Oleh :
Rita Nurhasanah
180510070020
ABSTRAK
*penulis adalah mahasiswi program studi Sastra Perancis Fakultas Ilmu Budaya yang lulus pada tanggal 18 juli
2012
ABSTRACT
This thesis entitled “The Influence of Social Reality towards Intermarriage
Life in the novel L’histoire de la femme cannibale, by Maryse Condé, written in
2003”.
The research was aimed at demonstrating the influence of social reality
towards intermarriage life in the novel. Analysis on plots, figures, backgrounds and
perceptions were carried out in order to gain the result. The method used in this paper
was descriptive analysis method.
From this whole series of analysis, we can see the social reality in South
Africa, including the race discrimination, the rise of crime such as murder, violence
and intimidation, as well as cultural situation on belief towards witches or magic, and
the search self-identity on the main character.
PENDAHULUAN
Afrika Selatan merupakan satu-satunya negara yang dinamai sesuai dengan
letak geografisnya yang berada di bagian selatan benua Afrika. Negara ini mempunyai
sejarah dan kebudayaan yang sangat terkenal di seluruh dunia, termasuk pula sistem
politiknya yang sangat kontroversial pada satu abad yang lalu, yaitu politik Apartheid.
Politik ini pada prinsipnya bertujuan untuk memisahkan orang berkulit putih dengan
orang berkulit hitam, memberi keuntungan yang sangat besar kepada orang berkulit
putih sebagai kaum minoritas untuk menguasai segala bidang baik dalam bidang
pemerintahan, perekonomian maupun sosial kemasyarakatan, dan memperbudak
orang berkulit hitam yang merupakan kaum mayoritas di negara tersebut. Akibat
politik diskriminatif itu, seluruh dunia mengutuk Afrika Selatan, begitu juga Dewan
Keamanan PBB yang memberikan ultimatum agar politik Apartheid segera dihapus.
Dengan adanya politik tersebut, orang berkulit hitam sangat dirugikan dan
begitu menderita. Selain itu juga, politik ini melarang adanya pernikahan atau
hubungan sebagai pasangan campuran antara orang berkulit putih dan orang berkulit
hitam. Oleh karena itu, pasangan campuran di Afrika Selatan dianggap sebagai
pasangan yang ilegal dan melanggar hukum. Meskipun politik Apartheid telah
dihapuskan, namun pasangan campuran tetap dianggap sebagai hal yang tidak wajar,
karena realitas sosial mengenai pasangan campuran di negara tersebut sudah menjadi
sebuah mitos negatif, sehingga para pasangan campuran akan selalu mendapatkan
sanksi sosial.
Oleh karena itu, keberadaan pasangan campuran selalu menimbulkan konflik,
baik dalam keluarga maupun lingkungan sosial. Hal tersebut membuat kehidupan
pasangan berbeda warna kulit ini menjadi tidak tenang dan tidak berjalan sebaik
kehidupan pasangan berkulit warna sama. Maka dari itu, pasangan ini senantiasa
berada dalam tekanan, yang kemudian berpengaruh terhadap sisi psikologis masing-
masing individunya.
Seperti dalam novel L’histoire de la femme cannibale, Maryse Condé
mengangkat tema mengenai hubungan pasangan campuran di Afrika Selatan yang
dihubungkan dengan realitas sosial, budaya dan sejarah negara tersebut. Pasangan
campuran yang dimaksud dalam novel ini adalah wanita kulit hitam yang
berpasangan dengan lelaki kulit putih. Keberadaan pasangan campuran tersebut tidak
terlepas dari pengaruh situasi negara yang tidak kondusif dan sarat dengan konflik itu.
Di samping hal tersebut, dalam novel ini juga terlihat adanya dampak negatif
dari sejarah Afrika Selatan, seperti banyaknya aksi kriminal dan masih terjadinya
fenomena diskriminasi ras yang mengganggu sisi psikologis para tokoh. Latar
tersebut kemudian memancing tokoh utama dalam buku ini untuk melakukan suatu
tindakan tertentu terhadap realitas sosial yang ada di Afrika Selatan.
Alur adalah salah satu elemen penting pembentuk karya sastra. Dalam
konteksnya dapat dikatakan bahwa alur merupakan rangkaian tahapan-tahapan
peristiwa yang kemudian membentuk suatu cerita yang dihadirkan oleh para tokoh.
