Anda di halaman 1dari 107

RL Stine:

Boneka Hidup Beraksi

(Goosebumps # 7)

Seperti yang saya janjikan, di bulan Januari ini satu lagi novel Goosebump yang
berjudul asli Night Of The Living Dummy telah selesai saya terjemahkan. Meski di
awal-awal ceritanya kurang begitu menegangkan tetapi dipertengahannya cerita
novel ini mulai menegangkan urat syaraf seperti ciri khas dari RL Stine.

Novel ini bercerita tentang pengalaman si kembar Kris dan Lyndi dengan boneka
kayu yang mereka miliki yaitu Tuan Wood dan Slappy.

Bagiamana kisah dan petualangan yang mereka alami ?

Saya persilakan anda membacanya sendiri novel ini dan merasakan


ketegangannya.

Saya harap kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan dalam terjemahan


ini tidak begitu mengganggu kenikmatan Anda saat membacanya.

Farid ZE

Sabtu, 5 januari 2012

Blog Pecinta Buku – PP Assalam Cepu


RL Stine:

Boneka Hidup Beraksi

(Goosebumps # 7)

"Mmmm Mmmmm! Mmmmm!"

Kris Powell berusaha untuk mendapatkan perhatian saudara kembarnya.

Lindy Powell mendongak dari buku yang sedang dibacanya untuk melihat apa
masalahnya. Alih-alih wajah cantik saudaranya, Lindy melihat gelembung, bulat
merah muda hampir seukuran kepala Kris.

"Bagus," kata Lindy tanpa gairah.

Dengan gerakan tiba-tiba, ia menusuk gelembung itu dan meletuskannya.

"Hei!" teriak Kris saat permen karet merah muda itu meledak ke pipi dan
dagunya.

Lindy tertawa. "Kena kau."

Kris dengan marah meraih buku bersampul tipis Lindy dan membantingnya hingga
tertutup.

"Aduh - hilang dari tempatmu!" serunya. Dia tahu adiknya benci kehilangan
tempatnya (membaca)dalam sebuah buku.

Lindy meraih buku itu kembali dengan cemberut. Kris berusaha untuk menarik
permen karet merah muda itu dari wajahnya.

"Itu gelembung terbesar yang pernah kutiup," katanya marah. Permen karet di
dagunya tak hilang.
"Aku sudah meniup yang jauh lebih besar dari pada itu," kata Lindy dengan cibiran
sombong.

"Aku tak percaya pada kalian berdua," gumam ibu mereka, berjalan ke kamar
tidur mereka dan menjatuhkan tumpukan cucian yang terlipat rapi di kaki tempat
tidur Kris. "Kalian bahkan bersaing atas permen karet?

"Kami tak bersaing," gumam Lindy. Dia mengibaskan rambut ekor kuda pirangnya
dan matanya kembali pada bukunya.

Kedua gadis memiliki rambut pirang lurus. Tapi Lindy memelihara rambutnya
(jadi) panjang, biasa mengikatnya di belakang kepala atau di satu sisi (dengan
gaya) ekor kuda. Dan Kris telah memotong rambutnya sangat pendek.

Inilah cara bagi orang-orang untuk mengenali kembar itu satu dari yang lain,
karena mereka hampir mirip dalam setiap hal lainnya. Keduanya memiliki dahi
lebar dan bulat, bermata biru. Keduanya punya lesung pipi di pipi mereka saat
mereka tersenyum. Kedua mudah tersipu, satu lingkaran merah muda besar
terbentuk di pipi pucat mereka.

Keduanya berpikir hidung mereka agak terlalu lebar. Keduanya berharap mereka
sedikit lebih tinggi. Teman baik Lindy, Alice, hampir tiga inci lebih tinggi, meskipun
dia belum berumur dua belas tahun.

"Apa aku dapat semuanya?" tanya Kris, menggosok dagunya, yang merah dan
lengket.

"Tak semua," kata Lindy, melirik ke atas. "Ada beberapa (permen karet) di
rambutmu."

"Oh, bagus," gumam Kris. Dia meraih rambutnya, tapi tak bisa menemukan
permen karet.

"Kena lagi," kata Lindy, tertawa. "Kau terlalu mudah!"

Kris mengucapkan sebuah geraman marah. "Kenapa kau selalu begitu (bersikap)
tak baik padaku?"
"Aku? Tak baik?" Lindy mendongak dengan mata terbelalak tanpa rasa bersalah.
"Aku malaikat. Tanyakan siapa saja."

Dengan jengkel, Kris kembali kepada ibunya, yang sedang memasukkan kaus kaki
ke dalam laci meja rias. "Bu, kapan aku akan dapat kamar sendiri?"

"Pada kedua belas dari tak pernah," jawab Bu Powell, menyeringai.

Keris mengerang. "Itulah yang selalu Anda katakan."

Ibunya mengangkat bahu. "Kau tahu kita tak punya (tempat) yang luang seinci
pun, Kris."

Dia berpaling ke jendela kamar tidur. Sinar matahari menerobos melalui lapisan
tipis tirai. "Ini hari yang indah. Apa yang kalian berdua lakukan di dalam?"

"Bu, kami bukan gadis-gadis kecil," kata Lindy, memutar matanya. "Kami dua
belas tahun. Kami terlalu tua untuk pergi keluar dan bermain."

"Apa aku dapat itu semua?" tanya Kris, masih menggaruk potongan kecil permen
karet merah muda dari dagunya.

"Biarkan saja. Hal ini menambah bagus corak kulitmu," kata Lindy padanya.

"Kuharap kalian akan (bersikap) lebih baik untuk satu sama yang lain," kata Bu
Powell dengan mendesah.

Mereka tiba-tiba mendengar gonggongan nyaring datang dari lantai bawah.

"Apa Barky senang sekarang?" Bu Powell cemas. Anjing terrier hitam kecil itu
selalu menggonggong tentang sesuatu. "Mengapa tak mengajak Barky jalan-
jalan?"

"Jangan merasa seperti itu," gumam Lindy, menggerakkan hidungnya dalam


bukunya.

"Bagaimana dengan sepeda barumu yang indah yang kalian dapatkan pada ulang
tahun kalian?" kata Bu Powell, tangan di pinggul. "Sepeda-sepeda itu, kalian
agaknya tak bisa hidup tanpanya. Kalian tahu, yang satunya telah duduk di garasi
sejak kalian mendapatkannya."

"Baik, baik. Anda tak harus sinis, Bu," kata Lindy, menutup bukunya. Dia berdiri,
menggeliat, dan melemparkan buku itu ke tempat tidurnya.

"Kau ingin?" tanya Kris pada Lindy.

"Ingin apa?"

"Pergi naik sepeda. Kita bisa pergi ke taman bermain, melihat apa ada orang yang
nongkrong di sekolah."

"Kau hanya ingin melihat apa ada Robby," kata Lindy, nyengir.

"Jadi?" kata Kris, tersipu-sipu.

"Pergilah. Carilah udara segar," desak Bu Powell. "Sampai jumpa nanti. Aku pergi
ke supermarket."

Kris menatap ke dalam cermin meja rias. Dia mendapatkan sebagian besar
permen karet sudah lenyap. Dia menyisir rambut pendeknya ke belakang dengan
kedua tangan.

"Ayolah. Ayo kita pergi," katanya. "Yang terakhir keluar adalah telur busuk."

Dia melesat ke ambang pintu, mengalahkan saudaranya setengah langkah.

Saat mereka dengan mendadak muncul dari pintu belakang, Barky menyalak
nyaring di belakang mereka, matahari sore sudah tinggi di langit yang tak
berawan. Udara tenang dan kering. Rasanya lebih seperti musim panas daripada
musim semi.

Kedua gadis itu mengenakan celana pendek dan kaos tanpa lengan. Lindy
membungkuk untuk menarik membuka pintu garasi, lalu berhenti. Rumah
tetangga tertangkap matanya.

"Lihat - mereka menyelesaikan dindingnya," katanya Kris, menunjuk di halaman


belakang mereka.
"Rumah baru itu selesai begitu cepat. Sungguh menakjubkan," kata Kris mengikuti
tatapan saudarannya.

Para tukang bangunan merobohkan rumah tua itu selama musim dingin. Pondasi
beton baru telah diletakkan di bulan Maret. Lindy dan Kris telah berjalan-jalan
berkeliling pada saat tak ada pekerja di sana, mencoba untuk mencari tahu di
mana kamar-kamar yang berbeda akan diatur.

Dan sekarang dindingnya telah dibangun. Bangunan itu tiba-tiba tampak seperti
sebuah rumah yang sebenarnya, menjulang tinggi di tengah-tengah tumpukan
kayu, gundukan besar kotoran berwarna merah-coklat, tumpukan balok beton,
dan berbagai macam gergaji listrik, alat-alat, dan mesin.

"Hari ini tak ada yang bekerja," kata Lindy.

Mereka melangkah menuju rumah yang baru itu.

"Kaupikir siapa yang akan pindah?" Kris bertanya-tanya. "Mungkin beberapa pria
yang berwajah menarik seumur kita. Mungkin pria kembar yang tampan!"

"Yuck!" Lindy membuat wajah jijik. "Pria kembar. Bagaimana kau bisa
semelenceng itu? Aku tak percaya kau dan aku berada dalam keluarga yang
sama.!"

Kris jadi sasaran sindiran tajam Lindy itu. Kedua gadis kembar itu menyukai dan
membenci kekembaran mereka pada waktu yang sama. Karena mereka bersama-
sama hampir semuanya - penampilan mereka, pakaian mereka, kamar mereka -
mereka lebih dekat daripada saudara (mana pun) yang pernah ada.

Tetapi karena mereka begitu mirip, mereka juga berusaha untuk memaksa satu
dengan yang lainnya dengan (cara yang) gila di banyak waktu.

"Tak ada seorang pun di sekitar (ini). Ayo kita periksa rumah baru itu," kata Lindy.

Kris mengikutinya melintasi halaman.

Seekor tupai, setengah jalan menaiki batang lebar dari sebuah pohon maple,
mengawasi mereka dengan waspada.
Mereka berjalan melalui sebuah lubang di semak-semak rendah yang membagi
dua taman itu. Kemudian, berjalan melewati tumpukan kayu dan gundukan tanah
tinggi, mereka naik ke beranda beton.

Satu lembaran plastik berat telah dipaku atas lubang dimana (seharusnya ada)
pintu depan. Kris menarik salah satu ujung atas plastik, dan mereka menyelinap
ke dalam rumah.

Saat itu gelap dan dingin di dalam dan berbau kayu segar. Dinding telah berdiri
tetapi belum dicat.

"Hati-hati," kata Lindy. "Paku-paku."

Dia menunjuk ke paku-paku yang besar tersebar di lantai. "Jika kau menginjak
satu, kau akan kejang mulut dan mati."

"Keinginanmu," kata Kris.

"Aku tak ingin kau mati," jawab Lindy. "Hanya kejang mulut." Dia mencibir.

"Ha-ha," kata Kris sinis. "Ini harusnya jadi ruang tamu," katanya, berjalan dengan
hati-hati melintasi ruang depan ke perapian di dinding belakang.

"Satu langit-langit katedral," kata Lindy, menatap balok-balok kayu gelap di atas
kepala mereka terbuka. "Rapi."

"Ini lebih besar dari ruang tamu kita," kata Kris, mengintip dari jendela besar
bergambar itu ke jalan.

"Baunya luar biasa," kata Lindy, mengambil napas dalam-dalam. "Semua serbuk
kayu. Begitu berbau (kayu) pinus."

Mereka berjalan melalui lorong dan menjelajahi dapur.

"Apakah kabel-kabel itu menyala?" tanya Kris, menunjuk ke sekelompok kabel


listrik hitam yang tergantung di balok langit-langit.

"Mengapa kau tak menyentuh satu dan mencari tahu?" usul Lindy.
"Kau duluan," serang Kris kembali.

"Dapur ini tak terlalu besar," kata Lindy, membungkuk untuk menatap ke dalam
lubang (tempat) di mana lemari dapur seharusnya.

Dia berdiri dan hendak menyarankan mereka untuk memeriksa lantai atas ketika
dia mendengar suara.

"Hah?" Matanya membelalak kaget. "Apa ada seseorang di sini?"

Kris membeku di tengah-tengah dapur.

Mereka berdua mendengarkan.

Hening.

Kemudian mereka mendengar langkah-langkah cepat pelan. Dekat. Di dalam


rumah.

"Ayo kita pergi!" Lindy berbisik.

Kris sudah merunduk di bawah plastik, menuju pintu keluar yang terbuka. Dia
melompat dari beranda belakang dan mulai berlari menuju halaman belakang
mereka.

Lindy berhenti di bawah beranda dan berbalik kembali ke rumah baru itu.

"Hei - lihat!" panggilnya.

Seekor tupai terbang keluar jendela samping. Mendarat di tanah dengan keempat
kakinya bergerak dan bergegas menuju pohon maple di halaman (rumah) Powells
'.

Lindy tertawa. "Cuma tupai bodoh."

Kris berhenti di dekat semak-semak rendah. "Kau yakin?" Dia ragu-ragu, melihat
jendela rumah baru itu. "Itu seekor tupai yang cukup keras."

Ketika ia berbalik dari rumah itu, ia terkejut menemukan bahwa Lindy telah
lenyap.
"Hei - kemana kau pergi?"

"Di sini," kata Lindy. "Aku melihat sesuatu!"

Butuh waktu untuk Kris mencari saudaranya. Lindy setengah-tersembunyi di balik


kotak sampah besar hitam di ujung halaman.

Kris melindungi matanya dengan satu tangan untuk melihat lebih baik. Lindy
membungkuk di sisi tempat sampah itu. Dia tampak mengaduk-aduk sampah-
sampah itu.

"Ada apa di sana?" kata Kris.

Lindy sedang melemparkan benda-benda di sekitarnya dan tampaknya tak


mendengarnya.

"Apa itu?" kata Kris, dengan langkah enggan menuju tempat sampah itu.

Lindy tak menjawab.

Kemudian, perlahan-lahan, dia menarik sesuatu. Dia mulai untuk menahan benda
itu. Lengan dan kaki menjuntai lemas ke bawah. Kris bisa melihat kepala dengan
rambut cokelat.

Sebuah kepala? Lengan dan kaki?

"Oh, tidak!" Kris berteriak keras, mengangkat tangannya ke wajahnya dengan


ngeri.

Seorang anak?

Kris mengeluarkan hembusan napas pelan, menatap ngeri saat Lindy


mengangkatnya keluar dari sampah sampah.
Kris bisa melihat wajah orang itu, membeku dengan tatapan mata terbelalak.
Rambut cokelat orang itu berdiri kaku di atas kepalanya. Dia tampak mengenakan
semacam jas abu-abu. Lengan dan kakinya menjuntai lemas.

"Lindy!" panggil Keris, tenggorokannya ketat dengan ketakutan. "Apa itu - Apa dia
hidup...?"

Jantungnya berdebar kencang, Kris mulai berlari ke saudaranya. Lindy memeluk


benda malang itu di tangannya.

"Apakah dia hidup?" ulang Kris terengah-engah.

Dia berhenti sebentar ketika suadaranya mulai tertawa.

"Tidak. Tak hidup!" kata Lindy dengan gembira.

Dan lalu Kris sadar bahwa itu bukan anak-anak, setelah semuanya.

"Sebuah boneka!" jeritnya.

Lindy mengangkatnya. "Sebuah boneka ventriloquist (ahli bicara perut)," katanya.


"Seseorang membuangnya. Apa kau percaya? Dia dalam kondisi sempurna."

Butuh waktu beberapa saat bagi Lindy untuk melihat bahwa Kris itu terengah-
engah, wajahnya merah padam.

"Kris, apa masalahmu? Oh, wow. Apakah kau pikir dia benar-benar seorang
anak?" Lindy tertawa mengejek.

"Tentu saja tidak," desak Kris.

Lindy menahan boneka itu dan memeriksa punggungnya, mencari tali penarik
untuk membuat mulutnya bergerak.

"Aku benar-benar seorang anak!" Lindy membuat boneka itu berkata. Dia
berbicara dengan suara bernada tinggi dengan gigi terkatup, berusaha untuk tak
menggerakkan bibirnya.

"Bodoh," kata Kris, memutar matanya.


"Aku tak bodoh. Kau yang bodoh!" Lindy membuat boneka itu berkata dengan
suara tinggi melengking. Ketika dia menarik tali di punggungnya, bibir kayu itu
bergerak naik turun, berbunyi klik ketika digerakkan. Dia menggerakkan
tangannya ke atas punggungnya dan menemukan kontrol untuk membuat
matanya dicatnya bergeser dari sisi ke sisi.

"Dia mungkin dipenuhi dengan serangga," kata Kris, membuat wajah jijik. "buang
dia, Lindy."

"Tidak," desak Lindy, menggosok tangannya dengan lembut rambut boneka kayu
itu. "Aku akan menyimpannya."

"Dia akan menyimpanku," Lindy membuat boneka itu berkata.

Kris menatap curiga pada boneka itu. Rambut cokelat dicatnya di kepalanya.
Matanya yang biru bergerak hanya dari sisi ke sisi dan tak bisa berkedip. Dia
memiliki bibir dicat merah terang, melengkung ke atas menjadi senyum
menakutkan. Bibir bawahnya pada satu sisi sumbing hingga tak cukup cocok
dengan bibir atas.

Boneka itu mengenakan jas abu-abu berkancing ganda di atas kemeja berkerah
putih. Kerah itu tak melekat pada baju. Sebaliknya, dada boneka kayu itu dicat
putih. Sepatu kulit coklat besar yang melekat pada ujung kaki kurus kakinya yang
menggantung.

"Namaku Slappy," Lindy membuat perkataan bodoh, mulutnya menyeringai


bergerak naik dan turun.

"Bodoh," ulang Kris, menggelengkan kepala. "Kenapa Slappy?"

(Slap = menampar, menempeleng),

"Datanglah ke sini dan aku akan menamparmu!" Lindy membuatnya berkata,


mencoba untuk tak mengggerakkan bibirnya.

Keris mengerang. "Apa kita akan naik sepeda ke taman bermain atau tidak,
Lindy?"
"Kuatir Robby yang malang itu merindukanmu?" Lindy membuat Slappy bertanya.

"Letakkan benda jelek itu ," jawab Kris tak sabar.

"Aku tak jelek," kata Slappy dalam suara melengking Lindy itu, matanya meluncur
dari sisi ke sisi. "Kau yang jelek!"

"Bibirmu bergerak," kata Kris pada Lindy. "Kau pembicara perut yang buruk."

"Aku akan jadi lebih baik," desak Lindy.

"Maksudmu kau benar-benar akan menyimpannya?" teriak Kris.

"Aku suka Slappy. Dia manis," kata Lindy, memeluk boneka di bagian depan
kausnya.

"Aku manis," Dia membuat boneka itu berkata. "Dan kau jelek."

"Diamlah!," bentak Kris pada boneka itu.

"Kau yang tutup mulut!" Slappy menjawab dalam suara yang ketat Lindy,
melengking tinggi.

"Kau ingin menyimpannya untuk apa?" tanya Kris, mengikuti saudaranya ke jalan.

"Aku selalu menyukai boneka-boneka," kenang Lindy. "Ingat wayang-wayang


golek punyaku? Dulu aku bermain dengannya selama berjam-jam pada suatu
waktu. Aku memainkannya dengan lama."

"Aku juga selalu bermain dengan wayang-wayang golek itu," kenang Kris.

"Kau mengusutkan semua talinya," kata Lindy, mengerutkan keningnya. "Kau tak
baik dalam hal itu ."

"Tapi apa yang akan kau lakukan dengan boneka ini?" tuntut Kris.

"Aku tak tahu. Mungkin aku akan mengadakan satu pertunjukan," kata Lindy
berpikir, memindahkan Slappy dari satu lengan ke lengan yang lain. "Aku berani
bertaruh aku bisa mendapatkan uang dengannya. Kau tahu. Muncul di pesta
ulang tahun anak-anak. Mengadakan pertunjukan."
"Selamat ulang tahun!" Dia membuat Slappy berkata. "Serahkan uang!"

Kris tak tertawa.

Kedua gadis berjalan di sepanjang jalan di depan rumah mereka. Lindy memeluk
Slappy dalam lengannya, satu tangannya di punggungnya.

"Kupikir dia menyeramkan," kata Kris, menendang kerikil besar di seberang jalan.
"Kau harus mengembalikannya ke tempat sampah."

"Tidak," desak Lindy.

"Tidak," dia membuat Slappy berkata, menggelengkan kepala, matanya kaca


birunya bergerak dari sisi ke sisi. "Aku yang akan menempatkanmu di tempat
sampah!"

"Slappy pasti ada artinya," kata Kris, mengerutkan kening pada Lindy.

Lindy tertawa. "Jangan lihat aku," godanya. "Mengeluhlah kepada Slappy."

Keris merengut.

"Kau cemburu," kata Lindy. "Karena aku menemukannya dan kau tidak."

Kris mulai protes, tapi mereka berdua mendengar suara-suara. Kris mendongak
untuk melihat dua anak (keluarga) Marshall dari blok bawah berjalan ke arah
mereka. Mereka lucu, anak-anak berkepala merah yang kadang-kadang Lindy dan
Kris asuh.

"Apa itu?" tanya Amy Marshall, menunjuk Slappy.

"Apakah dia bicara?" tanya saudara laki-lakinya, Ben, tinggal beberapa kaki
jauhnya, ekspresi bimbang (tampak) di wajah berbintik-bintiknya.

"Hai, aku Slappy!" Lindy membuat boneka itu memanggil. Dia memeluk Slappy
dengan satu tangan, membuatnya duduk tegak, lengannya tergantung di sisi
tubuhnya.

"Dari mana kau mendapatkannya?" Tanya Amy.


"Apa matanya bergerak?" tanya Ben, masih tertinggal di belakang.

"Apa matamu bergerak?" tanya Slappy pada Ben.

Kedua anak-anak Marshall tertawa. Ben lupa keengganannya. Dia melangkah dan
meraih tangan Slappy itu.

"Aduh. Jangan begitu keras!" teriak Slappy.

Ben menurunkan tangannya dengan tergagap. Lalu ia dan Amy jatuh dalam tawa
gembira.

"Ha-ha-ha-ha!" Lindy membuatnya Slappy, memiringkan kepalanya ke belakang


dan membuka mulut lebar-lebar.

Kedua anak berpikir bahwa itu lucu. Mereka tertawa bahkan lebih keras.

Senang dengan respon yang didapatkannya, Lindy melirik saudaranya. Kris sedang
duduk di tepi jalan, memeluk kepalanya dengan tangannya, wajahnya tampak
kesal.

Dia cemburu, Lindy sadar. Kris melihat bahwa anak-anak benar-benar menyukai
Slappy dan aku mendapatkan semua perhatian. Dan dia benar-benar cemburu.

