Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH PEMILU 1955 DI INDONESIA

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas rahmat dan hidayah-Nyalah kami
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul“Pemilihan Umum tahun 1995di
Indonesia”.
 Makalah yang kami susun ini memiliki aspek tujuan.Tujuan kami adalah untuk memenuhi
persyaratan nilai mata kuliah Sejarah Nasional Indonesia VI. Selain itu, makalah ini diharapkan
dapat bermanfaat untuk menambah wawasan bagi penulis dan para pembaca.
Dalam menyelesaikan makalah ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak
yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini:
1. Dra. Hj. Yunani Hasan, M. Pd selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Kebudayaan.
2. Keluarga dan teman-teman yang memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian kepada
penulis, baik selama mengikuti perkuliahan maupun dalam menyelesaikan makalah ini.
3. Semua pihak yang tidak dapat di sebutkan satu-persatu,yang telah memberikan bantuan dalam
penulisan makalah ini
Kami menyadari bahwa makalah kami masih banyak  memiliki kekurangan,Oleh karena
itu, kritik dan saran para pembaca sangat kami harapkan untuk memberikan masukan-masukan
yang bersifat membangun guna untuk menyempurnakan pembuatan makalah di waktu yang akan
datang.

Palembang,  Maret  2015

Penulis

DAFTAR ISI
Kata Pengantar                                                                                               i
Daftar isi                                                                                                         ii
Bab I Pendahuluan                                                                                          1
1.1      Latar Belakang Masalah                                                                1
1.2      Perumusan Masalah                                                                       1
1.3       Tujuan                                                                                                        2
  1.4      Metode Penulisan                                                                          2
Bab II Pembahasan                                                                                        
2.1     Sistem Pemilihan Umum Tahun 1955 di Indonesia                          3
2.2     Partai Politik Yang Berperan Dalam Pemilihan Umum
Tahun 1955 di Indonesia                                                                                 6
2.3     Proses Pemilihan Umum Tahun 1955 di Indonesia                           9
2.4  Hasil Pemilihan umum Tahun 1955 di Indonesia                                           10
Bab III Penutup                                                                                             
3.1     Kesimpulan                                                                                     12
3.2     Saran                                                                                               12
Daftar Pustaka                                                                                                  13     
BAB I
PENDAHULUAN
1.1      Latar Belakang
Pada umumnya bangsa yang baru merdeka biasanya menetapkan pemilihan umum sebagai
program politiknya. Demikian juga Indonesia stelah bebrapa lama berada di bawah kekangan
pemerintah kolonial. Salah satu agenda politik adalah menyelenggarakan pemilihan
umum . Hal ini menunjukan euphoria politik karena sebagai bangsa yang baru merdeka yang
ingin menikmati pesta demokrasi yang belum pernah dialami pada masa- masa sebelumnya.
Pemilihan umum di Indonesia yang pertama diselanggarakan satu setengah bulan setelah
terbentuknya kabinat Burhanuddin Harahap. Sebagai ketua lembaga pemilihan umum adalah
Menteri Dalam Negeri waktu yaitu Mr. Sunaryo, yang berasaskan langsung, umum, bebas dan
rahasia. Dalam pelaksanaanya, puluhan partai politik bersaing memperebutkan kursa dewan
Perwakilan rakyat anggota konstituante. Pada waktu itu wilayah Indonesia dibagi menjadi 16
wilayah pemilihan yang meliputi 208 kabupaten, 2139 ke kecamatan dan 434529 Desa
( Sekretariat NegaraRI, 1986: 88).
1.2       Rumusan Masalah
Agar tidak terjadi kesimpang siuran dalam penyusunan makalah ini, maka kami
merumuskan masalah sebagai berikut :
1.    Jelaskan sistem pemilihan umum di Indonesia pada 1955 di Indonesia ?
2.    Apa saja partai politik yang berperan dalam pemilihan umum 1955 di Indonesia?
3.    Bagaimana proses pemilihan umum di Indonesia pada tahun 1955 di Indonesia ?
4.    Bagaimana persentase hasil pemilihan umum tahun 1955 di Indonesia. ?
1.3       Tujuan dan Manfaat
1.3.1   Tujuan Pembuatan makalah ini yaitu :
1.     Untuk mengetahui dan memahami sistem pemilu di Indonesia pada 1955 di Indonesia.
2.    Untuk mengetahui dan memahami partai politik yang berperan dalam pemilu 1955 di
Indonesia.
3.    Untuk mengetahui dan memahami proses pemilu di Indonesia pada tahun 1955di Indonesia.
4.    Untuk mengetahui dan memahami persentase hasil pemilihan umum tahun 1955 di Indonesia.
1.3.2      Manfaat pembuatan makalah ini yaitu :
1.      Memberikan informasi tentang sistem pemilu di Indonesia pada 1955 di Indonesia.
2.      Memberikan informasi tentang partai politik yang berperan dalam pemilu 1955 di Indonesia.
3.      Memberikan informasi tentang proses pemilu di Indonesia pada tahun 1955 di Indonesia.
4.      Memberikan informasi tentang persentase hasil pemilihan umum tahun 1955 di Indonesia.
1.4       Metode Penulisan
Metode yang digunakan penulis dalam penyusunan makalah ini adalah menggunakan metode
kepustakaan yaitu memberikan gambaran tentang materi-materi yang berhubungan dengan
permasalahan melalui literatur buku dan jurnal yang tersedia di media masa atau internet.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1       Sistem Pemilihan Umum Tahun 1955 di Indonesia
pemilu 1955 yang dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota
DPR yang melibatkan lebih dari 39 juta penduduk Indonesia dalam memberikan suaranya dan
tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Dewan Konstituante berada di bawah
rezim hukum konstitusi Pasal 1 Ayat 1, Pasal 35, Pasal 56 s.d. Pasal60, Pasal 134 dan Pasal 135
UUDS 1950 yang kemudian diderivasi dalamUU Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan
Umum. Pemilu tersebut berada dalam konteks sistem ketatanegaraan kabinet parlementer dengan
sistem multi partai (Poesponegoro, dkk. 2008:317).

Pemilihan umum pertama tahun 1955 ini diselenggarakan dengan 100 tanda gambar, hal
ini menunjukan bahwa antosias masyarakat dengan beragam partainya masing-masing cukup
tinggi. Namun setelah diadakan penyederhanaan, akhirnya pemilihan umum ini diikuti 28 partai.
Sebagaimana diketahui bahwa, pemilihan umum ini dapat dilaksanakan sesuai dengan jadual
yang telah di tetapkan. Sejumlah 37.875. 299 penduduk yang berhak menggunakan hak pilihnya,
dari jumlah ini 43. 104. 464 menggunakan hak pilihnya, ini berarti 87,65 persen menggunakan
hak pilihnya ( Rais, 1986: 183).

