Anda di halaman 1dari 19

time

Pentingnya mempelajari bahasa dan hubungan antara bahasa budaya dan perilaku tidak
bisa diabaikan, terutama oleh mahasiswa psikologi. Bahasa adalah sarana utama untuk
berkomunikasi dengan orang lain dan menyimpan informasi. Bahasa juga merupakan sarana
utama dalam pewarisan budaya dari satu generasi pada generasi berikutnya bahkan tanpa bahasa,
budaya seperti yang kita kenal tidak akan ada. Karena itu tidak mengejutkan kalau para ahli
psikologi lintas budayalah yang punya minat khusus pada bahasa. Pemahaman tentang
bagaimana bahasa diperoleh juga penting karena alasan-alasan praktis. Di jaman globalisasi ini,
pengetahuan mengenai lebih dari satu bahasa menjadi alat yang vital untuk memahami dan
berkomunikasi dengan orang yang berasal dari kebudayaan lain. Hal ini berlaku baik dalam
konteks sebuah masyarakat plural dan multicultural. Psikolog dapat memainkan peran yang
penting dalam memfasilitasi perjumpaan-perjumpaan antar budaya semacam itu.
Selain itu juga disebutkan bahwa salah satu penyebab utama terjadinya shock culture
adalah kehilangannya komunikasi antar pribadi dan salah satunya adalah bahasa. Oleh karena itu
bahasa sangat penting dipahami atau dikuasai untuk menunjang kehidupan di masa globalisasi
ini.
Pentingnya emosi dalam kehidupan dan perilaku manusia diakui secara luas dalam
psikologi. Emosi memberi warna pada hidup, menjadikannya penuh makna. Pengalaman
emosional juga dapat menjadi motivator penting perilaku. Ekspresi emosi juga penting dalam
komunikasi dan memainkan peran penting dalam interaksi sosial. Setiap manusia memiliki
emosi, memberinya identitas dan sepertinya harus belajar beradaptasi serta mengontrol
emosinya. Mengkaitkan emosi dengan individu adalah berbicara mengenai variasi setiap orang.
Bagaimana kita mendefinisikan emosi, seberapa penting kita memandangnya, bagaimana kita
mengelolanya, merasakannya, menerimanya dan mengekspresikannya, setiap orang adalah
berbeda dan unik. Berbicara mengenai individu manusia tentu tidak lepas dari konteks budaya
dalam hidupnya. Bagaimana pun keduanya adalah saling mempengaruhi. Begitupun kaitannya
dengan emosi, setiap budaya adalah unik dan berbeda dalam bagaimana budaya tersebut
memberi arti, melihat, mengelola, dan mengekspresikan emosinya. Oleh karena itu kita perlu
mengetahui bagaimanakah perbedaan ataupun persamaan setiap budaya dalam konsep emosinya.

1
2
BAB II
ISI
EMOSI
Pentingnya emosi dalam kehidupan dan perilaku manusia diakui secara luas dalam
psikologi. Emosi memberi warna pada hidup, menjadikannya penuh makna. Pengalaman
emosional juga dapat menjadi motivator penting perilaku. Ekspresi emosi juga penting dalam
komunikasi dan memainkan peran penting dalam interaksi sosial.

Teori dan Pandangan Tradisional tentang Emosi


Ada dua hal yang biasanya terlintas bila berbicara tentang emosi, yaitu:
1. Pengalaman emosi, yakni kondisi subjektif, perasaan dalam diri kita.
2. Ekspresi kita atas emosi melalui suara, wajah, bahasa, atau sikap tubuh (gesture).
Teori utama tentang pengalaman emosional, antara lain:
1. Teori James/ Lange, menyatakan bahwa pengalaman akan emosi merupakan hasil dari
persepsi seseorang terhadap arousal fisiologis (pada sistem saraf otonomik) serta
terhadap perilaku tampaknya (overt behaviour-nya) sendiri.
2. Teori Cannon/ Bard, menyatakan bahwa arousal otonomik terlampau lamban sehingga
tidak bisa dipakai untuk menjelaskan terjadinya perubahan dalam pengalaman emosional.
Sebaliknya pengalaman emosional yang sadar dihasilkan oleh stimulasi langsung atas
pusat-pusat otak di korteks.
3. Teori Schatcher/ Singer (teori yang terfokus pada peran interpretasi kognitif),
menyatakan bahwa pengalaman emosional tergantung hanya pada interpretasi seseorang
terhadap lingkungan di mana ia mengalami arousal. Menurutnya emosi tidak
terdeferensiasi secara fisiologis.
Adapun beberapa teori umum, yaitu:
1. Teori Thomkins, menyatakan bahwa emosi bersifat adaptif secara evo;usioner dan bahwa
ekspresinya merupakan bawaan biologis dan bersifat universal pada semua orang di
budaya manapun.

3
2. Teori Ekman (1972) dan Izard (1971), menyatakan bahwa setidaknya terdapat enam
ekspresi wajah emosi yang pankultural atau universal, seperti marah, jijik, takut, sedih,
dan terkejut.
Kesamaan dari keseluruhan teori ialah semua melihat adanya peran sentral bagi pengalaman
emosi subjektif bagi perasaan batin (inner feeling) seseorang.

Perbedaan-perbedaan Kultural dalam Mendefinisikan dan Memahami Emosi


Telaah Russel yang menelaah dari berbagai literatur lintas-budaya dan antropologis
tentang konsep-konsep emosi dan meyimpulkan bahwa ada perbedaan antar budaya, yang
kadang mencolok, ini merupakan hal yang bagus dan menjadi landasan yang kuat.

