Anda di halaman 1dari 16

PENGIDENTIFIKASIAN DIMENSI-DIMENSI BUDAYA INDONESIA:

PENGEMBANGAN SKALA DAN VALIDASI

Sabrina Oktoria Sihombing1), Feriadi D. Pongtuluran 2)


sabrinasihombing@gmail.com
1)
Dosen Business School Universitas Pelita Harapan
2)
Dosen Business School Universitas Pelita Harapan

Abstrak

Budaya merupakan salah satu topik yang menarik minat peneliti dari
beragam disiplin ilmu seperti psikologi, pemasaran, perilaku
konsumen, dan disiplin ilmu lainnya. Hal ini karena budaya sebagai
salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku seseorang.
Cara mengukur budaya yang sering digunakan oleh peneliti-peneliti
ilmu sosial, khususnya dalam penelitian pemasaran dan perilaku
konsumen, adalah dengan menggunakan dimensi-dimensi budaya
yang dikembangkan oleh Hofstede (1980) dan Hofstede dan Bond
(1988). Akan tetapi, studi Hofstede juga mendapat kritik-kritik seperti:
(1) mereduksi budaya pada 4 atau 5 dimensi, (2) penelitian telah lama
dilakukan, yaitu pada tahun 1967-1973, dan (3) mengukur budaya
dengan menggunakan nilai-nilai yang berkaitan dengan pekerjaan.
Dengan demikian, walaupun dimensi budaya yang dikembangkan oleh
Hofstede memberikan kontribusi dalam memahami dan mengukur
budaya, tetapi ada kebutuhan untuk mengembangkan dan
mengidentifikasi budaya Indonesia. Hal ini karena didasari belum ada
/ terbatasnya penelitian yang mengidentifikasi budaya Indonesia. Oleh
karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dimensi-
dimensi budaya Indonesia serta menghasilkan indikator-indikator
untuk mengukur budaya Indonesia. Data akan dikumpulkan dengan
menggunakan metode survey. Kemudian, data akan dianalisis dengan
menggunakan exploratory factor analysis dan confirmatory factor
analysis. Luaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah dimensi-
dimensi budaya Indonesia.