Dilihat dari persentase rakyat yang menggunakan hak pilihnya, partisifasi rakyat cukup
besar karena situasi dan kondisi pada waktu itu, dimana saranadan prasarananya masih sulit
terutama didaerah pedesaan, dan juga masih banyaknya gerakan-gerakan pengacau keamanan di
berbagai daerah Indonesia seperti Darul Islam (DI). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
pelaksanaan pemilihan umum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pemilihan
umum tahun 1955 dapat berjalan dengan baik.

  

2.1.1  Sistem Distrik

Sistem ini merupakan sistem penilaian yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan
geografis. Setiap kesatuan geografis ini biasa disebut distrik, yang mencakup suatu wilayah kecil
yang mempunyai satu wakil dalam parlemen.

Dalam sistem distrik, yang paling penting diperlukan puralitas suara (suara terbanyak)
untuk membentuk suatu pemerintah, dan bukan mayoritas (50 % plus 1). Oleh karena itu,
berapapun suara yang diperoleh jika ia tampil sebagai pemenang, maka dapat membentuk
kabinet tanpa koalisi, pemerintah semacam ini dinamakan minority government. Ciri khas yang
melekat pada sistem distrik ini yaitu kesenjangan antara jumlah suara yang diperoleh suatu partai
secara nasional dan jumlah kursi yang diperolehnya dalam parlemen.
Beberapa keuntungan sistem distrik :

a.       Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik sehingga
hubungannya dengan penduduk distrik lebh erat.

b.      Sistem ini lebih mendorong kea rah integrasi partai- partai politik karena kursi yang
diperebutkan dalam sistem distrik pemilihan hanya satu.

c.       Fragmentasi partai atau kecenderungan untuk membentuk partai baru dapat dibendung, malah
sistenm ini dapat mendorong kea rah penyederhanaan partai secara alamiah dan tanpa paksaan.

d.      Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan mayoritas dalam parlemen , sehingga
tidak perlu diadakan koalisis dengan partai lain.

e.       Sistem ini sederhana dan mudah untuk dilksanakan.

Beberapa kelemahan sistem distrik :

a.       System ini kurang memperhitungkan adanya partai- partai kecil dan golongan minoritas, apa
lagi jika golongan ini terpencar dalam beberapa distrik.

b.      Sistem ini kurang refresentatif dalam arti bahwa partai yang calonya kalah dalam suatu distrik,
kehilangan suara yang telah mendukungnya.

c.       Ada kemungkinan seseorang wakil cenderung untuk lebih memperhatikan kepentingan distrik
serta warga distriknya dari pada kepentingan nasional.

d.      Umumnya dianggap bahwa system distrik kurang efektif dalam masyarakat yang heterogen
karena terbagi dalam kelompok etnis, religious, sehingga menimbulkan anggapan bahwa suatu
kebudayaan nasional yang terpadu secara ideologis dan etnis mungkin merupakan pra syarat bagi
suksesnya sistem ini.

2.1.2  Sistem Proporsional

Sistem ini biasanya digunakan untuk menghilangkan beberapa kelemahan dari sistem
distrik. Dalam sistem ini jumlah kursi yang diperoleh oleh suatu golongan atau partai adalah
sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya dari masyarakat.

Dalam system proporsional. Suatu kesatuan administratife, misalnya propinsi ditentukan


sebagai daerah pemilihan.

Sistem proporsional sering dikombinasikan dengan beberapa prosedur antara lain dengan
sistm daftar  (list sistem).

Sistem proporsional memiliki beberapa kelebihan, diantaranya yaitu :


a.       Sistem proporsional dianggap lebih demokratis dalam arti lebih egalitarian karena asas one man
one vote dilaksanakan secara penuh, praktis tanpa ada suara yang hilang.

b.      Sistem proporsional diianggap representatife karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai
dengan jumlah suara yang diperolehnya dari masyarakat dalam pemilihan umum.

c.       Tidak ada distorsi.

Sistem proporsional memiliki beberapa kelemahan, diantaranya yaitu :

a.       Sistem ini mempermudah fragmentasi partai.

b.      Sistem ini kurang mendorong partai-mmpartai untuk berintegrasi satu sama lain dan
memanfaatkan persamaan yang ada.

c.       Sistem proporsional member kedudukan yang kuat pada pimpinan partai melalui Sistem daftar.

d.      Wakil yang terpilih kemungkinan renggang ikatannya dengan warga yang telah memilihnya.

Karena banyaknya partai yang bersaing, sulit bagi satu partai untuk meraih mayoritas
dalam parlemen yang dperlukan untuk membrntuk pemerintah (Sair, 2005: 46).

2.2  Partai Politik Yang Berperan Dalam Pemilihan Umum Tahun 1955 di
     

Indonesia
Jika diperhatikan perkembangan kehidupan kepartaian di Indoensia, maka segera diketahui
bahwa pengalaman berpartai masyarakat
Indonesia berlumlah begitu lama. sebelum tercapainya kemerdekaan, khususnya pada masa
Hindia Belanda, kaum pergerakan mendirikan sejumlah partai yangantara lain dipakai sebagai
wahanan untuk pendidikan politik dan
mobilisasi politik dalam rangka perjuangan kemerdekaan. Sebelum tahun 1930kehidupan
kepartaian dapat dicirikan sebagai radikal dan konservatif, dengan pengertian yang berani
menentang Belanda secara terang-terangandan yang lain melakukan perjuangan politik melalui
cara persuasif
dengan pemerintah kolonial. Tetapi setelah partai komunis dibubarkan pemerintah kolonial
Belanda menyusul pmberontakan yang gagal tahun 1926/1927 olehkomunis, kehidupan
kepartaian mengalami masa suram. Penyesuaian gayakemudian dilakukan disana sini dan baru
mulai menjadi radikal lagi menjelang Jepang mendarat di Indonesia.

Jika dilihat dari mau tidaknya memasuki institusi-institusi kolonial,maka kehidupan