Aku pasti menjaga Slappy! Lindy berkata pada dirinya sendiri, diam-diam senang
dengan kemenangan kecilnya.

Dia menatap mata biru terang dicat boneka itu. Yang mengejutkan, boneka itu
tampak menatap ke arahnya, Sinar matahari berkerlip di matanya, senyumnya
lebar dan mengetahui.

"Siapa yang menelepon?" tanya Pak Powell, menyendokkan lagi sesuap spaghetti
ke dalam mulutnya.
Lindy menyelinap kembali ke tempatnya di meja. "Itu Bu Marshall, Dari blok
bawah."

"Apa dia ingin kau mengasuh bayi?" tanya Bu Powell, meraih mangkuk salad. Dia
berpaling pada Kris. "Kau tak ingin salad?"

Kris menyeka saus spaghetti dari dagunya dengan serbet. "Mungkin nanti."

"Tidak," jawab Lindy. "Dia ingin aku tampil. Pada pesta ulang tahun Amy. Dengan
Slappy."

"Pekerjaan pertamamu," kata Pak Powell, senyum melintasi wajahnya yang


ramping.

"Amy dan Ben begitu sangat menyukai Slappy, mereka bersikeras," kata Lindy.
"Bu Marshall akan membayarku dua puluh dolar."

"Itu bagus!" seru ibu mereka. Dia melewatkan mangkuk salad melewati meja
untuk suaminya.

Sudah seminggu sejak Lindy menyelamatkan Slappy dari tempat sampah sampah.
Setiap hari sepulang sekolah, ia menghabiskan berjam-jam di kamarnya berlatih
dengannya, bekerja pada suaranya, berlatih tak menggerakkan bibirnya,
memikirkan lelucon untuk tampil dengannya.

Kris tetap berkeras semua hal itu bodoh. "Aku tak percaya kau jadi seperti kutu
buku," katanya kepada saudaranya. Dia menolak untuk menjadi penonton untuk
rutinitas Lindy itu.

Tapi ketika Lindy membawa Slappy ke sekolah pada hari Jumat, sikap Kris mulai
berubah. Sekelompok anak-anak telah berkumpul di sekitar Lindy di luar lokernya.

Saat Lindy membuat Slappy berbicara untuk mereka, Kris menyaksikan dari ujung
lorong. Dia akan benar-benar akan mempermalukan dirinya sendiri, pikir Kris.

Tetapi dirinya terkejut, anak-anak bersorak dan berteriak-teriak. Mereka pikir


Slappy lucu. Bahkan Robby Martin, pria yang Kris taksir selama dua tahun, berpikir
Lindy itu hebat.
Menonton Robby tertawa bersama anak-anak lain yang membuat Kris berpikir
keras. Menjadi pembicara perut mungkin akan menyenangkan.

Dan menguntungkan. Lindy akan mendapatkan dua puluh dolar di pesta ulang
tahun Marshall. Dan ketika beritanya tersebar, dia mungkin akan tampil di banyak
pesta dan mendapat uang lebih banyak.

Setelah makan malam, Lindy dan Kris mencuci dan mengeringkan piringnya.
Kemudian Lindy bertanya pada orangtuanya apakah dia boleh mempraktekkan
komedi rutin barunya pada mereka. Dia bergegas ke kamarnya untuk mengambil
Slappy.

Pak dan Bu Powell mengambil tempat duduk di sofa ruang tamu.

"Mungkin Lindy akan menjadi bintang TV," kata Bu Powell.

"Mungkin," Pak Powell setuju, menetap kembali di sofa, wajahnya tersenyum


senang. Barky menyalak dan naik di antara Pak dan Bu Powell, potongan ekor
kecilnya bergoyang-goyang bersemangat.

"Kau tahu kau tak diizinkan di sofa," kata Bu Powell, mendesah. Tapi dia tak
bergerak untuk mengusir Barky.

Kris duduk menjauh dari yang lain, di lantai dekat anak tangga, memeluk dagu
dengan tangannya.

"Kau tampak murung malam ini," kata ayahnya.

"Bisakah aku mendapatkan boneka, juga?" tanya Kris. Dia tak benar-benar
merencanakan untuk mengatakannya. Permintaan itu hanya muncul keluar
(begitu saja) dari mulutnya.

Lindy kembali ke dalam ruangan, membawa Slappy di pinggang. "Siap?" tanyanya.


Dia menarik kursi ruang makan ke tengah ruang tamu dan duduk di atasnya.

"Nah, bisakah aku?" ulang Kris.

"Kau benar-benar ingin satu juga?" tanya Bu Powell, terkejut.


"Mau apa?" Lindy bertanya, bingung.

"Kris mengatakan dia ingin boneka juga," Bu Powell membeitahunya.

"Tidak," kata Lindy panas. "Mengapa kau ingin jadi seperti peniru?"

"Sepertinya menyenangkan," jawab Kris, pipinya berubah merah cerah. "Jika kau
dapat melakukannya, aku bisa melakukannya juga," tambahnya nyaring.

"Kau selalu meniru semua yang kulakukan," protes Lindy marah. "Kenapa kau tak
menemukan sesuatu sendiri untuk sekali? Pergilah ke atas dan kerjakan koleksi
perhiasan sampahmu itu. Itu hobimu. Biarkan aku menjadi pembicara perut itu."

"Gadis-gadis" - Pak Powell mulai, mengangkat tangan agar tenang - "tolong,


jangan berkelahi karena satu boneka."

"Aku benar-benar berpikir aku akan lebih baik dalam hal itu," kata Kris.
"Maksudku, Lindy tak sangat lucu."

"Semua orang berpikir aku lucu," desak Lindy.

"Itu tak sangat bagus, Kris," omel Bu Powell.

"Yah, aku hanya berpikir kalau Lindy punya satu, aku harus bisa punya satu, juga,"
kata Kris kepada orangtuanya.

"Peniru," ulang Lindy, menggelengkan kepala. "Kau telah merendahkanku turun


sepanjang minggu. Kau mengatakan itu adalah kutu buku Tapi aku tahu mengapa
kau berubah pikiran. Kau marah karena aku akan dapat uang dan kau tidak."

"Aku benar-benar berharap kalian berdua tak akan berdebat tentang segala hal,"
kata Pak Powell muak.

"Nah, bisakah aku punya boneka?" tanya Kris .

"Itu mahal," jawab Pak Powell, melirik istrinya. "Yang bagus harganya lebih dari
seratus dolar. Aku benar-benar tak berpikir kita mampu membeli satu sekarang."

"Mengapa kalian berdua tak berbagi Slappy ?" Saran Bu Powell.


"Hah?" Lindy mulut terganga terbuka sebagai protes.

"Kalian berdua selalu berbagi segalanya," lanjut Bu Powell. "Jadi kenapa kalian tak
berbagi Slappy?"

"Tapi, Bu -" rengek Lindy sedih.

"Ide bagus," sela Pak Powell. Dia menunjuk ke Kris. "Cobalah. Setelah kalian
berbagi akan dia untuk sementara waktu, aku yakin salah satu dari kalian akan
kehilangan minat dalam akan dia. Mungkin bahkan kalian berdua."

Kris naik berdiri dan berjalan ke Lindy. Dia mengulurkan tangan untuk boneka itu.
"Aku tak keberatan berbagi," katanya pelan, mencari persetujuan di mata
saudaranya akan ide itu. "Bisakah aku memegangnya cuma sebentar?"

Lindy memegang erat Slappy.


Tiba-tiba kepala boneka itu miring ke belakang dan mulutnya terbuka lebar.

"Pergilah, Kris!" ia menggeram dengan suara parau keras. "Pergi kau orang tolol
bodoh!"

Sebelum Kris bisa mundur, tangan kayu Slappy terangkat, dan ia menampar keras-
keras di wajah.

"Aduh!"

Kris menjerit dan mengangkat tangan ke pipinya, yang jadi merah muda cerah.
Dia melangkah mundur. "Hentikan, Lindy ! Itu menyakitkan!"

"Aku?" teriak Lindy. "Aku tak melakukannya! Slappy yang melakukannya!"

"Jangan bodoh," protes Kris, menggosok pipinya. "Kau benar-benar menyakitiku."


"Tapi aku tak melakukannya!" teriak Lindy. Dia memalingkan wajah Slappy pada
dirinya. "Mengapa kau begitu kasar pada Kris?"

Paj Powell melompat dari sofa. "Berhentilah berakting bodoh dan minta maaflah
pada saudaramu," perintahnya.

Lindy menundukkan kepala Slappy itu. "Maafkan aku," ia membuat boneka itu
berkata.

"Tidak. Dalam suaramu sendiri," desak Mr Powell, menyilangkan lengan di depan


dadanya. "Slappy tak menyakiti Kris. Kau yang menyakitinya."

"Oke, oke," gumam Lindy, tersipu-sipu. Dia menghindari tatapan marah


Kris."Maafkan aku. Ini.." Dia memberikan Slappy ke tangan Kris.

Kris begitu terkejut, dia hampir saja menjatuhkan boneka itu. Slappy lebih berat
dari yang ia bayangkan.

"Sekarang apa yang harus kulakukan dengan dia?" tanya Kris pada Lindy.

Lindy mengangkat bahu dan melintasi ruangan ke sofa, tempat ia menjatuhkan


diri di samping ibunya.

"Kenapa kau membuat keributan seperti itu?" bisik Bu Powell, bersandar dekat
dengan Lindy. "Itu sangat kekanak-kanakan."

Lindy tersipu. "Slappy milikku! Mengapa sesuatu tak bisa menjadi milikku sekali
waktu?"

"Kadang-kadang kalian begitu baik satu sama lain, dan kadang-kadang..." Suara Bu
Powell melemah.

Pak Powell mengambil tempat duduk di lengan kursi yang empuk di seberang
ruangan.

"Bagaimana aku membuat mulutnya berjalan?" tanya Kris, memiringkan boneka


terbalik turun untuk memeriksa punggungnya.
"Ada tali di punggungnya, di dalam celah dalam jaketnya," kata Lindy padanya
denan enggan. "Kau cukup menariknya."

Aku tak ingin Kris menjalankan Slappy, pikir Lindy dengan sedih.

Aku tak ingin berbagi Slappy.


Mengapa aku tak bisa memiliki sesuatu yang hanya jadi milikku? Mengapa aku
harus berbagi segalanya dengannya? Mengapa Kris selalu ingin meniruku?

Dia mengertakkan gigi dan menunggu kemarahannya memudar.

***

Kemudian malam itu, Kris duduk tegak di tempat tidur. Dia bermimpi buruk.
Aku dikejar-kejar, dia ingat, jantungnya masih berdebar. Dikejar oleh apa? Oleh
siapa?

Dia tak bisa ingat.

Dia melirik ke sekeliling ruang gelap, menunggu detak jantungnya kembali


normal. Ruangan terasa panas dan pengap, meskipun jendela terbuka dan tirai-
tirai berkibar-kibar.

Lindy berbaring tertidur di sampingnya di tempat tidur kembar di samping Kris.


Dia mendengkur pelan, bibirnya sedikit terbuka, rambut panjangnya jatuh lepas di
wajahnya.

Kris melirik jam radio - di atas meja tempat tidur di antara dua tempat tidur
kembar. Saat itu hampir tiga pagi.
Meskipun dia sekarang terjaga, mimpi buruk itu tak akan benar-benar memudar.
Dia masih merasa tak nyaman, sedikit takut, seolah-olah dia masih dikejar-kejar
oleh seseorang atau sesuatu. Bagian belakang lehernya terasa panas dan
berkeringat.
Dia berbalik dan menepuk-nepuk bantal, menyangganya lebih tinggi di ujung
tempat tidur. Saat ia berbaring di atasnya, sesuatu menarik perhatiannya.

Seseorang duduk di kursi di depan jendela kamar. Seseorang menatapnya.


Setelah bernapas keras, ia menyadari bahwa itu Slappy.

Sinar kuning bulan tertuang di atasnya, membuat tatapan matanya bercahaya.


Dia duduk di kursi, miring ke kanan agak berbelok, meletakkan satu tangan di
lengan kursi ramping.
Mulutnya terkunci dalam seringai lebar mengejek, matanya tampak menatap
tepat pada Kris.

Kris menatap kembali, mempelajari ekspresi boneka itu di bawah sinar bulan
kuning menakutkan. Kemudian, tanpa berpikir, tanpa menyadari apa yang dia
lakukan, dia diam-diam berdiri dari tempat tidur.

Kakinya terbelit seprai dan dia hampir tersandung. Menendang seprai pergi, ia
berjalan cepat melintasi ruangan ke jendela.

Slappy menatap ke arahnya saat bayangan Kris jatuh di atasnya. Senyumnya


tampak jadi lebih lebar saat Kris mendekat.

Embusan angin membuat tirai-tirai lembut itu berkibar di wajahnya. Kris


mendorongnya pergi dan menatap ke bawah pada kepala boneka yang dicat itu.

Dia mengulurkan tangan dan mengelus rambutku kayunya, bersinar di bawah


sinar bulan. Kepalanya terasa hangat, lebih hangat dari yang ia bayangkan.

Kris cepat menyentakkan tangannya menjauh.

Suara apa itu?

Apa Slappy mencibir? Apakah ia menertawakannya?

Tentu saja tidak.

Kris sadar bahwa ia terengah-engah.


Mengapa aku begitu panik karena boneka bodoh ini? pikirnya.

Di tempat tidur di belakangnya, Lindy membuat suara mendeguk dan berguling


telentang.
Kris menatap tajam ke mata besar Slappy itu, yang berkilauan dalam cahaya dari
jendela. Dia menunggu untuk berkedip atau untuk memutar matanya dari sisi ke
sisi.

Dia tiba-tiba merasa bodoh.

Dia hanya boneka kayu bodoh, pikirnya.

Dia mengulurkan tangan dan mendorongnya.

Tubuh kaku itu berayun ke samping. Kepala kerasnya itu membuat dok pelan
menghantam lengan kursi kayu.

Kris menunduk menatapnya, merasa kepuasan yang aneh, seolah-olah dia entah
bagaimana memberi boneka itu pelajaran.

Tirai-tirai itu berdesir menerpa wajahnya lagi. Dia mendorongnya pergi.

Merasa mengantuk, ia mulai kembali ke tempat tidur.

Dia hanya berjalan satu langkah ketika Slappy mengulurkan tangan dan meraih
pergelangan tangannya.

"Oh!" Saat tangan itu mempererat (cengkeramannya) di pergelangan tangannya,


Kris berteriak dan berputar.

Dia terkejut, Lindy meringkuk di sampingnya. Lindy memegang erat pergelangan


tangan Kris.

Kris menyentakkan tangannya dari genggaman Lindy itu.

Sinar bulan melalui jendela menyinari seringai iblis Lindy itu. "Kena lagi!" ia
menyatakan.
"Kau membuatku takut!" Kris bersikeras. Tapi suaranya yang keluar berbisik
gemetar.

"Kau melompat satu mil!" seru Lindy seru. "Kau benar-benar berpikir boneka itu
menyambarmu."

"Tidak!" jawab Kris. Dia bergegas ke tempat tidurnya.

"Apa yang kau lakukan, sih?" tuntut Lindy. "Apa kau bermain-main dengan
Slappy?"

"Tidak, aku... Eh... Mengalami mimpi buruk," kata Kris padanya. "Aku hanya pergi
untuk melihat keluar jendela."

Lindy tertawa terkekeh-kekeh. "Kau seharusnya melihat ekspresi wajahmu."

"Aku akan kembali tidur. Tinggalkan aku sendiri," bentak Kris. Dia menarik selimut
sampai ke dagu.

Lindy mendorong boneka itu kembali ke posisi duduk. Kemudian ia kembali ke


tempat tidurnya, masih terkekeh-kekeh atas ketakutan yang diberikannya pada
saudaranya.

Kris mengatur ulang bantalnya, lalu memandang ke seberang ruangan ke jendela.


Wajah boneka itu setengah tertutup dalam bayangan sekarang. Tapi matanya
bersinar seolah-olah ia hidup. Dan menatap padanya seolah-olah mencoba untuk
mengatakan sesuatu padanya.

Mengapa ia harus menyeringai seperti itu? Tanya Kris pada dirinya sendiri,
mencoba untuk menyeka keringat dinginnya yang terasa di bagian belakang
lehernya.

Dia menarik selimut, duduk di tempat tidur, dan berbaring miring, menjauhi
tatapan mata lebar itu.

Tetapi bahkan dengan punggungnya berbalik, dia bisa merasakan mata itu
menatapnya. Bahkan dengan mata tertutup dan menarik selimut ke kepala, dia
bisa membayangkan bayangan seringai terdistorsi, mata yang tak berkedip.
Menatapnya. Menatap. Menatap.

Dia hanyut ke dalam tidur yang tak nyaman, melayang ke mimpi buruk lainnya
yang gelap. Seseorang sedang mengejarnya. Seseorang yang sangat jahat itu
mengejarnya.

Tapi siapa?

***

Pada Senin sore, Lindy dan Kris keduanya tinggal setelah sekolah berlatih untuk
konser musim semi. Sudah hampir jam lima saat mereka tiba di rumah, dan
mereka terkejut melihat mobil ayah mereka di jalan masuk.

"Kau pulang begitu cepat!" seru Kris, menemukan ayahnya di dapur membantu
ibu mereka menyiapkan makan malam.

"Aku akan berangkat besok untuk sebuah konferensi penjualan di Portland," Pak
Powell menjelaskan sambil mengupas bawang di atas wastafel (bak cuci piring)
dengan pisau pengupas kecil. "Jadi hari ini aku hanya bekerja setengah hari."

"(Masak) apa untuk makan malam?" tanya Lindy.

"Roti daging," jawab Bu Powell, "jika ayah kalian bisa mengupas bawang."

"Ada trik untuk tak menangis saat kalian mengupas bawang," kata Pak Powell, air
mata bergulir di pipinya. "Seandainya aku tahu itu."

"Bagaimana latihan paduan suaranya?" tanya Bu Powell, meremas bola besar dari
gilingan merah daging sapi di tangannya.

"Membosankan," keluh Lindy, membuka lemari es dan mengambil sekaleng Coke.

"Ya. Kita menyanyikan semua lagu-lagu Rusia dan Yugoslavia,." Kata Kris. "Lagu-
lagu begitu sedih. Semuanya tentang domba atau sesuatu. Kami tak benar-benar
tahu apa isinya. Tak ada terjemahannya."
Pak Powell buru-buru ke wastafel dan mulai memercikkan air dingin di mata
merahnya yang berair. "Aku tak bisa menangani ini!" ratapnya. Dia melemparkan
setengah bawang yang dikupas kembali ke istrinya.

"Bayi cengeng," gumamnya, sambil menggeleng.

Kris menaiki tangga untuk menjatuhkan ranselnya di kamarnya. Dia melemparnya


ke meja tempat dia berbagi dengan Lindy, kemudian berbalik untuk kembali ke
bawah.

Tapi sesuatu di dekat jendela tertangkap matanya.

Berputar, ia terkesiap.

"Oh, tidak!" Seruan terkejut keluar dari bibirnya.

Kris mengangkat tangannya ke pipinya dan menatap tak percaya.

Slappy sedang bersandar di kursi di depan jendela sambil menyeringai dengan


tatapannya mata lebarnya yang biasanya. Dan duduk di sampingnya ada boneka
yang lain, juga menyeringai padanya.

Dan mereka berpegangan tangan.

"Apa yang terjadi di sini?" teriak Kris keras.

"Apa kau menyukainya?"

Pada awalnya, Kris berpikir bahwa Slappy-lah yang menanyakan pertanyaan itu.

Dia ternganga tak percaya tercengang.

"Nah? Apa pikiranmu tentangnya?"


Butuh waktu agak lama bagi Kris untuk menyadari bahwa suara itu datang dari
belakangnya. Dia berbalik dan melihat ayahnya berdiri di ambang pintu, masih
mengusap matanya dengan kain lap basah.

"Ini - boneka baru ini?" Kris tergagap.

"Dia untukmu," kata Pak Powell, melangkah ke ruangan, handuk basah menempel
di kedua mata.

"Sungguh?" Kris bergegas ke kursi dan mengambil boneka baru itu untuk
memeriksanya.

"Ada pegadaian kecil di sudut di seberang kantorku," kata Pak Powell,


menurunkan handuk. "Aku sedang berjalan melewatinya dan, percaya atau tidak,
pria ini di jendela. Ia juga murah. Kupikir si pemilik rumah gadai senang untuk
menyingkirkannya."

"Dia... Manis," kata Kris, mencari kata yang tepat. "Dia tampak seperti boneka
Lindy, kecuali rambutnya yang merah cerah, bukan cokelat."

"Mungkin dibuat oleh perusahaan yang sama," kata Pak Powell.

"Bajunya lebih baik dari punya Slappy itu," kata Kris, memegang boneka di lengan
panjangnya untuk dapat pandangan yang lebih baik. "Aku benci jas abu-abu
boneka Lindy bodoh itu."

Boneka yang baru mengenakan celana biru dari kain tebal dan kemeja dari kain
lembut berwarna merah dan hijau. Dan bukannya berpenampilan formal sepatu
cokelat mengkilap, dia punya sepatu putih tinggi di kakinya.

"Jadi kau menyukainya?" tanya Pak Powell, tersenyum.

"Aku mencintainya!" teriak Kris gembira. Dia menyeberangi ruangan dan


memeluk ayahnya.

Lalu ia mengambil boneka itu dan berlari keluar dari ruangan, menuruni tangga,
dan ke dapur. "Hei, semuanya! Temui Tuan Wood!" dia menyatakan dengan
gembira, memegang boneka menyeringai di depannya.
Barky menyalak gembira, melompat untuk menggigit di sepatu boneka. Kris
menarik boneka itu menjauh.

"Hei!" teriak Lindy terkejut. "Dari mana kau mendapatkannya?"

"Dari Ayah," kata Kris, seringainya lebih luas daripada bonekanya. "Aku akan
mulai berlatih dengannya setelah makan malam, dan aku akan menjadi pembicara
perut lebih baik daripadamu."

"Kris!" omel Bu Powell. "Semuanya bukan kompetisi, kau tahu!"

"Aku telah memiliki pekerjaan dengan Slappy," kata Lindy dengan mencibir
unggul. "Dan kau baru saja mulai. Kau hanya pemula."

"Tuan Wood jauh lebih tampan daripada Slappy," kata Kris, mencerminkan cibiran
saudara kembarnya. "Tuan Wood keren. Setelan abu-abu bonekamu itu neraka."

"Kaupikir kemeja tua jembel itu keren?" Lindy mendengus, membuat wajah jijik.
"Yuck. Boneka tua itu mungkin ada cacingnya!"

"Kau yang cacingan!" seru Keris .

"Bonekamu tak akan lucu," kata Lindy kejam, "karena kau tak punya selera
humor."

"Oh, ya?" jawab Kris, melemparkan Tuan Wood ke atas bahunya. "Aku pasti
punya selera humor. Aku bertaruh denganmu, aku tak akan (kalah)?"

"Peniru! Peniru!" Lindy berteriak marah.

"Keluar dari dapur!" Bu Powell memerintahkan dengan memekik tak sabar.


"Keluar! Keluar! Kalian berdua tak bisa dipercaya! Boneka-boneka itu punya
watak lebih baik dari kalian!"

"Trim's, Bu," kata Kris sinis.

"Panggil aku untuk makan malam," kata Lindy kembali. "Aku akan ke atas untuk
melatih penampilanku dengan Slappy untuk pesta ulang tahun pada hari Sabtu."
***

Itu adalah sore berikutnya, dan Kris duduk di meja rias yang dia berbagi dengan
Lindy. Kris mengaduk-aduk kotak perhiasan dan mengeluarkan untaian manik-
manik berwarna cerah yang lain. Dia menyelipkannya ke kepalanya dan
menguraikannya dari tiga untai manik-manik lain yang dipakainya. Lalu ia
menatap dirinya di cermin, menggelengkan kepalanya untuk melihat lebih baik,
anting-anting panjang yang berjuntai.

Aku suka koleksi perhiasan sampahku, pikirnya, menggali ke dalam kotak


perhiasan kayu untuk melihat harta lain apa yang bisa ia tarik keluar.

Lindy tak tertarik pada barang-barang itu. Tapi Kris bisa menghabiskan berjam-
jam mencoba manik-manik, memainkan jarinya ke puluhan perhiasan kecil (pada
kalung atau gelang), menggerakkan jari-jarinya di atas gelang-gelang plastik,
menggemerincingkan anting-anting. Koleksi perhiasannya selalu membuatnya
gembira.

Dia menggelengkan kepalanya lagi, membuat anting-anting bergemerincing lama.


Sebuah ketukan di pintu kamar tidur membuatnya berputar balik.

"Hei, Kris, bagaimana kabarmu?"

Temannya Cody Matthews melangkah ke dalam ruangan. Dia berambut pirang


putih yang lurus, dan mata abu-abu pucat di wajah rampingnya yang serius. Cody
selalu tampak seolah-olah dia tenggelam dalam pikirannya.

"Kau naik sepedamu ?" tanya Kris, mencopot beberapa untai manik-manik
sekaligus dan melemparkannya ke dalam kotak perhiasan.

"Tidak. Jalan kaki," jawab Cody. "Kenapa kau menelepon? Kau cuma ingin
nongkrong?"

"Tidak" Kris melompat berdiri. Dia berjalan ke kursi dekat jendela dan menyambar
Tuan Wood. "Aku ingin melatih aksiku."

Cody mengerang. "Aku binatang percobaan itu?"


"Tidak. Penonton. Ayo."

Dia membawanya ke pohon maple tua bengkok di tengah halaman belakangnya.


Sinar matahari sore baru saja mulai menurunkan dirinya di langit, yang cerah
musim semi-biru.
Dia mengangkat satu kaki ke batang pohon dan menyangga Tuan Wood di
lututnya. Cody telentang di tempat teduh.

"Katakan padaku jika ini adalah lucu," perintahnya.

"Oke. Mulai." Jawab Cody, menyipitkan mata berkonsentrasi.

Kris memutar Tuan Wood ke wajahnya.

"Bagaimana kabarmu hari ini?" tanyanya.

"Cukup bagus. Tok kayu," ia membuat boneka itu berkata.

Dia menunggu Cody untuk tertawa, tapi dia tak tertawa.

"Apa itu lucu?" tanyanya.

"Agak," jawabnya tanpa semangat. "Lanjutkan."

"Oke." Kris menunduk sehingga ia tatap muka dengan bonekanya. "Tuan Wood,"
katanya, "kenapa kau berdiri di depan cermin dengan mata tertutup?"

"Yah," jawab si boneka dengan suara bernada tinggi, melengking, "Aku ingin
melihat tampak seperti apa diriku saat aku tidur!"

Kris memiringkan kepala boneka itu kembali dan membuatnya tampak seolah-
olah ia tertawa.

"Bagaimana dengan lelucon itu?" tanyanya Cody.

Cody mengangkat bahu. "Lebih baik, kurasa."

"Ah, kau tak membantu!" jerit Kris marah. Dia menurunkan lengannya, dan Tuan
Wood jatuh ke pangkuannya. "Kau seharusnya memberitahuku jika itu lucu atau
tidak."
"Kurasa tidak," kata Cody serius.

Kris mengerang. "Aku perlu beberapa buku lelucon yang bagus," katanya. "Itu
saja. Beberapa buku humor yang bagus dengan beberapa lelucon yang benar-
benar lucu. Lalu aku akan siap untuk melakukan. Karena aku pembicara perut
yang cukup baik, kan?"

"Kurasa," jawab Cody, menarik segenggam rumput dan membiarkan, daun-daun


hijau yang lembab itu tersaring melalui jari-jarinya.

"Yah, aku tak menggerakkan bibirku banyak, kan?" tuntut Kris.

"Tak terlalu banyak," Cody memenuhi (tuntutan Kris). "Tapi kau tak benar-benar
membuang suaramu."

"Tak ada yang bisa membuang suaranya," kata Kris padanya. "Ini hanya ilusi. Kau
membuat orang-orang berpikir kau membuang suaramu. Kau tak benar-benar
membuangnya."

"Oh," kata Cody, menarik segenggam rumput.

Kris mencoba beberapa lelucon lagi.

"Bagaimana menurutmu?" tanyanya pada Cody.

"Kupikir aku harus pulang," kata Cody. Ia melemparkan segenggam rumput


padanya.

Kris meyikat daun-daun hijau dari kepala kayu Tuan Wood. Dia mengusap
tangannya dengan pelan ke rambut bercat merah boneks itu.

"Kau menyakiti perasaan Tuan Wood," katanya pada Cody.

Cody berdiri. "Mengapa kau ingin main dengan benda itu, sih?" tanyanya,
mendorong rambut putih pirangnya ke belakang dari dahinya.

"Karena menyenangkan," jawab Kris.

"Apakah itu alasan yang sebenarnya?" tuntut Cody.


"Yah.. Kukira aku ingin menunjukkan Lindy bahwa aku lebih baik daripadanya."

"Kalian berdua aneh!" Cody menyatakan. "Sampai ketemu di sekolah."

Dia melambai sedikit, lalu berbalik dan menuju rumahnya di blok ini.

***

Kris menarik selimut ke bawah dan naik ke tempat tidur. Cahaya pucat bulan
tersaring melalui jendela kamar tidur.

Sambil menguap, ia melirik jam-radio. Hampir jam sepuluh. Dia bisa mendengar
Lindy menggosok gigi di kamar mandi di seberang lorong.

Mengapa Lindy selalu bersenandung saat dia menyikat giginya? Kris bertanya-
tanya. Bagaimana bisa satu saudara kembar melakukan begitu banyak hal-hal
menjengkelkan?

Kris melirik Tuan Wood untuk terakhir kalinya. Dia bersandar di kursi di depan
jendela, tangannya dengan hati-hati diletakkan di pangkuannya, sepatu putih
menggantung di tepi kursi.

Dia terlihat seperti orang asli, pikir Kris mengantuk.

Besok aku akan memeriksa beberapa buku lelucon yang bagus dari perpustakaan
di sekolah. Aku bisa lebih lucu dari Lindy. Aku tahu aku bisa.

Dengan mengantuk, ia mengatur kembali bantalnya. Aku akan tidur segera


setelah kami mematikan lampu, pikirnya.

Beberapa detik kemudian, Lindy memasuki ruangan, mengenakan baju tidur dan
membawa Slappy di bawah satu lenganny.

"Kau tidur?" tanyanya pada Kris.

"Hampir," jawab Kris, menguap keras. "Aku sudah belajar untuk matematika akhir
semalaman. Kemana saja kau?."
"Selesai dari rumah Alice," kata Lindy padanya, mengatur Slappy di kursi di
samping Tuan Wood. "Beberapa anak sudah pulang, dan aku mempraktekkan
panampilanku pada mereka. Mereka tertawa begitu keras, kupikir mereka akan
robek ususnya. Saat Slappy dan aku bicara (dengan mulut bocor) rutin kami, Alice
menyemburkan susu coklat dari hidungnya. Lucu sekali! "

"Itu bagus," kata Kris tanpa antusias. "Kurasa kau dan Slappy siap untuk pesta
ulang tahun Amy pada hari Sabtu."

"Ya," jawab Lindy. Dia menempatkan lengan Slappy ke bahu Tuan Wood.

"Mereka tampak begitu manis bersama-sama," katanya. Lalu ia melihat pakaian


rapi tersampir di kursi.

"Apa itu?" tanya pada Kris.

Kris mengangkat kepalanya dari bantal untuk melihat apa yang ditunjuk oleh
saudaranya.

"Pakaianku untuk besok," kata Kris padanya. "Kami mengadakan pesta gaun di
kelas Bu Finch. Ini pesta perpisahan. Untuk Margot. Kau tahu. Guru siswa."

Lindy menatap pakaian. "Rok Betsey Johnsonmu? Blus sutramu?"

"Kami harus benar-benar berdandan," kata Kris, menguap. "Bisakah kita tidur
sekarang?"

"Ya. Tentu." Lindy berjalan ke tempat tidur, duduk, dan mematikan lampu tidur-
meja. "Apakah kau jadi lebih baik dengan Tuan Wood?" tanyanya, naik di antara
kain seprai.

Keris merasa perih oleh pertanyaan itu. Itu jelas semacam ejekan.

"Yah, aku jadi benar-benar bagus, Aku melakukan beberapa hal untuk Cody. Di
halaman belakang. Cody tertawa begitu keras, ia tak bisa bernapas. Sungguh. Dia
memegang pinggangnya. Dia mengatakan Tuan dan aku harusnya masuk TV. "
"Sungguh?" jawab Lindy setelah ragu-ragu beberapa saat itu. "Itu aneh. Aku tak
pernah berpikir Cody memiliki banyak selera humor. Dia selalu begitu muram. Aku
tak berpikir aku pernah melihatnya tertawa."

"Yah, dia tertawa pada Tuan Wood dan aku," desak Kris, berharap dia
pembohong yang lebih baik.

"Mengagumkan," gumam Lindy. "Aku tak bisa menunggu untuk melihat


penampilanmu."

Demikian pula aku, pikir Kris murung.

Beberapa detik kemudian, mereka berdua tertidur.

***

Suara ibu mereka, memanggil dari lantai bawah, membangunkan mereka ja, tujuh
keesokan paginya. Cerah, sinar matahari pagi-oranye yang cerah tertuang ke
dalam melalui jendela. Kris bisa mendengar burung berkicau gembira di pohon
maple tua.

"Bangun dan bersiap-siaplah. Bangun dan bersiap-siaplah!" Setiap pagi, Bu Powell


berteriak kata-kata yang sama.

Kris mengusap kantuk dari matanya, kemudian mengulurkan lengan tinggi-tinggi


di atas kepalanya. Dia memandang ke seberang ruangan, kemudian terkesiap
pelan.

"Hei - apa yang terjadi?" Dia mencapai ke tempat tidur Lindy dan mengguncang-
guncang bahu Lindy. "Apa yang terjadi?"

"Hah?" Lindy, kaget, duduk tegak.

"Lelucon apa itu? Dimana dia?" tuntut Kris.

"Hah?"
Kris menunjuk kursi di seberang ruangan.

Duduk lurus di kursi, Slappy menyeringai kembali pada mereka, bermandikan


sinar matahari pagi.

Tapi Tuan Wood sudah lenyap.

Kris berkedip beberapa kali dan mendorong dirinya naik dari tempat tidur dengan
kedua tangannya. Tangan kirinya kesemutan. Dia pasti tidur di atasnya, ia
menyadari.

"Apa? Apa yang salah?" tanya Lindy, suaranya berkabut dengan ngantuk.

"Mana Tuan Wood?" tuntut Kris tak sabar. "Di mana kau meletakkannya?"

"Hah? Meletakkannya??" Lindy berusah untuk memusatkan matanya. Dia melihat


Slappy duduk kaku di kursi di seberang ruangan. Dirinya sendiri.

"Ini tak lucu," bentak Kris. Dia turun dari tempat tidur, menarik turun ujung tidur,
dan berjalan dengan cepat ke kursi di depan jendela. "Apakah kau tak pernah
bosan bermain lelucon bodoh?"

"Lelucon? Hah?" Lindy menurunkan kakinya ke lantai.

Kris membungkuk untuk mencari di lantai di bawah kursi. Lalu dia pindah ke kaki
tempat tidur dan berlutut padanya untuk mencari di bawah kedua tempat tidur
kembar itu.

"Di mana dia, Lindy?" tanyanya dengan marah, berlutut di kaki tempat tidur. "Aku
tak berpikir ini lucu. Aku benar-benar tak berpikir ini lucu."

"Yah, aku juga tidak," Lindy bersikeras, berdiri dan menggeliat.


Kris berdiri. Matanya terbelalak saat ia melihat boneka yang hilang itu.

"Oh!"

Lindy mengikuti tatapan terkejut saudaranya.

Tuan Wood tersenyum pada mereka dari ambang pintu. Dia tampak berdiri,
kakinya yang kurus membungkuk pada sudut yang aneh.

Dia mengenakan pakaian gaun Kris, rok Betsey Johnson dan blus sutra.

Mulut Kris terbuka lebar karena terkejut, ia melangkah cepat ke pintu. Dia segera
melihat bahwa boneka itu tak benar-benar berdiri sendiri. Dia bersandar, kenop
pintu terdorong ke dalam lubang di punggungnya.

Dia meraih boneka itu di pinggang dan menariknya menjauh dari pintu.

"Blusku. Ini jadi kusut." Teriaknya, menahannya hingga Lindy bisa melihat. Dia
menyipitkan mata marah pada saudaranya. "Kau ini sangat menjengkelkan,
Lindy."

"Aku?" jerit Lindy. "Aku bersumpah, Kris, aku tak melakukannya. Aku tidur seperti
batu tadi malam. Aku tak bergerak. Aku tak bangun sampai kau
membangunkanku. Aku tak melakukannya. Sungguh!"

Kris menatap tajam pada adiknya, kemudian menurunkan matanya ke boneka itu.

Dalam blus dan rok, Tuan Wood menyeringai ke arahnya, seakan menikmati
kebingungan itu.

"Yah, Tuan Wood," kata Kris keras-keras, "Kurasa kau yang memakai pakaianku
dan berjalan ke pintu dengan sendirian!"

Lindy mulai mengatakan sesuatu. Tapi suara ibu mereka dari lantai bawah
mengganggu. "Apa kalian pergi ke sekolah hari ini? Di mana kalian? Kalian
terlambat!"

"Kami datang!" seru Kris ke bawah, melirik marah pada Lindy. Dengan hati-hati ia
mengatur Tuan Wood telentang di tempat tidurnya dan menarik roknya dan blus
darinya. Dia mendongak untuk melihat Lindy aksi gila di seberang lorong untuk
jadi yang pertama di kamar mandi.

Sambil mendesah, Kris menatap Tuan Wood. Boneka itu menyeringai ke arahnya,
menyeringai nakal.

"Nah? Apa yang terjadi?" tanyanya pada boneka itu. "Aku tak memakaikanmu
pakaian dan menggerakkanmu. Dan Lindy bersumpah dia tak melakukannya.."

Tetapi jika kami tak melakukannya, pikirnya, siapa pelakunya?

"Miringkan kepala ke depan," perintah Lindy. "Itu saja. Jika kau memantulkannya
sedikit ke atas dan ke bawah, itu akan membuatnya tampak sepertinya dia
tertawa.."

Kris menurut memantulkan Tuan Wood di pangkuannya, membuatnya tertawa.

"Jangan menggerakkan mulutnya begitu banyak," kata Lindy padanya.

"Kurasa kalian berdua gila," kata Alice teman Lindy.

"Jadi apa lagi yang baru?" Cody bercanda.

Mereka berempat duduk di sebidang tanah kecil yang teduh di bawah pohon
maple tua membungkuk di halaman belakang rumah Powell. Itu adalah hari Sabtu
sore yang panas, matahari tinggi di langit biru yang pucat, lapisan cahaya kuning
tersaring turun melalui dedaunan berpindah di atas kepala mereka.

Barky sibuk mengendus-endus di sekitar halaman, ekor kecilnya bergoyang-


goyang tanpa henti.

Kris duduk di kursi lipat, bersandar di bonggol batang pohon. Tuan Wood di
pangkuannya.
Lindy dan Alice berdiri di tepi tempat teduh, tangan mereka bersilang di dada
mereka, melihat penampilan Kris dengan kerutan kening berkonsentrasi di wajah
mereka.

Alice seorang gadis tinggi kurus, dengan rambut hitam lurus ke bahunya, hidung
pendek lagi mancung, dan mulut manis berbentuk hati. Dia memakai celana
pendek putih dan atasan biru terang.

Cody telentang di rumput, tangan di belakang kepala, sehelai rumput panjang di


antara giginya.

Kris mencoba untuk memamerkan keterampilan bicara perutnya. Tapi Lindy terus
menyela dengan saran "membantu"nya. Saat dia tak membuat saran, Lindy gugup
melirik arlojinya. Dia tak ingin terlambat untuk pekerjaannya di pesta ulang tahun
Amy jam dua nanti.

"Kurasa cara kalian aneh," kata Alice pada Lindy.

"Hei, sama sekali tidak," jawab Lindy. "Slappy begitu menyenangkan. Dan aku
akan membuat banyak uang dengannya. Dan mungkin aku akan menjadi bintang
komedi atau yang lain ketika aku lebih tua." Dia melirik jam tangannya lagi.

"Yah, semua orang di sekolah berpikir bahwa kalian berdua yang aneh," kata
Alice, memukul lalat dari lengan telanjangnya.

"Siapa yang peduli?" jawab Lindy tajam. "Mereka semua juga aneh."

"Dan begitu juga kau," Kris membuat tuan Wood berkata.

"Aku bisa melihat bibirmu bergerak," kata Lindy pada Kris.

Kris memutar matanya. "Yang benar saja. Kau telah memberiku waktu yang sulit
sepanjang pagi ini."

"Hanya mencoba membantu," kata Lindy. "Kau tak harus begitu defensif
(bertahan/membela diri), bukan?"

Kris mengeluarkan geraman marah.


"Apa itu perutmu?" dia membuat Tuan Wood berkata.

Cody tertawa.

"Setidaknya satu orang berpikir kau lucu," kata Lindy datar. "Tapi jika kau ingin
melakukan pesta, kau benar-benar harus dapat beberapa lelucon yang lebih baik."

Kris membiarkan boneka itu merosot dipangkuannya. "Aku tak bisa menemukan
buku-buku lelucon yang bagus," katanya sedih. "Di mana kau menemukan
leluconmu?"

Sebuah mencibir unggul terbentuk di wajah Lindy itu. Dia mengibaskan rambut
panjang belakang bahunya.

"Aku membuat leluconku sendiri," jawabnya angkuh.

"Kau itu lelucon!" kata Cody men.

"Ha-ha. Ingatkan aku untuk tertawa nanti." Kata Lindy sinis.

"Aku tak percaya kau tak bawa boneka di sini," kata Alice pada Lindy. "Maksudku,
kau tak ingin berlatih untuk pesta?"

"Tak perlu," jawab Lindy. "Aku punya aksiku. Aku tak ingin berlebihan berlatih."

Kris mengerang keras.

"Beberapa orangtua lain yang tinggal di pesta ulang tahun untuk menonton
Slappy dan aku," lanjut Lindy, mengabaikan kesinisan Kris. "Jika anak-anak
menyukaiku, orang tua mereka bisa menyewaku untuk pesta mereka."

"Mungkin kau dan Kris harus melakukan aksi bersama-sama," usul Alice. "Itu bisa
benar-benar keren."

"Ya! Beraksi! Lalu akan ada empat boneka!." canda Cody.

Hanya Alice yang tertawa.

Lindy mencibir pada Cody. "Itu mungkin benar-benar menyenangkan," katanya


serius. Dan kemudian ia menambahkan, "Saat Kris sudah siap."
Kris menarik napas dan siap untuk membalas marah.

Tapi sebelum dia bisa mengatakan apa-apa, Lindy meraih Tuan Wood dari
tangannya.

"Ayo aku beri beberapa petunjuk," kata Lindy, meletakkan satu kakinya di kursi
lipat Kris dan mengatur Tuan Wood di pangkuannya. "Kau harus menahan dia
tegak, seperti ini."

"Hei - berikan kembali," tuntut Kris, meraih boneka itu.

Saat ia mengulurkan tangan, Tuan Wood tiba-tiba menundukkan kepalanya


sampai ia menatap ke arahnya.

"Kau brengsek!" ia mengeluarkan suara jengkel di wajah Kris, berbicara dengan


menggeram, serak pelan.

"Hah?" Keris mundur terkejut.

"Kau bodoh brengsek!" Tuan Wood mengulangi dengan kejam dalam geraman
keras yang sama.

"Lindy - hentikan!" teriak Kris.

Cody dan Alice keduanya menatap ternganga kaget.

"Goblok bodoh! Pergi! Pergilah, brengsek bodoh!" boneka itu berteriak serak di
wajah Kris.

"Wah!" seru Cody.

"Suruh dia berhenti!" teriak Kris pada saudaranya.

"Aku tak bisa!" Lindy berseru dengan suara gemetar. Wajahnya jadi pucat,
matanya melebar ketakutan. "Aku tak bisa membuatnya berhenti, Kris. Dia - dia
bicara untuk dirinya sendiri!"
9

Boneka itu menatap Kris, ia tersenyum jelek dan jahat.

"Aku - Aku tak bisa menghentikannya. Aku tak melakukan itu," teriak Lindy.
Menarik dengan sekuat tenaga, dia menarik Tuan Wood keluar dari wajah Kris.

Cody dan Alice saling memandang kebingungan.

Ketakutan, Kris bangkit dari kursi lipat dan bersandar pada batang pohon. "Dia -
dia bicara sendiri?" Dia menatap tajam pada boneka yang menyeringai itu.

"Ku - kurasa begitu. Aku campur aduk semuanya....!" Lindy menyatakan, pipinya
jadi merah muda cerah.

Barky menggonggong dan melompat di kaki Lindy, berusaha untuk mendapatkan


perhatiannya. Tapi ia terus menatap ketakutan di wajah Kris.

"Ini lelucon - bukan?" tanya Cody penuh harap.

"Apa yang terjadi?" tuntut Alice, tangan bersedekap di depan dada.

Mengabaikan mereka, Lindy menyerahkan Tuan Wood kembali ke Kris.

"Ini. Bawa dia. Dia milikmu. Mungkin kau bisa mengontrolnya."

