OLEH:
Muzna (2020001209)
KELAS: B
Industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa, agar sesuai dengan
tujuan penggunaanya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen izin
edar (registerasi) dan tidak menimbulkan resiko yang membahayakan bagi
penggunanya. Manajemen bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan ini melalui
suatu “Kebijakan Mutu” yang memerlukan partisipasi dan komitmen dari semua
jajaran di semua departemen di dalam perusahaan, para pemasok dan para
distributor. Industri farmasi memiliki persyaratan khusus dalam manajemen mutu
produknya yaitu harus memenuhi aturan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)
atau dikenal dengan Current Good Manufacturing Practice (cGMP). Penerapan
sistem manajemen mutu ini ditujukan untuk menghasilkan obat yang berkualitas.
Sesuai dengan Keputusan Menkes No 43/Menkes/SK/11/1988 tentang cara CPOB
mengatur tentang penjaminan mutu obat yang dihasilkan industri famasi di seluruh
aspek melalui serangkaian kegiatan produksi. Terkait dengan peraturan tersebut,
industri farmasi harus bisa memenuhi setiap aspek dalam CPOB. Aspek-aspek yang
harus dipenuhi dalam CPOB antara lain: Sistem Mutu, Personalia, Bangunan dan
Sarana Penunjang, Peralatan, Sanitasi dan Higiene, Produksi, Pengawasan Mutu,
Inspeksi Diri dan Audit Mutu, Penanganan Keluhan Terhadap Produk, Penarikan
Kembali Produk dan Produk Kembalian, Dokumentasi, Pembuatan dan Analisis
Berdasarkan Kontrak, Kualifikasi dan Validasi. Tujuannya agar perusahaan (industri
farmasi) ingin menghasilkan produk yang benar-benar memenuhi persyaratan yang
ditentukan dan sesuai dengan tujuan penggunaan.
Aspek-aspek CPOB yang diaplikasikan pada industri farmasi pada prinsipnya
memiliki kesamaan dengan aspek pada sistem manajemen mutu yang diterapkan di
industri lain seperti pada sistem manajemen mutu ISO 9000. Penerapan manajemen
mutu ini pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kinerja perusahaan baik secara
operasional dan bisnis. Dengan demikian dapat dihipotesakan bahwa perusahaan
farmasi yang telah menerapkan CPOB seharusnya memiliki sistem manajemen mutu
yang baik.
ISI
A. Industri Farmasi
Persaingan di industri farmasi yang semakin ketat mendorong setiap
perusahaan farmasi untuk menghasilkan obat yang bermutu, yaitu obat yang
memenuhi persyaratan dalam dokumen izin edar, tidak menimbulkan resiko yang
dapat membahayakan pengguna dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Mutu dari
produk obat tersebut mutlak untuk dijaga demi meningkatkan kepuasan pelanggan
(Sari et all., 2015). Dalam persaingan di industri farmasi yang semakin ketat setiap
perusahaan farmasi dituntut untuk dapat menghasilkan obat yang bermutu. Industri
farmasi diharuskan memproduksi obat dengan sedemikian rupa sehingga
menghasilkan produk yang bermutu yaitu produk haruslah memenuhi persyaratan
yang tercantum dalam dokumen izin edar, tidak menimbulkan resiko yang dapat
membahayakan penggunanya dan sesuai dengan tujuan penggunaannya (Sari et all.,
2015).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1799 tahun 2010 tentang
Industri Farmasi menyatakan bahwa pengertian industri farmasi adalah badan usaha
yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan
obat atau bahan obat, disebutkan pula bahwa proses pembuatan obat dan/atau bahan
obat hanya dapat dilakukan oleh industri farmasi, selain itu industri farmasi berfungsi
sebagai tempat untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan
pengembangan.