kepartaian pada masa Hindia Belanda ini dicirikan denga nmereka mau bekerja sama dengan
pemerintah kolonial (kooperasi) dan yang menolak mamasuki institusi kolonial (non
kooperasi). Seirama dengan ekslarasi perjuangan, beberapa tahun sebelum Jepang mendarat di
Indonesia, terlihat pendekatan partai radikal dengan konservatif atau antara kaum kooperator
dengan non kooperator baik dalam ikatan atasdasar kebangsaan seperti yang terwujud dalam
Gabungan Politik Indonesia (GAPI) maupun atas dasar ideologi keagamaan seperti terlihat pada
majelisIslam Ala Indonesia (MIAI).Pada masa pendudukan militer Jepang, kegiatan kepartaian
dilarang, kecuali MIAI yang diperkenankan terus berdiri edngan cara menyesuaikan AD/ART
nya dengan keinginan perang Asia Timur raya. Namun ternyata MIAI juga tidak dapat
bertahan lama, karena kegiatan-kegiatan MIAIdicurigai Jepang. MIAI lalu dibubarkan dan
pemerintah pendudukan Jepangmenggantikannya dengan Masyumi (1943).Pada awal
proklamasi, PPKI merencanakan membentuk partai tunggal (partai negara) dengan sebutan
Partai Nasional Indonesia yang sama sekali tidak ada hubungan dengan PNI. Gagasan partai
tunggal ini diprakarsai Soekarno sebetulnya tidak begitu disokong oleh Bung
Hatta. Halitu barangkali karena partai tunggal mirip dengan bentuk kepartaian di negarakomunis,
yang dalam aktivitasnya cenderung diktator. Dalam kenyataannya rencana partai tunggal ini juga
terwujud antara lain karena KNIP mampu mengorganisir massa untuk membela
eksistensi proklamasi. Penentangan terhadap gagasan partai tunggal diperlihatkan lagi
dengan usulan politik Badan Pekerja KNIP kepada wakil Presiden. Pemerintah merealisasi usul
Badan Pekerja ini melalui Maklumat Wakil Presiden tanggal 3 November 1945 yang memberi
kesempatan kepada masyarakatuntuk mendirikan partai politik. Sejak itu bermunculanlah partai-
partai politik yang jumlahnya tanpa batas. Keadaan ini menjadi runyam karena  sebagian partai-
partai ini menuntut untuk diberi tempat dalam pemerintahan dan KNIP.

Jika melihat jumlah partai yang diwakili dalam parlemen. Sekurang-kurangnya terdapat 27


partai politik. Partai-partai tersebut adalah:
1.      Masyumi (kemudian pecah : PSII menjadi partai politik sendiritahun 1947 dan NU tahun 1952).
2.      Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
3.      Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (PERTI).
4.      Partai Kristen Indonesia (PARKINDO).
5.      Partai Katolik.
6.      Partai Nasional Indonesia (PNI).
7.      Persatuan Indonesia Raya (PIR).
8.      Partai Indonesia Raya (PARINDRA).
9.      Partai Rakyat Indonesia (PRI).
10.  Partai Demokrasi Rakyat (BANTENG).
11.  Partai Rakyat Nasional (PRN)
12.  Partai Wanita Rakyat (PWR).
13.  Partai Kebangsaan Indonesia (PARKI).
14.  Partai Kedaulatan Rakyat (PKR).
15.  Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI) .
16.  Ikatan Nasional Indonesia (INI).
17.  Partai Rakyat Djelata (PRD).
18.  Partai Tani Indonesia (PTI).
19.  Demokrasi Indonesia (WDI.
20.  Partai Komunis Indonesia (PKI).
21.  Partai Sosialis Indonesia (PSI).
22.  Partai Murbaw.
23.  Partai Buruh (dua buah).
24.  Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (PERMAI).
25.  Partai Demokrasi Tionghoa Indonesia (PDTI).
26.  Partai Indo Nasional (PIN).
 2.3       Proses Pemilihan Umum Tahun 1955 di Indonesia
2.3.1   Kampanye Partai Politik Tahun 1955
Kampanye Pemilu yang sangat sengit pada tahun 1955 berlangsung lama sekali yang
memperuncing konflik sosial di banyak daerah. Ketiadaan konsensus politik yang mencolok
pada masa kamanye itu menjadi jelas lagi pada masa pasca Pemilu, yaitu pada masa kabinet
Ali Sastroamidjojo kedua (Maret 1956-Maret 1957). Dari empat partai yang keluar sebagai
pemenang dalam Pemilu 1955, PNI, Masyumi, NU dan PKI, semuanya, kecuali PKI, diwakili
dalam kabinet Ali itu.Tetapi, konflik PNI dan Masyumi berjalan terus di dalam kabinet itu,
sehingga kabinet dilihat lemah dan kurang tegas. Hal itu menyuburkan lahan bagi beberapaaktor
politik yang dari dulu merasa diri dikesampingkan oleh sistem demokrasi parlementer. Yang
paling nyata Presiden Soekarno dan pimpinan tentara. Menarik pula perilaku para politikus saat
berkampanye.
Semua politikus, termasuk PM Burhanudin Harahap dan para menteri yang menjadi calon
anggota DPR, tidak pernah menggunakan fasilitas negara maupun memanfaatkan otoritasnya
sebagai pejabat  negara. Mereka juga tidak pernah meminta pejabat di bawahnya
untuk menggiring masyarakat masyarakat pemilih untuk mengambil sikap yang menguntungkan
partainya. Sebab, mereka tak menganggap
sesama pejabat negara sebagai pesaing yang menakutkan. Selain itu, tak  ada gelagat dari pejabat
negara tertentu untuk menghalalkan segala cara selama mengikuti kampanye. Teladan para
pejabat pada masa lalu inilah yang kita rindukan bersama saat ini. Tidak diketahui pasti berapa
lama masa kampanye pada Pemilu 1955.Ditinjau dari pelaksanaannya, pemilihan umum ini
dapat dikatakan berjalan secara bersih, jujur, aman dan tertib (Sair, 2005: 44).
2.3.2  Proses Pemilu
Pada November tahun 1952, Kabinet Wilopo mengajukan rancangan undang-undang
pemilihan umum baru. Sistem perwakilan proporsional diajukan kepada parlemen dan disetujui
secara aklamasi. Undang-undang tersebut membagi Indonesia ke dalam 16 daerah
pemilihan. Pendaftaran pemilih mulai dilaksanakan pada Mei 1994 dan baru selesai pada
November. Ada 43.104.464 warga yang memenuhi syarat masuk bilik suara. Dari jumlah itu,
sebanyak 87,65% atau 37.875.299 yang menggunakan hak pilihnya pada saat itu. Pada
Pemilu pertama tahun1955, Indonesia menggunakan sistem proporsional yang tidak
murni. Proposionalitas penduduk dengan kuota 1; 300.000.Tidak kurang dari 80 partai politik,
organisasi massa, dan
puluhan perorangan ikut serta mencalonkan diri dalam Pemilu yang pertama ini.
Keseluruhan peserta Pemilu pada saat itu mencapai 172 tanda gambar. Pada Pemilu ini, anggota
TNI-APRI, juga menggunakan hak pilihnya berdasarkan peraturan yang
berlaku ketika itu. Pada pelaksanaan Pemilu pertama, dibagi menjadi 16
daerahpemilihan yang meliputi 208 daerah kabupaten, 2.139 kecamatan, dan 43.429 desa.
Dengan perbandingan setiap 300.000 penduduk diwakili seorang wakil. Pemilu pertama ini diiku
ti oleh banyak partai politik karena pada saat itu pada saat itu NKRImenganut kabinet multi
partai sehingga DPR hasil Pemilu terbagi kedalam beberapa fraksi (Mustofa, 2013.
Dalam http://www.academia.edu/3623682/Pemilu_1955_Pesta_ Demokrasi_Pertama_Indonesia,
diakses pada tanggal 17 Maret 2015 Pukul 23.55 WIB).
2.1      Hasil Pemilihan Umum tahun 1955 di Indonesia
2.4.1  Hasil Pemilu Tahap 1 (29 September 1955)
Dari 172 kontestan Pemilu 1955, hanya 28 kontestan (tiga diantaranya perseorangan) yang
berhasil memperoleh kursi. Empat partai besar secara berturut-
turut memenangkan kursi: Partai Nasional Indonesia (57 kursi/22,3%), Masyumi (57
kursi/20,9%), Nahdlatul Ulama (45 kursi/18,4%), dan Partai Komunis Indonesia (39
kursi/15,4%). Keseluruhan kursi yang diperoleh adalah sebesar 257 kursi. Tiga kursi sisa
diberikan pada wakil Irian Barat yang keanggotaannya diangkat Presiden. Selain itu diangkat
juga 6 anggota parlemen mewakili Tonghoa dan 6 lagi mewakili Eropa. Dengan demikian
keseluruhan anggota DPR hasil Pemilu 1955 adalah 272 orang. 