Konsep dan Definisi Emosi


Tidak semua budaya yang ada di dunia memiliki konsep emosi. Levy misalnya,
mengatakan bahwa orang Tahiti tidak punya kata untuk emosi. Lutz juga menyatakan bahwa
orang Ifaluk dari kepulauan Mikronesia tidak memiliki kata untuk emosi. Barangkali kata, dan
konsep emosi adalah sesuatu yang khas untuk budaya-budaya tertentu saja.
Tidak semua budaya di dunia memiliki kata yang merepresentasikan konsep emosi dan konsep
emosi yang ditunjukkannya pun tidak setara.

Kategori atau Pelabelan Emosi


Orang dari budaya yang berbeda juga berbeda dalam mengkategorikan atau melabeli
emosi. Beberapa kosakata bahasa Inggris, seperti anger, joy, sadness, liking, dan loving memiliki
padanan dalam berbagai bahasa dan budaya. Ada pula kata-kata emosi dalam bahasa lain yang
tidak punya padanan persisnya dalam bahasa inggris, tapi ada banyak kosakata dalam bahasa
Inggris yang tidak punya padanan dalam bahasa lain. Dalam bahasa Jerman misalnya: ada kata
Schadenfreude yang berati rasa senang yang timbul karena kesialan orang lain. Dalam bahasa
Jepang ada kata-kata itoshii, ijirashii, dan amae dapat diterjemahkan sebagai rasa rindu akan
orang tercinta yang tak ada, perasaan ketika melihat orang terpuji mengatasi suatu rintangan, dan
perasaan ketergantungan.
Perbedaan bahasa lintas budaya ini menunjukkan bahwa masing-masing budaya
memilah-milah dunia emosi dengan cara yang berbeda-beda. Dengan demikian, selain konsep

4
emosi merupakan khas budaya (culture bound), demikian pula dengan cara tiap kebudayaan
memberi kerangka dan melabeli dunia emosi.

Lokasi Emosi
Salah satu komponen emosi terpenting dalam psikologi Amerika adalah pengalaman
subjektif atas emosi, pengalaman batin emosi dalam diri. Namun penekanan pada pentingnya
perasaan batin dan emosi mungkin saja tidak bebas budaya, alias khas psikologi Amerika. Di
amerika kita biasa menempatkan perkara emosi dan perasaan batin di jantung (heart) bahkan
diantara budaya-budaya yang juga menunjuk tubuh sebagai lokasi emosi, lokasi persisnya
bervariasi. Orang Jepang misalnya, mengidentifikasi banyak emosi mereka pada hara-abdomen
atau perut. Orang Chewong dari Malay mengelompokkan perasaan dan pikiran di hati (lever).
Orang Tahiti percaya bahwa emosi muncul dari usus (intestine).
Pemahaman kita tentang lokasi emosi pun tampaknya terikat oleh budaya. Perbedaan
kultural dalam konsep, definisi, pelabelan, dan lokasi emosi semuanya membuat makna emosi
menjadi berbeda bagi orang dari budaya yang berbeda serta dalam perilaku mereka.

Perbedaan Makna Emosi bagi Orang dan dalam Perilaku Lintas Budaya
Menurut psikologi Amerika, emosi mengandung makna yang amat kental, barangkali
psikologi Amerika memandang perasaan batin yang subjektif sebagai karakteristik utama yang
mendefinisikan emosi. Namun demikian dalam budaya lain emosi memiliki peranan yang
berbeda. Misalnya banyak budaya yang menganggap emosi sebagai pernyataan-pernyataan
tentang hubungan antar orang dan lingkungannya, yang mencakup baik benda-benda maupun
hubungan sosial dengan orang lain. Bagi orang Ifaluk di Mikroneia maupun orang Tahiti, emosi
merupakan pernyataan mengenai hubungan-hubungan sosial dan lingkungan fisik. Konsep
Jepang amae, menunjuk pada hubungan saling ketergantungan antara dua orang.

Penelitian Psikologi Lintas Budaya Tentang Emosi


Ada beberapa perbedaan penting antara penelitian psikologi lintas budaya tentang emosi
dengan kajian antropologis dan etnografis. Satu perbedaan pentingnya adalah bahwa ahli
psikologi biasanya mendefinisikan terlebih dahulu apa yang tercakup sebagai emosi dan aspek
mana dari definisi tersebut yang akan dikaji.

5
Perbedaan kultural dalam konsep dan definisi emosi, menjadi hambatan bagi model
penelitian ini. Penelitian psikologis tentang emosi tetap mewakili suatu model penelitian yang
penting tentang perbedaan kultural dan emosi. Meski begitu mereka menegaskan bagaimana
budaya bisa membentuk emosi dan demikian meningkatkan kesadaran akan pentingnya
pengaruh-pengaruh sosio-kultural. Kajian-kajian ini juga penting karena mereka menunjukkan
bahwa perbedaan kultural emosi tetap ada, bahkan ketika aspek emosi yang diteliti didefinisikan
oleh pandangan barat mainstream dalam emosi.