Kata kunci: budaya, budaya Indonesia, Hofstede, pemasaran, perilaku


konsumen

Pendahuluan sebagai salah satu faktor eksternal yang


Budaya merupakan salah satu topik yang mempengaruhi perilaku seseorang
menarik minat peneliti dari beragam (Maheswaran & Shavitt, 2000).
disiplin ilmu. Hal ini karena budaya Seseorang tidak lahir dengan memahami
budaya, tetapi orang tersebut akan nilai-nilai yang berkaitan dengan
belajar mengenai budaya melalui proses pekerjaan (Steenkamp et al., 1999).
akulturasi dan enkulturasi. Bagaimana Dimensi-dimensi budaya Hofstede
orang tersebut mempunyai cara pandang, memotivasi penelitian ini. Pemahaman
bersikap, serta berperilaku dipengaruhi dan pengukuran budaya masih dan terus
oleh budayanya. relevan hingga saat ini. Sebagaimana
Cara mengukur budaya yang sering yang ditunjukkan oleh de Mooij (2004)
digunakan oleh peneliti-peneliti ilmu bahwa orang-orang hanya terlihat serupa
sosial adalah dengan menggunakan / sama, padahal pemikiran dan perilaku
dimensi-dimensi budaya yang mereka berbeda di tiap wilayah. Dengan
dikembangkan oleh Hofstede (1980) dan demikian, walaupun dimensi budaya
Hofstede dan Bond (1988, dalam yang dikembangkan oleh Hofstede
Kirkman et al.,2006). Dimensi-dimensi memberikan kontribusi dalam
tersebut adalah: power distance, memahami dan mengukur budaya, tetapi
masculinity/feminity, uncertainty menurut kami ada kebutuhan untuk
avoidance, individualism/collectivism, mengembangkan dan mengidentifikasi
dan the Confucian dynamism. Dimensi- budaya Indonesia. Hal ini karena
dimensi Hofstede sering digunakan didasari belum ada / terbatasnya
dalam penelitian sosial karena penelitian yang mengidentifikasi budaya
kesederhanaannya dalam memahami dan Indonesia. Luaran yang diharapkan dari
mengukur budaya (Kirkman et al., penelitian ini adalah dimensi-dimensi
2006). Akan tetapi, studi Hofstede juga budaya Indonesia yang kemudian dapat
mendapat kritik-kritik seperti: (1) digunakan untuk memahami budaya
mereduksi budaya pada 4 atau 5 dimensi Indonesia dengan lebih baik.
(Jones, 2007; Soares et al., 2007;
Kirkman et al., 2006), penelitian telah Justifikasi Penelitian
lama dilakukan, yaitu pada tahun 1967- Ada 3 alasan pentingnya melakukan
1973 (Jones, 2007; Tsoukatos dan Rand, penelitian ini. Pertama, terbatasnya
2007; Steenkamp et al., 1999), dan (3) penelitian yang mengidentifikasi budaya
mengukur budaya dengan menggunakan Indonesia. Kedua, pentingnya
melakukan pengembangan skala untuk
menghasilkan indikator-indikator budaya Green (1991) menunjukkan bahwa
Indonesia yang andal dan valid. Ketiga, konsumen di Amerika dan Korea
kontribusi penelitian ini bagi teori dan memilih merek A sebagai merek sepatu
praktis. yang dibeli. Akan tetapi, pembelian yang
dilakukan responden di Korea sangat
Terbatasnya penelitian yang dipengaruhi oleh norma-norma sosial.
mengidentifikasi budaya Indonesia. Sedangkan pembelian yang dilakukan
Globalisasi merupakan salah satu kata oleh responden di Amerika lebih banyak
yang popular bagi banyak pihak. dipengaruhi oleh sikap. Dengan kata
Misalnya, para pemasar lain, konsumen di Amerika adalah
mempertimbangkan globalisasi sebagai konsumen yang fokus pada dirinya
salah satu faktor yang dapat sendiri (self-centered) sedangkan
mempengaruhi perilaku beli konsumen. konsumen di Korea mempertimbangkan
Secara spesifik, globalisasi dipercaya orang lain, khususnya orang-orang
sebagai salah satu faktor mengapa dalam kelompoknya (group-oriented).
konsumen di Indonesia, Afrika, dan Lebih lanjut, Usunier (2000) juga
bagian dunia lainnya membeli produk menunjukkan bahwa kebanyakan
dengan merek yang sama, misalnya perilaku beli konsumen di negara-negara
Coca-cola, McDonald, dan merek global Asia Tenggara dipengaruhi oleh
lainnya. keluarga.
Globalisasi memang merupakan salah Banyak penelitian pemasaran di
satu faktor yang dapat mempengaruhi Indonesia yang menggunakan budaya
perilaku beli konsumen. Akan tetapi, sebagai salah satu variabel penelitian
perilaku konsumen di tiap daerah adalah (Contoh: Suharnomo, 2009; Subiyantoro
unik dan menurut budayanya masing- & Hatane, 2007; Japarianto, 2006). Akan
masing. De Mooij (2004) menunjukkan tetapi, penelitian-penelitian tersebut
bahwa memang orang / konsumen di mengukur budaya dengan menggunakan
banyak negara semakin terlihat sama, dimensi-dimensi yang dikembangkan
tetapi cara berpikir dan berperilakunya oleh Hofstede (1980). Padahal,
belum tentu sama. Sebagai contoh mengukur budaya sebaiknya dengan
penelitian yang dilakukan oleh Lee dan menggunakan budaya dari negara /
wilayah tersebut. Dengan demikian, ada budaya Indonesia karena belum atau
kebutuhan untuk mengidentifikasi dan terbatasnya penelitian yang fokus pada
mengembangkan dimensi-dimensi pengembangan indikator budaya
budaya Indonesia. Indonesia. Dengan demikian, penelitian