Menurut Goldenstein dalam bukunya Pour Lire Le Roman (1988 : 63), alur adalah
konstruksi terpenting yang dibuat oleh pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa
yang secara kronologis dan logis saling berkaitan, dan yang diakibatkan atau dialami
oleh tokoh-tokoh dalam cerita. Fungsinya adalah sebagai suatu sarana yang
memudahkan para pembaca untuk dapat mengikuti perkembangan kejadian dalam
cerita. Terdapat dua cara untuk menyusun alur teks naratif yaitu sekuen dan episode.
Tokoh adalah elemen penting sebagai pembentuk karya sastra. Cerita dalam
karya sastra merupakan pengembangan dari peristiwa yang dialami atau yang dilihat
oleh tokoh. Tokoh-tokoh yang ditemukan dalam cerita dibentuk dari elemen-elemen
yang ditiru dari kehidupan nyata. Oleh karena itu, tokoh-tokoh dalam suatu karya
sastra dapat dikatakan lahir dari persilangan antara imajinasi pengarang dengan
kenyataan (Schmitt dan Viala, 1982 : 69).
Dalam analisis latar, novel ini menggunakan tiga jenis latar dalam ceritanya,
seperti latar tempat, waktu dan sosial untuk menunjukkan dan menggambarkan
realitas sosial di Afrika Selatan.
Element lain yang sama pentingnya juga yaitu sudut pandang. Menurut
Roland Barthes (1977 : 40), sudut pandang adalah kedudukan atau tempat
berpijaknya narator terhadap cerita atau posisi narator dalam menyajikan sebuah
cerita. Sebagai cara pandang pengarang dan pembaca yang diwakilkan pada pencerita
(narrateur) dalam karya sastra, sudut pandang sangat penting keberadaannya dalam
memberitahukan tendensi dari pesan yang akan disampaikan pengarang, karena teks
sastra bukanlah teks yang bersifat netral tetapi selalu memuat perasaan-perasaan dan
ideologi pengarang dari sudut pandang tertentu. (Schmitt, 1982 : 30)
ISI/PEMBAHASAN
Novel L’histoire de la femme cannibale ditulis oleh Maryse Condé. Ia
merupakan seorang penulis besar frakofon yang lahir pada tanggal 11 februari 1937
di Pointe-à-Pitre, Guadeloupe. Ia merupakan Ketua Departemen Studi Perancis di
Universitas Kolombia dan juga bekerja untuk mempromosikan kesusastraan Karibia.
Selama perjalanannya di Afrika dan Karibia, Maryse Condé lebih
memfokuskan pandangannya pada perbedaan ras kulit hitam dan putih. Selain
mengenai ras, ia juga mengangkat gagasan tentang feminisme, identitas diri dan
kebudayaan lokal. Maryse Condé menulis novel pertamanya yang berjudul
Heremakhonon pada tahun 1976. Kemudian ia menulis novel kembali pada tahun
1981 yang berjudul Une saison à Rihata, dan novel berjudul Traversée de la
mangrove pada tahun 1989. Condé berdiri di antara para penulis Karibia
kontemporer. Dalam novel-novelnya, para protagonis terpecah di antara dua budaya,
sehingga mereka harus mencari identitas diri. Pada tahun 1984, ia menerbitkan novel
barunya yang berjudul Segou. Setahun kemudian ia mendapatkan penghargaan atas
novel terbarunya, dan itu merupakan awal kesuksesan dalam karir menulisnya.
Setelah itu, ia mendapatkan lagi beberapa penghargaan atas novel-novelnya. Dua
novel yang mendapatkan penghargaan terbaik yaitu Moi, Tituba, sorcière noire de
Salem yang ditulis pada tahun 1986 dan mendapatkan le grand prix de la femme pada
tahun yang sama, dan novel berjudul La Vie scélérate yang ditulis pada tahun 1987
mendapatkan penghargaan dari l’Académie Française setahun kemudian. Pada tahun
1997, ia mendapatkan le prix Carbet de la Caraïbe untuk novel berjudul Desirada,
dan pada tahun 1999 le prix Marguerite Yourcenar untuk novel berjudul Le coeur à
rire et à pleurer. Akhirnya, Condé mendapatkan penghargaan kehormatan seni dan
sastra pada tahun 2001 dan masih banyak penghargaan lain yang ia dapatkan dari
novel-novelnya.