"Tapi, Lindy -" Kris mulai protes.

Lindy melihat jam tangannya. "Oh, tidak! Pestaku! Terlambat!"

Menggelengkan kepala, ia meninggalkan ke rumah. "Sampai jumpa!" teriaknya


tanpa melihat ke belakang.

"Tapi Lindy -" panggil Kris.

Pintu dapur terbanting oleh Lindy.

Memegang bahu Tuan Wood, Kris menurunkan matanya ke wajah boneka itu. Dia
menyeringai ke arahnya, seringai jahat, matanya menatap tajam kepadanya.
***

Kris berayun pelan-pelan, bersandar dan mengangkat kakinya ke udara. Rantai


berderit di setiap ayunan. Ayunan tua di halaman belakang, setengah ditutupi
dengan karat, tak banyak digunakan dalam beberapa tahun terakhir.

Matahari sore itu turun di belakang rumah. Aroma ayam panggang melayang
keluar dari jendela dapur. Kris bisa mendengar ibunya sibuk di dapur menyiapkan
makan malam.

Barky menyalak di bawahnya. Kris menjatuhkan kakinya ke tanah dan


menghentikan ayunan untuk menghindari membenturnya. "Anjing bodoh. Apa
kau tak tahu kau bisa terluka?"

Dia mendongak untuk melihat Lindy datang berlari di jalan masuk, memegang
Slappy bawah lengannya. Dari senyum di wajah Lindy itu, Kris tahu seketika
bahwa pesta ulang tahun itu sukses. Tapi bagaimanapun juga dia harus bertanya.
"Bagaimana?"

"Ini sangat mengagumkan!" Lindy seru. "Slappy dan aku yang hebat!"

Kris menarik dirinya dari ayunan dan memaksakan senyum di wajahnya. "Itu
bagus," katanya tawar.

"Anak-anak menganggap kami lucu!" Lindy melanjutkan. Dia menarik Slappy atas.
"Bukan begitu, Slappy?"

"Mereka menyukaiku. Membencimu!." kata Slappy dalam suara bernada tinggi


Lindy itu.

Kris memaksakan diri tertawa. "Aku senang itu berjalan lancar," katanya,
berusaha keras untuk jadi sportif.

"Aku terus bernyanyi bersama Slappy, dan itu berjalan dengan sangat baik. Lalu
Slappy dan aku bicara cepat rutin kami. Sukses sekali!" kata Lindy dengan
perasaan tak terkendali.
Dia menyebarkannya agak berlebihan, Kris berpikir pahit. Kris tak bisa menahan
perasaan cemburu.

"Semua anak semua untuk berbicara dengan Slappy," lanjut Lindy. "Bukan begitu,
Slappy?"

"Semua orang mencintaiku," ia membuat boneka itu berkata. "Mana bagian


jarahanku?"

"Jadi, kau dapat bayaran dua puluh dolar?" tanya Kris, menendang gumpalan
rumput.

"Dua puluh lima," jawab Lindy. "Ibu Amy mengatakan aku begitu baik, dia akan
membayarku lebih. Oh. Dan tebak apa lagi? Kau tahu Nyonya Evans? Wanita yang
selalu memakai celana kulit macan tutul? Kau tahu - Ibu Anna? Dia memintaku
untuk melakukannya di pesta Anna berikutnya Minggu. Dia akan membayarku
tiga puluh dolar. Aku akan menjadi kaya! ".

"Wow. Tiga puluh dolar." Gumam Kris, menggelengkan kepala.

"Aku dapat dua puluh. Kau dapat sepuluh," Lindy membuat Slappy berkata.

"Aku harus pergi memberitahu Ibu kabar baik ini!" Lindy kata. "Apa yang telah kau
lakukan sepanjang sore ini?"

"Nah, setelah kau pergi, aku cukup kesal," jawab Kris, mengikuti Lindy ke rumah.
"Kau tahu. Tentang Tuan Wood - Aku menempatkannya di lantai atas. Alice dan
Cody pulang. Lalu Mama dan aku pergi ke mal."

Dengan ekornya bergoyang-goyang marah, Barley berlari tepat di atas kakinya,


keduanya hampir tersandung.

"Barley, hati-hati!" teriak Lindy.

"Oh. Aku hampir lupa," kata Kris, berhenti di beranda belakang."Sesuatu yang
baik terjadi."

Lindy berhenti juga. "Sesuatu yang baik?"


"Ya aku berlari ke Bu Berman di mal." Bu Berman adalah musik guru dan
penyelenggara konser musim semi.

"Menggairahkan," jawab Lindy sinis.

"Dan Bu Berman bertanya apakah Tuan Wood dan aku ingin menjadi pembawa
acara untuk konser musim semi." Kris tersenyum pada saudaranya.

Lindy menelan ludah. "Dia memintamu jadi pembawa acara konser?"

"Ya. Aku dengan Tuan Wood akan tampil di depan semua orang!" Kris
menyembur gembira. Dia melihat kilatan cemburu di wajah Lindy, yang
membuatnya lebih bahagia.

Lindy membuka layar pintu. "Yah, semoga beruntung," katanya datar. "Dengan
boneka anehmu, kau akan membutuhkannya."

***

Makan malam dihabiskan untuk berbicara tentang kerja Lindy di pesta ulang
tahun Amy Marshall. Lindy dan Bu Powell mengobrol penuh semangat. Kris
makan dengan diam.

"Pada awalnya kupikir semuanya aneh, aku harus akui," kata Bu Powell,
menyendoki es krim ke dalam mangkuk untuk makanan penutup.

"Aku tak bisa percaya kau akan tertarik dengan bicara perut, Lindy. Tapi kurasa
kau punya bakat untuk itu. Kukira kau punya bakat tertentu."

Lindy berseri-seri. Bu Powell biasanya tak memberi pujian besar.

"Aku menemukan sebuah buku di perpustakaan sekolah tentang berbicara


dengan perut," kata Lindy. "Ada beberapa tips yang cukup bagus di dalamnya.
Bahkan ada rutinitas komedi untuk ditampilkan." Dia melirik Kris. "Tapi aku suka
mengarang leluconku sendiri lebih baik."
"Kau harusnya melihat penampilan saudaramu," kata Bu Powell pada Kris, sambil
menyerahkan semangkuk es krim. "Maksudku, kau mungkin bisa mengambil
beberapa petunjuk untuk konser di sekolah."

"Mungkin," jawab Kris, mencoba untuk menyembunyikan betapa jengkelnya dia.

Setelah makan malam, Pak Powell menelpon dari Portland, dan mereka semua
berbicara dengannya. Lindy bercerita tentang keberhasilannya dengan Slappy di
pesta ulang tahun. Kris bercerita tentang diminta untuk menjadi tuan rumah
konser dengan Tuan Wood. Ayahnya berjanji bahwa ia tak akan menjadwalkan
perjalanan apa pun sehingga ia bisa menghadiri konser.

Setelah menonton video yang ibu mereka sewa di mal, dua saudara perempuan
itu naik ke kamar mereka. Itu sedikit di atas jam sebelas.

Kris menyalakan lampu. Lindy mengikutinya masuk.

Mereka berdua memandang ke seberang ruangan ke kursi tempat mereka


menyimpan dua boneka itu - dan terkesiap.

"Oh, tidak!" teriak Lindy, mengangkat satu tangan ke mulutnya yang terbuka
lebar.

Sebelumnya, malam itu, boneka-boneka telah ditempatkan berdampingan dalam


posisi duduk.

Tapi sekarang Slappy terbalik, jatuh dari kursi, kepalanya di lantai. Sepatu
cokelatnya telah ditarik dari kakinya dan dilemparkan ke dinding. Jasnya telah
ditarik setengah lengan, tangannya terjerat di belakang punggungnya.

"L-lihat!" Kris tergagap, meskipun saudaranya sudah menatap dengan ngeri di


tempat kejadian itu. "Tuan Wood - dia..." Suara Kris tersangkut di
tenggorokannya.

Tuan Wood tergeletak di atas Slappy. Tangannya melingkari leher Slappy, seolah-
olah ia mencekiknya.
10

"Aku - aku tak percaya ini!" Kris berhasil berbisik. Dia berbalik dan menangkap
ekspresi ketakutan di wajah Lindy itu.

"Apa yang terjadi?" teriak Lindy.

Kedua saudara bergegas melintasi ruangan. Kris meraih bagian belakang leher
Tuan Wood dan menariknya dari boneka lainnya. Dia merasa seolah-olah
memisahkan dua anak laki-laki yang sedang berkelahi.

Dia memegang Tuan Wood di depannya, memeriksa dengan hati-hati, menatap


wajahnya seakan setengah berharap dia untuk berbicara dengannya.

Lalu ia menurunkan boneka itu dan melemparkannya tertelungkup ke tempat


tidur. Wajahnya pucat dan tegang dengan ketakutan.

Lindy membungkuk dan mengambil sepatu cokelat Slappy dari lantai. Dia
mengangkat dan memeriksanya, seolah-olah itu akan memberikan petunjuk
mengenai apa yang telah terjadi.

"Kris - kau yang melakukan ini?" tanya Lindy lirih.

"Hah. Aku?" Keris bereaksi dengan terkejut.

"Maksudku, aku tahu kau iri Slappy dan aku -" Lindy memulai.

"Wah. Tunggu sebentar,." Jawab Kris marah dengan suara melengking gemetar.
"Aku tak melakukan ini, Lindy. Jangan menuduhku."

Lindy menatap saudaranya, mengamati wajahnya. Kemudian ekspresinya


melembut dan ia mendesah. "Aku tak mengerti. Aku tak mengerti ini. Lihatlah
Slappy. Dia hampir terkoyak-koyak."

Dia mengatur sepatu di atas kursi dan mengambil boneka dengan pelan seolah-
olah mengambil bayi. Menahannya di satu tangan, ia berusaha menarik jasnya
dengan yang lain.
Kris mendengar sesuatu saudaranya bergumam. Ini terdengar seperti "Bonekamu
jahat."

"Apa katamu?" tuntut Kris.

"Tidak," jawab Lindy, masih berjuang dengan jaket. "Aku... Eh... Aku agak takut
tentang hal ini," aku Lindy, tersipu, menghindari mata Kris.

"Aku juga," aku Kris. "Sesuatu yang aneh yang terjadi kupikir kita harus
memberitahu Ibu.."

Lindy mengancingkan jaket. Kemudian dia duduk di tempat tidur dengan Slappy di
pangkuannya dan mulai untuk memasang lagi sepatu boneka itu.

"Ya kurasa. Kita harus," jawabnya. "Itu - itu begitu menyeramkan."

***

Ibu mereka di tempat tidur, membaca novel Stephen King. Kamarnya itu gelap
kecuali lampu baca kecil di ujung tempat tidur yang menyorotkan cahaya kuning
kecil segitiga.

Bu Powell menjerit pendek saat dua putrinya muncul keluar dari bayang-bayang.
"Oh, kalian membuatku terkejut. Ini suatu buku yang menakutkan, dan kupikir
aku sepertinya akan tertidur."

"Bisakah kita bicara?" tanya Kris bersemangat dalam bisikan rendah.

"Sesuatu yang aneh sedang terjadi," tambah Lindy.

Bu Powell menguap dan menutup bukunya. "Apa yang salah?"

"Ini tentang Tuan Wood," kata Kris. "Dia telah melakukan banyak hal aneh."

"Hah?" Mata Bu Powell terbuka lebar. Dia tampak pucat dan lelah di bawah
cahaya tajam dari lampu baca.

"Dia mencekik Slappy," Lyndi melaporkan. "Dan sore ini, ia mengatakan beberapa
hal benar-benar kotor Dan -."
"Hentikan!" perintah Bu Powell, mengangkat satu tangan. "Benar-benar
hentikan."

"Tapi, Bu -" Kris memulai.

"Yang benar saja, anak-anak," kata ibu mereka letih. "Aku bosan dengan
kompetisi konyol kalian ini."

"Kau tak mengerti," sela Lindy.

"Ya, aku mengerti," kata Bu Powell tajam. "Kalian berdua bahkan bersaing dengan
mereka boneka bicara perut itu."

"Bu, tolong!"

"Aku ingin ini berhenti sekarang," desak Bu Powell, melemparkan buku itu ke
meja tempat tidurnya.

"Maksudku aku tidak ingin mendengar kata-kata lain dari salah satu kalian
tentang boneka-boneka itu. Jika kalian berdua memiliki masalah, bereskan di
antara kalian sendiri."

"Bu, dengar -"

"Dan jika kalian tak bisa menyelesaikan itu, aku akan menjauhkan boneka-boneka
itu. Keduanya. Aku serius." Bu Powell meraih ke atas kepalanya dan mematikan
lampu baca, membuat ruangan dalam kegelapan. "Selamat malam," katanya.

Para gadis itu tak punya pilihan selain meninggalkan ruangan. Mereka menyelinap
ke lorong dalam keheningan.

Kris ragu-ragu di ambang pintu kamar tidur mereka. Dia mengira akan
menemukan Tuan Wood mencekik Slappy lagi. Dia menarik napas lega saat ia
melihat dua boneka di tempat tidur di mana mereka telah ditinggalkan.

"Ibu tak terlalu membantu," kata Lindy datar, memutar matanya. Dia mengambil
Slappy dan mulai untuk mengatur dia di kursi di depan jendela.
"Kurasa dia sedang tidur dan kita membangunkannya," jawab Kris.
Ia mengangkat Tua Wood dan mulai menuju kursi dengannya - lalu berhenti. "Kau
tahu apa yang kupikirkan? Aku akan menempatkannya di lemari malam ini,"
katanya serius.

"Ide bagus," kata Lindy, naik ke tempat tidur.

Kris melirik boneka itu, setengah berharap dia untuk bereaksi. Untuk mengeluh.
Untuk mulai memanggil namanya.

Tapi Tuan Wood menyeringai ke arahnya, matanya dicatnya kusam dan tak
bernyawa.

Kris merasakan hawa dingin ketakutan.

Aku jadi takut pada boneka bicara perut bodoh ini, pikirnya.

Aku menguncinya di lemari malam ini karena aku takut.

Dia membawa Tuan Wood ke lemari. Lalu, dengan erangan, ia mengangkatnya


tinggi-tinggi di atas kepalanya dan meluncurkannya ke rak paling atas. Dengan
hati-hati ia menutup pintu lemari, mendengarkan suara klik, (lalu) ia berjalan ke
tempat tidurnya.

Dia tidur dengan gelisah, melemparkan di atas selimut, dia tidur penuh dengan
mimpi-mimpi yang mengganggu. Dia terbangun untuk menemukan baju tidurnya
benar-benar menyimpul, menghentikan peredaran darah lengan kanannya. Dia
berusaha untuk meluruskannya, kemudian tidur kembali.

***

Dia bangun pagi-pagi, bermandi keringat. Langit masih fajar abu-abu di luar
jendela.

Ruangan terasa panas dan pengap. Dia duduk dengan perlahan, merasa lelah,
seolah-olah dia tak tidur sama sekali.
Berkedip untuk menghilangkan kantuk, matanya terfokus pada kursi di depan
jendela.

Ada Slappy duduk, tepat di mana Lindy telah menempatkannya.

Dan di sampingnya duduk Tuan Wood, lengannya di bahu Slappy itu, menyeringai
penuh kemenangan pada Kris seolah-olah ia baru saja melepas lelucon yang
menakjubkan.

11

"Sekarang, Tuan Wood, apa kau pergi ke sekolah?"

"Tentu saja aku ke sekolah. Apa kaupikir aku bodoh?"

"Dan apa kelas favoritmu?"

"Tentu saja toko kayu!"

"Apa proyek yang kau bangun di kelas toko, Tuan Wood?"

"Aku sedang membangun satu boneka gadis! Apa lagi? Ha-ha! Pikirmu aku ingin
menghabiskan sisa hidupku di pangkuanmu?!"

Kris duduk di depan cermin meja rias dengan Tuan Wood di pangkuannya,
mengamati dirinya saat ia latihan rutin untuk konser sekolahnya.

Tuan Wood telah berkelakuan baik selama dua hari. Tak ada insiden misterius
menakutkan. Kris mulai merasa lebih baik. Mungkin semuanya akan jadi baik-baik
saja dari sekarang.

Dia mencondongkan tubuh ke cermin, mengamati bibirnya saat ia membuat


boneka bicara.
Tak mungkin untuk mengucapkan huruf b dan m tanpa menggerakkan bibirnya.
Dia hanya harus menghindari suara-suara itu sebaik mungkin.

Aku lebih baik mulai beralih dari suara Tuan Wood kembali ke suaraku, pikirnya
senang. Tapi aku harus beralih lebih cepat. Semakin cepat ia dan aku bicara,
semakin lucu itu.

"Ayo kita coba lagi, Tuan Wood," katanya sambil menarik kursinya lebih dekat ke
cermin.

"Kerja, kerja, kerja," ia membuat boneka itu menggerutu.

Sebelum dia bisa mulai rutin, Lindy bergegas terengah-engah ke dalam ruangan.
Kris melihat adiknya di cermin saat ia mendekatinya dari belakang, rambutnya
yang panjang terbang longgar di atas bahunya, tersenyum gembira di wajahnya.

"Coba tebak?" tanya Lindy.

Kris mulai menjawab, tapi Lindy tak memberinya kesempatan.

"Nyonya Petrie berada di pesta ulang tahun Amy Marshall," kata si Lindy
bersemangat. "Dia bekerja untuk Channel Tiga. Kau tahu. Stasiun TV. Dan dia pikir
aku cukup bagus untuk ikut Pencari Bakat, pertunjukan mereka setiap minggu."

"Hah? Benarkah?" itu semua yang bisa Kris jawab.

Lindy melompat penuh semangat di udara dan bersorak. "Slappy dan aku akan
tampil di TV!" teriaknya. "Bukankah itu luar biasa?"

Menatap refleksi gembira saudaranya di cermin, Kris merasakan tikaman


kecemburuan.

"Aku harus memberitahu Ibu!" Lindy dinyatakan. "Hei, Bu! Bu!" Dia berlari dari
ruangan. Kris mendengarnya berteriak sepanjang jalan menuruni tangga.

"Aaaaaargh!" Kris tak bisa menahannya. Dia mengeluarkan seruan marah.


"Mengapa segala sesuatu yang baik terjadi pada Lindy?" teriak Kris lantang. "Aku
pembawa konser bodoh untuk mungkin seratus orang tua - dan dia akan di TV.
Aku sama baiknya sepertinya! Mungkin lebih baik!"

Dalam amarah, ia mengangkat Tuan Wood tinggi-tinggi di atas kepala dan


membantingnya ke lantai.

Kepala boneka membuat suara keras saat membentur lantai kayu. Mulut lebar
melayang terbuka seolah hendak berteriak.

"Oh." Kris berusaha untuk tenang kembali.

Tuan Wood, rebah di kakinya, menatap ke arahnya menuduh.

Kris mengangkatnya dan memeluk boneka ke dirinya. "Ke sini, ke sini, Tuan
Wood," bisiknya menenangkan. "Apa aku menyakitimu? Apa aku? Aku sangat
menyesal. Aku tak bermaksud."

Boneka itu terus menatap ke arahnya. Senyum catnya tak berubah, tapi matanya
tampak dingin dan tak kenal ampun.

***

Malam itu sunyi. Tak ada angin. Tirai di depan jendela kamar tidur tak berkibar
atau bergerak. Cahaya bulan perak pucat tersaring ke dalam, menciptakan
bayangan panjang ungu yang tampak bergerak pelan di kamar tidur anak-anak
gadis.

Lindy tidur dengan gelisah, lampu tidur diisi dengan mimpi berwarna-warni yang
sibuk. Dia terkejut terjaga oleh suara. Benturan pelan.

"Hah?" ia mengangkat kepalanya dari bantal basah dan berbalik.

Seseorang bergerak dalam kegelapan.

Suara yang dia dengar adalah langkah kaki.

"Hei!" bisiknya, terjaga sekarang. "Siapa itu?"


Sosok itu berbalik di ambang pintu, bayangan hitam melawan bayangan yang
lebih hitam.

"Ini cuma aku," terdengar jawaban berbisik.

"Kris?"

"Ya. Sesuatu membangunkanku. Tenggorokanku sakit." Bisik Kris dari ambang


pintu. "Aku akan turun ke dapur untuk minum segelas air."

Dia menghilang ke dalam bayangan. Kepalanya masih terangkat dari bantal, Lindy
mendengarkan langkah kakinya menuruni tangga.

Ketika suara itu memudar, Lindy memejamkan mata dan menundukkan kepala ke
bantal.

Beberapa detik kemudian, ia mendengar jeritan ngeri Kris.

12

Jantungnya berdebar kencang, Lindy bersusah payah keluar dari tempat tidur.
Seprai menjerat di sekitar kakinya, dan dia hampir jatuh.

Jeritan melengking Kris bergema di telinganya.

Dia hampir melompat turun tangga gelap, kakinya yang telanjang berdebam keras
di atas karpet tipis karena langkah-langkahnya.

Di bawah tangga tampak gelap, kecuali sedikit tipis cahaya kuning dari dapur.

"Kris - Kris - apa kau baik-baik saja?" pabggil Lindy, suaranya terdengar kecil dan
ketakutan di lorong gelap.

"Kris?"

Lindy berhenti di ambang pintu dapur.


Cahaya apa yang menakutkan itu?

Butuh beberapa saat baginya untuk melihat dengan jelas. Lalu dia menyadari
bahwa dia sedang menatap cahaya kuning redup dari dalam kulkas.

Pintu lemari es terbuka lebar.

Dan. . . kulkas itu kosong.

"Apa - apa yang terjadi di sini?"

Dia maju selangkah ke dapur. Lalu, selangkah lagi.

Sesuatu yang dingin dan basah mengelilingi kakinya.

Lindy tersentak dan, melihat ke bawah, melihat bahwa ia telah melangkah ke


dalam suatu genangan lebar.

Sebuah karton susu terbalik samping kakinya menunjukkan bahwa genangan air
itu susu yang tumpah.

Dia mengangkat matanya pada Kris, yang berdiri dalam kegelapan di seberang
ruangan, punggungnya bersandar ke dinding, tangan terangkat ke wajahnya
dengan ngeri.

"Kris, apa-apaan ini -"

Kejadian itu sekarang terlihat jelas. Semuanya begitu aneh, begitu. . . salah.

Butuh waktu lama bagi Lindy untuk melihat seluruh keadaan.

Tapi, sekarang, setelah menatap Kris ngeri, Lindy melihat kekacauan di lantai. Dan
menyadari mengapa kulkas itu kosong.

Segala sesuatu di dalamnya telah ditarik keluar dan dibuang di lantai dapur.
Sebotol jus jeruk berbaring miring di sebelah genangan jus jeruk. Telur bertebaran
dimana-mana. Buah-buahan dan sayuran berserakan di lantai.