ini kemudian dapat memberikan
Pentingnya melakukan pengembangan kontribusi bagi penelitian sosial di
skala untuk menghasilkan indikator- Indonesia.
indikator budaya Indonesia yang andal
dan valid. Ada 3 alasan utama perlunya Kontribusi penelitian. Kontribusi
melakukan pengembangan skala. penelitian ini secara teori adalah sebagai
Pertama, aitem-aitem pada penelitian ini berikut. Penelitian ini menggunakan
belum dikembangkan sebelumnya untuk pendekatan antar disiplin (yaitu, perilaku
memahami budaya Indonesia. Dengan konsumen, sumber daya manusia, dan
menggunakan lima tahap dalam sosiologi) dalam memahami budaya
pengembangan skala, penelitian ini Indonesia. Penelitian dengan pendekatan
mengembangkan aitem-aitem budaya multidispliner adalah penelitian yang
yang akurat dan valid. Pengembangan memfokuskan pada upaya memahami
instrumen yang akurat dan valid dapat fenomena secara lebih lengkap yang
memberikan manfaat tidak hanya pada dapat meningkatkan penelitian ilmu-
pengembangan ilmu tetapi juga pada ilmu sosial (Deshpande, 1999; Murray &
peningkatkan kualitas penelitian Evers, 1989; Horton, 1984). Penelitian
(Summers, 2001; Churchill, 1979). ini juga memberikan kontribusi terhadap
Kedua, pengembangan instrumen baru bidang praktis sebagai berikut.
perlu dilakukan di berbagai negara atau Penelitian ini akan mengidentifikasikan
budaya (misalnya, Indonesia) untuk nilai-nilai yang diyakini responden
melihat apakah ada hubungan antar mengenai budaya Indonesia.
konstruk yang spesifik (culturally Pemahaman akan nilai-nilai bangsa
specific) pada budaya tertentu Indonesia penting bagi praktisi dan
(Steenkamp & Baumgartner, 1998). pembuat kebijakan. Sebagai contoh,
Ketiga, adanya kebutuhan untuk pemahaman akan budaya Indonesia akan
mengembangkan indikator / instrumen membantu pemasar mengaplikasikan
program-programnya dalam bentuk komputer menjadi tidak berguna, dengan
“think globally, act locally.” kata lain piranti lunak-lah yang
menentukan kerja sebuah komputer.
Tinjauan Literatur Hosftede ingin menegaskan betapa
pentingnya budaya dengan
Definisi Budaya menganalogikan budaya sebagai
Budaya didefinisikan sebagai ‘software of the mind.’ Budaya adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan, penggerak manusia. Tanpanya, manusia
dan hasil buah budi manusia dalam sekedar makhluk tanpa makna.
kehidupan bermasyarakat Budaya memiliki definisi yang
(Koentjaraningrat, 1980). Lebih lanjut, senantiasa berkembang, hal ini ditandai
Koentjaraningrat menjelaskan bahwa oleh adanya fenomena mengenai
gagasan ataupun naluri manusia adalah pendefinisian budaya yang senantiasa
merupakan bahan dasar suatu tindakan. tak pernah berakhir. Misalnya,
Tindakan dan hasil karya manusia Matsumoto (1996, dalam Dayakisni &
merupakan tolak ukur budaya manusia. Yuniardi, 2003) mendefinisikan budaya
Sependapat dengan Koentjaraningrat, sebagai suatu set dari sikap, nilai-nilai,
Sastrosupono (1982) mendefinisikan keyakinan, dan perilaku yang dimiliki
budaya sebagai tindakan atau perilaku oleh suatu kelompok orang. Sedangkan
manusia, misalnya duduk, tidur, Brislin (2000) mendefinisikan budaya
berbicara dan sebagainya. Hofstede sebagai nilai-nilai yang dianut diantara
(1994) juga mendefinisikan budaya orang-orang yang umumnya berbicara
sebagai pikiran, perasaan, dan tindakan dengan bahasa yang sama dan tinggal
manusia. Menurutnya, budaya adalah saling berdekatan. Dari beberapa definisi
piranti lunak jiwa manusia (software of budaya yang disampaikan, dapat
the mind). Analogi dari Hofstede sangat disimpulkan bahwa konsep budaya
menarik. Ia memakai perumpamaan adalah meliputi pikiran atau gagasan
komputer untuk menjelaskan peran manusia (termasuk di dalamnya sikap,
budaya bagi kehidupan manusia. Peran nilai-nilai, dan keyakinan), tindakan, dan
piranti lunak adalah penentu dari hasil karya manusia.
bekerjanya sebuah komputer tanpanya
Triandis (1994) mencatat Penelitian yang dilakukan Hofstede
sekurangnya ada tiga ciri dari definisi- (1994) di banyak negara memperlihatkan
definisi budaya yang ada. Pertama, karakteristik atau tipikal orang masing-
budaya terbentuk melalui interaksi yang masing negara tersebut. Hosftede
berkesinambungan yang saling membedakan dimensi budaya menjadi
mempengaruhi dan terus menerus empat, yaitu: jarak kekuasaan (power
berubah. Kedua, budaya merupakan distance, selanjutnya disebut PD),
sesuatu yang ada pada seluruh kelompok invidualisme (individualism, selanjutnya
budaya bersangkutan. Ketiga, budaya disebut IDV), maskulin (masculinity,
dialihkan dari satu waktu ke waktu selanjutnya disebut MAS), dan
berikutnya, dari generasi ke generasi. penghindaran ketidakpastian
(uncertainty avoidance, selanjutnya
Dimensi-dimensi Budaya menurut disebut UAI). Tabel 1 memperlihatkan
Hofstede tipikal orang Indonesia dibandingkan
dengan orang Amerika.