2.4.2      2.4.2 Hasil Pemilu Tahap 2 (15 Desember 1955)


Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi diIrian Barat yang
memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan
anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat
dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya
merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR. 
Sebenarnya hasil pemilihan tahun  1955 itu memperlihatkan keampuhan strategi yang
dikembangkan PKI, yang muncul sebagai pemenang no.4, Ini membuktikan, upaya PKI
,meluaskan pengaruhnya melalui penggalangan masa sangat berhasil. Dari hasil perolehan suara
itu, kekuatan PKI ternyata terdapat di Jawa ( seperti halnya PNI dan NU). Keberhasilan itu juga
karena PKI merangkul bung Karno dalam setiap permasalahan politik. Kebetulan Bung Karno
tidak sejalan dengan pemikiran Hatta  dalam masalah politik dan ekonomi sangat
menguntungkan PKI yang memandangmaslah itu dari sudut ediologinya sendiri (Sair, 2005: 44).
BAB III
PENUTUP
3.1      Kesimpulan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang lahir sejak bulan Agustus 1950 mewarisi sistem
multi partai. Jika melihat jumlah partai yang diwakili dalam parlemen. sekurang-kurangnya
terdapat 27 partai politik. Pemilu 1955 berlansung dengan sistem proporsional
(multimember constituency ) yang dikombinasikan dengan sistem daftar (listsystem) diikuti oleh
lebih dari 30 Partai Politik dan lebih dari 100 organisasi atau perkumpulan dan perseorangan
untuk memilih257 anggota DPR. Dariempat partai yang keluar sebagai pemenang dalam Pemilu
1955, PNI,Masyumi, NU dan PKI, semuanya, kecuali PKI, diwakili dalam kabinetAli
Sastroamidjojo. Pada November tahun 1952, Kabinet Wilopo mengajukan rancangan undang-
undang pemilihan umum baru. Sistem perwakilan proporsional diajukan kepada parlemen dan
disetujui secara aklamasi. Undang-undang tersebut membagi Indonesia ke dalam 16 daerah
pemilihan. Pendaftaran pemilih
dilakukanpada Mei 1954 dan baru selesai pada November. Ada 43.104.464 pemilih yangsesuai
dengan syarat masuk bilik suara.
3.2      Saran
          Sebagai manusia yang mempunyai kelebihan dan kekurangan kami yakin para pembaca
juga ingin lebih mengerti tentang pemilihan umun pada tahun 1955 di Indonesia, maka kami
menyarankan para pembaca memperbanyak membaca dari sumber-sumber yang lain.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.academia.edu/3623682/Pemilu_1955_ Pesta_Demokrasi_Pertama_Indonesia, diakses
pada tanggal 17 Maret 2015 Pukul 23.55 WIB
Poesponegoro, Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka,
halaman 317.
Sair, Alian. 2005. Sejarah Nasional Indonesia VI. Palembang: Perpustakaan Prodi Sejarah FKIP
Universitas Sriwijaya, halaman 40-50.

Sejarah Pemilu di Indonesia dan Hasil Pemilu Tahun 1955, 1971, 1977,
1982, 1999 dan 2004
15:08:00

POLITIK

Sejarah Pemilu di Indonesia Tahun 1955 - Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah
bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan pemilu
merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia
benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut. Yang jelas,
sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada
17 Agustus 1945, pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa
menyelenggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau
Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang
pembentukan par-tai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk memilih anggota
DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu pertama
tersebut baru terselenggara  hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab.

Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955 dilakukan dua kali.
Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15
Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya
disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih anggota DPR dan
MPR, tidak ada Konstituante.

Keterlambatan dan penyimpangan tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber
dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam
antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu, baik karena belum tersedianya
perangkat perundang- undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat
rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu
adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara
teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan
negara ini terlibat peperangan.

Tidak terlaksananya pemilu pertama pada bulan Januari 1946  seperti yang diamanatkan oleh
Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal:

1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu;


2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang
ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih
mengancam. Dengan kata lain para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi.
Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir
penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan pemilu. Ada indikasi kuat
bahwa pemerintah punya keinginan politik untuk menyelenggarakan pemilu. Misalnya adalah
dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No.
12 tahun  1949  tentang  Pemilu.  Di  dalam  UU  No  12/1949  diamanatkan    bahwa pemilihan
umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini
didasarkan pada alasan bahwa mayoritas  warganegara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf,
sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.

Kemudian pada paruh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana
Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu
pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor
Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia
kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama
Republik Indonesia Serikat (RIS).

Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan  RUU Pemilu dilanjutkan oleh
pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya
menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih
oleh rakyat melalui pemilihan umum.

Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu
tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo
dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah yang
menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan
rahasia. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12
tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku
lagi.

Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan
dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian
dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai
politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.

Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat. Misalnya,
meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang
memerintah, mereka tidak menggunakan  fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan
untuk menggiring  pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak
dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara.
Karena pemilu kali ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih
anggota Dewan Konstituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.

Tabel 1

Hasil pemilu 1955


Sumber: http//www.id.wikipedia.org/pemilu_1955

Periode Demokrasi Terpimpin

Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan hanya menjadi
catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun
berikutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan
Indonesia II.

Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli
1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke
UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu
kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang
meminjam istilah Prof. Ismail Sunny -- sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada
democracy by law, tetapi democracy by decree.

Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960 ia
membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN
yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959
membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya
diangkat presiden.

Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemilihan, memang tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat klausul tentang tata cara memilih
anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu adalah terkooptasi-nya kedua
lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan
tertinggi, sedangkan DPR sejajar dengan presiden.

Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa bulan Maret 1967
(Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial pasca kudeta
G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi
Terpimpin itu tidak pernah  sekalipun  menyelenggarakan  pemilu.  Malah  tahun  1963  MPRS  
yang anggotanya diangkat menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai presiden
seumur hidup. Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat
tersalurkan lewat pemilihan berkala.

