Anda di halaman 1dari 8

Pengertian BUMDes

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) adalah lembaga usaha desa yang dikelola oleh
masyarakat dan pemerintahan desa dalam upaya memperkuat perekonomian desa dan
dibentuk berdasarkan kebutuhan dan potensi desa. BUMDes menurut Undang-undang nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah didirikan antara lain dalam rangka peningkatan
Pendapatan Asli Desa (PADesa). Berangkat dari cara pandang ini, jika pendapatan asli desa
dapat diperoleh dari BUMDes, maka kondisi itu akan mendorong setiap Pemerintah Desa
memberikan “goodwill” dalam merespon pendirian BUMDes. Sebagai salah satu lembaga
ekonomi yang beroperasi dipedesaan, BUMDes harus memiliki perbedaan dengan lembaga
ekonomi pada umumnya. Ini dimaksudkan agar keberadaan dan kinerja BUMDes mampu
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan warga desa.
Disamping itu, supaya tidak berkembang sistem usaha kapitalistis di pedesaan yang dapat
mengakibatkan terganggunya nilai-nilai kehidupan bermasyarakat. Terdapat 7 (tujuh) ciri
utama yang membedakan BUMDes dengan lembaga ekonomi komersial pada umumnya
yaitu:

1. Badan usaha ini dimiliki oleh desa dan dikelola secara bersama;
2. Modal usaha bersumber dari desa (51%) dan dari masyarakat (49%) melalui
penyertaan modal (saham atau andil);
3. Operasionalisasinya menggunakan falsafah bisnis yang berakar dari budaya lokal
(local wisdom);
4. Bidang usaha yang dijalankan didasarkan pada potensi dan hasil informasi pasar;
5. Keuntungan yang diperoleh ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota
(penyerta modal) dan masyarakat melalui kebijakan desa (village policy);
6. Difasilitasi oleh Pemerintah, Pemprov, Pemkab, dan Pemdes;
7. Pelaksanaan operasionalisasi dikontrol secara bersama (Pemdes,BPD, anggota).

BUMDes sebagai suatu lembaga ekonomi modal usahanya dibangun atas inisiatif
masyarakat dan menganut asas mandiri. Ini berarti pemenuhan modal usaha BUMDes harus
bersumber dari masyarakat. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan BUMDes
dapat mengajukan pinjaman modal kepada pihak luar, seperti dari Pemerintah Desa atau
pihak lain, bahkan melalui pihak ketiga. Ini sesuai dengan peraturan per undang-undangan
(UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 213 ayat 3). Penjelasan ini sangat
penting untuk
mempersiapkan pendirian BUMDes, karena implikasinya akan bersentuhan dengan
pengaturannya dalam Peraturan Daerah (Perda) maupun Peraturan Desa (Perdes).

3. Tujuan Pendirian BUMDes

Empat tujuan utama pendirian BUMDes adalah:

1. Meningkatkan perekonomian desa;


2. Meningkatkan pendapatan asli desa;
3. Meningkatkan pengolahan potensi desa sesuai dengan
4. kebutuhan masyarakat;
5. Menjadi tulang punggung pertumbuhan dan pemerataan ekonomi pedesaan.

Pendirian dan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) adalah merupakan
perwujudan dari pengelolaan ekonomi produktif desa yang dilakukan secara kooperatif,
partisipatif, emansipatif, transparansi, akuntabel, dan sustainable.. Oleh karena itu, perlu
upaya serius untuk menjadikan pengelolaan badan usaha tersebut dapat berjalan secara
efektif, efisien, profesional dan mandiri. Untuk mencapai tujuan BUMDes dilakukan dengan
cara memenuhi kebutuhan (produktif dan konsumtif) masyarakat melalui pelayanan distribusi
barang dan jasa yang dikelola masyarakat dan Pemdes. Pemenuhan kebutuhan ini diupayakan
tidak memberatkan masyarakat, mengingat BUMDes akan menjadi usaha desa yang paling
dominan dalam menggerakkan ekonomi desa. Lembaga ini juga dituntut mampu memberikan
pelayanan kepada non anggota (di luar desa) dengan menempatkan harga dan pelayanan yang
berlaku standar pasar. Artinya terdapat mekanisme kelembagaan/tata aturan yang disepakati
bersama, sehingga tidak menimbulkan distorsi ekonomi di pedesaan disebabkan usaha yang
dijalankan oleh BUMDes. Dinyatakan di dalam undang-undang bahwa BUMDes dapat
didirikan sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Apa yang dimaksud dengan ”kebutuhan
dan potensi desa” adalah:

a. Kebutuhan masyarakat terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok;


b. Tersedia sumberdaya desa yang belum dimanfaatkan secara optimal terutama
kekayaan desa dan terdapat permintaan di pasar;
c. Tersedia sumberdaya manusia yang mampu mengelola badan usaha sebagai aset
penggerak perekonomian masyarakat;
d. Adanya unit-unit usaha yang merupakan kegiatan ekonomi warga masyarakat yang
dikelola secara parsial dan kurang terakomodasi;
BUMDes merupakan wahana untuk menjalankan usaha di desa. Apa yang dimaksud dengan
“usaha desa” adalah jenis usaha yang meliputi pelayanan ekonomi desa seperti antara lain:

a. Usaha jasa keuangan, jasa angkutan darat dan air, listrik desa, dan usaha sejenis
lainnya;
b. Penyaluran sembilan bahan pokok ekonomi desa;
c. Perdagangan hasil pertanian meliputi tanaman pangan, perkebunan, peternakan,
perikanan, dan agrobisnis;
d. Industri dan kerajinan rakyat.

Keterlibatan pemerintah desa sebagai penyerta modal terbesar BUMDes atau sebagai
pendiri bersama masyarakat diharapkan mampu memenuhi Standar Pelayanan Minimal
(SPM), yang diwujudkan dalam bentuk perlindungan (proteksi) atas intervensi yang
merugikan dari pihak ketiga (baik dari dalam maupun luar desa). Demikian pula, pemerintah
desa ikut berperan dalam pembentukan BUMDes sebagai badan hukum yang berpijak pada
tata aturan perundangan yang berlaku, serta sesuai dengan kesepakatan yang terbangun di
masyarakat desa. Pengaturan lebih lanjut mengenai BUMDes diatur melalui Peraturan
Daerah (Perda) setelah memperhatikan peraturan di atasnya. Melalui mekanisme “self help”
dan “member-base”, maka BUMDes juga merupakan perwujudan partisipasi masyarakat desa
secara keseluruhan, sehingga tidak menciptakan model usaha yang dihegemoni oleh
kelompok tertentu ditingkat desa. Artinya, tata aturan ini terwujud dalam mekanisme
kelembagaan yang solid. Penguatan kapasitas kelembagaan akan terarah pada adanya tata
aturan yang mengikat seluruh anggota (one for all).
Dana desa dapat dimanfaatkan untuk mendirikan badan usaha milik desa
guna mendorong perekonomian masyarakat desa. Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi mencatat, saat ini
setidaknya ada 12.115 unit BUMDes di seluruh Indonesia.

Pengelolaan BUMDes harus transparan agar tidak diselewengkan. "Yang


terpenting, tidak hanya banyaknya BUMDes yang dibentuk, tetapi apakah
secara kelembagaan, ekonomi rakyat desa semakin kuat atau tidak,” kata
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
(KPPOD) Robert Endi Jaweng, Senin (23/5), di Jakarta.

Undang-Undang Desa yang diperjelas melalui Peraturan Menteri Desa PDTT


Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa
Tahun 2015 menyebutkan, salah satu prioritas pemanfaatan dana desa
adalah pendirian dan pengembangan BUMDes.

Menurut Endi, keberlangsungan BUMDes sebagai lembaga ekonomi


tergantung dari beberapa hal, seperti visi kepala desa, yakni sejauh mana
kepala desa memiliki arah untuk memberdayakan ekonomi desa melalui
BUMDes. Kemudian, persepsi masyarakat desa terhadap penggunaan dana
desa sebagai modal BUMDes perlu diperkuat. Saat ini, menurut kebanyakan
masyarakat desa, dana desa hanya digunakan untuk membangun
infrastruktur desa. Hal itu karena penggunaan dana desa saat ini memang
diprioritaskan untuk membangun infrastruktur.

Dengan demikian, lanjut Endi, desa-desa di Pulau Jawa lebih berpeluang


memanfaatkan dana desa untuk membentuk BUMDes karena infrastrukturnya
relatif lebih baik dibandingkan dengan desa di luar Pulau Jawa. Namun,
berkaca dari pengalaman pengelolaan badan usaha milik daerah (BUMD)
yang sering rawan secara politis, pengelolaan BUMDes mesti dilakukan
secara profesional.

”Maka pertanggungjawaban pengelolaan BUMDes harus kepada forum


musyawarah desa, bukan kepada kepala desa,” kata Endi.