Tabel 1. Perbedaan budaya Indonesia dan USA

Indonesia USA
Dimensi Peringkat Nilai Peringkat Nilai
budaya skor skor

Power distance (PDI) 8/9 78 38 40


Individualism (IDV) 47/48 14 1 91
Masculinity (MAS) 30/31 46 15 62
Uncertainty 41/42 46 43 48
avoidance (UAI)
Sumber: diringkaskan dari Hofstede (1994)

Secara ringkas, PD didefinisikan Salah satu contoh bentuk PD adalah


sebagai seberapa besar ketidak- misalnya di Indonesia sebagai negara
seimbangan terjadi pada masyarakat. dengan nilai PD yang besar. Artinya, di
Indonesia, anak harus patuh kepada dengan MAS rendah menekankan
orang tua dan guru dimana anak di individu untuk menjaga hubungan, yaitu
Amerika (negara dengan nilai PD kecil) dengan memperhatikan orang lain.
memperlakukan orang tua dan guru Akhirnya, UAI adalah toleransi atas
seimbang dengan dirinya. ketidak-jelasan. Dalam dimensi ini,
Kemudian, IDV adalah seberapa Indonesia dan Amerika mempunyai nilai
besar hubungan antar individual dalam yang mirip atau mempunyai perspektif
masyarakat adalah longgar. Indonesia yang hampir sama (Hofstede, 1994).
dengan nilai IDV tinggi menunjukan Data yang digunakan oleh Hosftede
bahwa hubungan antar individual dalam (1994) dalam menyusun peringkat
masyarkat adalah erat. Hubungan yang tersebut adalah data yang dikumpulkan
erat ini meletakan harmoni sebagai kunci dari beragam negara. Negara yang
dalam menjaga hubungan. dipilih tersebut mempunyai karakteristik
Lebih lanjut, MAS berkaitan dengan sebagai berikut. Pertama, negara tersebut
perbedaan peran gender dan preferensi mempunyai satu bahasa yang dominan,
individu. Negara dengan nilai MAS misalnya bahasa Indonesia untuk negara
tinggi (misalnya Amerika) membedakan Indonesia. Kedua, mempunyai sistem
dengan jelas bahwa laki-laki harus lebih pendidikan nasional. Terakhir, negara
agresif dibanding perempuan. Laki-laki tersebut mempunyai sistem politik
harus memfokuskan pada kesuksesan nasional. Dengan demikian, data yang
material dan perempuan harus lebih didapat dari suatu negara, misalnya
sederhana dan memperhatikan kualitas Indonesia, dapat dikatakan sebagai
hidup. Akan tetapi, negara dengan nilai tipikal Indonesia. Atau, data yang
MAS rendah mempunyai pandangan didapat dari negara Amerika, dapat
bahwa laki-laki dan perempuan haruslah dikatakan tipikal Amerika (Hosftede,
berlaku sederhana dan memperhatikan 1994). Penelitian yang dilakukan oleh
kualitas hidup. MAS juga berkaitan Hofstede menggunakan pekerja IBM
dengan preferensi individu dalam sebagai respondennya.
masyarakat. Negara dengan MAS tinggi
menekankan pada pencapaian nilai-nilai Keunggulan dan keterbatasan
heroik dan tegas. Sebaliknya, negara dimensi-dimensi Hofstede
Pengukuran budaya dengan budaya tersebut sering digunakan dalam
menggunakan dimensi-dimensi Hofstede penelitian-penelitian (Tabel 2.2),
merupakan pengukuran budaya yang terdapat juga kritik terhadap dimensi-
paling sering digunakan dalam penelitian dimensi budaya yang diusulkan oleh
manajemen dan psikologi (Baskerville, Hofstede tersebut (Tabel 2.3).
2003). Walaupun dimensi-dimensi

Tabel 2. Penelitian yang menggunakan dimensi-dimensi budaya Hofstede dan


dimensi yang digunakan

Peneliti IC PD MF UA LT Negara
(tahun)

Kaasa & Vadi X X X X - 20 negara


(2008) (Belgia,
Prancis,
Jerman, dll)

Adapa (2008) X X X X X

Jones (2007) X X X X - Australia,


Indonesia

Tsoukatos & Rand X X X X X Greece


(2007)

Singh (2006) X X X X - Prancis, Jerman

Le & Stockdale X - - - - USA


(2005)

Dash, Bruning, & X - - - - India, Kanada


Guin (2004)

Hwang, X - - - - HongKong,
Francesco, & Singapur, USA
Kessler (2003)