"Ohh!" Lindy mengerang tak percaya.


Segalanya tampak gemerlap dan bersinar.

Apa itu semua benda yang mengkilap di antara makanan?

Perhiasan Kris!

Ada anting-anting, gelang dan untaian manik-manik dilempar kemana-mana,


dicampur dengan tumpahan makanan yang berserakan seperti beberapa jenis
salad yang aneh.

"Oh, tidak!" jerit Lindy menjerit matanya akhirnya sampai pada sosok itu di lantai.

Tuan Wood duduk tegak di tengah-tengah kekacauan itu, menyeringai gembira


padanya. Dia memakai beberapa helai manik-manik di lehernya, anting-anting
panjang menjuntai tergantung dari telinganya, dan piring sisa ayam di
pangkuannya.

13

"Kris, kau baik-baik saja?" teriak Lindy, memutar matanya menjauh dari boneka
menyeringai itu yang tertutup perhiasan.

Kris tampaknya tak mendengarnya.

"Apa kau baik-baik saja?" Lindy mengulangi pertanyaannya.

"A-apa yang terjadi?" Kris tergagap, punggung menempel dinding, ekspresi


wajahnya tegang karena ngeri. "Siapa - siapa yang melakukan ini? Apa Tuan
Wood?"

Lindy mulai untuk menjawab. Tapi ibu mereka melolong terkejut dari pintu
memotong kata-katanya.

"Bu -" teriak Lindy, berputar.


Bu Powell menyalakan lampu langit-langit. Dapur tampak menyala. Semua tiga
dari mereka berkedip, berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kecerahan yang
mendadak.

"Apa-apaan ini!" teriak Bu Powell. Dia mulai memanggil suaminya, lalu ingat dia
tak di rumah. "Aku - aku tak percaya ini!"

Barky melompat-lompat ke dalam ruangan, ekornya bergoyang-goyang. Dia


menunduk dan mulai menjilat susu tumpah.

"Pergi kau keluar," kata Bu Powell tegas. Dia mengambil anjing itu,
mengangkatnya ke luar dan menutup pintu dapur. Lalu ia melangkah ke tengah
ruangan, menggelengkan kepala, kakinya yang telanjang nyaris hilang di genangan
susu.

"Aku turun untuk minum, dan aku - aku menemukan kekacauan ini," kata Kris
dengan suara gemetar. "Makanan. perhiasanku. Semuanya...."

"Tuan Wood yang melakukannya," tuduh Lindy. "Lihatlah dia!"

"Hentikan! Hentikan!" jerit Bu Powell. "Aku sudah cukup."

Bu Powell memandang kekacauan itu, mengerutkan kening dan menarik-narik


sehelai rambut pirang. Matanya berhenti pada Tuan Wood, dan dia mengucapkan
erangan jijik.

"Aku tahu itu," katanya dengan suara pelan, mengangkat matanya menuduh ke
dua gadis. "Aku tahu ini ada hubungannya dengan boneka bicara perut itu."

"Tuan Wood yang melakukannya, Bu," kata Kris panas, menjauh dari dinding,
tangannya terkepal tegang. "Aku tahu kedengarannya bodoh, tapi -"

"Hentikan," perintah Bu Powell, menyipitkan matanya. "Ini benar-benar


memuakkan. Memuakkan!." Dia menatap tajam pada boneka berhias permata,
yang menyeringai ke arahnya di atas piring besar ayam.

"Aku akan menjauhkan boneka-boneka itu dari kalian berdua," kata Bu Powell,
berbalik kembali ke Lindy dan Kris. "Semua ini benar-benar keluar dari kendali."
"Tidak!" teriak Kris.

"Itu tak adil!" Lindy menyatakan.

"Maafkan aku. Mereka harus disingkirkan," kata Bu Powell tegas. Dia membiarkan
matanya bergerak di lantai berantakan, dan biarkan keluar lain mendesah lelah.
"Lihatlah dapurku."

"Tapi aku tak melakukan apa-apa!" jerit Lindy.

"Aku perlu Tuan Wood untuk konser musim semi!" Kris protes. "Semua orang
mengandalkanku, Bu."

Bu Powell melirik dari satu ke yang lain. Matanya tetap pada Kris. "Di lantai itu
bonekamu, kan?"

"Ya," kata Kris padanya. "Tapi aku tak melakukan ini aku bersumpah!"

"Kalian berdua bersumpah kalian tak melakukannya, kan?" Bu Powell


mengatakan, tiba-tiba terlihat sangat lelah di bawah lampu langit-langit yang
tajam.

"Ya," jawab Lindy cepat.

"Kalau begitu kalian berdua kehilangan boneka-boneka kalian. Maafkan aku.,"


Kata Bu Powell. "Salah satu dari kalian berdusta. Aku -. Aku benar-benar tak bisa
percaya ini."

Keheningan menyelimuti ruangan yang berat karena ketiga orang Powells itu
semuanya menatap dengan cemas kekacauan di lantai.

Keris yang pertama untuk berbicara. "Bu, bagaimana jika Lindy dan aku
membersihkan semuanya?"

Lindy menangkap (maksud Kris) dengan cepat.

Wajahnya cerah. "Ya. Bagaimana jika kami menempatkan semuanya kembali.


Sekarang. Membuat dapur seperti biasanya. Membuatnya tanpa noda. Dapatkah
kami menyimpan boneka-boneka kami?."
Bu Powell menggeleng. "Tidak, aku tak berpikir begitu. Lihatlah kekacauan ini.
Semua sayuran dibuang. Dan susu."

"Kami akan mengganti semuanya," kata Kris cepat. "Dengan uang saku kami. Dan
kami akan membersihkannya sempurna. Tolonglah. Jika kami melakukan itu,
berikan kami satu kesempatan lagi?"

Bu Powell memutar wajahnya dalam konsentrasi, berdebat dengan dirinya


sendiri. Dia menatap wajah-wajah bersemangat putrinya.

"Baiklah," akhirnya dia menjawab. "Aku ingin dapur ini bersih ketika aku turun di
pagi hari. Semua makanan, semua perhiasan. Semuanya kembali ke tempatnya."

"Baik," kata kedua gadis itu serempak.

"Dan aku tak ingin melihat lagi salah satu dari boneka-boneka itu di sini, di
dapurku," desak Bu Powell. "Jika kalian dapat melakukan itu, aku akan memberi
kalian satu kesempatan lagi."

"Bagus!" kedua gadis berteriak sekaligus.

"Dan aku tak ingin lagi mendengar perdebatan tentang boneka-boneka itu," lanjut
Bu Powell. "Tak ada lagi perkelahian. Tak ada lagi persaingan. Tak ada lagi
menyalahkan segala sesuatu pada boneka-boneka itu. Aku tak ingin mendengar
apa pun tentang mereka. Selamanya."

"Anda tak akan," janji Kris, melirik saudaranya.

"Terima kasih, Bu," kata Lindy. "Pergilah ke tempat tidur. Kami akan
membersihkan." Dia memberi ibunya mendorong pelan ke arah pintu.

"Tak ada kata lainnya," Bu Powell mengingatkan mereka.

"Baik, Bu," kata si kembar.

Ibu mereka menghilang ke kamarnya. Mereka mulai membersihkan. Kris menarik


kantong sampah besar dari laci dan memegangnya sementara Lyndi melemparkan
kardus-kardus kosong dan makanan yang dibuang.
Dengan hati-hati Kris mengumpulkan perhiasannya dan membawanya ke lantai
atas.

Tak saeorang pun berbicara. Mereka bekerja dalam diam, mengambil,


membersihkan, dan mengepel sampai dapur itu bersih. Lindy menutup pintu
lemari es. Ia menguap dengan keras.
Kris memeriksa lantai dengan tangan dan lututnya, sehingga yakin itu bersih.

Lalu dia mengangkat Tuan Wood. Dia menyeringai kembali seolah-olah semua itu
hanya lelucon besar.

Boneka ini tak ada apa pun kecuali masalah, Kris pikir.

Tak ada kecuali masalah.

Dia mengikuti Lindy keluar dari dapur, mematikan lampu saat dia pergi. Kedua
gadisitu menaiki tangga diam-diam. Keduanya tak bicara sepatah kata pun.

Cahaya bulan pucat tersaring ke dalam kamar mereka melalui jendela yang
terbuka. Udara terasa panas dan beruap.

Kris melirik jam. Ini jam tiga lewat sedikit pagi hari.

Slappy duduk merosot di kursi di depan jendela, cahaya bulan bersinar di wajah
menyeringainya. Lindy, menguap, naik ke tempat tidur, menurunkan selimutnya,
dan menarik seprai. Dia memalingkan wajahnya dari saudaranya.

Kris menurunkan Tuan Wood dari bahunya. Kau bukan apa-apa kecuali masalah,
pikirnya marah, menahannya di depannya dan menatap wajah menyeringainya.

Tak ada kecuali masalah.

Tuan Wood mengerling, menyeringai lebar tampak mengejeknya.

Suatu udara dingin takut bercampur dengan kemarahannya.

Aku mulai membenci boneka ini, pikirnya.

Takut padanya dan membencinya.


Dengan marah, ia membuka pintu lemari dan melemparkan boneka itu ke lemari.
Boneka itu jatuh di tumpukan kusut di lantai lemari.

Kris membanting pintu lemari.

Hatinya berdebar, ia naik ke tempat tidur dan menarik selimut. Dia tiba-tiba
merasa sangat lelah. Seluruh tubuhnya sakit karena kelelahan.

Dia membenamkan wajahnya di bantal dan menutup matanya.

Dia baru saja tertidur saat dia mendengar suara kecil.

"Keluarkan aku. Keluarkan aku dari sini!" itu teriakan. Satu suara teredam, datang
dari dalam lemari.

14

"Keluarkan aku! Keluarkan aku!" suara bernada tinggi itu berteriak marah.

Keris duduk dengan tersentak. Seluruh tubuhnya mengejang dalam bergidik


ketakutan.

Matanya melesat ke tempat tidur lainnya. Lindy tak bergerak.

"Apa - apa kau mendengarnya?" Kris tergagap.

"Dengar apa?" tanya Lindy mengantuk.

"Suara itu," bisik Kris. "Di lemari."

"Hah?" tanya Lindy mengantuk. "Apa yang kamu bicarakan? Ini jam tiga pagi. Tak
bisakah kita tidur?"

"Tapi, Lindy -" Kris menurunkan kakinya ke lantai. Hatinya berdegup di dadanya.
"Bangun. Dengarkan aku! Tuan Wood memanggilku. Dia sedang berbicara!"
Lindy mengangkat kepalanya dan mendengarkan.

Sunyi.

"Aku tak mendengar apa-apa, Kris. Sungguh. Mungkin kau sedang bermimpi."

"Tidak!" jerit Kris, merasa dirinya kehilangan kendali. "Itu bukan mimpi! Aku
sangat takut, Lindy . Aku sangat takut!."

Tiba-tiba Kris gemetar seluruh tubuhnya, dan air mata hangat mengalir pipinya.

Lindy berdiri dan pindah ke tepi tempat tidur saudaranya.

"Sesuatu yang me-mengerikan terjadi di sini, Lindy," tergagap Kris melalui air
matanya.

"Dan aku tahu siapa yang melakukannya," bisik Lindy, mencondongkan tubuh
kembarannya, meletakkan tangan menghibur di bahunya bergetar.

"Hah?"

"Ya, aku tahu. Siapa yang telah melakukan itu semua," bisik Lindy.

"Aku tahu siapa itu."

"Siapa?" tanya Kris terengah-engah.

15

"Siapa?" ulang Kris, membiarkan air mata mengalir di pipinya. "Siapa?"

"Aku," kata Lindy. Senyumnya menyebar menjadi seringai hampir selebar Slappy
itu. Dia menutup matanya dan tertawa.

"Hah?" Kris tak mengerti. "Apa katamu?"


"Aku bilang aku yang telah melakukannya," ulang Lindy. "Aku Lindy. Itu semua
lelucon, Kris. Aku mengerjaimu lagi." Dia mengangguk seolah membenarkan kata-
katanya.

Kris ternganga pada kembarannya tak percaya. "Itu semua cuma lelucon?"

Lindy terus mengangguk-angguk.

"Kau memindahkan Tuan Wood di malam hari? Kau memakaikannya pakaianku


dan membuatnya mengatakan hal-hal kotor kepadaku? Kau menempatkannya di
dapur? Kau yang membuat bahwa kekacauan yang mengerikan itu?"

Lindy terkekeh. "Ya. Aku benar-benar membuatmu ketakutan, bukan?"

Kris mengepalkan tangannya ke tinju kemarahan. "Tapi - tapi -" dia tergagap.
"Kenapa?"

"Untuk bersenang-senang," jawab Lindy, menjatuhkan punggungnya ke tempat


tidurnya, masih menyeringai.

"Bersenang-senang?"

"Aku ingin melihat apakah aku bisa menakut-nakutimu," jelas Lindy. "Itu hanya
lelucon. Kau tahu. Aku tak percaya sekarang kau tertipu oleh suara itu dalam
lemari! Aku pasti jadi pembicara perut yang benar-benar bagus! "

"Tapi, Lindy -"

"Kau benar-benar percaya Tuan Wood hidup !" kata Lindy, tertawa, menikmati
kemenangannya. "Kau seperti nit!"

(nit=telur, serangga benalu atau mamalia yang masih muda seperti kutu, tuma
dan caplak)

"Nit?"

"Setengah nitwit (orang dungu)!" Lindy meledak dalam tawa liar.

"Itu tak lucu," kata Kris pelan.


"Aku tahu," jawab Lindy. "Ini lucu. Kau seharusnya melihat ekspresi wajahmu saat
kau melihat Tuan Wood di bawah tangga dalam manik-manik dan anting-anting
berhargamu!"

"Bagaimana - bagaimana kau bisa berpikir perkara buruk seperti itu lelucon?"
tuntut Kris.

"Itu datang begitu saja padaku," jawab Lindy dengan rasa bangga. "Saat kau
punya bonekamu."

"Kau tak ingin aku punya boneka," kata Kris berpikir.

"Kau benar," Lindy dengan cepat setuju. "Aku menginginkan sesuatu yang akan
menjadi milikku, untuk suatu perubahan. Aku sangat lelah kau menjadi peniru.
Jadi -."

"Jadi, kau memikirkan lelucon buruk ini," tuduh Kris.

Lindy mengangguk.

Kris melangkah marah ke jendela dan menekan dahinya kaca. "Aku - aku tak
percaya aku begitu bodoh," gumamnya.

"Aku juga tidak," kata Lindy, menyeringai lagi.

"Kau benar-benar membuatku mulai berpikir bahwa Tuan Wood hidup atau
sesuatu," kata Kris, menatap ke luar jendela ke halaman belakang di bawah ini.
"Kau benar-benar membuatku takut kepadanya."

"Bukankah aku brilian!" Lindy memproklamasikan.

Kris berbalik menghadapi saudaranya.

"Aku tak akan pernah bicara padamu lagi," katanya marah.

Lindy mengangkat bahu. "Itu hanya lelucon."

"Tidak," tegas Kris. "Itu terlalu buruk untuk lelucon. Aku tak akan pernah bicara
padamu lagi. Tak kan pernah.."
"Baik," jawab Lindy singkat. "Kupikir kau punya selera humor. Baik."

Dia meluncur ke tempat tidur, punggungnya menghadap Kris, dan menarik


selimut di atas kepalanya.

Aku harus menemukan cara untuk membuatnya membayar kembali ini, Kris pikir.

Tapi bagaimana?

16

Beberapa hari kemudian setelah sekolah, Kris berjalan pulang dengan Cody. Siang
itu panas dan lembab. Pohon-pohon masih, dan tampaknya memberikan sedikit
bayangan di trotoar. Udara di atas trotoar berpendar dalam panas.

"Seandainya kami punya kolam renang," gumam Kris, menarik tas dari bahunya.

"Aku harap kau punya satu, juga," kata Cody, menyeka dahinya dengan lengan
merah kausnya.

"Aku ingin menyelam ke dalam kolam besar es teh," kata Kris, "Seperti di iklan TV.
Itu selalu tampak begitu dingin dan segar."

Cody nyengir. "Berenang dalam es teh? Dengan es batu dan lemon?"

"Lupakan saja," gumam Kris.

Mereka menyeberangi jalan. Beberapa anak-anak yang mereka kenal naik sepeda.
Dua pria berseragam putih di tangga, bersandar di sudut rumah, mengecat
selokan.

"Taruhan mereka (pasti) kepanasan," kata Cody.

"Ayo kita ganti topik pembicaraan," usul Kris.


"Bagaimana kabarmu dengan Tuan Wood?" tanya Cody.

"Tak buruk," kata Kris. "Kupikir aku punya beberapa lelucon yang cukup bagus.
Aku harus siap untuk konser besok malam."

Mereka berhenti di tikungan dan membiarkan mobil van biru besar berderu
lewat.

"Apa kau berbicara dengan saudaramu?" tanya Cody saat mereka menyeberang
jalan. Terik matahari membuat rambut putih-pirangnya bersinar.

"Sedikit," kata Kris, nyengir. "Aku berbicara dengannya. Tapi aku belum
memaafkannya."

"Itu sungguh-sungguh aksi pertunjukannya yang bodoh," kata Cody simpatik. Dia
menyeka keringat di dahinya dengan lengan kausnya.

"Itu hanya membuatku merasa seperti orang dungu," aku Kris. "Maksudku, aku
begitu bodoh. Dia benar-benar membuatku percaya bahwa Tuan Wood
melakukan semua hal itu." Kris menggeleng. Berpikir tentang hal itu membuatnya
merasa malu lagi.

Rumahnya tampak. Dia membuka ritsleting bagian belakang ransel dan mencari
kunci.

"Apakah kau memberitahu ibumu tentang lelucon praktis Lindy itu?" tanya Cody.

Kris menggeleng. "Ibu benar-benar jijik Kami tak diizinkan lagi menyebutkan
boneka padanya. Ayah pulang dari Portland tadi malam, dan Ibu mengatakan
kepadanya apa yang terjadi. Jadi kita juga tak diizinkan lagi menyebut boneka-
boneka itu kepadanya! " Dia menemukan kunci dan mulai naik jalanan rumahnya.
"Trim's untuk berjalan pulang denganku."

"Ya. Tentu." Cody memberinya lambaian kecil dan terus menuju rumahnya di
jalan.

Kris mendorong kunci ke kunci pintu depan. Dia bisa mendengar Barky melompat
dan menyalak dengan penuh semangat di sisi lain pintu.
"Aku datang, Barky," serunya masuk "Jaga kuda-kudamu."

Dia membuka pintu. Barky mulai melompat pada dirinya, merintih seolah-olah dia
telah pergi selama berbulan-bulan.

"Oke, oke!" teriaknya tertawa.

Butuh beberapa menit untuk menenangkan anjing itu. Lalu Kris mengambil
makanan ringan dari dapur dan menuju ke kamarnya untuk berlatih dengan Tuan
Wood.

Dia mengangkat boneka itu bangkit dari kursi di mana ia telah menghabiskan hari
itu di samping boneka Lindy.

Satu kaleng Coke di satu tangan, boneka itu atas bahunya, dia menuju ke meja
rias dan duduk di depan cermin.

Ini adalah waktu terbaik di hari ini untuk berlatih, Kris pikir. Tak ada orang di
rumah. Orangtuanya sedang bekerja. Lindy ada beberapa kegiatan setelah
sekolah.

Dia mengatur Tuan Wood di pangkuannya. "Waktu untuk bekerja,"

Dia membuatnya berkata, meraih ke punggungnya untuk menggerakkan bibirnya.


Dia membuat matanya bergerak kembali dan sebagainya.

Suatu kancing pada kemeja kotak-kotaknyanya tak terkancing. Kris


menyandarkannya turun pada meja rias dan mulai mengencangkannya.

Sesuatu menarik perhatiannya. Sesuatu yang kuning dalam saku.

"Aneh," kata Kris keras. "Aku tak pernah mengetahui ada sesuatu di sana."

Dia memasukkan dua jarinya ke dalam saku yang kecil itu, dia mengeluarkan
selembar kertas menguning, dilipat.

Mungkin hanya kwitansi (tanda terima) untuknya, pikir Kris.


Dia membuka lipatan kertas itu dan mengangkatnya untuk membacanya.
Itu bukan kwitansi. Kertas itu berisi satu kalimat tulisan tangan sangat bersih
dengan tinta hitam tebal. Itu dalam bahasa yang Kris tak mengenalnya.

"Apa seseorang mengirim surat cinta padamu, Tuan Wood?" tanyanya pada
boneka itu.

Boneka itu menatap ke arahnya lemas.


Kris menurunkan matanya ke kertas dan membaca kalimat yang aneh itu dengan
suara keras:

"Karru marri odonna loma molonu karrano."

Bahasa apa itu? Kris bertanya-tanya.

Dia melirik boneka itu dan menjerit pelan terkejut.

Tuan Wood tampak berkedip.

Tapi itu tak mungkin - bukan?

Kris menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan-lahan.

Boneka itu menatap ke arahnya, mata dicatnya seperti jemu dan terbuka lebar
seperti biasanya.

Jangan jadi paranoid (gila ketakutan), Kris memarahi dirinya sendiri.

"Waktu untuk bekerja, Tuan Wood," katanya. Dia melipat kertas kuning itu dan
menyelipkannya kembali ke saku kemejanya. Lalu ia mengangkat dirinya ke posisi
duduk, mencari mata dan kontrol mulut dengan tangannya.

"Bagaimana barang-barang di sekitar rumahmu, Tuan Wood?"

"Tak baik, Kris aku punya rayap. Aku perlu rayap seperti aku perlu satu lubang lagi
di kepalaku. Ha-ha!"

***
"Lindy! Kris! Bisakah kalian turun ke bawah, tolonglah!" panggil Pak Powell dari
kaki tangga.

Saat itu setelah makan malam, dan si kembar di kamar mereka. Lindy telentang
dengan perutnya di tempat tidur, membaca buku untuk sekolah. Kris berada di
depan cermin meja rias, berlatih pelan dengan Tuan Wood untuk konser besok
malam.

"Apa yang kau inginkan, Yah?" Lindy berteriak ke bawah, memutar matanya.

"Kami agak sibuk," teriak Kris, menggeser boneka itu di pangkuannya.

"Keluarga Millers di sini, dan mereka ingin sekali melihat aksi bicara perut kalian,"
teriak ayah mereka.

Lindy dan Kris keduanya mengerang. Keluarga Millers adalah pasangan tua yang
tinggal di sebelah. Mereka orang-orang sangat baik, tapi sangat membosankan.