Ekspresi Emosi
Penelitian lintas budaya tentang ekspresi emosi pada umumnya terfokus pada ekspresi
wajah. Ekspesi wajah dari emosi dari emosi merupakan aspek ekspresi emosi yang paling banyak
dikaji, dan penelitian lintas budaya mengenai ekspresi wajah inilah yang menjadi pendorong
utama kajian-kajian emosi di Psikologi Amerika. Ekman dan Izard mendapatkan bukti pertama
yang sistematis dan konklusif tentang keuniversalan ekspresi marah, jijik, takut, senang, sedih,
dan terkejut. Keuniversalan ini berarti bahwa konfigurasi mimik muka masing-masing emosi
tersebut secara biologis bersifat bawaan atau inate. Namun temuan ini tidak cocok dengan apa
yang secara intuitif kita rasakan tentang adanya perbedaan kultural dalam ekspresi emosi.
Masing-masing kebudayaan memiliki perangkat aturan sendiri yang mengatur cara emosi
universal tersebut diekspresikan, emosi tersebut tergantung pada situasi sosial. Ini biasa kita
sebut sebagai aturan pengungkapan kultural (cultural display role).
Sebenarnya adanya aturan kultural yang mengatur pengungkapan emosi ini sudah dua
dekade yang lalu ditunjukkan oleh sebuah studi komparatif antara perilaku raut muka orang
Amerika dan Jepang. Dalam studi ini, dua kebudayaan tersebut menonton film yang amat
stessfull dan dalam dua kondisi sosial yang berbeda. Selama eksperimen ini terjadi, wajah
mereka diam-diam direkam, hasil yang ditunjukan adalah orang Amerika dan Jepang ekspresi
jijik, marah, takut, dan sedih pada saat yang sama, muncul juga perbedaan kultural yang
mencolok saat si Eksperimenter muncul, orang Amerika tetap menunjukan emosi negatif mereka
namun orang Jepang terus tersenyum.
Temuan ini menunjukan bahwa ekspresi emosi yang secara biologis bersifat bawaan
berpadu dengan aturan-aturan pengungkapan yang bersifat kultural dalam menghasilkan
ekspresi-ekspresi emosi dalam interaksi. Penelitian lain ialah bagaimana aturan pengungkapan

6
berbeda secara kultural. Salah satunya, partisipan dari Amerika, Polandia, dan Hungaria diminta
melaporkan tingkat tepat tidaknya mengekspresikan masing-masing dari ke enam emosi
universal dalam tiga situasi sosial yang berbeda: (1) saat sendirian, (2) saat bersama orang lain
yang dianggap sebagai otang dalam (teman dekat, anggota keluarga), dan (3) bersama orang lain
yang dianggap orang luar (orang di keramaian, teman sehari-hari). Orang Polandia dan Hungaria
menampilkan lebih sedikit emosi negatif dan lebih banyak emosi positif ketika bersama in group
dibandingkan orang Amerika, sebaliknya.
Penelitian juga menunjukan adanya perbedaan etnis dalam aturan pengungkapan di
Amerika. Dalam penelitian in group dan out group, subjek-subjek penelitian ini diminta untuk
menilai tingkat kecocokan tindakan menampilakan emosi-emosi universal dalam situasi sosial
yang berbeda-beda. Hasilnya menunjukan bahwa meskipun ekspresi wajah universal itu secara
biologis bersifat bawaan sebagai prototipe raut wajah pada semua orang, budaya punya pengaruh
besar pada ekspresi emosi lewat aturan-aturan yang pengungkapan yang dipelajari secara
kultural. Karena kebanyakan interaksi antar-manusia pada hakekatnya bersifat sosial, kita harus
memahami bahwa perbedaan kultural dalam aturan pengungkapan ini berlaku dalam
kebanyakan, atau bahkan setiap, kesempatan. Orang-orang dari latar belakang budaya yang
berbeda dapat, dan memang mengekspresikan emosi secara berbeda.

Persepsi Emosi
Ekman dkk melakukan salah satu penelitian pertama yang menunjukan bagaimana tiap
budaya berbeda dalam mempersepsi emosi. Mereka memperlihatkan foto-foto ke enam emosi
universal pada pengamat dari sepuluh budaya. Para subjek dari sepuluh budaya itu sepakat dalam
hal emosi apa yang ditampilkan, yang menunjukan universalitas rekognisi emosi. Namun tetap
terdapat perbedaan antar budaya dalam hal seberapa kuat mereka mempersepsi emosi. Tes ini
menunjukan budaya Asia menilai lebih lemah intensitas emosi-emosi tersebut dibanding budaya-
budaya non-Asia. Matsumoto dan Ekman mereplikasikan temuan ini, menunjukan bahwa
perbedaan kultural dalam hal intensitas yang dipersepsi tetap ada, baik ketika subjek menilai
ekspresi orang dari budayanya sendiri maupun dari budaya.
Di bagian lain dari penelitian lintas ras pada subjek Amerika, subjek-subjek Kaukasia,
kulit hitamm, Asia dan Hispanik (latin) melihat contoh-contoh ekspresi wajah emosi universal
dan diminta untuk memberi penilaian secara skala tentang seberapa kuat intensitas emosi