Sebelumnya, Menteri Desa PDTT Marwan Jafar mengatakan, jumlah


BUMDes meningkat signifikan karena dana desa Jumlah BUMDes pada 2014
sebanyak 1.022 unit dan kemudian meningkat menjadi 12.115 unit pada 2015.
Menurut Marwan, keberadaan BUMDes dapat menyerap tenaga kerja dan
membuka peluang usaha di desa.
’’Melihat pentingnya keberadaan BUMDes dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi desa, kami menargetkan pembentukan 15.000 unit BUMDes pada
2016,” kata Marwan. (NAD)
 
Kelsey dan Hearne (1963:259) mengatakan bahwa tujuan dari pelaksanaan evaluasi adalah :
"(1) menentukan titik awal suatu program, (2) menunjukkan seberapa jauh kemajuan yang
diperoleh akibat pelaksanaan program, (3) menunjukkan apakah program sesuai atau tidak,
(4) menunjukkan efektivitas program, (5) membantu menemukan titik lemah pelaksanaan
program, (6) sebagai arah keterampilan dan kerja sama dengan potensi sekitar, dan (7)
membuktikan sistematika perencanaan, serta (8) memberikan kepuasan perencanaan,
pelaksanaan dan penilaian.

Pertumbuhan ekonomi desa seringkali dinilai lambat dibandingkan pembangunan


ekonomi perkotaan. Untuk meningkatkan hal tesebut dibutuhkan dua pendekatan yaitu: a)
Kebutuhan masyarakat dalam melakukan upaya perubahan dan mencegah hal-hal yang tidak
diinginkan, dan b) Political will dan kemampuan pemerintah desa bersama masyarakat dalam
mengimplementasikan perencanaan pembangunan yang sudah disusun (Rutiadi, 2001 dalam
Bachrein, 2010). Untuk mencapai percepatan ekonomi masyarakat desa upaya yang bisa
dilakukan adalah dengan mendorong gerak ekonomi desa melalui kewirausahaan desa,
dimana kewirausahaan desa menjadi strategi dalam pengembangan dan pertumbuhan
kesejahteraan (Ansari, 2016). Kewirausahaan desa ini dapat diwadahi dalam Badan Usaha
Milik Desa (BUMDes) yang dikembangkan oleh pemerintah maupun masyarakat desa
(Prabowo, 2014).

Desa merupakan unit terkecil dari negara yang terdekat dengan masyarakat dan secara riil
langsung menyentuh kebutuhan masyarakat untuk disejahterakan. Menurut UU No. 6 Tahun
2014 tentang desa, desa memiliki kewenangan dalam mengatur dan mengurusi urusan
pemerintahan, menentukan arah pembangunan serta melakukan kegiatan pembangunan yang
meliputi pembangunan infrastruktur, ekonomi dan sumber daya manusia yang ditujukan
untuk kemajuan desa. Penetapan UU No.6 tahun 2014 tentang Desa menggantikan peraturan
tentang desa yang tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, Peraturan perundangundangan ini merupakan political
will dari pemerintah yang ditujukan menjadi perubahan dan perbaikan sistem
penyelenggaraan pemerintahan. UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa tersebut memberikan
perubahan secara signifikan dalam tata kelola pemerintahan desa. Desa kini menjadi agen
pemerintah untuk mencapai keberhasilan dalam penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan
masyarakat dan pembangunan nasional.

fokus utama yang menjadi prioritas dalam


pembangunan adalah usaha untuk mencapai perbaikan ekonomi,
yang tidak hanya terbatas pada golongan elite, tetapi juga secara
menyeluruh dan merata sampai pada lapisan terbawah. Dengan
kata lain, pembangunan dalam arti kata sosiologi ditujukan pada
pemberantasan terhadap angka kemiskinan.

Badan usaha milik desa ini usaha desa yang dibentuk/didirikan oleh pemerintah desa
yang kepemilikan modal dan pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat.
Pembentukan badan usaha milikdesa ini juga berdasarkan pada Permendagrinomor 39 tahun 2010
pada bab II tentangpembentukan badan usaha milik desa.Pembentukan ini berasal dari pemerintah
kabupaten/kota dengan me-netapkan peraturan daerah tentang pedoman tata cara pembentukan dan
pengelolaan bumdes. Selanjutnya pemerintah desa membentuk bumdes dengan peraturan desa yang
berpedoman pada peraturan daerah.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat 83.931


wilayah administrasi setingkat desa di Indonesia pada
2018. Jumlah tersebut terdiri atas 75.436 desa

Anda mungkin juga menyukai