Si kembar mendengar langkah kaki Pak Powell di tangga. Beberapa detik


kemudian, dia menjulurkan kepalanya ke dalam kamar mereka. "Ayo gadis-gadis.
Cukup berikan pertunjukan singkat untuk keluarga Miller. Mereka datang untuk
minum kopi,. Dan kami memberitahu mereka tentang boneka kalian."

"Tapi aku harus berlatih untuk besok malam," tegas Kris.

"Berlatihlah pada mereka," saran ayahnya. "Ayo. Lakukan lima menit saja. Mereka
akan benar-benar merasa lucu darinya."

Sambil mendesah keras, gadis-gadis itu setuju. Membawa boneka mereka atas
bahu mereka, mereka mengikuti ayah mereka turun ke ruang tamu.

Pak dan Bu Miller yang berdampingan di atas sofa, cangkir kopi di depan mereka
di meja kopi rendah. Mereka tersenyum dan berseru memberi salam ceria saat
gadid-gadis itu muncul.

Kris selalu terkejut oleh betapa miripnya penampilan keluarga Miller. Mereka
berdua berwajah merah muda ramping dengan rambut putih seperti spon
diatasnya. Mereka berdua mengenakan kacamata berbingkai perak, yang hampir
sama-sama merosot di atas hidung runcing. Mereka berdua punya senyum yang
sama.

Pak Miller punya kumis kecil abu-abu. Lindy selalu bergurau bahwa Pak Miller
menumbuhkannya sehingga keluarga Miller bisa memberitahu satu sama lain
secara terpisah.

Apa itu yang terjadi kepadamu ketika kau telah menikah begitu lama? Kris
mendapati dirinya berpikir. Kau mulai terlihat persis sama?

Keluarga Millers bahkan berpakaian sama, dalam celana pendek Bermuda longgar
cokelat dan kaos olahraga putih dari kapas.

"Lindy dan Kris mulai berbicara dengan perut beberapa minggu lalu," Bu Powell
menjelaskan, dirinya memutar ke depan untuk melihat gadis-gadis dari kursi. Dia
menunjuk mereka ke tengah ruangan. "Dan mereka berdua tampaknya punya
semacam bakat untuk itu."

"Apakah kalian pernah mendengar tentang Bergen dan McCarthy?" tanya Bu


Miller, tersenyum.

"Siapa?" Lindy dan Kris bertanya serempak.

"Sebelum waktu kalian," kata Pak Miller, tergelak. "Mereka aktor bicara perut."

"Bisakah kau melakukan sesuatu untuk kami?" tanya Bu Miller, mengambil


cangkir kopi dan meletakkannya di pangkuannya.

Pak Powell menarik kursi ruang makan ke tengah ruangan. "Di sini Lindy,.
Mengapa kau tak beraksi lebih dulu?" Dia berpaling ke keluarga Miller. "Mereka
sangat baik. Kalian akan lihat," katanya.

Lindy duduk dan Slappy diletakkan di pangkuannya. Keluarga Millers bertepuk


tangan. Bu Miller nyaris menumpahkan kopinya, tapi dia menangkap cangkir
tepat pada waktunya.

"Jangan memuji -! Cukup lemparkan uang" Lindy membuat Slappy berkata.


Semua orang tertawa seolah-olah mereka belum pernah mendengar itu
sebelumnya.

Kris mengamati dari tangga sebagai Lindy melakukan rutinitas pendek itu. Lindy
benar-benar bagus, ia harus mengakui. Sangat lancar. Keluarga Miller tertawa
begitu keras, wajah mereka jadi merah terang. Satu warna merah yang sama. Bu
Miller terus meremas lutut suaminya saat dia tertawa.

Lindy selesai untuk tepuk tangan yang besar. Keluarga Millers berbicara tentang
betapa hebatnya dia. Lindy memberitahu mereka tentang acara TV dia mungkin
akan tampil, dan mereka berjanji tak akan melewatkannya.

"Kita akan merekam itu," kata Pak Miller.

Kris mengambil tempat di kursi dan mendudukkan Tuan Wood di pangkuannya.


"Ini adalah Tuan Wood," katanya kepada Millers. "Kami akan menjadi tuan rumah
konser musim semi di malam sekolah besok. Jadi saya akan memberikan pra
pertunjukan dari apa yang akan kami katakan.."

"Boneka itu tampak bagus," kata Bu Miller pelan.

"Kau juga boneka yang tampak baik!" teriak Tuan Wood dalam geraman, suara
serak yang kasar.

Ibu Kris terkesiap. Senyum keluarga Miller memudar.

Tuan Wood mencondongkan tubuh ke depan di pangkuan Kris dan menatap Pak
Miller. "Apakah itu kumis, atau kau makan tikus?" tanyanya kesal.

Pak Miller melirik tak nyaman pada istrinya, kemudian memaksakan diri tertawa.
Mereka berdua tertawa.

"Jangan tertawa begitu keras. Kalian mungkin akan menjatuhkan gigi palsu
kalian!." teriak Tuan Wood. "Dan bagaimana gigi kalian jadi berwarna kuning
menjijikkan? Apa sebab bau mulut kalian itu?"

"Kris!" Teriak Bu Powell. "Itu cukup!"


Wajah keluarga Miller memerah terang sekarang, ekspresi mereka kebingungan.

"Itu tak lucu. Minta maaf pada keluarga Miller," desak Pak Powell, melintasi
ruangan dan berdiri di atas Kris.

"Aku - aku tak mengatakan semua itu!" Keris tergagap. "Sungguh, aku -"

"Kris - minta maaf!" tuntut ayahnya marah.

Tuan Wood beralih ke Millers. "Maafkan aku," sergahnya. "Aku menyesal kau
begitu jelek! Aku menyesal kau begitu tua dan bodoh, juga!"

Keluarga Millers saling menatap sedih.

"Aku tak mengerti humornya," kata Bu Miller.

"Ini seperti penghinaan kasar," jawab Pak Miller pelan.

"Kris - ada apa denganmu!" tuntut Bu Powell. Dia melintasi ruangan untuk berdiri
di samping suaminya. "Minta maaf pada keluarga Miller sekarang! Aku tak
percaya padamu!"

"Aku - aku -" Mencengkeram erat Tuan Wood di pinggangnya, Kris bangkit berdiri.
"Aku - aku -" Dia mencoba untuk mengucapkan permintaan maaf, tapi tak ada
kata yang keluar.

"Maaf!" ia akhirnya berhasil berteriak. Kemudian, dengan tangisan malu, ia


berbalik dan berlari menaiki tangga, air mata mengalir menuruni wajahnya.

17

"Kau harus percaya padaku!" teriak Kris dengan suara gemetar. "Aku benar-benar
tak mengatakan hal-hal itu. Tuan Wood berbicara sendiri!."

Lindy memutar matanya. "Katakan padaku yang lainnya," gumamnya sinis.


Lindy mengikuti Kris lantai atas. Di ruang tamu di bawah, orangtuanya masih
meminta maaf kepada keluarga Miller.

Sekarang, Kris duduk di tepi tempat tidurnya, mengusap air mata dari pipinya.
Lindy berdiri dengan tangan bersedekap di depan meja rias.

"Aku tak membuat lelucon menghina seperti itu," kata Kris, melirik pada Tuan
Wood, yang terbaring rubuh di tengah lantai di mana Kris telah melemparkannya
"Kau tahu bahwa itu bukan selera humorku."

"Jadi kenapa kau melakukannya?" tuntut Lindy. "Mengapa kau ingin membuat
semua orang marah?"

"Tapi aku tak melakukannya!" teriak Kris, menarik-narik sisi rambutnya. "Tuan
Wood mengatakan hal-hal itu. Aku tidak!"

"Bagaimana kau bisa sedemikan peniru?" Lindy bertanya jijik. "Aku sudah
melakukan lelucon itu, Kris. Tak bisakah kau memikirkan sesuatu yang asli?."

"Ini bukan lelucon," desak Kris. "Mengapa kau tak percaya padaku?"

"Tidak," jawab Lindy, menggelengkan kepala, tangannya masih terlipat di depan


dadanya. "Tak mungkin aku akan jatuh untuk lelucon yang sama."

"Lindy, tolonglah!" Kris memohon. "Aku takut. Aku benar-benar ketakutan."

"Ya. Tentu," kata Lindy sinis. "Aku gemetar juga. Wow. Kau benar-benar
menipuku, Kris. Perkiraanmu kau bisa menunjukkan padaku bahwa kau dapat
memainkan tipuan lucu juga."

"Diam!" bentak Kris. Air mata lebih banyak terbentuk di sudut matanya.

"Tangisan yang sangat baik," kata Lindy. "Tapi itu juga tak menipuku. Dan itu tak
akan menipu Ibu dan Ayah." Dia berbalik dan mengambil Slappy.

"Mungkin Slappy dan aku harus berlatih beberapa lelucon. Setelah perbuatanmu
malam ini, Ibu dan Ayah tak mungkin membiarkanmu melakukan konser besok
malam."
Dia menyampirkan Slappy di bahunya dan, melangkahi tubuh rubuh Tuan Wood,
bergegas dari ruangan.

***

Panas dan bising di belakang layar panggung auditorium (ruangan besar untuk
pertunjukan musik dan sandiwara). Tenggorokan Kris kering, dan dia terus
berjalan ke air mancur dan menghirup semulut penuh air hangat.

Suara-suara dari penonton di sisi lain dari tirai tampaknya bergema ke semuanya,
ke empat dinding dan langit-langit. Semakin keras kebisingan datang saat
auditorium diisi, Kris merasa semakin gugup.

Bagaimana aku akan melakukan aksiku di depan semua orang? dia bertanya pada
dirinya sendiri, menarik tepi tirai kembali beberapa inci dan mengintip keluar.
Orangtuanya telah pergi, di baris ketiga.

Melihat mereka membawa kenangan malam sebelumnya meluap kembali ke Kris.


Orangtuanya telah menghukumnya selama dua minggu sebagai hukuman karena
menghina keluarga Miller. Mereka hampir tak membiarkan dia datang ke konser.

Kris menatap anak-anak dan orang dewasa memenuhi auditorium yang besar itu,
mengenali kebanyakan wajah-wajah itu. Dia menyadari tangannya sedingin es.
Tenggorokannya terasa kering lagi.

Jangan menganggapnya sebagai penonton, katanya pada diri sendiri. Anggap saja
sebagai sekelompok anak-anak dan orang tua, sebagian besar kau kenal.

Entah bagaimana itu membuatnya lebih buruk.

Dia melepaskan tirai, bergegas untuk minum terakhir kali dari air mancur,
kemudian mengambil Tuan Wood dari meja (dimana) ia meninggalkannya.

Tiba-tiba jadi sunyi di sisi lain tirai. Konser akan dimulai.

"Semoga berhasil!" o Lindy menyeberang kepadanya saat ia bergegas untuk


bergabung dengan anggota paduan suara lainnya.
"Trim's," jawab Kris dengan lemah. Dia menarik Tuan Wood dan merapikan
kemejanya. "Tanganmu berkeringat!" dia membuat boneka itu berkata.

"Tak ada penghinaan malam ini," kata Kris padanya tegas.

Dia terkejut, boneka itu berkedip.

"Hei!" teriaknya. Dia tak menyentuh kontrol matanya.

Dia (mengalami) tikaman ketakutan yang melampaui demam panggung. Mungkin


seharusnya aku tak melakukan ini, pikirnya, menatap Tuan Wood, melihatnya
berkedip lagi.

Mungkin aku harus mengatakan aku sakit dan tak tampil dengannya.

"Apa kau gugup?" bisik satu suara.

"Hah?" Pada awalnya, dia pikir itu Tuan Wood. Tapi kemudian ia segera sadar
bahwa itu adalah Bu Berman, guru musik.

"Ya. Sedikit." aku Kris, merasa wajahnya menjadi panas.

"Kau akan hebat," kata Bu Berman, meremas bahu Kris dengan tangan
berkeringat. Dia seorang wanita, bertubuh besar gemuk dengan beberapa dagu,
mulut berlipstik merah, dan rambut hitam yang melambai-lambai. Dia
mengenakan gaun panjang longgar dengan motif bunga merah dan biru. "Ini dia,"
katanya, meremas bahu Kris sekali lagi.

Lalu ia melangkah di atas panggung, berkedip terhadap cahaya putih tajam dari
lampu sorot, untuk memperkenalkan Kris dan Tuan Wood.

Apa aku benar-benar akan melakukan hal ini? Tanya Kris pada dirinya sendiri.

Bisakah aku melakukan ini?

Jantungnya berdebar begitu keras, dia tak bisa mendengar perkenalan Bu


Berman. Lalu, tiba-tiba, penonton bertepuk tangan, dan Kris menemukan dirinya
berjalan melintasi panggung dengan mikrofon, membawa Tuan Wood di kedua
tangannya.
Bu Berman, gaun bunganya melambai-lambai di sekitarnya, sedang menuju luar
panggung. Dia tersenyum pada Kris dan memberinya sebuah kedipan
menggembirakan saat mereka melewati satu sama lain.

Menyipitkan mata terhadap terangnya lampu sorot, Kris berjalan ke tengah


panggung. Mulutnya terasa kering seperti kapas. Dia bertanya-tanya apakah dia
bisa bersuara.

Sebuah kursi lipat telah disiapkan untuknya. Dia duduk, mengatur Tuan Wood di
pangkuannya, kemudian menyadari bahwa mikrofonnya terlalu tinggi.

Ini menyebabkan tawa kecil dari penonton.

Dengan malu, Kris berdiri dan, memegang Tuan Wood di bawah satu lengan,
berusaha untuk menurunkan mikrofon.

"Apakah kau mengalami kesulitan?" teriak Bu Berman dari sisi panggung. Dia
bergegas untuk membantu Kris.

Tapi sebelum guru musik itu sampai setengah melintasi panggung, Tuan Wood
bersandar ke mikrofon. "Kapan balon besar itu naik?" teriaknya dengan suara
parau menjijikkan, menatap gaun Bu Berman.

"Apa?" Dia berhenti karena terkejut.

"Wajahmu mengingatkanku pada sebuah kutil yang telah kuhilangkan!" Tuan


Wood menggeram pada wanita yang kaget itu.

Mulutnya ternganga ngeri. "Kris!"

"Jika kami hitung dagumu, itu akan memberitahu kami usiamu?"

Ada tawa melayang dari para penonton. Tapi itu bercampur dengan terengah-
engah ngeri.

"Kris - itu sudah cukup!" teriak Bu Berman, mengambil mikrofon sebagai protes
marah.
"Kau lebih dari cukup. Kau cukup untuk dua orang!" Tuan Wood menyatakan
kejam. "Jika kau jadi lebih besar, kau akan perlu kode posmu sendiri!"

"Kris - Benar-benar! Aku akan memintamu untuk meminta maaf," kata Bu


Berman, wajahnya memerah terang.

"Bu Berman, aku - aku tak melakukannya!" Keris tergagap. "Aku tak mengatakan
hal-hal itu!"

"Silakan minta maaf. Padaku dan pada penonton," tuntut Bu Berman.

Tuan Wood bersandar ke mikrofon. "Minta maaf untuk INI!" ia menjerit.

Kepala boneka itu miring ke belakang. Rahangnya turun. Mulutnya terbuka lebar.

Dan (ia) memuntahkan keluar cairan hijau kental.

"Yuck!" teriak seseorang.

Itu tampak seperti sup kacang. Menyembur keluar dari mulut terbuka Tuan Wood
seperti air yang mengalir dari selang kebakaran.

Suara-suara jeritan dan teriakan terkejut mereka saat cairan kental hijau
menghujani orang-orang di baris depan.

"Hentikan!"

"Tolong!"

"Seseorang - matikanlah!"

"Ini bau!"

Kris membeku menatap ngeri semakin banyak dan banyak zat menjijikkan
dituangkan dari mulut menganga bodoh boneka itu.

Suatu bau busuk amis - bau susu asam, telur busuk, karet terbakar, daging busuk -
naik dari cairan itu. Menggenang di atas panggung dan menghujani ke atas kursi
depan.
Dibutakan oleh lampu sorot, Kris tak bisa melihat penonton di depannya. Tapi ia
bisa mendengar jeritan-jeritan panik tersedak dan muntah itu yang meminta
bantuan.

"Kosongkan auditorium! Kosongkan auditorium!" teriak Bu Berman.

Kris mendengar kegaduhan dan bunyi seretan (kaki) orang-orang mendorong-


dorong jalan mereka sampai gang dan keluar dari pintu.

"Ini bau!"

"Aku sakit!"

"Seseorang - tolonglah!"

Kris mencoba untuk menjepitkan tangannya ke mulut boneka itu. Namun


kekuatan dari cairan hijau busuk berbuih dan muntahan itu terlalu kuat. Ini
mendorong tangannya.

Tiba-tiba ia menyadari bahwa ia sedang didorong dari belakang. Keluar dari


panggung. Jauh dari orang-orang yang berteriak-teriak melarikan diri auditorium.
Keluar dari kilauan lampu sorot.

Dia di belakang panggung sebelum ia menyadari bahwa itu adalah Bu Berman


yang mendorongnya.

"Aku - aku tak tahu bagaimana kau melakukannya. Atau mengapa!." Bu Berman
berteriak marah, dengan panik menyeka bercak cairan hijau menjijikkan dari
depan gaunnya dengan kedua tangan. "Tapi aku akan melihatmu diskors dari
sekolah, Kris. Dan jika aku memiliki caraku,!" Katanya terbata-bata, "kau akan
diskors seumur hidup!"
18

"Itu benar. Tutup pintunya," kata Pak Powell tegas, menatap dengan mata
menyipit pada Kris.

Dia berdiri beberapa inci di belakang Kria, lengannya disilangkan di depannya,


memastikan bahwa Kris mengikuti perintahnya.

Kris dengan hati-hati melipat Tuan Wood menjadi setengah dan mendorongnya
ke belakang rak lemari. Sekarang dia menutup lemari, memastikan itu benar-
benar tertutup, seperti yang perintah Ayahnya.

Lindy mengamati dengan diam-diam dari tempat tidurnya, ekspresi wajahnya


bermasalah.

"Apakah pintu lemari terkunci?" Tanya Pak Powell.

"Tidak. Benar-benar tidak," kata Kris padanya, menurunkan kepalanya.

"Nah, itu yang harus dilakukan," katanya. "Pada hari Senin, aku membawanya
kembali ke toko gadai. Jangan membawanya keluar sampai saat itu."

"Tapi, Ayah -"

Dia mengangkat tangan menyuruhnya diam.

"Kita harus membicarakan ini," pinta Kris. "Anda harus mendengarkanku. Apa
yang terjadi malam ini -. Itu bukan praktek lelucon. Aku -."

Ayahnya berpaling darinya, wajahnya cemberut. "Kris, aku menyesal. Kita akan
berbicara besok. Ibumu dan aku - Kami berdua terlalu marah dan terlalu sedih
untuk bicara sekarang."

"Tapi, Ayah -"

Mengabaikan Kris, ia bergegas keluar ruangan.


Kris mendengarkan langkah kakinya, keras dan bergegas, menuruni tangga. Lalu
Kris perlahan-lahan berbalik kepada Lindy. "Sekarang apakah kau percaya
padaku?"

"Aku - aku tak tahu apa yang harus percaya," jawab Lindy. "Itu hanya begitu...
Luar biasa kotor.

"Lindy, Aku - aku -"

"Ayah benar. Mari kita bicara besok," kata Lindy. "Aku yakin semuanya akan lebih
jelas dan tenang besok."

***

Tapi Kris tak bisa tidur. Dia bergeser dari satu sisi ke sisi lainnya, tak nyaman,
terjaga waspada. Dia menarik bantal ke wajahnya, menahannya di sana untuk
sementara waktu, menyambut kegelapan yang lembut, kemudian
melemparkannya ke lantai.

Aku tak akan pernah bisa tidur lagi, pikirnya.

Setiap kali dia memejamkan mata, ia melihat adegan mengerikan di auditorium


sekali lagi. Dia mendengar teriakan tertegun panik penonton, anak-anak dan
orang tua mereka. Dan dia mendengar teriakan kaget itu beralih ke erangan jijik
saat kotoran amis tercurah ke atas orang-orang.

Memuakkan. Benar-benar begitu memuakkan.

Dan semua orang menyalahkan dirinya.

Hidupku hancur, pikir Kris. Aku tak pernah bisa kembali ke sana lagi. Aku tak
pernah bisa pergi ke sekolah. Aku tak pernah bisa menunjukkan wajahku di mana
saja.

Hancur. Seluruh kehidupanku. Hancur oleh boneka bodoh itu.

Di tempat tidur sebelah, Lindy mendengkur pelan, dalam irama lambat yang
tetap.
Kris memutar matanya ke jendela kamar tidur. Tirai tergantung di bawah jendela,
menyaring cahaya bulan pucat dari luar. Slappy duduk di tempat biasa di kursi di
depan jendela, membungkuk jadi dua, kepalanya di antara kedua lututnya.

Boneka bodoh, pikir Kris pahit. Begitu bodoh.

Dan sekarang hidupku hancur.

Dia melirik jam. Jam satu-dua puluh. Di luar jendela, ia mendengar suara gemuruh
yang pelan. Satu decitan pelan dari rem. Mungkin satu truk besar lewat.

Kris menguap. Dia menutup matanya dan melihat sampah hijau kotor yang
termuntahkan keluar dari mulut Tuan Wood.

Apa aku akan melihat itu setiap kali aku menutup mataku? dia bertanya-tanya.

Apa-apaan ini? Bagaimana bisa semua orang menyalahkanku untuk sesuatu yang
begitu. . . begitu. . .

Gemuruh truk memudar di kejauhan.

Tapi kemudian Kris mendengar suara lain. Satu suara gemerisik.

Suara langkah kaki pelan.

Seseorang sedang bergerak.

Dia menarik napas dan menahannya, mendengarkan baik-baik.

Sekarang hening. Keheningan yang begitu berat, dia bisa mendengar suara
hatinya yang berdebar keras.

Lalu langkah pelan lainnya.

Satu bayangan bergerak.

Pintu lemari terbuka.

Atau hanya bayangan bergeser?


Tidak. Seseorang bergerak. Bergerak dari lemari terbuka itu. Seseorang sedang
berjalan pelan menuju pintu kamar tidur. Berjalan begitu pelan, begitu diam-
diam.

Jantungnya berdebar kencang, Kris menarik diri, berusaha tak membuat suara.
Menyadari bahwa ia telah menahan napas, ia membiarkannya keluar perlahan-
lahan, diam-diam. Ia menghela napas lagi, lalu duduk.
Bayangan itu bergerak perlahan ke pintu.

Kris menurunkan kakinya ke lantai, menatap tajam ke dalam kegelapan, matanya


tetap pada sosok bergerak dengan diam.

Apa yang terjadi? dia bertanya-tanya.

Bayangan itu bergerak lagi. Dia mendengar suara gesekan, suara lengan
menyentuh kusen pintu.