Simone Bazin des Roseraies adalah teman wanita pertama Rosélie. Mereka
bertemu di Pusat Kebudayaan Perancis di Afrika Selatan. Simone yang merupakan
wanita berkulit hitam dan mempunyai suami berkulit putih, selalu tertarik mengenai
politik dan mengemukakan opininya mengenai semua hal seperti diktator, demokrasi,
Islam, homoseksuel, terorisme, konflik India-Pakistan. Oleh karena kebiasaannya itu,
secara tidak langsung Rosélie mendapatkan pengetahuan mengenai politik.
Dari hari ke hari, rasa kepedulian Rosélie terhadap orang berkulit hitam
semakin besar, karena ia juga pernah merasakan penderitaan yang sama seperti
mereka. Ia percaya bahwa ia dapat mengalahkan rasisme dengan kecerdasan dan
kemampuannya itu, sehingga ia berusaha melawan realitas sosial tersebut. Ia
mengharapkan agar rasisme segera berakhir, sehingga tidak akan ada lagi orang-
orang yang menderita akibat diskriminasi ras.
Untuk menjabarkan struktur cerita secara menyeluruh dan mengetahui
pengaruh realitas sosial terhadap kehidupan pasangan campuran, akan digunakan
teori pembagian cerita secara sekuensial dalam analisis alur. Teori pembagian cerita
secara sekuensial berfungsi untuk mengetahui deretan peristiwa secara kronologis dan
logis yang kemudian diintegrasikan dengan aplikasi teori tindakan. Pada awal cerita,
pengarang mengambarkan Rosélie sebagai wanita berkulit hitam yang mempunyai
pasangan lelaki berkulit putih. selain itu, pengarang juga menggambarkan kehidupan
Rosélie sejak ia kecil, remaja, dewasa dan pekerjaannya sebagai seorang dukun.
Dari analisis alur, terlihat munculnya konflik atau masalah dalam cerita yang
berawal dari terjalinnya hubungan Rosélie, wanita berkulit hitam yang merupakan
tokoh utama dalam novel ini, dengan Stephen, lelaki berkulit putih. Hubungan
tersebut ditentang oleh berbagai pihak, baik dari keluarga Rosélie maupun dari
lingkungan sosial. Meskipun tekanan yang datang begitu bertubi-tubi, namun mereka
tetap menjalani kehidupan sebagai pasangan campuran yang cukup bahagia, hingga
kematian Stephen. Setelah peristiwa itu, Rosélie memulai aksinya untuk melakukan
“pemberontakan” terhadap realitas sosial yang ada di negara itu. Hal tersebut dipicu
oleh rasa kepeduliannya terhadap orang-orang yang menderita akibat realitas tersebut.
Analisis alur terdiri dari 70 sekuen yang didominasi oleh jenis sekuen
tindakan (acte). Hal tersebut menunjukkan bahwa tokoh utama cenderung aktif dalam
menggulirkan cerita melalui berbagai aksinya. Tindakan (acte) tersebut tidak terlepas
dari faktor-faktor yang bersifat internal, yaitu suasana hati (état) dan juga eksternal,
yaitu peristiwa (événement) dan hubungan antartokoh (situation). Hal ini berarti
bahwa reaksi yang dilakukan oleh tokoh utama dipengaruhi oleh rasa kepedulian dan
pengalaman hidupnya, yang kemudian semakin terpicu akibat adanya pengaruh
realitas sosial yang sangat merugikan orang-orang di sekitarnya.
Hasil dari analisis tokoh menunjukkan bahwa tokoh utama digambarkan oleh
pengarang sebagai tokoh yang mengalami berbagai macam kesulitan dan
kemalangan, terutama saat menjalani kehidupan pasangan campuran, yang
dipengaruhi oleh realitas sosial di Afrika Selatan. Namun demikian, karakter tokoh
utama mengalami suatu perubahan visi dan misinya setelah mengalami berbagai
peristiwa yang membuatnya harus terus berjuang meski telah kehilangan orang yang
dicintainya.
Selanjutnya, pada analisis latar yang merupakan inti pada penelitian ini, dapat
diketahui bagaimana gambaran kehidupan pasangan campuran di Afrika Selatan.
Pengarang menunjukkan keadaan tempat, waktu, dan sosial di negara itu secara
terperinci, sehingga dapat menimbulkan rasa empati pembaca untuk ikut merasakan
suasana di sana. Semua latar yang telah dianalisis tersebut sangat memengaruhi tokoh
utama, Rosélie, dalam menjalani kehidupan sebagai wanita berkulit hitam yang
memiliki pasangan lelaki berkulit putih, serta memicu rasa kepeduliannya untuk
membantu orang-orang yang menderita karena realitas sosial tersebut.