Untuk memperoleh izin usaha industry farmasi, diperlukan tahap persetujuan
prinsip, yang diajukan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala
Badan dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setelah sebelumnya mengajukan
permohonan Rencana Induk Pembangunan (RIP) kepada Kepala Badan. Persetujuan
Prinsip diberikan pada industry farmasi untuk dapat langsung melakukan persiapan
dan usaha pembangunan, pengadaan, pemasangan instalasi, peralatan dan lain-lain
yang diperlukan, termausk produksi percobaan dengan memperhatikan ketentuan
perundang-undangan di bidang obat. Persetujuan prinsip tersebut selama jangka
waktu 3 tahun dan selama jangka waktu tersebut, industri farmasi yang bersangkutan
harus menyampaikan laporan informasi kemajuan pembangunan fisik setiap 6 bulan
sekali kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM) dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
Berikut merupakan persyaratan untuk mendapatkan persetujuan prinsip
menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1799 tahun 2010, yaitu:
a. Fotokopi akta pendirian badan hukum yang sah sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk/identitas direksi dan komisaris perusahaan;
c. Susunan direksi dan komisaris;
d. Pernyataan direksi dan komisaris tidak pernah terlibat pelanggaran peraturan
perundang-undangan di bidang farmasi;
e. Fotokopi sertifikat tanah/bukti kepemilikan tanah;
f. Fotokopi Surat lzin Tempat Usaha berdasarkan Undang-Undang Gangguan (HO);
g. Fotokopi Surat Tanda Daftar Perusahaan;
h. Fotokopi Surat lzin Usaha Perdagangan;
i. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak;
j. Persetujuan lokasi dari pemerintah daerah provinsi;
k. Persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) dari Kepala Badan;
l. Rencana Investasi dan kegiatan pembuatan obat;
m. Surat asli pernyataan kesediaan bekerja penuh dari masing-masing apoteker
penanggung jawab produksi, apoteker penanggung Jawab pengawasan mutu, dan
apoteker penanggung jawab pemastian mutu; dan
n. Fotokopi surat pengangkatan bagi masing-masing apoteker penanggung jawab
produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu, dan apoteker
penanggung jawab pemastian mutu dari pimpinan perusahaan.
Setelah melakukan tahap persetujuan prinsip, kemudian dilakukan
permohonan izin usaha industri. Diajukan pada Direktur Jenderal Kementrian
Kesehatan dengan tembusan Kepada BPOM dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
setempat. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi dalam memperoleh izin pendirian
industri farmasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1799 tahun 2010,
yaitu sebagai berikut:
a. Berbadan usaha berupa perseroan terbatas
b. Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat
c. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
d. Memiliki secara tetap
e. Paling sedikit 3 (tiga) orang apoteker Warga Negara Indonesia masing-masing
sebagai penanggung jawab pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu; dan
f. Komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsun
dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian.
Penilaian Risiko
Penilaian risiko terdiri dari identifikasi bahaya, dan analisis serta evaluasi risiko terkait
dengan paparan bahaya (seperti yang dijelaskan di bawah ini). Penilaian risiko mutu
dimulai dengan penetapan masalah atau risiko yang dipersoalkan yang diuraikan dengan
baik . Ketika risiko yang dimaksud telah diuraikan dengan baik, perangkat manajemen
mutu yang layak dan jenis informasi yang diperlukan untuk mengarahkan pertanyaan
tentang risiko akan lebih mudah teridentifikasi. Sebagai bantuan untuk menguraikan
secara jelas risiko untuk tujuan penilaian risiko, berikut ini tiga pertanyaan dasar yang
dapat dipakai:
Pengendalian Risiko
Kajian Risiko
Ketika proses Manajemen Risiko Mutu telah dimulai, proses tersebut hendaklah
dilanjutkan untuk digunakan dalam kejadian yang mungkin memberi dampak pada
keputusan Manajemen Risiko Mutu awal, baik kejadian tersebut direncanakan (misal,
hasil pengkajian produk, inspeksi, audit, pengendalian perubahan) maupun yang tidak
direncanakan (misal, akar penyebab masalah dari investigasi penyimpangan,
penarikan kembali produk jadi). Frekuensi pengkajian hendaklah didasarkan pada
tingkat risiko.Pengkajian risiko dapat termasuk mempertimbangkan kembali
keputusan penerimaan risiko.
PENUTUP
Kesimpulan yang diperoleh dari penulisan makalah diatas bahwa, Industri
farmasi dalam menghasilkan suatu produk diharuskan mencapai tujuan CPOB dan
tidak menimbulkan resiko yang membahayakan bagi penggunanya karena tidak
aman, mutu rendah atau tidak efektif. Untuk mencapai tujuan tersebut maka
diperlukan manajemen mutu yang meliputi beberapa aspek yang saling berkaitan
yaitu pemastian mutu, CPOB, pengawasan mutu, dan pengkajian mutu dan
manajemen resiko sebagai proses mengidentifikasi, mengukur resiko, serta
membentuk strategi untuk mengelolanya melalui sumber daya yang tersedia,
adalah jawabannya untuk dapat mencapai tujuan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor
Hk.03.1.33.12.12.8195 Tahun 2012 Tentang Penerapan Pedoman Cara
Pembuatan Obat Yang Baik. 2012. Jakarta.