Kacen & Lee X - - - - Australia, USA,


(2002) Singapur,
Malaysia
Pheng & Yuquan X X X X - Singapur, Cina
(2002)

Oliver & Cravens X X X X - USA


(1999)

Steenkamp, X - X X - 11 negara di
terHofstede, & Eropa
Wedel (1999)
Sumber: dari peneliti-peneliti sebagaimana yang disebutkan diatas

Tabel 3. Kelemahan / Kritik terhadap Dimensi-dimensi Budaya Hofstede


Kelemahan Peneliti (tahun)
• Mereduksi atau menyederhanakan Jones (2007); Kirkman, Lowe, dan Gibson
budaya dalam empat atau lima (2006)
dimensi.
• Nilai / skor Hofstede untuk tiap- Steenkamp, terHofstede, dan Wedel (1999)
tiap negara adalah berdasarkan
nilai-nilai yang berkaitan dengan
pekerjaan (work-related values).
• Nilai / skor Hofstede untuk tiap- Kaasa dan Vadi (2008); Jones (2007);
tiap negara bisa saja salah atau Soares, Farhangmehr, dan Shoham (2007);
sudah ketinggalan jaman (out-of- Tsoukatos dan Rand (2007); Steenkamp et
date) karena dilakukan pada tahun al. (1999)
1967-1973.
• Hanya menggunakan responden
yang berasal dari satu perusahaan Jones (2007); Tsoukatos dan Rand (2007)
(yaitu IBM).
• Menyamakan budaya dengan
bangsa (nation). Baskerville (2003)

Sumber: dari peneliti-peneliti sebagaimana yang disebutkan diatas

Budaya Indonesia 1982). Beberapa pakar kebudayaan


Ada dua pendapat mengenai budaya (misalnya: Kayam, 1997; Gunadi et al.,
Indonesia, yaitu: (1) kebudayaan 1995; Hassan 1989; Joesoef, 1987;
Indonesia itu belum ada atau masih Suriasumantri, 1986; Sastrosupono,
merupakan pembicaraan tentang cita-cita 1982) menyatakan bahwa kebudayaan
dan (2) kebudayaan Indonesia itu sudah Indonesia adalah kebudayaan suku-suku
ada (Gunadi et al., 1995; Sastrosupono, yang memuncak pada suatu saat. Atau
dengan perkataan lain, kebudayaan zaman masing-masing (Joesoef, 1987,
Indonesia adalah puncak-puncak h.14).
kebudayaan suku. Kebudayaan Berbeda dengan beberapa pakar yang
Indonesia juga merupakan suatu sintesa disebutkan sebelumnya, Magnis-Suseno
dari berbagai macam budaya suku (1996) mendefinisikan budaya Indonesia
sehingga melahirkan sesuatu yang baru. sebagai budaya yang majemuk yang
Adapun beberapa indikator budaya terdiri dari lebih 200 budaya seperti
Indonesia adalah: (1) bahasa nasional budaya Jawa, Sunda, Batak, dan
(Bahasa Indonesia), (2) Pancasila, (3) beragam budaya lainnya. Lebih lanjut,
Undang Undang Dasar 1945, (4) Magnis-Suseno (1996) berpendapat
pembangunan dan modernisasi bahwa budaya Jawa (ataupun beragam
Indonesia, (5) lagu-lagu nasional, dan lainnya) mencerminkan budaya
(6) karya seni nasional. Indonesia.
Penjelasan singkat mengenai dua Sarwono (1998) menjelaskan bahwa
contoh budaya Indonesia adalah sebagai walaupun ada banyak budaya di
berikut. Contoh yang pertama adalah Indonesia, tetapi ada nilai-nilai utama
bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia (core values) bangsa Indonesia yang
merupakan pengejawantahan budaya dominan. Nilai-nilai utama tersebut
Indonesia yang menjadi penjalin didasarkan pada kriteria bahwa nilai-
kesatuan dan pengikat ke-kitaan nilai itu harus diterima dan diamalkan
Indonesia (Hassan 1989, h.21). Contoh baik dalam sikap maupun perilaku
yang kedua adalah Pancasila. Pancasila sebagian besar rakyat Indonesia. Nilai-
ditentukan oleh nilai-nilai yang hidup nilai tersebut adalah: harmonis, toleransi,
dan berkembang di Indonesia. Manusia gotong-royong, dan religius.
Indonesia rata-rata mengenalnya- Harmoni dan toleransi berarti
disudut manapun mereka berada pada menjaga kesimbangan dalam
bumi Nusantara- walaupun dengan bermasyarakat. Sebagai contoh, ambisi
derajat penghayatan yang berbeda dan seseorang untuk mendapatkan sesuatu
wujud pengamalan yang berlainan, tidak diekspresikan secara lugas,
sesuai dengan kondisi alami dan keadaan melainkan orang cenderung untuk
bertindak dan berkata-kata secara tidak
langsung untuk menghindari adanya Pengembangan Skala
friksi dengan pihak lain. Sedangkan Pengembangan skala akan dilakukan
gotong-royong merupakan nilai bangsa untuk mengidentifikasi dimensi-dimensi
Indonesia yang telah dikenal sejak lama. budaya Indonesia. Pengembangan skala
Misalnya, masyarakat suatu wilayah atau tersebut terdiri dari 5 tahapan utama
kampung umumnya sering bergotong- (Gambar 1). Pertama adalah dengan
royong untuk melaksanakan suatu acara menghasilkan aitem-aitem yang
tertentu seperti acara hari kemerdekaan dilakukan dengan pendekatan deduktif
Republik Indonesia. Harmoni, toleransi (berdasarkan definisi budaya Indonesia)
dan gotong royong ini juga dikenal dan induktif (hasil dari focus interview).
sebagai budaya kolektif, atau budaya Kedua, tahap penentuan aitem yang akan
“kita” (Hofstede, 1994). Nilai yang lain, digunakan dan penulisan aitem-aitem
religius, dalam kaitannya dengan bidang tersebut. Selanjutnya, kuesioner dibuat
perilaku konsumen merupakan nilai dan kemudian data dikumpulkan dari
yang mempengaruhi seseorang dalam responden yang berada di Jakarta,
berkonsumsi. Sebagai contoh, Bandung, Semarang, dan Surabaya.
McDonald tidak menjual makanan yang Kemudian, data dianalisis dengan
mengandung babi atau kandungan- melakukan uji reliabilitas, validitas,
kandungan lain yang diharamkan oleh single dimension analysis, dan higher-
ajaran agama. Lebih lanjut, banyak gerai order analysis. Tahapan terakhir adalah
makanan yang tutup atau buka setengah dengan melakukan uji coba kembali
hari untuk menghormati orang yang indikator melalui pengumpulan data
berpuasa. kembali dari daerah Jakarta, Bandung,
Semarang, dan Surabaya.
Gambar 1. Alur Penelitian