Sejarah Pemilu Tahun 1971

Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno
dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk
mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang
mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada
SI MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa Pemilu akan
diselenggarakan dalam tahun 1971.
Sebagai pejabat presiden Soeharto tetap menggunakan MPRS dan DPR- GR bentukan Bung
Karno, hanya saja ia melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari
sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama.

Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti setelah
4 tahun Soeharto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa
UU) kurang lebih sama dengan  yang diterapkan Presiden Soekarno.

UU yang diadakan adalah UU tentang pemilu dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Menjelang pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969    
tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun.

Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah bahwa para pejabat negara
pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara,
termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal.
Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu
peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan
yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan
aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu.

Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971
berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969
sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata mampu
menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan
penggunaan sistem kombinasi. Tetapi, kelemahannya sistem demikian lebih banyak menyebabkan
suara partai terbuang percuma.
Jelasnya, pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap, ini dalam hal ada partai
yang melakukan stembus accoord. Tetapi di daerah pemilihan yang tidak terdapat partai yang
melakukan stembus acccord, pembagian kursi hanya dilakukan dalam dua tahap.

Tahap pembagian kursi pada Pemilu 1971 adalah sebagai berikut. Pertama,  suara  partai  dibagi
dengan  kiesquotient  di  daerah  pemilihan.  Tahap kedua, apabila ada partai yang melakukan
stembus accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara itu dibagi
dengan kiesquotient. Pada tahap berikutnya apabila masih ada kursi yang tersisa masing-masing
satu kursi diserahkan kepada partai yang meraih sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa
suara partai yang melakukan stembus accoord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua.
Apabila tidak ada partai yang melakukan stembus accoord, maka setelah pembagian pertama, sisa
kursi dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar.

Namun demikian, cara pembagian kursi dalam Pemilu 1971 menyebabkan tidak selarasnya hasil
perolehan suara secara nasional dengan perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh
paling gamblang adalah  bias perolehan kursi antara PNI dan Parmusi. PNI yang secara nasional
suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh kursi lebih sedikit dibandingkan Parmusi.
Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini.

Tabel 2

Hasil Pemilu 1971


Sumber: data pemilu 1971 (LPU); daftar pembagian kursi hasil pemilihan umum anggota DPR RI
1971.

Pemilu Tahun 1977

Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan
seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari
70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang
sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun
menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971.

Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh
mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik
2,17 persen, atau bertambah 5 kursi  dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971.
Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masyumi. Ini seiring dengan tampilnya tokoh
utama Masyumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP di basis-basis Masyumi diikuti pula
oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak
begitu besar.
PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi
kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara
nasional tambahan kursi hanya 5.

PDI juga merosot perolehan kursinya dibanding gabungan kursi partai- partai yang berfusi
sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1   kursi   di   banding   gabungan  
suara   PNI,   Parkindo   dan   Partai    Katolik.

Selengkapnya perolehan kursi dan suara tersebut bisa dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3

Hasil Pemilu 1977

Sumber: data pemilu 1977 (LPU); daftar pembagian kursi hasil pemilihan umum anggota DPR RI
1977.

Pemilu Tahun 1982

Pemungutan suara Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak pada tanggal 4 Mei 1982. Pada
Pemilu ini perolehan suara dan kursi secara nasional Golkar meningkat, tetapi gagal merebut
kemenangan di Aceh. Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari
PPP. Secara nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan masing-
masing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi. Adapun cara
pembagian kursi pada Pemilu ini tetap mengacu pada ketentuan Pemilu 1971.
Tabel 4

Hasil pemilu 1982

Sumber: data pemilu 1982 (LPU); daftar pembagian kursi hasil pemilihan umum anggota DPR RI
1982.

Pemilu Tahun 1987

Pemungutan suara Pemilu 1987 diselenggarakan tanggal 23 April 1987 secara serentak di seluruh
tanah air. Dari 93.737.633 pemilih, suara yang sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara
pembagian kursi juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya.

Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan terbesar PPP, yakni hilangnya 33 kursi
dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya mendapat 61 kursi. Penyebab merosotnya PPP antara
lain karena tidak boleh lagi partai itu memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari Ka'bah
kepada Bintang dan terjadinya penggembosan oleh tokoh- tokoh unsur NU, terutama Jawa Timur
dan Jawa Tengah.

Sementara itu Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi. PDI, yang tahun
1986 dapat dikatakan mulai dekat dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan
pembentukan DPP PDI hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, berhasil
menambah perolehan kursi secara signifikan dari 30 kursi pada Pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada
Pemilu 1987 ini.
Tabel 5

Hasil Pemilu 1987

Sumber: data pemilu 1987 (LPU); daftar pembagian kursi hasil pemilihan umum anggota DPR RI
1987.

Sejarah Pemilu Tahun 1992

Cara pembagian kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama dengan  Pemilu sebelumnya. Hasil
Pemilu yang pemungutan suaranya dilaksanakan tanggal 9 Juni 1992 ini pada waktu itu agak
mengagetkan banyak orang. Sebab, perolehan suara Golkar kali ini merosot dibandingkan Pemilu
1987. Kalau pada Pemilu 1987 perolehan suaranya mencapai 73,16 persen, pada Pemilu 1992
turun menjadi 68,10 persen, atau merosot 5,06 persen. Penurunan yang tampak nyata bisa dilihat
pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299 menjadi 282, atau kehilangan 17 kursi dibanding
pemilu sebelumnya.

PPP juga mengalami hal yang sama, meski masih bisa menaikkan 1 kursi dari 61 pada Pemilu 1987
menjadi 62 kursi pada Pemilu 1992 ini. Tetapi di luar Jawa suara dan kursi partai berlambang ka?
bah itu merosot. Pada Pemilu 1992 partai ini kehilangan banyak kursi di luar Jawa, meski ada
penambahan kursi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Malah partai itu tidak memiliki wakil sama
sekali di 9 provinsi, termasuk 3 provinsi di Sumatera. PPP memang berhasil menaikkan perolehan 7
kursi di Jawa, tetapi karena kehilangan 6 kursi di Sumatera, akibatnya partai itu hanya mampu
menaikkan 1 kursi secara nasional.
Yang berhasil menaikkan perolehan suara dan kursi di berbagai daerah adalah PDI. Pada Pemilu
1992 ini PDI berhasil meningkatkan perolehan kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987,
sehingga menjadi 56 kursi. Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992, PDI berhasil
menambah 32 kursinya di DPR RI.

Tabel 6

Hasil Pemilu 1992

Sumber: data pemilu 1992 (LPU); daftar pembagian kursi hasil pemilihan umum anggota DPR RI
1992.

Sejarah Pemilu Tahun 1997

Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan tidak berubah, masih menggunakan
cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara
diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992
mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnya. Perolehan suaranya
mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325
kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya.

PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu pula untuk perolehan
kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu
1992. Dukungan terhadap partai itu di Jawa sangat besar.
Sedangkan PDI, yang mengalami konflik internal dan terpecah antara  PDI Soerjadi dengan
Megawati Soekarnoputri setahun menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan
hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan Pemilu 1992.

Tabel 7

Hasil Pemilu 1997

Sumber: data pemilu 1997 (LPU); daftar pembagian kursi hasil pemilihan umum anggota DPR RI
1997.

Pemilu kali ini diwarnai banyak protes. Protes terhadap kecurangan terjadi di banyak daerah.
Bahkan di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan
penghitungan suara dianggap keterlaluan. Ketika di beberapa tempat di daerah itu pemilu diulang
pun, tetapi pemilih, khususnya pendukung PPP, tidak mengambil bagian.

Sejarah Pemilu Tahun 1999

Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan
presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu
yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti.
Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan
Habibie. Pada saat  itu untuk sebagian alasan diadakannya  Pemilu  adalah  untuk memperoleh
pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan
lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini
kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan
wakil presiden yang baru.

Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan
DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa
jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang
presiden yang  belum pernah terjadi sebelumnya.

Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang
Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan
DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai
oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta).

Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan
Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah.
Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu
sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan
karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai.
Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di
Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.

Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin
Harahap, pemerintahan Reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat
setelah proses alih kekuasaan. Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya
sebulan setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapan-
persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelum-nya.  Habibie menyelenggarakan
pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia
bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial dan penegakan
hukum serta tekanan internasional.
Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu
1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan
dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai,
tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatera Utara yang
pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Itu pun karena adanya
keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara. Tetapi tidak seperti pada
pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada
Pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan suara, 27 partai politik
menolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih Pemilu belum jurdil (jujur
dan adil). Sikap penolakan tersebut ditunjukkan dalam sebuah rapat    pleno

KPU. Ke-27 partai tersebut adalah sebagai berikut:

Partai yang Tidak Menandatangani 

Tabel 8

Daftar Partai Yang Menolak Menandatangani Hasil Pemilu 1999


Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada presiden.
Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia
Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan wakil-
wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomendasi bahwa
pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data  tertulis menyangkut keberatan-
keberatannya. Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil final pemilu baru
diketahui masyarakat tanggal 26 Juli 1999.

Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan Indonesia) langsung melakukan pembagian
kursi. Pada tahap ini juga muncul masalah. Rapat pembagian kursi di PPI berjalan alot. Hasil
pembagian kursi yang ditetapkan Kelompok Kerja PPI, khususnya pembagian kursi sisa, ditolak oleh
kelompok partai Islam yang melakukan stembus accoord. Hasil Kelompok Kerja PPI menunjukkan,
partai Islam yang melakukan stembus accoord hanya mendapatkan 40 kursi. Sementara Kelompok
stembus accoord 8 partai Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120 kursi sisa.

Perbedaan pendapat di PPI tersebut akhirnya diserahkan kepada KPU. Di KPU perbedaan
pendapat itu akhirnya diselesaikan melalui voting dengan  dua opsi. Opsi pertama, pembagian kursi
sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus accoord, sedangkan opsi kedua pembagian
tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara yang mendukung opsi pertama, sedangkan yang
mendukung opsi   kedua 43 suara. Lebih dari 8 partai walk out. Ini berarti bahwa pembagian kursi
dilakukan tanpa memperhitungkan lagi stembus accoord.

Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat melakukan pembagian kursi hasil pemilu
pada tanggal 1 September 1999. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan, lima partai besar
memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan.

Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan
perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga
mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982
suara atau 12,61 persen, mendapatkan   51   kursi.   PPP   dengan   11.329.905   suara   atau  
10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu 1997. PAN meraih
7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi.19 http//www.kpu.go.id Di luar lima besar,
partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian
kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi dibanding Pemilu 1997. Selengkapnya hasil perhitungan
pembagian kursi itu seperti terlihat dalam tabel di bawah.

Tabel 9 

Hasil pemilu 1999


Sumber: http//www.kpu.go.id

Pemilu Tahun 2004

Pemilihan umum ini dilaksanakan pada tanggal 5 april 2004 untuk memilih 550 anggota DPR RI,
128 anggota DPD beserta anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pemilihan anggota DPR
dilakukan dengan sistem proporsional terbuka dan diikuti oleh 24 partai politik. Dari 124.420.339
orang pemilih terdaftar, 124.420.339 orang (84,07%) menggunakan hak pilihnya. Dari total jumlah
suara, 113.462.414 suara (91,19%) dinyatakan sah. Berikut perinciannya:

Tabel 10

Hasil Pemilu 2004


Daftar Pustaka Makalah Sejarah Pemilu di Indonesia 

PEMILU TAHUN 1955


 PEMILU MERUPAKAN :
1. Sarana politik untuk mewujudkan kehendak rakyat kepada negara dalam sistem demokrasi
Pancasila adalah melalui Pemilihan Umum (Pemilu).
2. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan berhak menentukan warna dan bentuk
pemerintahan serta tujuan yang hendak dicapai, sesuai dengan konstitusi yang berlaku.
Dalam pasal 1 ayat 2 UUD1945 disebutkan "Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar"
TUJUAN PEMILU
1. Melaksanakan kedaulatan rakyat
2. Sebagai perwujudan hak asasi politik rakyat
3. Untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, DPRD, DPD serta memilih
Presiden dan Wakil Presiden
4. Melaksanakan pergantian personal pemerintahan secara damai, aman, dan tertib 
Pemilu tahun 1955, Pemilu pertama kali ini diselenggarakan pada masa sistem
pemerintahan negara berdasarkan demokrasi parlementer dengan konstitusi UUDS 1950,

 PELAKSANAAN PEMILU TAHUN 1955 


Pemilihan Umum Anggota DPR dan Konstituante Indonesia 1955

Pemilihan Umum Indonesia 1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia dan
diadakan pada tahun 1955. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia yang
paling demokratis.

Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Jumlah kursi
DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua
kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah.
Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo.
Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala
pemerintahan kemudian dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.

Hasil Pemilu 1955

Peserta pemilu 1955 yang berjumlah 29 partai memperoleh kursi masing-masing sebagai
berikut :

5 besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) mendapatkan 57 kursi
DPR dan 119 kursi Konstituante (22,3 persen), Masyumi (Majelis Syuro Muslimin
Indonesia) 57 kursi DPR dan 112 kursi Konstituante (20,9 persen), Nahdlatul Ulama (NU)
45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante (18,4 persen), Partai Komunis Indonesia (PKI) 39
kursi DPR dan 80 kursi Konstituante (16,4 persen), dan Partai Syarikat Islam Indonesia
(PSII) 8 kursi DPR dan 16 kursi Konstituante (2,89 persen).