7
menurut persepsi mereka. Hasilnya menunjukkan bahwa orang kulit hitam mempersepsi marah
dan takut dengan intensitas lebih tinggi dari pada orang Kaukasia dan Asia, mempersepsi wajah
Kaukasia dengan intensitas lebih tinggi dari pada orang Kaukasia dan Asia, serta mempersepsi
ekspresi wanita dengan intensitas lebih tinggi dapi pada orang asia. Orang hispanik juga
mempersepsi takut lebih intens dibandingkan orang Asia.
Budaya juga mempengaruhi pelabelan emosi. Meski biasanya ada kesepakatan antar
budaya dalam hal emosi apa yang ditampilkan oleh suatu ekspresi wajah, namun tetap ada
variasi dalam tingkat kesepakatan tersebut. Jenis perbedaan kultural dalam pelabelan emosi
inilah yang ditemukan dalam penelitian yang lebih baru.
Sebenarnya, perbedaan kultural dalam tingkat kesepakatan masing-masing budaya dalam
melabeli emosi juga tampak dalam data dari penelitian semula Ekman dan Izard tentang sifat
universal emosi. Hanya saja, ketika itu perbedaan kultural ini tidak diuji karena tujuan penelitian
tersebut adalah untuk menemukan kesamaan bukan perbedaan kultural.
Bagaimanakah cara budaya mempengaruhi persepsi dan interpretasi emosi? Beberapa
ahli psikologi percaya budaya memiliki aturan yang mengatur persepsi emosi, seperti halnya
aturan pengungkapan yang mengatur ekspresinya. Aturan tentang interpretasi dan persepsi ini
disebut aturan dekode (dicoding Rules (BUCK, 1984) aturan ini adalah aturan kultural, sesuatu
yang dipelajari, yang membentuk bagaimana orang disuatu budaya memandang dan
menginterpretasi ekspresi-ekspresi orang lain. Seperti aturan pengungkapan, aturan dekode
dipelajari pada masa-masa awal kehidupan, dan dipelajari sedemikian baik sehingga kita tidak
benar-benar menyadari pengaruhnya. Dengan demikian, aturan dekode adalah seperti saringan
budaya yang mempengaruhi bagaimana kita menangkap ekspresi emosi orang lain.

Pengalaman Emosi
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa program penelitian mulai mempelajari
bagaimana orang-orang dari berbagai budaya mengalami emosi secara berbeda-beda. Penelitian-
penelitian tersebut melibatkan ribuan responden dari lebih dari 30 budaya dari seluruh dunia
yang mengisi kuisioner tentang emosi yang mereka alami di kehidupan sehari-hari mereka.
Secara kolektif, temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa kebudayaan memiliki pengaruh
yang besar pada bagaimana orang mengalami emosi.

8
Para responden dalam penelitian ini juga menilai seberapa kuat (intensitas) dan seberapa
lama (durasi) mereka mengalami emosi mereka. Orang Amerika merasakan emosi mereka lebih
lama dan pada intensitas yang lebih tinggi ketimbang orang Eropa maupun Jepang.

Anteseden Emosi
Beberapa penelitian telah mempelajari apakah anteseden emosi (yakni hal-hal yang
memicu atau terjadi mendahului suatu emosi) bervariasi dari satu budaya ke budaya lain. Apakah
jenis-jenis kejadian yang sama menghasilkan macam-macam emosi yang sama, pada frekuensi
yang kurang lebih serupa, pada budaya yang berbeda-beda? Pertanyaan-pertanyaan ini dikaji
oleh sebuah penelitian yang membandingkan orang Amerika dengan Jepang. Temuan-temuan
penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan kultural dalam bagaimana orang dari budaya yang
berbeda mengevaluasi situasi-situasi yang membangkitkan emosi.

Fisiologi Emosi
Sampai saat ini, belum ada kajian yang secara formal menguji perbedaan-perbedaan
kultural dalam reaksi-reaksi fisiologis emosi. Meski demikian, ada beberapa penelitian yang
telah menguji perbedaan kultural dalam reaksi-reaksi fisiologis dan perilaku yang dilaporkan
oleh orang-orang dari beberapa budaya yang berbeda.
Secara umum, responden Jepang melaporkan bahwa mereka lebih sedikit memberi reaksi
terhadap emosi dalam bentuk gesture lengan dan tangan, gerak tubuh keseluruhan, dan reaksi
vokal dan wajah dibandingkan dengan orang Amerika dan Eropa. Orang Amerika melaporkan
bahwa mereka memiliki ekspresifitas lebih tinggi, baik dalam reaksi wajah maupun vokal. Orang
Amerika dan Eropa juga melaporkan bahwa mereka banyak mengalami sensasi-sensasi yang
murni fisiologis dibanding orang Jepang diantara sensasi-sensasi ini adalah perubahan
temperatur tubuh (wajah menjadi merah atau panas, perubahan-perubahan kardio vascular
(jantung berdebar, perubahan denyut nadi ), dan gangguan gastric (masalah perut).

Menuju Teori Emosi Lintas Budaya


Kebudayaan mempunyai peran yang sangat penting dalam membentuk emosi manusia.
Bukti-buktinya berasal dari berbagai kajian antropologis dan etnografik tentang emosi di
berbagai budaya yang berbeda, penelitian psikologis lintas budaya tentang emosi dan penelitian

