinica, 39(3), among Teens and Young Adults.
502-512. Millennials. Pew internet & American life
Dedy, M. (2011). Komunikasi Lintas Budaya. Pyt project.
Remaja Rosdakarya, Bandung. Lippa, R. A. (2005). Gender, nature, and nurture.
Dowdell, E. B. (2011). Risky Internet behaviors Routledge.
of middle-school students: communication Lips, H.M. (1993). Lips, Sex and Gender: An
with online strangers and offline Introduction. London: Mayfield Publishing
contact. CIN: Computers, Informatics, Company.
Nursing, 29(6), 352-359. Martin, C. L., Ruble, D. N., & Szkrybalo, J.
Echols, M.J & Shadily, H. (1983). Kamus Inggris (2002). Cognitive theories of early gender
Indonesia, Cet. XXI. Jakarta: Gramedia. development. Psychological
Frederikse, M., et.al. (2000). Sex difference in bulletin, 128(6), 903.
inferior lobule volume in schizophrenia. Maryani, E., & Arifin, H. S. (2012). Konstruksi
American Journal of Psychiatry, 157, 422- Identitas Melalui Media Sosial. Journal of
427. Communication Studies, 1(1), 1-22.
Hacket, L., et.al. (2017). The Annual Bulying Mulia, M. (2004). Islam menggugat poligami.
Survey 2017. United Kingdom: Ditch The Gramedia Pustaka Utama.
Label. Nazsir, N. (2008). Teori-Teori
Hidayat, S. (2011). Sedarmayanti.“. Metodologi Sosiologi. Bandung, Widya Padjajaran.
Penelitian”. Bandung: Mandar Maju. Nugraha, A., Sudrajat, R.H & Putri, B.P.S.
Hyde, J. S. (2005). The gender similarities (2015). Fenomena Meme di Media Sosial:
hypothesis. American psychologist, 60(6), Studi Etnografi Virtual Posting Meme Pada
581. Pengguna Media Sosial Instagram. Jurnal
Jacka, J.Mike, Peter R. Scott. (2011) Auditing Sosioteknologi, 14(3), 237-245.
Social Media; A Governance and Risk Putri, E. (2016). Foto Diri, Representasi Identitas
Guide. The Institute of Internal Auditors, Dan Masyarakat Tontonan Di Media Sosial
Reseach Foundation Instagram. Jurnal Pemikiran
Sosiologi, 3(1), 80-97.

18
ISSN:2339 -0042 (p)
Share: Social Work Jurnal VOLUME: 9 NOMOR: 1 HALAMAN: 10-19 ISSN: 2528-1577 (e)
Doi: 10.24198/share.v9i1.19691

Saguni, F. (2014). Pemberian Stereotype


Gender. Jurnal Musawa IAIN Palu, 6(2),
195-224.
Santrock, J.W. (2009). Educational Psycology,
(3th ed). Jakarta: Penerbit Salemba
Humanika.
Scott, P. R., & Jacka, J. M. (2011). Auditing social
media: A governance and risk guide. John
Wiley & Sons.
Setiadi, E. M., & Kolip, U. (2011). Pengantar
sosiologi: pemahaman fakta dan gejala
permasalahaan sosial: teori, applikasi dan
pemecahannya. Kencana.
Showalter, E. (1989). Speaking of Gender.
Soekanto, S & Sulistyowati. (2013). Sosiologi
Suatu Pengantar. PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Sponcil, M., & Gitimu, P. (2013). Use of social
media by college students: Relationship to
communication and self-concept. Journal
of Technology Research, 4(1), hlm. 350-
361.
Staksrud, E., Ólafsson, K., & Livingstone, S.
(2013). Does the use of social networking
sites increase children’s risk of
harm?. Computers in human
behavior, 29(1), 40-50.
Toivo, S. (2012). Social Media–The New Power
of Political Influence. Centre for European
Studies.
Tufekci, Z. (2008). Can you see me now?
Audience and disclosure regulation in
online social network sites. Bulletin of
Science, Technology & Society, 28(1), 20-
36.
Umar, N. (1999). Argumen Kesetaraan
Gender. Jakarta: Paramadina.

19

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai