Anda di halaman 1dari 3

BUDAYA MUDIK DALAM PUSARAN KEBIJAKAN LARANGAN MUDIK

Tanpa terasa bulan suci ramadhan akan segera berakhir dan disambut oleh hari raya idul fitri. Idul
Fitri merupakan hari kemerdekaan bagi umat muslim dipenjuru dunia yang kehadirannya selalu
dinantikan setiap tahunnya. Dalam konteks masyarakat Indonesia, menyambut hari raya lebaran
atau idul fitri selalu dimeriahkan oleh fenomena sosial yang cukup menyita pemberitaan yaitu
“mudik”. Mudik biasa dilakukan oleh masyarakat indonesia yang berada diperantauan untuk kembali
ke kampung halaman sebagai bagian dari rangkaian perayaan idul fitri untuk dapat berkumpul dan
bersilaturahmi dengan sanak keluarganya. Mudik berasal dari kata “udik” yang berarti arah hulu
sungai, pegunungan, atau kampung/desa. Sedangkan orang yang pulang kampung disebut “muedik”
yang kemudian dipersingkat menjadi mudik.

Khususnya di Indonesia, tradisi mudik tidak terlepas dari kesadaran sosiohistoris masyarakat akan
asal usulnya atau tempat kelahirannya. Meskipun banyak warga yang pergi meninggalkan tempat
tinggalnya untuk merantau mencari penghidupan yang lebih layak, mereka tidak melupakan dari
mana mereka lahir dan berasal. Artinya, manusia atau masyarakat begitu terikat dengan tempat
lahir atau asal usulnya. Masyarakat yang melakukan mudik bukan hanya sekedar ingin berkumpul
dengan keluarganya tapi juga mengenang kehidupannya pada waktu dulu. Ada romantisme yang
menghadirkan kebahagiaan dengan melakukan mudik ke daerah asal. Romantisme yang dimaksud
disini yaitu, para pemudik akan bertemu dengan keluarganya dan juga teman-temannya sehingga
interaksi sosial saling terjadi. Dalam interaski sosial inilah akan ada banyak cerita maupun perasaan
atau emosi yang ingin dicurahkan setelah sekian lama tidak bertemu dan tak jarang menghadirkan
haru maupun kebahagiaan.

Setelah sampai di daerah asalnya, para pemudik biasanya juga melakukan tradisi “nyekar”. Dalam
perspektif tradisi spriritual, “nyekar” merupakan aktivitas mengunjungi makam keluarga atau
berziarah dengan melakukan tabur bunga dan juga mendoakan keluarga yang sudah meninggal.
Setiap doa yang diberikan kepada keluarga menjadi bukti akan bakti seseorang sehingga menjadi
amal kesalehan. Selain itu, berziarah juga menjadi pengingat bagi manusia kepada sang penciptan-
Nya bahwa yang di dunia ini akan kembali kepada pemilik-Nya sehingga tidak melupakan ajaran-
ajaran-Nya. Hal ini menjadi salah satu yang mendorong masyarakat untuk melakukan mudik yaitu
ingin bertemu dengan keluarganya yang sudah meninggal dengan cara berziarah ke makam.

Hal lain dan menarik dari tradisi mudik yaitu tentang kisah-kisah sukses atau pekerjaannya selama
ini diperantauan. Maka tidak mengherankan apabila perilaku dan wacana diri yang dibangun
pemudik ketika ditempat asal biasanya akan terlihat. Dalam perspektif sosio-ekonomi, tradisi mudik
memberikan dampak ekonomi yang sangat masif bagi negara maupun masyarakat. Hal ini dilihat dari
besarnya perputaran uang yang terjadi selama fenomenda mudik hingga lebaran. Setelah selama ini
bekerja banting tulang di kota, lalu hasilnya akan dibawa untuk dinikmati dan berbagai rejeki untuk
orang tua maupun keluarga di kampung halaman. Ketika mudik lebaran tiba sering kali perilaku
hedonisme cenderung meningkat di kalangan masyarakat. Perilaku hedon ini selain karena
didasarkan atas kebutuhan, di sisi lainnya juga menjadi ajang pembentukan identitas diri. Identitas
yang dibangun yaitu kesuksesan yang dimanfestasikan dalam “kemewahan” dan direpresentasi
melalui pakaian, kendaraan, perhiasan,dll. Perilaku ini kerap kali menjadi arena adu gengsi di
lingkungan masyarakat. Mirisnya bagi masyarakat dari kalangan menengah terkadang terjebak
dalam perilaku ini hanya untuk terlihat kaya atau sukses. Merespon fenomena ini memunculkan
istilah yang unik ditengah masyarakat yaitu “Budget Pas-pasan Jiwa Sosialita’ (atau sering disingkat
BPJS).
Pada tahun ini, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia Dan Kebudayaan (Menko PMK)
Muhadjir Effendy menyebutkan ada potensi sekitar 10 juta masyarakat Indonesia akan melakukan
mudik meskipun negara sudah mengeluarkan kebijakan dan himbauan untuk tidak melakukan
mudik. Angka yang lebih besar disampaikan oleh Kepala Satuan Tugas Covid-19 Doni Monardo yaitu
sekitar 18,9 juta orang masih nekat mudik ke kampung halaman. Mungkin jumlah tersebut hanya 7
persen dari total masyarakat Indonesia, namun yang patut diwaspadai adalah dampak
penyebarannya sehingga berpotensi meningkatkan jumlah angka masyarakat yang terkena virus
covid-19. Virus covid-19 telah menjadi pandemi di seluruh negara tanpa terkecuali di Indonesia dan
menjadi ancaman serius bagi negara dan masyarakat disegala sektor. Maka sejak virus covid-19
masuk di Indoensia, negara sudah beberapa kali mengeluarkan kebijakan untuk menekan angka
penyebarannya serta menyelamatkan perekonomian negara dan juga kesehatan dan keamanan
masyarakat. Pada bagian ini akan dibahas tentang kebijakan dengan tentang larangan mudik tahun
2021 untuk menekan penyebaran virus covid-19.

Untuk memberikan gambaran tentang hal tersebut, menarik untuk disimak tentang teori yang
dikemukanan oleh tokoh besar yaitu Michel Foucault tentang governmentality. Governmentality
adalah bentuk rasionalisasi dari bagaimana kekuasaan dijalankan oleh negara agar beroperasinya
kekuasaan itu dapat diakui atau legitimate. Governmentality merupakan perluasan model
kekuasaan disciplinary power pada level negara, maka yang dibicarakan dalam governmentality
adalah isu tentang keamanan dan teritorial suatu negara dalam usaha mengontrol dan
mengendalikan sumber daya dan populasi untuk kepentingan negara. Governmentality disebut juga
sebagai conduct of conduct. Artinya, negara mengatur tindakan atau perilaku masyarakat dengan
cara menginternalisasikan penundukan itu agar ia menjadi populasi yang patuh. Manifestasi dari
governmentality ini dapat dilihat melalui “relasi aturan” yang mana negara dan subjeknya
berinteraksi.

Seperti yang diketahui jika pandemi virus covid-19 di Indonesia belum reda ataupun hilang maka
untuk merespon hal itu sesuai arahan Presiden dan hasil keputusan rapat koordinasi tingkat menteri,
maka ditetapkan mudik ditiadakan pada tahun 2021 sehingga negara menghimbau kepada
masyarakat untuk tidak kemana-mana atau mudik dan silaturahmi idulfitri dengan keluarga cukup
dilakukan secara virtual dengan media telekomunikasi maupun sosial media yang ada. Hal ini
dianjurkan untuk mengurangi penyebaran virus covid-19 semakin meluas. Manifestasi lanjutan hasil
keputusan rapat tersebut kemudian tertuang dalam Surat Edaran Kepala Satgas Penanganan COVID-
19 No.13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik pada Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri Tahun
1442 Hijriah selama 6-17 Mei 2021. Sebagai bentuk tindak lanjut berikutnya maka dikeluarkanlah
Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No.13 Tahun 2021 tentang Pengendalian Transportasi
selama masa menjelang dan pasca Idul Fitri. Bagi masyarakat yang bepergian untuk kepentingan lain
atau non-mudik dapat mengajukan Surat Ijin Keluar Masuk (SIKM) dengan syarat dan ketentuan
yang berlaku. Bagi masyarakat yang melanggar aturan mudik tersebut akan dikenakan sanksi berupa
denda, sanksi sosial, kurungan dan/atau pidana sesuai dengan peraturan yang berlaku. Aturan ini
merupakan manifestasi dari mekanisme govermentality yang dikatakan Foucault. Negara melalui
instrumen govermentality baik itu presiden hingga jajarannya telah mengeluarkan larangan mudik
kepada masyarakat. Dalam kontesk govermentality, aturan ini dibuat untuk mengendalikan atau
mengontrol populasi (masyarakat) agar tidak melakukan mudik guna menekan penyeberan virus
covid-19 yang berbahaya. Selain dalam bentuk pengendalian kontrol terhadap masyarakat, aturan
tersebut juga digunakan untuk pencegahan penyebaran virus covid-19 Pemberian efek kepatuhan
itu dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Satgas Penanganan COVID-19 No.13 Tahun 2021 tentang
Peniadaan Mudik pada Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah selama 6-17 Mei
2021 dengan menerapkan sanksi berupa dendan maupun kurungan bagi yang nekat melanggarnya.
Dalam praktik pendidsiplinan, penggunaan aparatus governmentality dalam tubuh sosial (populasi)
juga memanfaatkan fungsi wacana dan produksi pengetahuan. Wacana yang dibangun negara yaitu
tentang bahayanya penyebaran virus covid-19 dan sudah banyak menelan korban jiwa sehingga
negara perlu mengambil langkah dengan mengeluarkan kebijakan larangan mudik pada tahun 2021
yang dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Satgas Penanganan COVID-19 No.13 Tahun 2021
dengan diterapkan sanksi baik berupa denda maupun kurungan. Lahirnya aturan dengan
diberlakukannya sanksi tersebut menjadi gambaran eksistensi dan legitimasi negara atas
kekuasaannya kepada masyarakat. Selain itu, untuk pembenaran tindakan negara tidak perlu lagi
menggunakan klaim kebenaran untuk mendisiplinkan tubuh sosial (populasi), melainkan dengan
menghadirkan pandangan realiatas pandemi covid-19 yang tengah kita hadapi merupakan sebuah
realitas yang bermasalah. Pandangan ini kemudian dikonstruksikan untuk mempengaruhi cara
berpikir atau pemahaman masyarakat sehingga langkah yang larangan mudik untuk mengurangi
penyebaran virus covid-19 menjadi langkah yang tepat dan diterima sehingga masyarakat
mengurungkan niatannya (patuh terhadap aturan) untuk melakukan mudik lebaran di kampung
halaman. Konsep ini disebut Foucault sebagai right disposition of things.

Aturan yang dikeluarkan pemerintah tentang larangan mudik 2021 dengan dalih mengurangi
penyebaran virus covid-19 nyatanya tumpang tindih dan justru cenderung bertentangan satu
dengan yang lain. Persoalan ini menjadi perbincangan di tengah masyarakat, seperti aturan mudik
dilarang dengan dalih mengurangi penyebaran covid, namun disisi lain pemerintah memperbolehkan
tempat wisata untuk tetap beroperasi. Selain itu, ketika masyarakat dilarang mudik tapi negara
masih membuka penerbangan dari luar negeri seperti Cina dan India untuk masuk ke Indonesia yang
jelas-jelas negara India khusunya sendang mengalami tsunami covid-19 dan Cina ditengarai menjadi
sumber munculnya covid-19 pertama kali. Lebih mirisnya lagi, beberapa warga asing dari kedua
negara tersebut ada yang positif terpapar virus covid-19. Hal ini menunjukkan inkonsistensi
pemerintah dalam menerapkan sebuah kebijakan khususnya tentang mengurangi penyebaran virus
covid-19 di Indonesia. Masyarakat merasa pemerintah berat sebelah dan kecemburuan sosial dapat
meluas sehingga kebijakan larangan mudik akan direspon dengan tetap nekat mudik sehingga upaya
penanganan penyebaran virus covid-19 menjadi tidak maksimal.

Anda mungkin juga menyukai