Partai-partai lainnya, mendapat kursi DPR di bawah 10. Yaitu PSII (Partai Syarikat Islam
Indonesia) 8 kursi, Parkindo (Partai Kristen Indonesia) 8 kursi, Partai Katolik 6 kursi, Partai
Sosialis Indonesia (PSI) 5 kursi. Dua partai mendapat 4 kursi (IPKI / Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia dan Perti / Pergerakan Tarbiyah Islamiyah). 6 partai mendapat 2
kursi (PRN / Partai Rakyat Nasional, Partai Buruh, GPPS / Gerakan Pembela Panca Sila,
PRI / Partai Rakyat Indonesia, PPPRI / Persatuan Pegawai Polisi RI, dan Murba). Sisanya,
12 partai, mendapat 1 kursi (Baperki, PIR (Persatuan Indonesia Raya) Wongsonegoro, PIR
(Persatuan Indonesia Raya) Hazairin, Grinda, Permai (Persatuan Rakyat Marhaen
Indonesia), Partai Persatuan Dayak, PPTI (Partai Politik Tarikat Islam), AKUI, PRD
(Persatuan Rakyat Desa), PRIM (Partai Republik Indonesis Merdeka), ACOMA (Angkatan
Comunis Muda) dan R. Soedjono Prawirisoedarso.

Pemilu pertama ini berdasarkan UU No. 7 tahun 1953 dan dilaksanakan dengan PP No. 9
tahun 1954, Pemilu tahun 1955 diadakan dua tahap:
TAHAPA KE I. 

 tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR ( Parlemen )


TAHAP KE II.

 tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante


TUGAS KONSTITUANTE

UNTUK MERUMUSKAN UUD YANG BARU SEBAGAI PENGGANTI UUD S 1950 

Pemilu diikuti oleh 28 Partai Politik, jumlah anggota DPR
272 dan anggotakonstituante berjumlah 542.

SUASANA KAMPAYE
Perdana Menteri Ali Sastro Atmijayo, sedang berkampaye dari parta Partai Nasional
Indonesia.

Mohammad Natsir sedang berkampanye untuk Masyumi (Majelis Syuro Muslimin


Indonesia), partai terkuat di Sumatera Barat.
Kampanye PSI (Partai Sosialis Indonesia) bersama mantan Perdana
Menteri Sutan Syahrir. Di Bali PSI menjadi partai terbesar kedua setelah PNI (Partai
Nasionalis Indonesia).

DN Aidit (DN = Dipa Nusantara) sedang berkampanye untuk PKI (Partai Komunis
Indonesia).
KESIMPULAN

PEMILU TAHUN 1955 MASA ORLA SUKSES DILAKSANAKAN SESUAI DENGAN


ASAS DEMOKRASI, TETAPI TIDAK MEMENUHI HARAPAN RAKYAT

DIKARENAKAN

- TERJADINYA PERTIKAIAN ANTAI PARPOL


-  MASING-MASING PARPOL HANYA MENTINGKANKAN KEPENTINGAN SENDIRI
Sejarah Pemilu 1955
       

Pemilu 1955 merupakan pemilu pertama yang dilakukan oleh pemerintah indonesia
dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia yang baru berusia 10 (sepuluh) tahun. Sebenarnya
sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17
Agustus 1945, pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa
menyelenggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil
Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.
Isi dari maklumat tersebut adalah himbauan untuk melaksanakan pemilu. Adapun bunyi
Maklumat Pemerintah 3 November 1945 adalah sebagai berikut:
1.        Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena dengan adanya partai-partai itulah
dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat.
2.        Pemerintah berharap supaya partai-partai itu telah tersusun sebelum dilangsungkan pemilihan
anggota Badan-badan Perwakilan Rakyat. Pemilihan ini diharapkan dapat dilakukan pada bulan
Januari 1946.
Tidak terlaksananya pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan
oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :
1.      Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu
2.      Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada
pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan
kata lain para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi. Namun, tidaklah berarti
bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu,
pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan pemilu. Ada indikasi kuat bahwa
pemerintah punya keinginan politik untuk menyelenggarakan pemilu.

A. Latar belakang diselenggarakannya pemilu tahun 1955 adalah : 

a. Revolusi fisik / Perang kemerdekaan, menuntut semua potensi bangsa untuk memfokuskan diri
pada usaha mempertahankan kemerdekaan. Tanda gambar peserta pemilu tahun 1955.
b. Pertikaian internal, baik dalam lembaga politik maupun pemerintahan cukup menguras energi
dan perhatian.
c. Belum adanya UU Pemilu yang mengatur tentang pelaksanaan pemilu (UU Pemilu baru
disyahkan tanggal 4 April 1953 yang dirancang dan disyahkan oleh kabinet Wilopo). Sekalipun
masa kampanye dilakukan pada masa kabinet Ali, namun pemilu baru dapat dilaksanakan oleh
kabinet Burhanuddin Harahap.
            Pemilu 1955 bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Jumlah
kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua
kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah. Sesuai
tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
a.       Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada
tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu,
b.      Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan
pada tanggal 15 Desember 1955.
Selain pemilihan DPR dan Konstituante, juga diadakan pemilihan DPRD. Pemilu DPRD
dilaksanakan dalam dua tahap, Juni 1957 pemilu untuk Indonesia wilayah Barat, dan Juli 1957
untuk pemilu Indonesia wilayah Timur. Dengan dipisahnya waktu penyelenggaraan pemilu DPR,
Konstituante, dan DPRD, pemilu menjadi fokus. Konstituen pemilih bisa dengan cermat
menyimak materi kampanye dan lebih bisa menilai kualitas calon yang diusung oleh partai
peserta pemilu. Artinya konstituen pemilih memiliki pertimbangan yang lebih rasional sebelum
memilih, tidak sekedar memilih hanya karena kedekatan emosional. Pemilu diselenggarakan
secara sederhana karenanya tidak menyerap biaya negara terlalu besar. Pemilu tahun 1955
memperkenalkan asas jujur dan kebersamaan, langsung, umum, bebas, dan rahasia. Pemilu tahun
1955 menggunakan sistem proporsional yang mendorong multi partai. Pada pelaksanaannya,
pemilu ini diikuti oleh lebih 30 partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon
perorangan.
Pemilu 1955 dilaksanakan dengan asas :
a.       Jujur, artinya bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan per-undangan
yang berlaku
b.      Umum, artinya semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan minimal dalam usia,
mempunyai hak memilih dan dipilih.
c.       Berkesamaan, artinya bahwa semua warga negara yang telah mempunyai hak pilih mempunyai
hak suara yang sama, yaitu masing-masing satu suara.
d.      Rahasia, artinya bahwa pemilih dalam memberikan suara dijamin tidak akan diketahui oleh
siapapun dan dengan cara apapun mengenai siapa yang dipilihnya.
e.       Bebas, artinya bahwa setiap pemilih bebas menentukan pilihannya menurut hati nura-ninya,
tanpa ada pengaruh, tekanan, paksaan dari siapapun dan dengan cara apapun.
f.       Langsung, artinya bahwa pemilih langsung memberikan suaranya menurut hati nura-ninya, tanpa
perantara, dan tanpa tingkatan.
Diposkan oleh Veni inafariza di 20.49 