9
fisologis tentang emosi pada berbagai kelompok ras di Amerika. Tapi sebelumnya, harus dicari
cara-cara yang lebih baik untuk mengorganisir dan memahami pengaruh kultural pada emosi.
Sebelum kita menemukan fakta-fakta baru tentang perbedaan kultural dalam emosi, kita perlu
mencari cara-cara yang bermaksud untuk memahami, memprediksi dan menafsirkan perbedaan
kultural. Mencari dan mengambil pendekatan-pendekatan yang secara teoritis relevan dengan
budaya dan emosi akan membantu kita untuk memahami budaya dan emosi. Hal itu juga akan
memandu upaya pencarian kita untuk menyibak berbagai hubungan antara keduanya dalam cara-
cara yang penting.
Saat ini semakin banyak ahli psikologi dan ilmuwan sosial lain yang sepakat bahwa kita
perlu mendefinisikan budaya tidak berdasarkan etnisitas atau kebangsaan. Budaya bukanlah
biologi, melainkan lebih merupakan suatu konstruk sosio-psikologis. Karena itu, kita perlu
beranjak dari kebiasaan mengklasifikasi orang sebagai orang Kaukasia, kulit hitam, Hispanik,
dan Asia, atau Amerika, Prancis, Jepang dan Inggris. Kita perlu menemukan cara-cara yang
bermakna untuk mendefinisikan budaya dengan mengabaikan etnisitas atau kebangsaan.
Beberapa ahli psikologi telah berusaha melakukan hal ini dalam kajian mereka tentang
budaya dan emosi. Pendekatan-pendekatan ini difokuskan pada konstruk sosio-psikologis yang
dikenal sebagai individualisme vs kolektifisme sebagai ukuran budaya. Individualisme mengacu
pada sejauh mana kebudayaan mengayomi kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan dan
hasrat-hasrat individual diatas kebutuhan kelompok. Kolektifisme mengacu pada sejauh mana
sebuah kebudayaan menekankan pada pengorbanan kebutuhan-kebutuhan individu demi
kebutuhan kelompok. Salah satu keuntungan utama mendefinisikan budaya dengan
individualisme vs kolektifisme adalah bahwa hal ini merupakan suatu konstruk yang benar-benar
sosio-psikologis, tidak dibatasi oleh etnisitas maupun kebangsaan. Dengan menggunakan
dimensi ini kita bisa meneliti bagaimana berbagai kelompok berbeda satu dengan yang lain dan
bagaimana individu-individu dalam kelompok-kelompok tersebut berbeda antar mereka sendiri.
Salah satu hal penting bagi teori emosi lintas budaya adalah petunjuk bahwa ekspresi-
ekspresi emosional bervariasi lebih menurut fungsi atau lebih berdasarkan dimensi
individualisme vs kolektifisme, ketimbang berdasarkan apa-apa seseorang itu berkulit hitam
bangsa Jepang atau bangsa Mesir temuan-temuan dari berbagai kajian terbaru tentang emosi
tampaknya mendukung penggambaran kultural ini untuk memahami perbedaan kultural dalam
emosi.

10
Pendekatan ini bukanlah jawaban akhir atas pertanyaan-pertanyaan kita dalam
memahami pengaruh budaya atas emosi. Cara-cara untuk menggambarkan budaya secara lebih
bermakna ketimbang penggambaran lewat dimensi individualisme vs kolektifisme mungkin akan
muncul dan para peneliti mungkin akan menemukan dimensi kultural lain yang lebih relevan
untuk memahami perbedaan-perbedaan kultural dalam emosi.

BAHASA
Bahasa adalah sarana utama untuk berkomunikasi dengan orang lain dan menyimpan
informasi. Bahasa juga merupakan sarana utama dalam pewarisan budaya dari satu generasi pada
generasi berikutnya bahkan tanpa bahasa, budaya seperti yang kita kenal tidak akan ada.
Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah suatu aspek penting dalam psikologi bahasa
karena pengetahuan tentang hal itu akan membentuk kita dalam memahami isu-isu perilaku
manusia yang lebih luas.
Pentingnya mempelajari bahasa dan hubungan antara bahasa budaya dan perilaku tidak
bisa diabaikan, terutama oleh mahasiswa psikologi.

Teori dan pandangan tradisional tentang bahasa


Ahli psikolinguistik biasanya mencoba menggambarkan bahasa dengan menggunakan lima ciri
atau fitur kritis:
1. Leksikon atau kosa kata, yaitu kata-kata yang ada dalam sebuah bahasa. Misalnya,
pohon, makan, bagaimana, dan pelan-pelan adalah diantara kosa kata bahasa Indonesia
2. Sintaks dan tata bahasa (grammer) suatu bahasa mengacu pada sistem aturan yang
mengatur bentuk kata dan bagaimana kata-kata dirangkai agar bisa menghasilkan ujaran
yang punya makna. Misalnya, bahasa Inggris punya aturan gramatikal yang
mengharuskan kita menambahkan huruf s dibelakang banyak kata untuk menunjukkan
kejamakannya. Dalam bahasa Inggris juga ada aturan sintatik bahwa kata sifat
ditempatkan sebelum, bukan sesudah, kebanyakan kata benda. Misalnya, “small dog”
dan bukan “dog small”.
3. Fonologi yaitu sistem aturan yang mengatur bagaimana sebuah kata diucapkan
(pronounciation, atau “aksen) dalam suatu bahasa. Contoh dalam bahasa Indonesia bunyi
pengucapan ular berbeda dengan pengucapan ulas.

11
4. Semantic, yaitu arti yang dimaksud oleh suatu kata. Meja dalam bahasa Indonesia
mengacu pada benda berkaki empat yang permukaannya datar.
5. Pragmatic, yaitu sistem aturan tentang bagaimana bahasa digunakan dan dipahami dalam
suatu konteks sosial. Contohnya ucapan “dingin sekali di sisni !” bisa diartikan sebagai
permintaan untuk menutup jendela yang terbuka, atau sebagai pernyataan faktual tentang
temperature. Bagaimana sebuah ucapan ditafsirkan bergantung pada konteks sosial atau
lingkungannnya.
Ahli psikolinguistik juga menggunakan dua konsep lain untuk membantu menjelaskan
struktur bahasa. Fonem adalah unit bunyi terkecil dan paling dasar dalam sebuah bahasa. Fonem
adalah landasan hirarki bahasa, dimana struktur bahasa menjadi semakin kompleks seiring
dengan bermaknanya bunyi, yang pada gilirannya menghasilkan kata-kata yang dirangkai dalam
fase-fase dan akhirnya menjadi kalimat.
Perdebatan psikologi bahasa yang paling abadi dan penting adalah debat tentang
hubungan antara jenis bahasa yang digunakan dengan proses-proses berpikir yang kita miliki ini
juga sering disebut sebagai hipotesis sapir-whorf. Perdebatan lain tentang psikologi bahasa
tentang sejauh mana proses pemerolehan bahasa (language acquisition) bersifat bawaan atau
innate, dan sejauh mana proses-proses tersebut kita peroleh lewat pengalaman atau yang telah
kita pelajari.

Hipotesis Sapir-Whorf
Hipotesis ini mengatakan bahwa orang yang berbeda bahasa, karena perbedaan bahasa ini
orang jadi berfikir secara berbeda. Pada tabel ada dua faktor yang menentukan pada tingkat
mana sebuat versi hipotesis dikategorikan. Faktor pertama berhubungan dengan aspek bahasa
dalam hipotesis, misalnya apakah aspek leksikon atau tata bahasanya yang dilihat. Faktor kedua
berkaitan dengan perilaku kognitif apa yang dilihat pada seorang pengguna bahasa tertentu.
Data Karakteristik Data Perilaku Kognitif
Bahasa Data Linguistik Data Non-Linguistik
Leksikal / Semantik Level 1* Level 2
Gramatikal / tata-bahasa Level 3 Level 4**
* Paling sederhana
** Paling tinggi

12
Dari tingkatan level di atas, level 1 adalah yang paling sederhana dan level adalah yang paling
kompleks.

Penelitian lintas budaya tentang hipotesis Sapir-Whorf


Carroll dan Casagrande (1958) meneliti hubungan antara sistem klasifikasi bentuk dalam
bahasa Navaho dengan tingkat perhatian anak-anak terhadap bentuk ketika melakukan klasifikasi
benda-benda. Carrol dan Casagrande (1958) mencatat bahwa dalam ciri linguistik ini bahasa
Navaho jauh lebih kompleks dibandingakan bahasa Inggris. Mereka menduga bahwa ciri
linguistik yang demikian punya peran dalam mempengaruhi proses-proses kognitif.
Temuan ini menjadi bukti yang mendukung ide bahwa bahasa yang kita gunakan bisa
mempengaruhi pemikiran kita. Ini menunjukkan bahwa bahasa mungkin punya peran
perantaraan. Artinya, bila pengalaman non linguistik sebelumnya tidak mengintervensi, bahasa
dapat melakukan bagaimana anak-anak memahami berbagai aspek dunia mereka. Dengan kata
lain, bahasa barangkali merupakan satu diantara beberapa pengalaman yang bisa mempengaruhi
cara berpikir kita.
Sebagian besar kajian awal di bidang ini terfokus pada persepsi warna. Gradasi warna
yang continous yang ada di dalam alam direpresentasikan dalam bahasa dalam serangkaian
kategoti diskret (berdiri sendiri-sendiri) tidak ada hal yang inhern baik dalam spektrum (warna)
maupun dalam perpsepsi manusia terhadap spektrum itu yang mengharuskan pembagiaannya
secara demikian.
Penelitian-penelitian tentang bahasa dan persepsi warna biasanya melihat bagaimana
warna dikategorikan dan bagaimana warna diberi nama bahasa-bahasa yang berbeda. Brown dan
Lenneberg (1954) menemukan adanya hubungan positif antara codability suatu warna dengan
tingkat akurasi warna tersebut diingat dalam sebuah tugas memori. Selanjutnya, Berlin dan Kay
(1969) melihat adanya urutan evolusioner dalam bagaimana bahasa meng-encode kategori-
kategori universal, misalnya bila suatu bahasa memiliki tiga istilah untuk warna, maka kita tahu
bahwa tiga istilah tersebut menggambarkan hitam, putih dan merah. Seperti ditampilkan pada
table berikut ini:

13
1. Semua bahasa memiliki istilah warna untuk hitam dan putih.
2. Bila sebuah bahasa memiliki tiga istilah warna, maka ia pasti punya istilah untuk merah.
3. Bila sebuah bahasa memiliki empat istilah warna, maka ia pasti punya istilah untuk hijau
atau kuning (tapi tidak keduanya).
4. Bila sebuah bahasa memiliki lima istilah warna, maka ia pasti punya istilah untuk hijau
dan kuning.
5. Bila sebuah bahasa memiliki enam istilah warna, maka ia pasti punya istilah untuk biru.
6. Bila sebuah bahasa memiliki tujuh istilah warna, maka ia pasti punya istilah untuk coklat.
7. Bila sebuah bahasa memiliki delapan atau lebih istilah warna, maka ia pasti punya istilah
untuk ungu, merah muda, orange, abu-abu atau kombinasi dari warna-warna ini.

Temuan-temuan Berlin dan Kay menunjukkan bahwa orang dari budaya yang berbeda
mempersepsikan warna dengan cara yang sama, meski ada perbedaan-perbedaan radikal dalam
bahasa mereka. Temuan mereka ini dikonfirmasi oleh serangkaian eksperimen yang dilakukan
oleh Roshach. Ia ingin menguji seberapa universal secara budayakah titik-titik warna vokal ini.
Ia membandingkan dua bahasa yang memiliki jumlah istilah warna yang sangat berbeda.
Roshach juga meneliti hubungan antara bahasa dan ingatan, ia berpendapat bahwa minimnya
leksikon bahasa suku Dani untuk warna akan menghambat kemampuan mereka dalam
membedakan dan mengingat warna. Orang berbahasa Dani juga tidak menunjukkan kemampuan
berbeda orang berbahasa Inggris dalam tugas-tugas ingatan. Cara kita mempersepsikan warna
sangatlah ditentukan oleh faktor biologis kita, dan khususnya sistem visual biologis kita.
Devalois dan rekan-rekannya menyatakan bahwa kita memiliki sel-sel yang hanya terangsang
oleh dua warna (misalnya, merah dan hijau, biru dan kuning) dan bahwa sel-sel tersebut dapat
dirangsang oleh satu warna itu. Karena itu, sebenarnya perbedaan dalam persepsi warna adalah
sesuatu yang mengejutkan.

Bahasa dan perilaku: Kasus Khusus Bilingualisme


Di awal abad ke-20, banyak orang Amerika yang mengira bahwa mengetahui lebih dari
satu bahasa adalah sesuatu yang harus dihindari. Yang umum dipercaya adalah bahwa manusia
hanya punya “ruang” terbatas untuk menyimpan bahasa, kalau anda mempelajari terlalu banyak
bahasa, anda akan mengambil “ruang” yang diperuntukkan fungsi-fungsi lain seperti inteligensi.

14
Sekarang kita tahu bahwa hal ini salah dan tidak ada bukti bahwa orang bilingual lebih
buruk kemampuannya dalam tugas-tugas intelektual (atau tugas-tugas lain). Sebaliknya ada bukti
yang menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai lebih dari satu bahasa dapat meningkatkan
fleksibilitas kognitif.
Di Amerika terdapat sejumlah besar orang (yang terus bertambah) yang sehari-hari
menggunakan bahasa inggris dan sebuah bahasa lain. Bahkan, dalam banyak kasus, bahasa lain
itulah yang merupakan bahasa ibu mereka. Banyak dari orang-orang ini yang datang ke Amerika
dari negara lain. Para imigran bilingual ini memunculkan isu penting, khususnya dalam
pandangan psikologi bahasa karena dua bahasa yang mereka miliki sering diasosiasikan dengan
dua sistem budaya yang berbeda. Terlebih lagi, banyak individu bilingual yang mengatakan
bahwa mereka berpikir dan atau merasa secara berbeda, tergantung pada konteks linguistik
mereka saat itu. Ini bisa dilihat sebagai memiliki konsep yang berbeda, tergantung pada bahasa
mana yang sedang digunakan.
Pandangan “Whorfian” barangkali akan menjelaskan perbedaan perilaku yang terkait
bahasa seperti ini dengan menunjuk pada sistem pragmatik bahasa Inggris dan Cina (serta pada
perbedaan linguistik lainnya). Setidaknya ada dua penjelasan mengenai mekanisme yang
mungkin berada di balik pergeseran kepribadian yang terkait bahasa seperti ini. Kedua
penjelasan ini disebut sebagai hipotesis afiliasi-budaya dan hipotesis afiliasi kelompok-minoritas.
Hipotesis afiliasi-budaya menyatakan bahwa imigran bilingual cenderung mendekatkan
atau mengafiliasikan diri pada nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan dari budaya yang
diasosiasikan dengan bahasa yang sedang mereka gunakan. Saat bahasanya berganti, nilai-nilai
kultural yang terafiliasi pun ikut berganti. Berbeda dengan ini, hipotesis afiliasi-kelompok
minoritas menyatakan bahwa imigran bilingual cenderung mengidentifikasi diri sebagai anggota
dari kelompok minoritas etnis dan atau mengadopsi perilaku yang di-stereotipe-kan oleh budaya
mayoritas tentang perilaku ke-minoritas-an mereka ketika menggunakan bahasa yang
diasosiasikan dengan kelompok minoritas mereka itu. Bila stereotipe itu akurat, hipotesis afiliasi-
kelompok minoritas akan akan memunculkan prediksi yang sama dengan hipotesis afiliasi-
budaya. Dengan kata lain, ketika berinteraksi dalam bahasa pertama orang akan berperilaku
secara tipikal budaya mereka sekaligus lebih konsisten dengan stereotipe budaya mayoritas
mengenai budaya tersebut. Karena kita bisa menduga adanya perbedaan perilaku yang

15
tergantung pada konteks bahasa, kita bisa juga menduga bahwa ada perbedaan kepribadian
dalam konteks linguistik.
Penemuan-penemuan ini menunjukkan betapa eratnya keterkaitan antara bahasa dan
budaya, juga membantu menggusur kesalahpahaman yang melihat adanya dua kepribadian
dalam seorang individu sebagai tanda bahwa individu tersebut mengalami gangguan jiwa. Situasi
seperti ini jelas hal yang natural dan bagian yang sehat dari pengalaman bilingual atau bikultural.