Proposal penelitian

Masalah Tinjauan Metode Hasil dan Kesimpulan


Penelitian Literatur Penelitian Pembahasan

Pengembangan
Skala (scale
development )

Langkah 1: Langkah 2: Langkah 3: Langkah 4: Langkah 5: LUARAN


Menghasilkan Mengembangkan Mengumpulkan Mengevaluasi Uji coba PENELITIAN
aitem-aitem skala data skala indikator

1.1 Definisi budaya 2.1 Penentuan 3.1 Menentukan 4.1 Menilai keandalan 5.1 Uji coba Dimensi-
dan budaya aitem yang lay-out kuesio- dan validitas indikator dimensi bu-
Indonesia* digunakan ner 4.1.1 Reliabilitas pada daya Indone-
1.2 Focus interview** 2.2 Penentuan 3.2 Mengumpul- - Cronbach alpha wilayah sia
1.2.1 Expert sampel yang kan data - corrected item- Jakarta,
1.2.2 Masyarakat akan digunakan (Jakarta, total correlation Bandung,
1.3 Penilaian validitas 2.3 Penentuan Bandung, Se- 4.1.2 Validitas Sema-
1.3.1 Content validity penggunaan marang, Su- - Construct validity rang,
1.3.2 Face validity kalimat/aitem rabaya) -- convergent validity Surabaya
yang digunakan -- discriminant validity
(apakah meng-
gunakan kalimat 4.2 Analisis data
positif atau 4.2.1 Single dimension analysis
negatif) 4.2.2 Higher-order analysis
2.4 Format jawaban

Indikator capaian: Indikator capaian: Indikator capaian: Indikator capaian: Indikator capaian:
* aitem-aitem budaya * aitem-aitem yang * data (berasal * Dimensi-dimensi budaya * Dimensi-
Indonesia akan digunakan dari responden Indonesia (awal) dimensi budaya
dalam kuesioner yang ada di Ja- Indonesia
karta, Bandung,
Semarang, Sura-
baya)

Sumber: dikembangkan untuk penelitian ini dengan didasarkan pada Verbeke (2007), Parasuraman et al.
(2005), Adcock dan Collier (2001), Clark dan Watson (1995), Churchill (1979)