Kris memaksakan dirinya untuk berdiri. Kakinya terasa gemetar saat ia bergerak
pelan ke pintu, mengikuti bayangan yang bergerak itu.

Keluar ke gang. Bahkan lebih gelap di sini karena tak ada jendela.

Menuju tangga.

Bayangan itu sekarang bergerak lebih cepat.

Kris mengikuti, kakinya yang telanjang bergerak ringan di atas karpet tipis.

Apa yang terjadi? Apa yang terjadi?

Dia menangkap sosok bayangan ujung tangga.

"Hei!" panggilnya, suaranya berbisik ketat.

Dia meraih bahu itu dan memutar berkeliling sosok itu.

Dan memandangi wajah menyeringai Tuan Wood.


19

Tuan Wood mengerjap, lalu mendesis padanya, bersuara jelek, suara mengancam.
Dalam kegelapan tangga, seringai dicatnya menjadi seringai mengancam.

Dalam ketakutan itu, Kris meremas bahu boneka itu, membelitkan jari-jarinya di
sekitar kain kasar kemejanya.

"Ini - ini mustahil!" Kris berbisik.

Tuan Wood mengerjap lagi. Dia terkikik. Mulutnya terbuka, membuat seringainya
jadi lebih lebar.

Boneka itu mencoba keluar dari genggaman Kris, tapi Kris menggantung boneka
itu tanpa sadar bahwa ia menahannya.

"Tapi - kau boneka!" jeritnya.

Tuan Wood tertawa lagi. "Juga kau," jawab dia. Suaranya geraman yang dalam,
seperti geraman marah dari seekor anjing besar.

"Kau tak bisa berjalan!" teriak Kris, suaranya gemetar.

Boneka itu tertawa terkikik yang buruk lagi.

"Kau tak mungkin bisa hidup!" seru Kris.

"Lepaskan aku -! Sekarang" Boneka itu menggeram.

Kris menahannya, mengencangkan cengkeramannya.

"Aku sedang bermimpi," kata Kris dirinya sendiri keras-keras. "Aku pasti
bermimpi."

"Aku bukan mimpi. Aku mimpi buruk.!" seru boneka itu, dan menegakkan
belakang kepala kayunya, tertawa.
Masih mencengkeram bahu kemeja, Kris menatap melalui kegelapan di wajah
menyeringai itu. Udara terasa jadi berat dan panas. Dia merasa seolah tak bisa
bernapas, seolah-olah dia tercekik.

Suara apa itu?

Butuh beberapa saat untuk mengenali terengah-engah tegang dari napasnya


sendiri.

"Lepaskan aku," ulang boneka itu. "Atau aku akan melemparkanmu ke bawah
tangga." Dia mencoba sekali lagi untuk menarik keluar dari pegangan Kris.

"Tidak!" Kris bersikeras, memegang erat-erat. "Aku - aku menempatkanmu


kembali di lemari."

Boneka itu tertawa, lalu mendorong wajah dicatnya dekat dengan wajah Kris.
"Kau tak bisa menahanku di sana."

"Aku akan menguncimu di dalamnya. Aku akan menguncimu dalam kotak. Dalam
sesuatu!." Kris menyatakan, rasa panik mengaburkan pikirannya.

Kegelapan sepertinya turun di atasnya, mencekiknya, memberatinya ke bawah.

"Lepaskan aku." Boneka itu menarik keras.

Kris mengulurkan tangannya yang lain dan menangkap pinggang boneka itu.

"Lepaskan aku," sergahnya dalam suara gemuruh serak yang dalam. "Aku yang
bertanggung jawab sekarang. Kau akan mendengarkanku. Ini rumahku sekarang."

Tuan Wood menarik keras.

Kris melingkari pinggangnya.

Mereka berdua jatuh ke tangga, berguling turun beberapa anak tangga.

"Lepaskan!" perintah boneka itu.

Dia berguling di atas tubuh Kris, mata liarnya melotot pada Kris.
Kris mendorongnya pergi, mencoba untuk menjepitkan tangannya di belakang
punggung boneka itu.

Boneka itu cukup kuat. Dia menarik mundur satu tangannya, kemudian meninju
keras perut Kris.

"Ohhh." Kris mengerang, merasakan napasnya lenyap.

Boneka itu mengambil keuntungan dari kelemahan sesaat itu, dan membebaskan
dirinya. Merengut pegangan tangga dengan satu tangan, ia mencoba menarik
dirinya melewati Kris dan menuruni tangga.

Tapi Kris melesatkan kakinya dan menjegalnya.

Masih berjuang untuk bernapas, Kris menyambar punggung boneka itu. Lalu ia
menariknya menjauh dari pegangan tangga dan mendorongnya keras ke bawah
ke anak tangga.

"Oh!" Keris terkesiap keras saat lampu koridor di atas menyala. Dia menutup
matanya melawan pengacauan keras yang mendadak. Boneka itu berjuang untuk
menarik keluar dari bawah, tapi ia mendorong telentang dengan seluruh berat
badannya.

"Kris - apa-apaan ini -?!" kata Lindy bersuara kaget turun dari tangga paling atas.

"Ini Tuan Wood!" Kris berhasil berteriak padanya. "Dia... Hidup!" Dia mendorong
ke bawah keras, terlentang di atas boneka itu, membuatnya tetap terjepit di
bawahnya.

"Kris - apa yang kau lakukan?" tuntut Lindy. "Apa kau baik-baik saja?"

"Tidak!" seru Kris. "Aku tak baik. Tolong - Lindy! Panggil Ibu dan Ayah! Tuan Wood
- dia hidup!"

"Itu cuma boneka!" seru Lindy ke bawah, melangkah enggan ke arah saudaranya.
"Bangunlah, Kris! Apa kau kehilangan pikiranmu?"
"Dengarkan aku!" Teriak Kris di bagian atas paru-parunya. "Panggil Ibu dan Ayah!
Sebelum dia lolos!"

Tapi Lindy tak bergerak. Dia menatap saudaranya, rambutnya yang panjang jatuh
di sekitar wajahnya kusut, wajahnya mengernyit ngeri.

"Bangunlah, Kris," desaknya. "Tolong - bangun. Ayo kita kembali ke tempat tidur."

"Aku bilang, dia hidup!" teriak Kris putus asa. "Kau harus percaya padaku, Lindy.
Kau harus!"

Boneka itu berbaring lemas di bawahnya, wajahnya terbenam di karpet, tangan


dan kakinya tergeletak ke samping.

"Kau bermimpi buruk," desak Lindy, turun langkah demi langkah, memegang baju
panjang di atas pergelangan kakinya sampai ia berdiri tepat di atas Kris.
"Kembalilah ke tempat tidur, Kris. Itu hanya mimpi buruk. Hal mengerikan yang
terjadi di konser - Itu memberimu mimpi buruk, itu saja."

Terengah-engah, Kris mengangkat dirinya dan memutar kepalanya ke wajah


saudaranya. Meraih pegangan tangga dengan satu tangan, dia mengangkat
dirinya sedikit.

Begitu dia mengurangi (tekanannya)pada diri Tuan Wood, boneka itu meraih
ujung tangga dengan kedua tangan dan menarik dirinya keluar dari bawah
tubuhnya. Setengah-jatuh, setengah merangkak, dia bergerak pelan menuruni
sisa tangga.

"Tidak! Tidak! Aku tak percaya!" jerit Lindy, melihat boneka itu bergerak.

"Panggil Ibu dan Ayah!" kata Kris. "Cepat!"

Denga mulutnya terbuka lebar karena kaget tak percaya, Lindy berbalik dan
kembali menaiki tangga, berteriak pada orangtuanya.

Kris menukik dari tangga, menyodorkan tangannya di depannya.


Dia menangkap Tuan Wood dari belakang, membelitkan tangannya di pinggang
boneka itu.

Kepala Tuan Wood menghantam karpet dengan keras saat keduanya jatuh ke
lantai.

Tuan Wood menjerit pelan karena rasa sakit. Matanya tertutup. Dia tak bergerak.

Bingung, dada Kris naik-turun, seluruh tubuhnya gemetar, dia perlahan naik ke
kakinya. Dengan cepat dia menekan kakinya di belakang boneka itu menahannya
di tempat.

"Ibu dan Ayah - di mana kalian?" dia berteriak keras. "Cepat."

Boneka itu mengangkat kepalanya. Dia mengeluarkan geraman marah dan mulai
memukul-mukulkan lengan dan kakinya dengan liar.

Kris menekankan kakinya dengan keras pada punggung boneka itu.

"Lepaskan!" ia menggeram kejam.

Kris mendengar suara-suara di lantai atas.

"Ibu? Ayah? Di bawah sini!" dia memanggil mereka.

Kedua orangtuanya muncul di ujung tangga, wajah mereka penuh dengan


kekhawatiran.

"Lihat!" teriak Kris, dengan panik menunjuk ke boneka di bawah kakinya.

20

"Lihat apa?" teriak Pak Powell, menyesuaikan bagian atas piyamanya.

Kris menunjuk ke boneka di bawah kakinya. "Dia - dia mencoba melarikan diri,"
katanya tergagap.
Tapi Tuan Wood berbaring tengkurap tak bernyawa.

"Apa ini juga lelucon?" tuntut Bu Powell marah, tangan di pinggang gaun tidur
katunnya.

"Aku tak mengerti," kata Mr Powell, menggelengkan kepala.

"Tuan Wood - ia berlari menuruni tangga," kata Kris panik. "Dia telah melakukan
segalanya. Dia -"

"Ini tak lucu," kata Bu Powell letih, menjalankan tangan kembali melalui
rambutnya yang pirang. "Ini tak lucu sama sekali, Kris. Membangunkan setiap
orang di tengah malam."

"Aku benar-benar berpikir kau telah kehilangan pikiranmu. Aku sangat khawatir
tentangmu," tambah Pak Powell. "Maksudku, setelah apa yang terjadi di sekolah
malam itu-"

"Dengarkan aku!" jerit Kris. Dia membungkuk dan menarik Tuan Wood dari lantai.
Memegang bahunya, ia mengguncang dengan keras. "Dia bergerak! Dia berlari!
Dia berbicara! Dia - dia hidup!"

Dia berhenti menggoncangkan boneka itu dan melepaskannya. Dia merosot lemas
ke lantai, jatuh tak bergerak di tumpukan di kakinya.

"Kupikir mungkin kau perlu ke dokter," kata Pak Powell, wajahnya menegang
dengan keprihatinan.

"Tidak, aku melihatnya, juga!" kata Lindy, datang untuk membantu Kris. "Kris
benar. Boneka itu memang bergerak." Tapi kemudian ia menambahkan,
"Maksudku, kupikir boneka itu bergerak!"

Kau bantuan besar, Lindy, Kris berpikir, tiba-tiba merasa lemah, sia-sia.

"Apa ini cuma lelucon lain bodohnya?" tanya Bu Powell dengan marah. "Setelah
apa yang terjadi di malam sekolah, aku akan berpikir bahwa itu sudah cukup."

"Tapi, Bu -" Kris mulai, menatap tumpukan tak bernyawa di kakinya.


"Kembali ke tempat tidur," perintah Bu Powell. "Tak ada sekolah besok. Kita akan
punya banyak waktu untuk mendiskusikan hukuman untuk kalian berdua."

"Aku?" teriak Lindy marah. "Apa yang kulakukan?"

"Bu, kami mengatakan yang sebenarnya!" Kris bersikeras.

"Aku masih tak mengerti lelucon ini," kata Pak Powell, menggelengkan kepala. Dia
menoleh ke arah istrinya. "Apa kita bisa percaya padanya ?"

"Kembali ke tempat tidur kalian berdua. Sekarang!" bentak ibu mereka. Dia dan
ayah mereka menghilang dari ujung tangga, dengan marah menuju kembali di
lorong menuju kamar mereka.

Lindy tetap, dengan satu tangan di atas pegangan tangga, menatap menyesal
pada Kris.

"Kau percaya padaku, bukan?" kata Kris padanya.

"Ya, kukira." Jawab Lindy ragu, menurunkan mata pada boneka kayu di kaki Kris.

Kris melihat ke bawah, juga. Dia melihat Tuan Wood berkedip. Dia mulai berdiri.

"Wah!" Dia mengeluarkan seruan kaget dan mencengkeram leher Tuan Wood.
"Lindy - cepat!" panggilnya. "Dia bergerak lagi!"

"A-apa yang harus kita lakukan?" Lindy tergagap, ragu-ragu berjalan menuruni
tangga.

"Aku tak tahu," jawab Kris saat boneka itu meronta-ronta dengan lengan dan
kakinya di karpet, berusaha mati-matian untuk membebaskan dirinya dari dua
tangan pegangan Kris di lehernya. "Kita harus -"

"Tak ada yang bisa kalian lakukan," bentak Tuan Wood. "Sekarang kalian akan
menjadi budakku. Aku hidup sekali lagi! Hidup!"

"Tapi - bagaimana?" tuntut Kris,, menatapnya tak percaya. "Maksudku, kau


boneka. Bagaimana ?"
Boneka itu mencibir. "Kau membawaku kembali ke kehidupan," katanya dengan
suara seraknya. "kau membaca kata-kata kuno."

Kata-kata kuno? Apa yang dia bicarakan?

Dan kemudian Kris ingat. Dia telah membaca kata-kata yang terdengar aneh dari
lembar kertas di saku kemeja boneka itu.

"Aku kembali, terima kasih," geram boneka itu. "Dan sekarang kau dan
saudaramu akan melayani aku."

Saat ia menatap ngeri pada boneka menyeringai itu, satu ide muncul dalam
pikiran Kris.

Kertas itu. Dia menyelipkannya kembali ke saku.

Jika aku membaca kata-kata itu lagi, pikir Kris, itu akan membuatnya kembali
tidur.

Kris mengulurkan tangan dan meraihnya. Tuan Wood mencoba untuk


menyentakkan diri, tapi Kris terlalu cepat.

Selembar kertas kuning terlipat itu di tangan Kris.

"Berikan padaku!" teriaknya. Dia menyambarnya, tapi Kris mengayunkan keluar


dari jangkauannya.

Dia membukanya cepat. Dan sebelum boneka itu bisa mengambil kertas itu dari
tangannya, ia membaca kata-kata yang aneh dengan suara keras:
"Karru Marri odonna Loma molonu karrano."
21

Kedua saudara itu menatap boneka itu, menunggunya roboh.

Tapi dia mencengkeram pegangan tangga dan menegakkan kepalanya kembali


tertawa geli mengejek. "Itu kata-kata sihir kuno untuk membawaku hidup!" ia
ajarkan. "Itu bukan kata-kata untuk membunuhku!"

Membunuhnya?

Ya, pikir Kris panik. Dia melemparkan kertas kuning itu dengan jijik.

Kami tak punya pilihan.

"Kita harus membunuhnya, Lindy."

"Hah?" Wajah saudaranya penuh dengan keterkejutan.

Kris meraih bahu boneka itu dan memegangnya erat-erat. "Aku akan
menahannya. Kau menarik kepalanya."

Lindy ada di sampingnya sekarang. Dia harus merunduk menjauh dari kaki Tuan
Wood yang meronta-ronta.

"Aku akan tetap menahannya ," ulang Kris. "Ambil kepalanya. Tarik keluar."

"Kau - kau yakin?" Lindy ragu-ragu, wajahnya menegang dengan ketakutan.

"Lakukan saja!" jerit Kris.

Dia membiarkan tangannya meluncur ke bawah pinggang Tuan Wood.

Lindy meraih kepala boneka itu dengan kedua tangannya.

"Lepaskan aku!" kata boneka itu parau.

"Tarik!" teriak Kris pada saudaranya yang ketakutan.

Memegang pinggang boneka itu dengan erat, ia bersandar, menariknya menjauh


dari saudaranya.
Tangan Lindy tangan yang memegang erat di kepala boneka itu. Dengan
mengerang keras, dia menarik keras.

Kepala itu tak copot.

Tuan Wood mengeluarkan tawa bernada tinggi. "Hentikan! Kalian menggelitikku."


ia berkata parau.

"Tarik lebih keras!" perintah Kris pada saudaranya.

Wajah Lindy memerah terang. Dia memperkerat cengkeramannya pada kepala


dan menarik lagi, menarik dengan seluruh kekuatannya.

Boneka itu tertawa melengking, tawa yang tak menyenangkan.

"Itu - itu tak copot," kata Lindy, mendesah kalah.

"Pelintir!" saran Kris panik.

Boneka itu meronta-ronta keluar dengan kakinya, menendang perut Kris. Tapi dia
bertahan. "Pelintir copot kepalanya !" teriaknya.

Lindy mencoba memutar kepala boneka itu.

Boneka itu terkikik.

"Ini tak mau memutar!" teriak Lindy frustrasi. Dia melepaskan kepala itu dan
mundur selangkah.

Tuan Wood mengangkat kepalanya, menatap Lindy, dan menyeringai. "Kau tak
bisa membunuhku, Aku punya kekuatan."

"Apa yang kita lakukan?" teriak Lindy, mengangkat matanya pada Kris.

"Ini rumahku sekarang," kata boneka itu dengan serak, nyengir pada Lindy karena
berjuang untuk lolos dari tangan Kris. "Kalian sekarang akan melakukan seperti
yang kukatakan. Lepaskan aku."

"Apa yang kita lakukan?" ulang Lindy.


"Bawa dia ke lantai atas. Kita akan memotong kepalanya," jawab Kris.

Tuan Wood mengayunkan kepala ke sekeliling, matanya terbentang terbuka


dengan tatapan jahat.

"Aduh!" teriak Kris kaget saat boneka itu dengan mendadak menjepitkan
rahangnya di lengannya, menggigit-nya. Dia menarik lengannya menjauh dan,
tanpa berpikir, menampar kepala boneka itu dengan telapak tangannya.

Boneka itu menanggapi dengan terkikik. "Kekerasan! Kekerasan!" katanya dengan


nada pura-pura marah.

"Ambil gunting tajam itu. Di lacimu," perintah Kris pada saudaranya. "Aku akan
membawanya ke kamar kita."

Lengannya tempat di mana Tuan Wood menggigitnya berdenyut-denyut. Tapi dia


memegangi erat-erat dan membawanya ke kamar mereka.

Lindy sudah menarik gunting logam panjang dari laci. Tangannya gemetar saat ia
membuka dan menutup pisau.

"Di bawah leher," kata Kris, memegang erat bahu Tuan Wood.

Dia mendesis marah padanya. Kris berkelit saat Tuan Wood mencoba menendang
dengan kedua kaki terbungkus sepatu.

Memegang gunting dengan dua tangan, Lindy mencoba memotong kepalanya di


leher. Gunting itu tak memotong, jadi ia mencoba gerakan menggergaji.

Tuan Wood terkikik. "Sudah kukatakan kalian tak bisa membunuhku."

"Ini tak akan bekerja," teriak Lindy, air mata frustrasi mengalir di pipinya.
"Sekarang apa?"

"Kita akan menempatkan dia di lemari. Lalu kita bisa berpikir," jawab Kris.

"Kalian tak perlu berpikir. Kalian budakku," kata boneka itu serak. "Kalian akan
melakukan apa pun yang kuminta. Dari sekarang aku yang akan berkuasa."
"Tidak," gumam Kris, menggelengkan kepala.

"Bagaimana kalau kami tak membantumu ?" tuntut Lindy.

Boneka itu berpaling padanya, menatapnya tajam, marah. "Lalu aku akan mulai
menyakiti orang-orang yang kalian cintai," katanya santai. "Orang tua kalian.
Teman-teman kalian. Atau mungkin anjing menjijikkan itu yang selalu menyalak
padaku." Dia mengayunkankan kepalanya ke belakang dan tawa jahat kering
keluar dari bibir kayunya.

"Kunci dia di lemari," saran Lindy. "Sampai kita tahu cara untuk
menyingkirkannya."

"Kalian tak bisa menyingkirkanku," desak Tuan Wood. '"Jangan membuatku


marah, aku punya kekuatan. Aku memperingatkan kalian. Aku mulai bosan
dengan usaha bodoh kalian untuk menyakitiku."

"Lemari itu tak terkunci - ingat?" teriak Kris, berjuang untuk menahan boneka
yang meronta-ronta itu.

"Oh. Tunggu. Bagaimana dengan ini?" Lindy bergegas ke lemari. Dia menarik
keluar sebuah koper tua dari belakang.

"Sempurna," kata Kris.

"Aku peringatkan kalian -" ancam Tuan Wood. "Kalian menjadi sangat
membosankan."

Dengan tarikan keras, dia menarik dirinya bebas dari Kris.

Kris membungkuk untuk menjegalnya, tapi Tuan Wood melesat keluar dari bawah
tubuhnya. Kris jatuh telungkup ke tempat tidur.

Boneka itu berlari ke tengah ruangan, kemudian matanya berbalik ke pintu,


seolah berusaha memutuskan ke mana harus pergi. "Kalian harus melakukan
seperti yang kuberitahukan pada kalian," katanya kelam, mengangkat tangan
kayunya ke arah Lindy. "Aku tak akan lari dari kalian berdua. Kalian harus jadi
budakku."
"Tidak!" teriak Kris, mendorong dirinya berdiri.

Dia dan saudaranya keduanya meloncat ke boneka itu. Lindy menyambar


lengannya. Kris merunduk untuk meraih pergelangan kakinya.

Bekerja sama, mereka memasukkannya ke dalam koper terbuka.

"Kalian akan menyesali ini," ancamnya, menendang kakinya, berjuang untuk


memukul mereka. "Kalian akan membayar mahal untuk ini. Sekarang seseorang
akan mati!"

Dia terus berteriak setelah Kris mengancingkan koper itu dan memasukkannya ke
dalam lemari. Dia cepat-cepat menutup pintu lemari, lalu menyandarkan
punggungnya itu, mendesah lelah.

"Sekarang apa?" tanyanya pada Lindy.

22

"Kita akan menguburnya," kata Kris.

"Hah?" Lindy menahan kuap.

Mereka telah berbisik-bisik bersama-sama untuk apa (yang dilakukan) yang


tampaknya seperti berjam-jam. Saat mereka mencoba untuk membuat rencana,
mereka bisa mendengar teriakan boneka itu yang teredam dari dalam lemari.

"Kita akan menguburnya. Di bawah gundukan besar kotoran itu," jelas Kris,
matanya ke jendela. "Kau tahu. Tetangga sebelah. Di samping rumah baru."

"Ya. Oke. Aku tak tahu," jawab Lindy. "Aku sangat lelah, aku tak bisa berpikir
lurus."

Dia melirik jam di meja tempat tidur. Saat itu hampir tiga-tiga puluh pagi.
"Aku masih berpikir kita harus bangunkan Ibu dan Ayah," kata Lindy, ketakutan
tercermin di matanya.

"Kita tak bisa," kata Kris padanya. "Kita sudah membahas itu seratus kali. Mereka
tak akan mempercayai kita. Jika kita membangunkan mereka, kita akan berada
dalam masalah yang lebih besar."