Analisis sudut pandang sebagai analisis terakhir dalam penelitian ini memiliki
peranan dalam menunjukkan ide-ide, pendapat, pemikiran serta pesan pengarang
dalam novel L’histoire de la femme cannibale. Melalui sudut pandang tak terbatas,
pengarang leluasa keluar masuk pemikiran dan perasaan para tokoh untuk
memaparkan idenya mengenai gambaran kehidupan pasangan campuran. Pandangan
serta ide-ide pengarang semakin ditegaskan melalui penggunaan sudut pandang
terbatas, yang memunculkan penilaian subyektifnya mengenai realitas sosial tersebut,
termasuk pemikiran bahwa rasisme dianggap lebih menyakitkan dibandingkan
dengan penyakit paling berbahaya sekalipun. Penggunaan kedua jenis sudut pandang
ini terbukti efektif digunakan oleh pengarang, untuk membantu pembaca agar dapat
menyelami lebih dalam mengenai realitas sosial yang terjadi di Afrika Selatan.
SIMPULAN
Dari keseluruhan analisis dalam skripsi ini, dapat terlihat ide
pengarang yang mencoba mengetengahkan rumitnya realitas sosial akibat politik
Apartheid yang terjadi di Afrika Selatan. Politik tersebut telah melibatkan berbagai
aspek kehidupan dan nilai-nilai kehidupan manusia, nilai moral, budaya dan sosial.
Dampak yang ditimbulkan dari politik Apartheid bagi orang-orang berkulit hitam
begitu berkepanjangan, meskipun secara formal politik ini telah ditiadakan. Bahkan,
bagi pasangan campuran, dampak tersebut akan selalu dialaminya, mereka akan
selalu terkucilkan dari lingkungan sosial, karena realitas sosial tersebut telah menjadi
sebuah tradisi yang melembaga.
Melalui novel fiksi yang berjudul L’histoire de la femme cannibale ini,
pengarang juga memperlihatkan adanya suatu sikap dari seorang manusia yang
merasa terpicu rasa kepeduliannya terhadap orang-orang yang menderita akibat
adanya diskriminasi ras. Seorang wanita yang telah mengalami berbagai tekanan dan
penderitaan, sehingga dapat merasakan rasa sakit orang-orang yang bernasib sama
dengannya. Wanita ini berusaha membantu menyembuhkan luka fisik maupun psikis
para pasiennya, terutama pasien imigran. Sikap wanita tersebut berkaitan dengan
judul novel ini, L’histoire de la femme cannibale yang merupakan judul sebuah
lukisan, dapat diartikan sebagai perjalanan wanita ini dalam melakukan
pemberontakan dan berusaha untuk mengakhiri realitas sosial yang terjadi di Afrika
Selatan, walaupun ia harus melawan takdirnya sendiri.
Setelah membaca novel ini, tampak bahwa pengarang mengajak kita untuk
memaknai kehidupan dengan lebih bijaksana. Bagaimana seharusnya manusia
menempatkan dirinya dengan baik dan seimbang dalam statusnya sebagai makhluk
pribadi, makhluk Tuhan dan juga terutama sebagai makhluk sosial. Dengan
mengutamakan perbuatan baik pada sesama dan tidak memandang rendah orang lain
hanya karena perbedaan fisik, seperti yang dikatakan oleh Muhammad Ali, mantan
petinju Amerika Serikat “Membenci orang karena warna kulitnya itu salah. Tidak
masalah apa ras si pembenci. Hanya saja ini benar-benar salah.”. Setiap perbedaan itu
seharusnya bisa dimanfaatkan dengan baik untuk saling melengkapi satu dengan yang
lainnya. Pada dasarnya, manusia memang diciptakan berbeda, namun tetap memiliki
darah yang sama berwarna merah. Perbedaan tersebut sebaiknya tidak dijadikan
sebagai jurang pemisah kebersamaan, karena masih ada beberapa kesamaan dibalik
semua perbedaan itu, seperti dikutip dari salah satu bukunya Clive Barker, penulis
Inggris, “Setiap orang merupakan sebuah buku yang terbuat dari darah, di mana pun
kita dibuka, kita merah”.
“Ketidaktahuan dan prasangka adalah bagian dari propaganda. Oleh karena itu,
misi kami untuk mengalahkan kebodohan dengan pengetahuan, kefanatikan dengan
toleransi, dan isolasi dengan tangan terentang dari kemurahan hati. Rasisme dapat,
akan, dan harus dikalahkan .” - Kofi Annan-
Daftar sumber :