Kesimpulan dipelopori oleh Hofstede dapat menjadi


Memahami budaya terutama budaya dasar dalam pemahaman mengenai
Indonesia adalah penting baik bagi budaya, walaupun masih banyak kritik
peneliti maupun praktisi oleh karena terhadapnya. Namun dengan adanya
budaya dapat membentuk perilaku pemahaman suatu budaya melalui
orang. Dengan kata lain, dengan dimensi-dimensi yang terukur dapat
memahami budaya, kita juga dapat juga mempermudah dalam mempelajari suatu
mengenal ‘orang lain’ dan juga budaya. Sehingga pengidentifikasian
‘memahami diri sendiri’ (Ljubić et al., dimensi-dimensi dari budaya Indonesia
2009). Meneliti budaya Indonesia adalah pun menjadi sesuatu yang penting untuk
sesuatu yang penting. Pengidentifikasian dilaksanakan.
mengenai dimensi budaya yang
Churchill, G.A. (1979). A paradigm for
developing better measure of
marketing constructs. Journal of
Pernyataan tanda terima kasih Marketing Research, 16, 64-73.
Artikel ini merupakan bagian dari
penelitian kami yang berjudul Dash, S., Bruning, E.R. dan Guin, K.K.
“Pengidentifikasian Dimensi-dimensi (2004). Bonding and
Budaya Indonesia: Pengembangan Skala commitment in buyer-seller
dan Validasi” yang dibiayai oleh Hibah relationships: a cross-cultural
Bersaing (2011-2012) dan LPPM UPH comparison in banking. ASAC
(2011). Conference, Quebec City,
Quebec.

Daftar Pustaka Dayakisni, T. dan Yuniardi, S. (2003).


Psikologi Lintas Budaya.
Adapa, S. (2008). Adoption of internet Malang: UMM Press.
shopping: cultural considerations
in India and Austalia. Journal of De Mooij, M. (2004). Consumer
Internet Banking and Commerce, behavior and culture:
13, 2. Available at: consequences fro global
http://www.araydev.com/commer advertising and advertising,
ce/jibc/. Thousand Oaks, CA: Sage.

Adcock, R. dan Collier, D. (2001). Deshpande, R. (1999). Foreseeing


Measurement validity: a shared marketing. Journal of Marketing,
standard for qualitative and 63, 164-167.
quantitative research. American
Political Science Review, 95, 3, Garver, M.S. dan Mentzer, J.T. (1999).
529-546. Logistics research methods:
employing structural equation
Bagozzi, R.P. (1994). Structural modeling to test for construct
equation models in marketing validity. Journal of Business
research: basic principles, in Logistics, 20, 1, 33-57.
Principles of Marketing
Research, R.P. Bagozzi (ed.), Gunadi, I.H, Sutarno, Handayani, T. dan
Masschusetts: Blackwell Lutfiah, A. (1995). Wujud, Arti
Publishers. dan Fungsi Puncak-Puncak
Kebudayaan Lama dan Asli Bagi
Baskerville, R.F. (2003). Hofstede never Masyarakat Pendukungnya,
studied culture. Accounting Semarang: Departemen
Organizations and Society, 28, 1- Pendidikan dan Kebudayaan.
14.
Lee,C. dan Green, R.T. (1991). Cross-
Brislin, R. (2000). Understanding cultural examination of the
culture’s influence on behavior. Fishbein behavioral intentions
Fort Worth: Harcourt. model. Journal of International
Business Studies, 2nd Quarter, Sutrisno, S. (editor),
289-305. Yogyakarta: PT. BP Kedaulatan
Rakyat.
Hair, J.F., Anderson, R.E., Tatham, R.L.
dan Black, W.C. (2006)., Jones, M.L. (2007). Hofstede –
Multivariate data analysis, New culturally questionable? Oxford
Jersey: Prentice-Hall Business & Economics
International, Inc. Conference. Oxford, UK, 24-26
June.
Hassan, F. (1989), Renungan Budaya,
Jakarta: Balai Pustaka. Kacen, J.J. Lee, J.A. (2002). The
influence of culture on consumer
Hofstede, G. (1980). Culture’s impulsive buying behavior.
consequences: international Journal of Consumer
differences in work-related Psychology, 12, 1, 163-176.
values.Beverly Hills, CA: Sage.
Kerlinger, F.N. dan Lee, H.B. (2000).
Hofstede, G. dan Bond, M.H. (1988). Foundations of behavioral
The Confucius connection: from research, Fort Worth: Harcout
cultural roots to economic College Publishers.
growth. Organizational
Dynamics, 16, 4, 5-21. Kirkman, B.L., Lowe, K.B. dan Gibson,
C.B. (2006). A quarter century of
Hofstede, G. (1994). Cultures and Culture’s Consequences: a
organizations: software of the review of empirical research
mind. London: Harper-Collins incorporating Hofstede’s cultural
Publishers. values framework. Journal of
International Business Studies,
Horton, R.L. (1984). Buyer Behavior: A 37, 285-320.
Decision-Making Approach.
Ohio: Charles, E. Merrill Magnis-Suseno, F. (1996), Budaya dan
Publishing Company. pengaruhnya terhadap budaya
perusahaan Indonesia.
Japarianto, E. (2006). Budaya dan Usahawan, No. 7, Juli.
behavior intention mahasiswa
dalam menilai service quality Maheswaran, D. dan Shavitt, S. (2000).
Universitas Kristen Petra. Jurnal Issues and new directions in
Manajemen Pemasaran, 1, 1, 44- global consumer psychology.
52. Journal of Consumer
Psychology, 9,2, 59-66.
Joesoef, D. (1987). Pancasila,
kebudayaan, dan ilmu Matsumoto, D. dan Juang, L. (2004).
pengetahuan dalam Pancasila Culture and psychology, 3rd ed.,
sebagai Orientasi USA: Wadsworth/Thomson.
Pengembangan Ilmu,
Prawihardjo, S.H., Bakker,
Murray, J.B. dan Evers, D.J. (1989). Singh, S. (2006). Cultural differences in,
Theory borrowing and and influences on, consumers’
reflectivity interdisciplinary propensity to adopt innovations.
fields. Advances in Consumer International Marketing Review,
Research, 16, 647-652. 23, 2, 173-191.