Pemerolehan Bahasa
Salah satu mitos umum yang ada di budaya adalah bahwa anak-anak mempelajari bahasa
mereka dengan meniru atau mengimitasi bahasa tersebut yang mereka dengar dari lingkungan
asli mereka. Kita sekarang tahu bahwa imitasi bukanlah suatu strategi yang penting dalam
mempelajari bahasa. Bahkan, anak-anak jauh lebih canggih ketimbang yang selama ini diyakini
dalam strategi belajar mereka. Jean Berco mengatakan bahwa anak-anak tidak sekedar meniru
apa yang mereka dengar, melainkan membuat hipotesis-hipotesis tentang bahasa dan kemudian
mengujikan hipotesis-hipotesis tersebut. Pembuatan hipotesis dan pengujiannya ini merupakan
strategi penting yang dipakai anak-anak di seluruh dunia untuk mempelajri bahasa ibu mereka.
Tampaknya hal ini merupakan strategi universal untuk mempelajari bahasa.
Terkadang pengetahuan anak-anak tentang aturan tata bahasa membuat mereka seolah-
olah mengalami kemunduran dalam perkembangan bahasa mereka. Orang tua yang cemas
mungkin akan menganggap kemunduran yang begitu mencolok sebagai suatu bentuk kesukaran
belajar. Tapi, seringkali anggapan seperti itu justru sama sekali keliru. Ketika pemahaman
bahasa mereka jadi lebih canggih, anak-anak itu mulai mengetahui aturan tata bahasa dan
menerapkannya secara kreatif dalam situasi-situasi baru menunjukkan kecanggihan kognitif yang
jauh lebih tinggi ketimbang imitasi semata. Dalam perkembangan selanjutnya anak-anak akan
belajar tentang adanya pengecualian-pengecualian dalam aturan yang mereka pelajari.
Orang diberbagai budaya memiliki keyakinan-keyakinan yang berbeda mengenai
bagaimana anak-anak mempelajari bahasa. Masing-masing budaya juga berbeda dalam cara
mereka memperlakukan anak-anak yang belajar bahasa. Dengan kata lain, mereka percaya
bahwa anak-anak takkan bisa mempelajari bahasa kecuali mereka diajari secara eksplisit.
Perbedaan dalam keyakinan dan praktik-praktik kultural yang terkait dengan
pembelajaran bahasa sungguh menakjubkan. Tapi yang lebih menakjubkan adalah bahwa di

16
semua budaya, terlepas dari keyakinan dan praktik yang ada, anak-anak mempelajari bahasa ibu
mereka dengan lancar dengan atau tanpa bantuan orang dewasa. Ini mengarah pada kesimpulan
bahwa semua manusia memiliki kemampuan-kemampuan universal yang bersifat bawaan untuk
mempelajari bahasa. Menurut Chomsky (1967), manusia memiliki apa yang disebut dengan
perangkat pemelorehan bahasa (PPB). Ia berpendapat bahwa PPB ini yang memungkinkan
semua anak normal untuk mempelajari bahasa dengan lancar. Sekarang ini masih merupakan
salah satu penjelasan paling bagus yang kita miliki tentang kenyataan bahwa semua anak normal
dapat mempelajari bahasa ibu mereka dengan lancar, terlepas dari segala perbedaan lingkungan
mereka.
Bukti lain yang mendukung adanya perangkat pemerolehan bahasa berasal dari penelitian
lintas-budaya tentang pidgin dan kreole. Pidgin adalah pengucapan yang disederhanakan yang
dipakai untuk komunikasi antara orang yang berbeda bahasa. Kreole adalah bahasa yang
didasarkan pada dua atau lebih bahasa yag menjadi bahasa ibu dari orang-orang yang
menggunakannya.
Dengan demikian, meski jelas bahwa orang dari budaya berbeda mempunyai pendapat
dan sikap yang berbeda mengenai pembelajaran bahasa, belum jelas apakah proses pembelajaran
bahasa itu sendiri berbeda secara lintas budaya. Penemuan dari Chomsky mengenai adanya suatu
PPB universal merupakan penjelasan terbaik mengenai pemerolehan bahasa saat ini.

17
KESIMPULAN

Emosi memberi warna pada hidup. Pengalaman emosional juga dapat menjadi motivator
bagi perilaku. Ekspresi emosi juga penting dalam komunikasi dan memainkan peran dalam
interaksi sosial. Penelitian psikologi lintas budaya tentang emosi dikaji dengan pendekatan
antropologis dan etnografis. Tidak semua budaya di dunia memiliki kata yang merepresentasikan
konsep emosi dan konsep emosi yang ditunjukkannya pun tidak setara. Orang dari budaya yang
berbeda, juga berbeda dalam mengkategorikan atau melabeli emosi. Kebudayaan memiliki
pengaruh yang besar pada bagaimana orang mengalami emosi.
Bahasa adalah sarana utama untuk berkomunikasi dengan orang lain dan menyimpan
informasi. Perbedaan bahasa setiap orang, menyebabkan cara berfikir setiap orang pun berbeda.
Begitu pun orang dari budaya yang berbeda mempunyai pendapat dan sikap yang berbeda pula
mengenai pembelajaran bahasa.

18
DAFTAR PUSTAKA

Matsumoto, David. 2008. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Yuniardi, Salis. 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang: Tri Dayakisni.

19

Anda mungkin juga menyukai