Anda di halaman 1dari 10

PAPER PENGELOLAAN TANAH

PENGELOLAAN TANAH RAWA

Disusun:
Siti Solikhatun Anisa
H0218061
Ilmu Tanah

PROGRAM STUDI ILMU TANAH


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan pangan dari tahun ke tahun di Indonesia semakin meningkat,
hal ini berbanding lurus dengan pertumbuhan penduduk. Namun bertambahnya
penduduk akan berbanding terbalik dengan ketersediaan lahan pertanian
produktif. Banyak pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman,
pembangunan jalan serta Industri. Akhirnya untuk memenuhi kebutuhan pangan
tersebut pemerintah harus impor dari luar negeri. Menurut Kementan (2010)
menyatakan bahwa ada periode 2005-2009, impor beras berfluktuasi, mulai dari
0,2 juta ton pada tahun 2005 dan tertinggi pada tahun 2007 sebesar 1,4 juta ton.
Untuk mengatasi masalah tersebut maka diperlukan peningkatan produktivitas
dan luasan areal pertanian. Pemanfaatan lahan yang belum optimal menjadi
salah satu kunci untuk memperluas areal pertanian, contohnya adalah
pengoptimalan lahan rawa.
Lahan rawa adalah lahan yang selalu tergenang, berdasarkan masa dan
penyebab tergenangnya digolongkan menjadi dua yaitu lahan rawa pasang surut
dan lahan rawa lebak. Menurut Arsyad et al (2014) menyatakan bahwa salah
satu sumber daya lahan (agroekologi) yang tersedia dan belum dimanfaatkan
secara optimal ialah lahan rawa pasang surut. Selain itu lahan rawa lebak juga
berpotensi di bidang pertanian bahkan tingkat kesuburannya lebih baik daripada
lahan pasang surut. Permasalahan lahan rawa sebagai lahan pertanian adalah
sering tergenangnya lahan, kemasaman lahan yang cukup tinggi dan rendahnya
tingkat kesuburan tanah. Oleh karena itu pembukaan lahan rawa sebagai lahan
pertanian produktif perlu adanya pengolahan yang tepat.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui macam-macam lahan rawa
2. Mengetahui sifat dan ciri-ciri lahan rawa (pasang surut atau lebak)
3. Mengetahui pengelolaan lahan rawa yang tepat
BAB II
PEMBAHASAN