Oliver, E.G. dan Cravens, K.S. (1999). Soares, A.M., Farhangmehr, M. dan
Cultural influences on Shoham, A. (2007). Hofstede’s
managerial choice: an empirical dimensions of culture in
study of employee benefit plans international marketing studies.
in the United States. Journal of Journal of Business Research,
International Business Studies, 60, 277-284.
30, 4, 745-762.
Steenkamp, J.M.E., ter Hofstede, F. dan
Parasuraman, A., Zeithml, V.A. dan Wedel, M. (1999). A cross-
Malhotra, A. (2005). E-S-QUAL: national investigation into the
a multiple-item scale for individual and national cultural
assessing electronic service antecedents of consumer
quality. Journal of Service innovativeness, Journal of
Research, 7, 213-233. Marketing, 63, 55-69.

Pheng, L.S. and Yuquan, S. (2002). An Steenkamp, J.E.M. dan Baumgartner, H.


exploratory study of Hofstede;s (1998). Assessing measurement
cross-cultural dimensions in invariance in cross-national
construction projects. consumer research. Journal of
Management Decision, 40, 1, 7- Consumer Research, 25, 78-90.
16.
Steenkamp, J.E.M. dan Van Trijp,
Sekaran, U. (2010). Research methods H.C.M. (1991). The use of
for business: a skill building LISREL in validating marketing
approach, 5th edn., NY: John construct. International Journal
Wiley & Sons. of Research in Marketing, 8,
283-299.
Sarwono, S.S. (1998). Cultural values
and marketing practices in Subiyantoro, E. dan Hatane, S.E. (2007).
Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Dampak perubahan kultur
Bisnis Indonesia, 13, 2, 90-100. masyarakat terhadap praktik
pengungkapan laporan keuangan
Sastrosupono, M.S. (1982). perusahaan publik di Indonesia,
Menghampiri Kebudayaan, Jurnal Manajemen &
Bandung: Penerbit Alumni. Kewirausahaan, 9, 1, 20-29.

Sharma, S. (1996). Applied multivariate Suharnomo (2009). The impact of


techniques, New York: John culture on human resource
Wiley & Sons. management practices: an
empirical research finding in
Indonesia. Proceedings at Oxford
Business & Economics
Conference, June 24-26, Oxford:
UK.

Summers, J.O. (2001). Guidelines for


conducting research and
publishing in marketing: from
conceptualization through the
review process.,” Journal of the
Academy of Marketing Science,
29, 4, 405-415.

Tsoukatos, E. dan Rand, G.K. (2007).


Cultural influences on service
quality and customer satisfaction:
evidence from Greek insurance.
Managing Service Quality, 17, 4,
467-485.

Usunier, J. (2000). Marketing Across


Cultures. England: Pearson
Education Limited.

Verbeke, W. (2000). A revision of


Hofstede et al.’s (1990)
organizational practices scale.
Journal of Organizational
Behavior, 21, 587-602.

Anda mungkin juga menyukai