"Bagaimana kita bisa berada dalam masalah besar?" tuntut Lindy, berisyarat
dengan kepalanya ke lemari di mana teriakan marah Tuan Wood masih bisa
didengar.

"Cepat berpakaian," kata Kris dengan energi baru. "Kita akan menguburnya di
bawah semua kotoran itu. Lalu kita jangan pernah berpikir tentang dia lagi."

Lindy bergidik dan berpaling matanya untuk boneka itu, terlipat di kursi. "Aku tak
tahan lagi melihat Slappy. Aku sangat menyesal aku yang membuat kita tertarik
pada boneka."

"Ssstt. Berpakaian sajalah," kata Kris tak sabar.

***

Beberapa menit kemudian, kedua gadis bergerak pelan menuruni tangga dalam
kegelapan. Kris membawa koper dengan kedua lengan, berusaha untuk meredam
suara protes marah Tuan Wood.

Mereka berhenti di bawah tangga dan mendengarkan tanda-tanda bahwa mereka


telah membangunkan orangtua mereka.

Hening.

Lindy membuka pintu depan dan mereka menyelinap luar.

Udara dingin dan basah yang mengejutkan. Embun berat mulai turun, membuat
halaman depan berkilauan di bawah cahaya bulan setengah. Bilah-bilah rumput
basah menempel sepatu mereka saat mereka berjalan ke garasi.
Saat Kris memegang koper, Lindy dengan perlahan, pelan-pelan, membuka pintu
garasi. Ketika setengah jalan, ia merunduk dan menyelinap masuk.

Beberapa detik kemudian Lyndi muncul, membawa sekop salju besar. "Ini pasti
bisa melakukannya," katanya, berbisik meskipun tak ada orang di sekitar.

Kris melirik ke bawah jalan saat mereka melintasi halaman menuju ke bidang
tanah tetangga. Kabut embun pagi yang berat berkilauan dari lampu jalanan,
membuat cahaya pucat muncul untuk melengkung dan berkelap-kelip seperti lilin.
Semuanya tampak berpendar di bawah langit ungu tua.

Kris mengatur koper di samping gundukan tanah tinggi. "Kita akan menggali tepat
di sini," katanya, menunjuk ke arah bagian bawah gundukan. "Kita akan
memasukkannya ke dalam dan menutupi dirinya."

"Aku peringatkan kalian," ancam Tuan Wood, mendengarkan di dalam koper.


"Rencana kalian tak akan berjalan, aku punya kekuatan!"

"Kau menggali dulu," kata Kris pada saudaranya, mengabaikan ancaman boneka
itu. "Lalu giliranku."

Lindy menggali ke dalam tumpukan dan memuntahkan sesekop tanah.

Kris menggigil. Embun berat terasa dingin dan lembab. Satu awan melayang di
atas bulan, langit gelap dari ungu ke hitam.

"Biarkan aku keluar!" kata Tuan Wood . "Biarkan aku keluar sekarang, dan
hukuman kalian tak akan terlalu parah."

"Gali lebih cepat," bisik Kris tak sabar.

"Aku (menggali) secepat yang kubisa," jawab Lindy. Dia telah menggali lubang
dengan ukuran yang cukup baik berbentuk persegi di dasar gundukan. "Berapa
dalam lagi, menurutmu?"

"Lebih dalam lagi," kata Kris. "Ini. Perhatikan kopernya. Aku akan mengambil
gilirannya." Dia bertukar tempat dengan Lindy dan mulai menggali.
Sesuatu berlari sangat dekat semak-semak rendah yang memisahkan halaman.
Kris mendongak, melihat satu bayangan bergerak, dan terkesiap.

"Raccoon, kurasa," kata Lindy dengan bergidik. "Apakah kita akan mengubur Tuan
Wood dalam koper, atau kita akan mengeluarkannya keluar?"

(Raccon = binatang mamalia kecil di Amerika Utara dan Selatan yang tinggal di
pohon)

"Kau pikir Ibu akan tahu kalau koper itu hilang?" tanya Kris, melemparkan sesekop
tanah basah ke samping.

Lindy menggeleng. "Kita tak pernah menggunakannya."

"Kita akan menguburnya dalam koper," kata Kris. "Itu akan lebih mudah."

"Kalian akan menyesal," teriak boneka itu dengan suara parau serak.

Koper itu berguncang dan hampir terguling ke samping.

***

"Aku sangat mengantuk," keluh Lindy, melemparkan kaus kakinya ke lantai,


kemudian menggeser kakinya di bawah selimut.

"Aku terjaga," jawab Kris, duduk di tepi tempat tidurnya. "Kurasa itu karena aku
begitu senang. Begitu senang kita berhasil menyingkirkan makhluk mengerikan
itu."

"Semuanya begitu aneh," kata Lindy, menyesuaikan bantal di belakang kepala.


"Aku tak menyalahkan ibu atau ayah karena tak mempercayainya. Aku tak yakin
aku juga mempercayainya."

"Kau meletakkan sekop kembali di mana kau menemukannya?" tanya Keris.

Lindy mengangguk. "Ya," katanya mengantuk.

"Dan kau menutup pintu garasi?"


"Ssstt. Aku ngantuk," kata Lindy. "Setidaknya, besok tak ada sekolah. Kita bisa
tidur terlambat."

"Kuharap aku bisa tidur," kata Kris ragu. "Aku hanya begitu deg-degan. Ini semua
seperti semacam mimpi buruk mengerikan yang kotor. Aku cuma berpikir ....
Lindy? Lindy - kau masih terjaga?"

Tidak. Saudaranya telah tertidur.

Kris menatap langit-langit. Dia menarik selimut sampai ke dagu. Dia masih merasa
dingin. Dia tak bisa menghilangkan kelembaban dingin udara pagi.

Setelah beberapa saat singkat, dengan pikiran-pikiran dari segala sesuatu yang
telah terjadi malam itu berputar kencang di kepalanya, Kris tertidur juga.

***

Gemuruh mesin membangunkannya jam delapan tiga puluh keesokan harinya.


Menggeliat, mencoba menggosok-gosok kantuk dari matanya, Kris tersandung ke
jendela, bersandar di kursi memegang Slappy, dan mengintip keluar.

Hari ini abu-abu mendung. Dua buldozer (steamroller) kuning besar


menggelinding di atas bidang tanah tetangga di belakang rumah yang baru
dibangun, meratakan tanah.

(Steamroller= mesin giling untuk meratakan jalan)

Aku bertanya-tanya apakah mereka akan meratakan bahwa gundukan besar


kotoran itu, pikir Kris, menatap mereka. Itu benar-benar akan menjadi sangat
baik.

Kris tersenyum. Dia tak tidur sangat lama, tapi ia merasa segar.

Lindy masih tertidur lelap. Kris berjingkat-jingkat melewatinya, menarik jubahnya


di atas, dan menuju lantai bawah.

"Pagi, Bu," serunya riang, mengikat sabuk jubahnya saat ia memasuki dapur.
Bu Powell berbalik dari wastafel ke wajahnya. Kris terkejut melihat ekspresi
marah di wajahnya.

Dia mengikuti tatapan ibunya ke meja sarapan.

"Oh!" Kris terkesiap ketika dia melihat Tuan Wood. Dia duduk di meja, tangannya
di pangkuannya.

Rambutnya kusut dengan kotoran berwarna merah-coklat, dan noda kotoran


yang menempel pada pipi dan dahinya.

Kris mengangkat kedua tangannya ke wajahnya dengan ngeri.

"Kurasa kau pernah diberitahu untuk jangan membawa benda itu di bawah sini!"
Bu Powell marah. "Apa yang harus kulakukan, Kris?" Dia berbalik dengan marah
kembali ke wastafel.

Boneka itu mengedipkan mata pada Kris dan sekilas tersenyum lebar jahat.

23

Saat Kris menatap ngeri pada boneka menyeringai itu, Pak Powell tiba-tiba
muncul di ambang pintu dapur.

"Siap?" dia bertanya kepada istrinya.

Bu Powell menggantung lap piring di rak dan berbalik, menyisir sehelai rambut
dari dahinya. "Siap. Aku akan mengambil tasku." Dia melewatinya ke lorong
depan.

"Ke mana kalian akan pergi?" kata Kris, suaranya menunjukkan kekhawatirannya.
Matanya terus tertuju pada boneka itu di sudut itu.
"Cuma berbelanja sedikit di toko kebun," kata ayahnya, melangkah ke dalam
ruangan, mengintip dari jendela dapur. "Sepertinya hujan."

"Jangan pergi!" Kris memohon.

"Hah?" Dia berbalik ke arahnya.

"Jangan pergi - Tolong!" kata Kris.

Mata ayahnya mendarat di boneka itu. Dia berjalan mendekatinya. "Hei - apa
gagasan besar ini?" tanya ayahnya marah.

"Kupikir kau ingin membawanya kembali ke toko gadai," jawab Kris, berpikir
cepat.

"Tidak sampai hari Senin," jawab ayahnya. "Ini hari Sabtu, ingat?"

Boneka itu berkedip. Pak Powell tak menyadarinya.

"Apa kalian harus pergi belanja sekarang?" tanya Kris dengan suara pelan.

Sebelum ayahnya bisa menjawab, Bu Powell muncul kembali di ambang pintu.


"Ini. Tangkap." Teriaknya, dan melemparkan kunci mobil kepada ayahnya. "Ayo
kita pergi sebelum hujan turun."

Pak Powell mulai ke pintu. "Kenapa kau tak ingin kami pergi?" tanyanya.

"Boneka itu -" Kris memulai. Tapi ia tahu itu sia-sia. Mereka tak pernah
mendengarkan. Mereka tak pernah percaya padanya. "Sudahlah," gumamnya.

Beberapa detik kemudian, ia mendengar mobil mereka di jalan. Mereka sudah


pergi.

Dan dia sendirian di dapur dengan boneka menyeringai itu.

Tuan Wood berbalik ke arahnya perlahan, berputar di bangku meja tinggi.


Matanya yang besar terkunci marah pada Kris.

"Aku memperingatkan kamu," sergahnya.


Barky berlari-lari kecil ke dapur, kuku kakinya berbunyi keras di lantai. Dia
mengendus lantai saat ia berlari, mencari sisa sarapan seseorang mungkin jatuh.

"Barky, dari mana saja kau?" tanya Kris, senang punya teman.

Anjing mengabaikannya dan mengendus di bawah bangku Tuan Wood duduk.

"Dia di atas, membangunkanku," kata Lindy, menggosok matanya saat dia


berjalan ke dapur. Dia memakai celana tenis pendek tenis dan kaus merah
keungu-unguan tanpa lengan. "Anjing bodoh."

Barky menjilat di suatu tempat pada lantai.

Lindy menjerit saat dia melihat Tuan Wood. "Oh, tidak!"

"Aku kembali," teriak boneka itu serak. "Dan aku sangat tak senang dengan kalian
dua budak."

Lindy berpaling ke Kris, mulutnya terbuka karena terkejut dan ngeri.

Kris matanya terus mengamati boneka itu. Apa yang dia rencanakan? dia
bertanya-tanya. Bagaimana aku bisa menghentikannya?

Mengubur dia di bawah semua kotoran yang tak menahannya kembali.

Entah bagaimana ia telah membebaskan dirinya dari koper itu dan menarik
dirinya keluar.

Apakah tak ada cara untuk mengalahkannya? Cara apapun?

Menyeringai dengan seringai yang jahat, Turun Wood turun ke lantai, sepatunya
berbunyi keras di lantai. "Aku sangat bahagia dengan kalian dua budak," ulangnya
dengan suara geramannya.

"Apa yang akan kau lakukan?" teriak Lindy dengan suara melengking ketakutan.

"Aku harus menghukum kalian," jawab boneka itu. "Aku harus membuktikan
kepada kalian kalau aku serius."

"Tunggu!" teriak Kris.


Tapi boneka itu bergerak cepat. Dia mengulurkan tangan dan meraih leher Barky
dengan kedua tangannya.

Saat boneka itu mempererat cengkeramannya, anjing terrier ketakutan itu mulai
melolong kesakitan.

24

"Aku memperingatkan kalian," bentak Tuan Wood melebihi lolongan anjing


terrier dari hitam kecil itu. "Kalian akan melakukan seperti yang kukatakan - atau
satu per satu, orang yang kalian cintai akan menderita!"

"Tidak!" teriak Kris.

Barky mengeluarkan (suara) bernada tinggi anak binatang, embikan rasa sakit
yang membuat Kris bergidik.

"Lepaskan Barky!" jerit Kris.

Boneka itu terkikik.

Barky mengeluarkan hembusan nafas parau.

Kris tak tahan lagi. Dia dan Lindy melompat pada boneka dari dua sisi. Lindy
memegang kakinya. Kris meraih Barky dan menariknya.

Lindy menyeret boneka ke lantai. Tapi tangan kayunya berpegangan erat pada
tenggorokan anjing.

Lolongan Barky menjadi sebuah rintihan tertahan saat dia berusaha untuk
bernapas.

"Lepaskan! Lepaskan!" jerit Kris.


"Aku memperingatkan kalian!" boneka itu menggeram saat Lindy memegang erat
kakinya yang menendang-nendang. "Anjing itu harus mati sekarang!"

"Tidak!" Kris melepaskan anjing terengah-engah itu. Dia menyelipkan tangannya


ke pergelangan tangan boneka itu. Lalu dengan sentakan keras, ia menarik tangan
kayu dan memisahkannya.

Barley jatuh ke lantai, mendesah. Dia buru-buru berlari ke pojokan, cakar


paniknya meluncur di lantai yang halus.

"Kalian akan membayar sekarang!" teriak Tuan Wood geram. Menyentak bebas
dari Kris, ia mengayunkan tangan kayunya ke atas, mendarat pukulan keras pada
dahi Kris.

Kris menjerit kesakitan dan mengangkat kedua tangannya ke kepalanya.

Dia mendengar Barley menyalak keras di belakangnya.

"Lepaskan aku!" tuntut Tuan Wood, berbalik kembali ke Lindy, yang masih
memegang kakinya.

"Tak mungkin!" Lindy menangis. "Kris - pegang lengannya lagi."

Dengan kepalanya yang masih berdenyut-denyut, Kris menerjang maju untuk


meraih lengan boneka.

Tapi boneka itu menundukkan kepala saat Kris mendekat dan menjepitkan rahang
kayunya ke pergelangan tangan Kris.

"Aauuu!" Kris berteriak kesakitan dan menarik kembali

Lindy mengangkat boneka itu di kakinya, kemudian membanting tubuhnya keras


pada lantai. Boneka itu mengucapkan menggeram marah dan mencoba
menendang bebas darinya.

Kris menerjang lagi, dan kali ini meraih satu lengan, kemudian lengan yang lain.
Boneka itu menurunkan kepalanya untuk menggigit sekali lagi, tapi Kris mengelak
dan menarik lengannya ketat di belakang punggungnya.
"Aku memperingatkanmu!" dia berteriak. "Aku memperingatkanmu!"

Barky menyalak gembira, melompat-lompat di sisi Kris.

"Apa yang kita lakukan dengannya?" kata Lindy, berteriak di atas ancaman marah
boneka itu.

"Keluar!" teriak Kris, menekan lengan lebih erat di punggung Tuan Wood.

Dia tiba-tiba teringat dua buldoser yang dilihatnya bergerak di halaman sebelah,
meratakan tanah.

"Ayolah," desaknya pada saudaranya. "Kita akan menghancurkannya!"

"Aku memperingatkan kalian! Aku punya kekuatan!" jerit boneka itu.

Mengabaikannya, Kris membuka pintu dapur dan mereka membawa keluar


tawanan mereka yang meronta-ronta itu.

Langit (berwarna) abu-abu arang. Hujan gerimis mulai turun. Rerumputan sudah
basah.

Di atas semak rendah yang memisahkan halaman, gadis-gadis itu bisa melihat dua
buldozer kuning besar, satu di belakang, satu di sisi sebelah bidang tanah.
Keduanya tampak seperti raksasa, binatang lamban, mesin giling hitam
raksasanya meratakan segala sesuatu di jalan.

"Kesini! Cepat!" teriak Kris kepada saudaranya, memegang erat boneka itu saat ia
berlari. "Lemparkan dia di bawah yang satunya!"

"Biarkan aku pergi! Biarkan aku pergi, budak!" jerit boneka itu. "Ini kesempatan
terakhir kalian!" Dia mengayunkan keras kepalanya, mencoba menggigit lengan
Kris.

Guntur bergemuruh rendah di kejauhan.

Gadis-gadis itu berlari dengan kecepatan penuh, terpeleset di atas rumput basah
saat mereka bergegas menuju buldoser yang bergerak cepat.
Mereka hanya beberapa yard jauhnya dari mesin besar ketika mereka melihat
Barky. Ekornya bergoyang-goyang bersemangat, ia berlari di depan mereka.

(yard= jarak yang sama dengan 3 kaki)

"Oh, tidak! Bagaimana dia bisa keluar?" teriak Lindy.

Sambil menatap kembali pada mereka, lidahnya menggantung keluar dari


mulutnya, berjingkrak gembira di rumput basah, anjing itu berlari tepat ke jalur
buldoser yang bergemuruh.

"Jangan, Barky!" Kris menjerit ngeri. "Jangan Barky - jangan !"

25

Melepaskan Tuan Wood, kedua gadis itu menukik ke arah anjing. Dengan tangan
terentang, mereka meluncur di perut mereka di atas rumput basah.

Tak menyadari masalah, menikmati permainan kejar mengejar itu, Barky kabur.

Lindy dan Kris berguling keluar dari jalan buldoser itu.

"Hei - pergi dari sana!" teriak petugas dengan marah melalui jendela buldoser
yang tinggi. "Apa kalian sudah gila?"

Mereka melompat berdiri dan berbalik kembali pada Tuan Wood.

Hujan mulai turun sedikit lebih keras. Satu petir putih beruntun bergerigi melintas
tinggi di langit.

"Aku bebas!" teriak boneka itu, mengangkat tangan kemenangan di atas


kepalanya. "Sekarang kalian akan membayar!"
"Tangkap dia!" teriak Kris pada saudaranya.

Hujan membasahi rambut dan bahu mereka. Kedua gadis itu menundukkan
kepala mereka, bersandar ke hujan, dan mulai mengejar boneka itu.

Tuan Wood berbalik dan mulai berlari.


Dia tak pernah melihat buldoser lainnya.

Roda hitam raksasa itu berguling tepat di atasnya, mendorong punggungnya, lalu
menghancurkannya dengan derakan keras.

Satu desisan keras naik dari bawah mesin, seperti udara yang keluar dari balon
besar.

Buldoser itu tampak berayun-ayun maju dan mundur.

Suatu gas hijau aneh muncrat dari bawah roda, ke udara, menyebar di awan
berbentuk jamur yang menakutkan.

Barley berhenti berlari dan berdiri membeku di tempatnya, matanya mengikuti


gas hijau saat melayang melawan langit hampir hitam.

Lindy dan Kris menatap heran dengan mulut terbuka.

Didorong oleh angin dan hujan, gas hijau melayang di atas mereka.

"Yuck. Ini bau!" Lindy menyatakan.


Baunya seperti telur busuk.

Barley mengucapkan rintihan rendah.

Buldoser itu mundur. Sopirnya melompat keluar dan berlari ke arah mereka. Dia
seorang pria pendek gempal dengan lengan besar berotot menggelembung keluar
dari lengan kaosnya. Wajahnya merah padam berambut pirang sangat pendek,
matanya melebar ngeri.

"Seorang anak?" teriaknya. "Aku - aku melindas anak-anak?"

"Tidak. Dia boneka kayu," kata Kris padanya. "Dia tak hidup."
Dia berhenti. Wajahnya berubah dari merah ke putih tepung. Dia mengeluarkan
napas, bersyukur keras. "Aduh," keluhnya. "Aduh. Kupikir itu anak kecil."

Dia mengambil napas dalam-dalam dan membiarkan keluar perlahan-lahan.


Kemudian dia membungkuk untuk memeriksa daerah di bawah rodanya.

Saat gadis-gadis itu datang dekat, mereka melihat sisa-sisa boneka kayu itu,
dilumatkan jadi datar dalam celana jeans dan kemeja flanel.

"Hei, aku sungguh menyesal," kata pria itu, menyeka keningnya dengan lengan
bajunya saat ia berdiri tegak menghadapi mereka. "Aku tak bisa berhenti pada
waktunya."

"Tak apa-apa," kata Kris, dengan senyum lebar di wajahnya.

"Ya. Sungguh. Tak apa-apa," Lindy dengan cepat setuju.

Barky bergerak mendekat untuk mengendus boneka hancur itu.

Pria itu menggeleng. "Aku sangat lega Sepertinya itu berjalan. Aku benar-benar
berpikir itu anak kecil, aku sangat takut."

"Tidak. Cuma boneka," kata Kris padanya.

"Wah!" Pria itu menghela napas perlahan. "Hampir saja." Ekspresinya berubah.
"Apa yang kalian lakukan di tengah hujan, sih?"

Lindy mengangkat bahu. Kris menggeleng. "Hanya berjalan-jalan dengan anjing."

Pria itu mengangkat boneka hancur. Kepala hancur menjadi bubuk ketika ia
mengangkatnya. "Kau ingin benda ini?"

"Anda bisa membuangnya di tempat sampah," kata Kris padanya.

"Lebih baik keluar dari hujan," katanya kepada mereka. "Dan jangan menakut-
nakutiku seperti itu lagi."

Gadis-gadis meminta maaf, lalu kembali ke rumah. Kris melemparkan senyum


bahagia pada adiknya. Lindy menyeringai kembali.
Aku mungkin tersenyum selamanya, Kris pikir. Aku sangat senang. Sangat lega.

Mereka mengusap sepatu mereka yang basah di atas matras, lalu menahan pintu
dapur terbuka untuk Barky.

"Wow! Pagi yang hebat!" Lindy menyatakan.

Mereka mengikuti anjing ke dapur. Di luar, kilatan petir terang diikuti oleh
gemuruh guntur.

"Aku basah kuyup," kata Kris. "Aku akan pergi ganti pakaian."

"Aku juga." Lindy mengikutinya menaiki tangga.

Mereka memasuki kamar tidur mereka untuk menemukan jendela terbuka lebar,
tirai-tirai terbanting dengan liar, hujan mengalir masuk.

"Oh, tidak!" Kris bergegas melintasi ruangan untuk menutup jendela.

Ketika dia membungkuk untuk mengambil kursi bingkai jendela, Slappy


mengulurkan tangan dan meraih lengannya.

"Hei, budak - apa orang lain itu pergi?" boneka kayu itu bertanya dengan geraman
serak. "Kupikir dia tak akan pernah pergi!"

****

Anda mungkin juga menyukai