Organisasi
REGIONAL I
Kantor Perwakilan

No. Dalam Negeri Alamat Kota Kodepos Telepon Fax

Jl. Jend. Sudirman No. (0711) (0711)

1. Provinsi Sumatra Selatan 510 Palembang 30126 354188 312013

Jl. Jend. Ahmad Yani (0736)

2. Provinsi Bengkulu No. 1 Bengkulu 38116 (0736) 21735 21736

Bandar (0721) (0721)

3. Provinsi Lampung Jl. Hasanuddin No. 38 Lampung 35211 486355 481131

Provinsi Kepulauan ( (0717)

4. Bangka Belitung Jl. Jendral Sudirman 51 Pangkal Pinang 33121 0717)422411 422311

Jl. Jend. Sudirman No. (0751)

5. Provinsi Sumatra Barat 22 Padang 25128 (0751) 31700 27313

Jl. Jend. Sudirman No. (0761)

6. Provinsi Riau 464 Pekanbaru 28126 (0761) 31055 31046

Jl. Jend. Ahmad Yani (0741)

7. Provinsi Jambi 14, Telanaipura Jambi 36122 (0741) 62277 62112

Jl. Engku Putri No. 1 (0778) (0778)

8. Provinsi Kepulauan Riau Batam Centre Batam 29432 462280 462254

(061) (061)

9. Provinsi Sumatra Utara Jl. Balai Kota No. 4 Medan 20111 4150500 4152777

10. Provinsi Aceh Jl. Cut Meutia No. 15 Banda Aceh (0651) 33200 (0651)
34116

(0645)

11. Lhokseumawe Jl. Merdeka No. 1 Lhokseumawe 24312 (0645) 44000 43581

Pematang (0622)

12. Pematang Siantar Jl. H. Adam Malik No. 1 Siantar 21116 (0622) 26999 21555

Jl. Kapten Maruli (0631)

13. Sibolga Sitorus No. 8 Sibolga 22513 (0631) 22033 22383

REGIONAL II

No Kantor Perwakilan Kodepo

. Dalam Negeri Alamat Kota s Telepon Fax

(031) (031)

1. Provinsi Jawa Timur Jl. Pahlawan No. 105 Surabaya 60174 3520011 3520025

(0341) (0341)

2. Malang Jl. Merdeka Utara No. 7 Malang 366054 324820

(0354) (0354)

3. Kediri Jl. Brawijaya No. 2 Kediri 64123 682112 696655

(0331) (0331)

4. Jember Jl. Gajah Mada No. 224 Jember 62133 485478 484467

(024) (024)

5. Provinsi Jawa Tengah Jl. Imam Bardjo SH No. 4 Semarang 8310246 8310339

Jl. Panembahan Senopati (0274) (0274)

6. Provinsi D.I. Yogyakarta No. 4 - 6 Yogyakarta 55121 377755 371706

(0271) (0271)

7. Solo Jl. Jend. Sudirman No. 4 Solo 57111 647755 647132

8. Purwokerto Jl. Jend. Gatot Subroto No. Purwokerto 53116 (0281) (0281)
98 631632 632601

(0283) (0283)

9. Tegal Jl. Dr. Sutomo No. 55 Tegal 350500 356560

(022) (022)

10. Provinsi Jawa Barat Jl. Braga No. 108 Bandung 40111 4230223 4237787

(0254) (0254)

11. Provinsi Banten Jl. Jayadiningrat No.16 Serang 42115 223788 223875

(0231) (0231)

12. Cirebon Jl. Yos Sudarso No. 5 - 7 Cirebon 202684 209135

Tasikmalay (0265) (0265)

13. Tasikmalaya Jl. Sutisna Senjaya No. 19 a 46112 331813 333528

Jl. Juanda No. 28 Jakarta (021) (021)

14. Provinsi DKI Jakarta Pusat Jakarta 10120 3514070 3514061

REGIONAL III

Kantor Perwakilan Kodepo

No. Dalam Negeri Alamat Kota s Telepon Fax

Provinsi Kalimantan Jl. Lambung Mangkurat (0511) (0511)

1. Selatan No. 15 Banjarmasin 70111 4368179 3354678

(0541) (0541)

2. Provinsi Kalimantan Timur Jl. Gajah Mada No. 1 Samarinda 75122 741022 732644

Provinsi Kalimantan Palangkaray (0536) (0536)

3. Tengah Jl. Diponegoro No. 11 a 73111 3222500 3223855

(0561) (0561)

4. Provinsi Kalimantan Barat Jl. Ahmad Yani No. 2 Pontianak 78124 734134 732033
Jl. Jend. Sudirman No. (0542) (0542)

5. Balikpapan 20 Balikpapan 76111 411355 411354

REGIONAL IV

Kantor Perwakilan Dalam Kodepo

No. Negeri Alamat Kota s Telepon Fax

(0411) (0411)

1. Provinsi Sulawesi Selatan Jl. Jend. Sudirman No. 3 Makassar 90133 3615188 3615170

(0431) (0431)

2. Provinsi Sulawesi Utara Jl. 17 Agustus No. 56 Manado 95117 868102 866933

(0451) (0451)

3. Provinsi Sulawesi Tengah Jl. Sam Ratulangi No. 23 Palu 421181 421180

Jl. Sultan Hasanuddin (0401) (0401)

4. Provinsi Sulawesi Tenggara No. 150 Kendari 93122 312655 3122718

Jl. Andi P. Pettarani

5. Provinsi Sulawesi Barat No.1 Mamuju 91511 (0426) 22192 (0246) 21656

(0911) (0911)

6. Provinsi Maluku Jl. Raya Pattimura No. 7 Ambon 97124 352761 356517

Jl. Dr. Sam Ratulangi (0957) (0967)

7. Provinsi Papua No. 9 Jayapura 534581 535201

(0986) (0986)

8. Provinsi Papua Barat Jl. Jogjakarta No.1 Manokwari 98311 216066 216063

Jl. H. Nani Wartabone (0435) (0435)

9. Provinsi Gorontalo No. 35 Gorontalo 96115 824444 827993

(0921) (0921)

10. Provinsi Maluku Utara Jl. Yos Sudarso No. 1 Ternate 3121217 3124017
Jl. Letda Tantular No. 4 (0361) (0361)

11. Provinsi Bali Renon Denpasar 80234 248982 222988

Provinsi Nusa Tenggara (0370) (0370)

12. Barat Jl. Pejanggik No. 2 Mataram 83126 623600 631793

Provinsi Nusa Tenggara (0380) (0380)

13. Timur Jl. Tom Pello No. 2 Kupang 85000 832047 822103

Anda mungkin juga menyukai