A. Lahan Rawa
Lahan rawa adalah lahan yang selalu tergenang atau jenuh air sepanjang
tahun atau dalam kurun waktu tertentu. Menurut Suriadikarta (2012) lahan rawa
di Indonesia ± 33,4 juta ha, yang terdiri atas lahan rawa pasang surut sekitar 20
juta ha dan lahan lebak 13,4 juta ha. Peranan utama yang menggambarkan lahan
rawa adalah fluktuasi air permukaan lahan (hidrologi). Berdasarkan pengaruh
pasang surut, lahan rawa ini dibagi menjadi beberapa zona yaitu Zona I, Zona II
dan Zona III. Zona I yaitu zona pasang surut air ain/payau. Pada zona ini, daratab
bersambungan dengan air laut sehingga pengaruh pasang air laut masih sangat
kuat yang mengakibatkan tanah salinitasnya tinggi. Zona II yaitu zona pasang
surut air tawar. Pada zona ini, wilayah yang menuju kea rah hulu sungai, namun
posisinya lebih ke dalam ke arah daratan. Zona III yaitu wilayah rawa lebak/
bukan pasang surut (Suriadikarta, 2012).
1. Lahan Rawa Pasang Surut
Lahan rawa pasang surut mempunyai definisi yaitu lahan yang
dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut atau sungai. Menurut Widjaja-Adhi
(1986) menyatakan bahwa lahan pasang surut berdasarkan tipe luapan
(jangkauan pasang) ada empat yaitu tipe luapan A, B, C dan D. Lahan
dengan tipe luapan A diluapi air pasang, baik pada pasang besar maupun
pasang kecil sedangkan tipe B hanya pada saat pasang besar. Lahan tipe C
tidak diluapi air pasang tetapi kedalaman airnya kurang dari 50 cm dan tipe
luapan D memiliki kedalaman air tanah lebih dari 50 cm.
Berdasarkan jenis dan tingkat masalah sifat fisik kimia lahan pasang
surut dikelompokkan menjadi empat tipologi yaitu lahan potensial, lahan
sulfat masam (sufat masam aktual dan actual), lahan gambut dan lahan salin.
Lahan potensial memiliki yaitu lahan yang lapisan piritnya dalam (50 cm -
100 cm). Lahan sulfat potensial (SMP) merupakan lahan yang mempunyai
pirit pada kedalaman 0− > 100 cm dari permukaan tanah. Lahan ini
umumnya mempunyai tipe luapan A/B dan C pada SMP-3/A. Lahan SMP
mempunyai pH > 3,50 yang makin tinggi selaras dengan kedalaman tanah.
Lahan sulfat masam actual (SMA) merupakan tanah yang mempunyai pH
tanah lapang < 3,50, mempunyai horison sulfurik atau tanda-tanda horison
sulfurik yang disebabkan teroksidasinya pirit, yang terjadi akibat drainase
berlebihan. Lahan ini umumnya mempunyai tipe luapan C/D. Apabila pH
tanah lapang mencapai < 3,50 dapat mengakibatkan kisi-kisi liat hancur,
sehingga ion Al3+ sangat dominan dalam kompleks jerapan. Lahan seperti ini
lebih sesuai untuk tanaman yang telah adaptif yaitu gelam atau purun dan
karet.
Lahan pasang surut dengan tipologi lahan gambut memiliki tingkat
kedalaman yang berbeda-beda. Menurut Widjaja-Adhi (1995) menyataka
bahwa terdapat beberapa tingkatan lahan gambut yaitu lahan gambut dangkal
(G-1), sedang (G-2), dalam (G-3) dan sangat dalam (G-4). Lahan gambut
dangkal (G-1) mempunyai kedalaman 50-100 cm dengan tingkat
dekomposisi hemik sampai saprik. Lahan ini umumnya tipe luapan B.
Karakteristik lahannya berdrainase terhambat, permeabilitas agak cepat,
dengan penampang tanah sangat dalam. Lahan gambut dangkal masih sesuai
untuk pengembangan padi sawah. Lahan gambut sedang (G-2) mempunyai
kedalaman 101-200 cm dengan tingkat dekomposisi hemik sampai saprik.
Lahan ini umumnya bertipe luapan C. Karakteristik lahannya berdrainase
terhambat, permeabilitas cepat, dan berpenampang tanah sangat dalam.
Lahan gambut dalam (G-3) mempunyai kedalaman 201-300 cm
dengan tingkat dekomposisi fibrik samapi hemik. Pada umumnya tanah ini
memiliki tipe luapan B/C dan masih berpotensi untuk dijadikan lahan
pertanian. Lahan gambut dalam sebaiknya digunakan untuk tanaman
perkebunan, seperti kelapa sawit. Lahan gambut sangat dalam mempunyai
kedalaman >300 cm dengan tinkat dekomposisi fibrik sampai humik. Lahan
ini tidak berpotensi untuk usaha pertanian dan disarankan sebagai kawasan
lindung. Tanahnya mempunyai karakteristik drainase sangat terhambat,
permeabilitas cepat, dan mempunyai penampang tanah sangat dalam.
2. Lahan Rawa Lebak
Lahan rawa lebak adalah lahan yang tergenang air dalam, periode
tertentu dan rejim airnya dipengaruhi oleh hujan. Kondisi topografi dari lahan
rawa lebak adalah relative cekung dan air tidak mengalir ke luar, minimal
genangan setinggi 50 cm. Dikarenakan sumber air berasal oleh hujan maka
lahan ini hanya tergengang saat musim hujan sedangkan pada musim
kemarau lahan ini akan surut. Menurut Alihamsyah (2005) menyatakan
bahwa lahan rawa lebak berdasarkan tinggi dan lama genangan airnya
dikelompokkan menjadi tiga yaitu lahan lebak dangkal, lahan lebak tengahan
dan dalam. Lahan lebak dangkal adalah lahan rawa yang tergenang minimal
tiga bulan dengan ketinggian genangan kurang dari 50 cm. Lahan lebak
tengahan adalah lahan rawa yang tergenang selama 3-6 bulan dengan
ketinggian genangan 50-100. Sedangkan lahan lebak dalam adalah lahan
rawa yang tergenang dalam kurun waktu lebih dari 6 bulan dan ketinggian
genagan lebih dari 100 cm.
Tanah pada lahan rawa lebak memiliki sifat morfologi tanah yang
belum berkembang terutama pada daerah yang berdrainase terhambat sampai
sangat terhambat. Umumnya lahan rawa lebak memiliki warna kekelabuan,
pada lapisan atas berwarna coklat kekelabuan, kelabu coklat dan kelabu
sangat gelap. Sedangkan lapisan bawahnya berwarna kelabu terang, kelabu
hingga coklat kekelabuan terang. Teksur tanahnya umumnya liat, liat
berdebu, sampai lempung liat berdebu dengan konsistensi lekat dan plastis.
Menurut Alihamsyah (2005) menyatakan bahwa tanah liat memiliki tingkat
kesuburan sedang hingag tinggi dan pH 4-5.Jenis tanah yang terbentuk
adalah tanah mineral dan tanah gambut. Tanah ini terbentuk akibat adanya
sedimentasi sungai.
Lahan lebak cocok untuk digunakan sebagai lahan pertanian.
Umumnya lahan lebak dangkal mempunyai kesuburan yang lebih baik, hal
ini dikarenakan adanya proses penambahan unsur hara yang dibawa oleh
luapan sungai dari hulu. Lahan lebak dangkal sangat berpotensi untuk
budidaya tanaman pangan dan hortikultura. Lahan lebak tengahan bisa
dimanfaatkan untuk usaha tani padi. Sedangkan lahan lebak dalam jarang
digunakan untuk budidaya tanaman, kecuali pada saat musim kering yang
panjang. Namun, pada lahan lebak dalam dengan masa tergenang kurang dari
9 bulang masih bisa dimanfaatkan dengan adanya pembuatan jaringan tata
air.
B. Pengelolaan Lahan Rawa
Lahan rawa memiliki beberapa permasalahan saat dimanfaatkan sebagai
laha pertanian produktif. Hal ini dikarenakan kesuburan tanah yang rendah,
reaksi tanah yang masam, adanya pirit, tingginya kadar Al, Fe, Mn dan asam
organic. Selain itu lahan rawa juga identik kahat P, miskin kation basa serta
aktivitas mikroba yang terhambat. Untuk meningkatkan produktivitas lahan rawa
dapat ditingkatkan dengan adanya inovasi teknologi. Menurut Suriadikarta
(2011) inovasi teknologi yang dimaksud adalah teknologi pengelolaan air dan
tanah (meliputi tata air mikro, penataan lahan, amerliorasi dan pemupukan),
penggunaan varietas yang adaptif pada lahan rawa, serta penggunaan alat dan
mesin pertanian yang sesuai dengan tipologi lahan.
1. Teknologi pengelolaan air dan tanah
Kunci utama dalam meningkatkan produktivitas lahan rawa adalah
teknologi pengelolaan tanah dan air (soil and water management). Teknologi
pengelolaan air dan tanah meliputi tata air mikro, penataan lahan, amerliorasi
dan pemupukan. Tata air mikro adalah pengelolaan air pada skala petani.
Tata air mikro dimuali dair pengelolaan saluran tersier serta pembangunan
dan pengaturan saluran kuarter. Pengelelolaan air di tingkat mirko bertujuan
agar petani memperoleh air irigasi dan membuang air drainase secara adil.
Selain itu pengelolaan tata air mikro yang baik akan menciptakan
kelembaban tanah yang optimum untuk pertumbuhan tanaman serta
mencegah kekeringan lahan sulfat masam dan lahan gambut. Menurut
Suriadikarta (2012) menyatakan bahwa pembuatan saluran yang baik adalah
jangan terlalu dalam dan lebar, hal ini karena saluran yang lebar dan dalam
akan mengakibatkan drainase cepat sehingga pada saat musim kemarau akan
menyebabkan kekeringan. Oleh karena itu pembuatan saluran harus
memperhatikan kondisi fisiografi, topografi, dan hidrologi pada lahan
tersebut.
Penataan air di tingkat terseier akan berpengaruh pada tata air mikro,
apabila dalam mengaturnya kurang tepat maka akan mengakibatkan gagal
panen. Pengaturan saluran tersier berdasarkan tipe luapannya yaitu jika tipe
luapan A, maka di lahan petani bisa diatur sistim aliran satu arah (one way
flow system). Pada tipe luapan B dapat diatur sistim aliran satu arah plus
tabat, jika pada tipe luapan C maka sistim tabat, dan jika berada pada tipe
luapan D maka dapat dilakukan sistim tabat plus irigasi tambahan dari
kawasan tampung hujan yang berada di ujung tersiernya.
Salah satu usaha penataan lahan adalah system surjan yaitu salah satu
usaha penataan lahan untuk diversifikasi tanaman di lahan rawa. Pada system
ini dibuat guludan dan tabukan. Biasanya tabukan digunakan untuk mrnanmi
padi sawah pada lahan rawa sedangkan guludan ditanami sayuran, palawija,
buah-buahan atau tanaman industry. Penataan lahan berdasarkan tipologinya
yaitu tipe luapan A dianjurkan ditata sebagai sawah, tipe luapan B ditata
sebagai sawah sistim surjan, tipe luapan C ditata sebagai sawah tadah hujan
atau surjan bertahap, dan tipe luapan D sebagai sawah tadah hujan atau
tegalan atau perkebunan. Sistim surjan mempunyai beberapa keuntungan
yaitu: 1) stabilitas produksi lebih mantap, terutama untuk tanaman padi di
tabukan; 2) intensitas tanam lebih tinggi, dan 3) diversifikasi tanaman
sekaligus dapat terlaksana (Badan Litang Pertanian, 1993).
2. Pengelolaan Tanah
Pengelolaan lahan bertujuan untuk memperbaiki kondisi lahan agar
menjadi seragam dan rata. Setelah rata dan bersih dari akar-akar maka bisa
melakukan pengelolahan tanah secara minimum (minimum tillage).
Pemberian ameliorasi dan pemupukan dapat meningkatkan kualitas dan
produktivitas lahan pasang surut. Biasanya ameliorasi dapat menggunakan
abu sekam, abu gergajian dan limbah tanaman.
3. Penggunaan varietas yang adaptif dan teknologi alsintan
Tanaman yang ditanam pada lahan gambut berupa tanaman yang
mamou bertahan dilahan masam. Menurut Sabiham (2006) ada dua
oendekatan dalam mengusahakan tanaman di lahan gambut yaitu
pendekatan pada kondisi drainase alami, dengan tanaman adaptif jenis padi
lokal dan pendekatan pada konsisi drainase buatan. Menurut Arsyad et al
(20) varietas padi lokal perlu diganti dengan varietas padi unggul yang
berumur lebih pendek dan berdaya hasil lebih tinggi seperti Varietas Inpara
yang dihasilkan oleh Balitbangtan. Varietas unggul biasanya responsive
terhadap pemupukan sehingga pengembangannya harus dengan pemupukan
berimbang. Menurut Nazemi dan Hairani (2012) tanaman yang bisa
digunakan dilahan pasang surut meliputi tanaman pangan (padi, jagung,
kedelai, kacang tanah, kacang hiaju dan ubi-ubian). Tanaman sayur (tomat,
cabai, timun, kacang panjang, terong, buncis, bawang merah, waluh),
tanaman buah-buahan (nanas, semangka, jeruk, timun suri, rambutan) dan
tanaman perkebunan (kelapa, kelapa sawit, kopi, lada, jahe dan kencur).
Untuk meningkatkan produksi padi di lahan bisa menggunakan alsintan
berupa trakator dan mesin perontok.
BAB III
PENUTUPAN

Kebutuhan pangan di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat,


namun ketersediaan lahan produktif semakin sedikit. Oleh karena itu, pembukaan
lahan marginal menjadi lahan pertanian merupakan salah satu langkah. Lahan
marginal berupa lahan rawa apabila dikelola dengan baik mampu menghasilkan hasil
panen yang menguntungkan. Terdapat dua macam lahan rawa yaitu lahan rawa
pasang surut dan lahan rawa lebak. Lahan rawa pasang surut adalah lahan yang
dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut atau sungai. Berdasarkan jenis dan tingkat
masalah sifat fisik dan kimianya dibagi menjadi empat yaitu lahan potensial, lahan
sulfat masam (aktual maupun potensial), lahan gambut dan lahan salin. Sedangkan
berdasarkan tipe luapannya dikelompokkan menjadi empat yaitu tipe luapan A, B, C,
dan D. Karakteristik dari lahan rawa pasang surut adalah lahan jenuh air dan
drainase terhambat. Sedangakan lahan rawa lebak adalah lahan rawa yang tergenang
akibat adanya luapan sungai dan tergenang dalam periode tertentu. Berdasarkan
kedalamannya, lahan rawa lebak dikelompokkan menjadi tiga yaitu lahan lebak
dangkal, tengahan dan dalam. Karena lahan rawa memiliki permasalahan tingkat
kesuburan yang rendah maka diperlukan pengelolaan yang tepat yaitu dengan
menerapkan inovasi teknologi. Inovasi teknologi dapat berupa pengelolaan tata air
mikrto, lahan, penggunaan varietas yang adaptif.
DAFTAR PUSTAKA

Alihamsyah, T. (2005). Pengembangan Lahan Rawa Lebak untuk Usaha Pertanian.


Balittra.
Arsyad, D. M. (2015). Pengembangan Inovasi Pertanian di Lahan Rawa Pasang
Surut Mendukung Kedaulatan Pangan. Pengembangan Inovasi Pertanian,
7(4), 169-176.
Kementan (Kementerian Pertanian) 2010. Statistik Pertanian. Pusat Data dan Sistem
Informasi Pertanian. Kementerian Pertanian, Jakarta. 306 hlm.
Nazemi, D., & Hairani, A. (2012). Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Rawa Pasang
Surut Melalui Pengelolaan Lahan dan Komoditas. Agrovigor: Jurnal
Agroekoteknologi, 5(1), 52-57.
Suriadikarta, D. A. (2012). Teknologi pengelolaan lahan rawa berkelanjutan: studi
kasus kawasan ex plg kalimantan tengah.
Widjaja-Adhi, I P.G. 1995. Pengelolaan tanah dan air dalam pengembangan sumber
daya lahan rawa untuk usaha tani berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Makalah disampaikan pada Pelatihan Calon Pelatih untuk Pengembangan
Pertanian di Daerah Pasang Surut, Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan,
26−30 Juni 1995. hlm. 1−24.
Widjaja-Adhi, I P.G. dan T. Alihamsyah. 1998. Pengembangan lahan pasang surut:
Potensi, prospek dan kendala serta teknologi pengelolaannya untuk pertanian.
Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan Komisariat Daerah
Himpunan Ilmu Tanah. hlm. 51−72.

Anda mungkin juga menyukai