Anda di halaman 1dari 9

Dalam era digital, salah satu fenomena yang terjadi adalah VUCA, Pada intinya,

perubahan begitu cepat terjadi dan mengharuskan kita untuk selalu berinovasi.

Akronim VUCA merupakan singkatan Volatile, Uncertain, Complexity and


Ambiguity.  Istilah ini populer dalam dekade terakhir, menggambarkan lingkungan
bisnis yang makin bergejolak, kompleks dan bertambahnya ketidakpastian, seperti
saat masa “pandemi” ini.
Pada intinya, perubahan begitu cepat terjadi dan mengharuskan kita untuk selalu
berinovasi.

Volatile: lingkungan bisnis yang labil, berubah amat cepat dan terjadi dalam skala
besar.

Uncertain: sulitnya memprediksi dengan akurat apa yang akan terjadi.

Complex: tantangan menjadi lebih rumit karena multi faktor yang saling terkait.

Ambiguous: ketidakjelasan suatu kejadian dan mata rantai akibatnya.

 Perusahaan yang model strukturnya tambun dan kaku mulai mengalami kesulitan
bermanufer dan tidak jarang bahkan kesulitan bernafas. Langkah mereka terasa
lamban dan perolehan pangsa pasar ter-erosi. Kecepatan merespon menjadi kunci
sukses selain keakuratan membaca peta perubahan yang sedang terjadi.
Pola senioritas dan penggunaan power sebagai model sukses menggerakkan tindakan
di organisasi justru kini menjadi penghambat terbesar untuk menghasilkan
terobosan dan kreatifitas. 
Proyeksi dan perencanaan bisnis dituntut menjadi fleksibel dan adaptif dengan potensi
munculnya disruptor, regulasi baru, perubahan teknologi, kompetisi, pola sosial dan
gaya hidup konsumen.

Untuk mengatasi dunia VUCA, para leader tidak bisa hanya menggunakan keahlian
teknis dan apa yang disebut soft skill leadership. Para leader perlu menyelam kedalam
diri masing-masing menggali serta mengenali apa yang menjadi pola dalam lapisan
iceberg dirinya. Ini termasuk memahami:

1. Apa yang melandasi keyakinannya tentang diri mereka sendiri, tentang orang
lain (kolega, team, sekelilingnya) serta tentang pekerjaan, tugas, peran dan
tanggungjawabnya.
2. Apa kekhawatiran dan ketakutan yang membayangi pemikiran, sikap dan
keputusan, saat berada dalam kondisi tertekan dan kritis? 
3. Dimana saat ini evolusi kesadaran dirinya sebagai seorang leader? apakah
dirinya berada pada level 1-3 dari kesadaran yang dikendalikan oleh survival,
reputasi dan imej serta perlunya eksistensi diri? atau dirinya sebagai leader sudah
berada pada tingkat keepmat kesadaran yang ditengarai dengan keberanian
menjadi otentik dan meninggalkan pola-pola lama mindset serta perilakunya? 
4. Apa yang menjadi blindpsot dan penghambat internal dari pola mindset dan
perilaku dirinya ?
 Jika leader terlalu bersemangat – bisa jadi menimbulkan sikap tidak
pernah menyerah dan blindspot dipersepsi sebagai terlalu aktif dan kurang
memahami kondisi anak buah.
 Jika leader mengutamakan reputasi – bisa menumbuhkan sikap
manipulatif – yang penting harus terlihat baik!
 Jika leader ingin terlihat hebat dan kompeten – bisa menumbuhkan
sikap ingin selalu diakui dan menonjol. Blindspot nya adalah terlalu fokus akan
diri sendiri. 
5. Bagaimana leader akan melakukan perjalanan transformasi dirinya menuju
pribadi yang lebih aware terhadap kondisi internal diri sendiri dan lingkungannya
serta memiliki kemampuan untuk menjadi role model dan memfasilitasi proses
pembentukan collective thinking teamnya menuju kreatifitas dan inovasi.
Perjalanan ini adalah proses perubahan yang signifikan. Seringkali para leaders
akan memerlukan bantuan eksternal untuk mengawal fasilitasi perjalanan
transformasi ini. 
Akronim VUCA merupakan singkatan Volatile, Uncertain, Complexity and
Ambiguity.  Istilah ini populer dalam dekade terakhir, menggambarkan
lingkungan bisnis yang makin bergejolak, kompleks dan bertambahnya
ketidakpastian. Istilah VUCA pertama kali digunakan dalam dunia militer pada
era sembilan puluhan untuk menggambarkan situasi medan tempur yang
dihadapi oleh pasukan operasional dimana informasi medan yang ada amat
terbatas. Bertempur dalam keterbatasan informasi serasa berjalan dalam
kebutaan dan bisa menimbulkan chaos Keadaan ini diistilahkan sebagai
medan perang kabut (fog war). Sekolah bisnis masa 1980-90an banyak
mengajarkan cara mengelola situasi bisnis yang relatif mudah diprediksi.
Rutinitas dan stabilitas menjadi dasar asumsi. Resep sukses di masa lalu
dianalisa dan dicari formulanya lalu menjadi acuan untuk perencanaan. Goal
dan sasaran kinerja ditetapkan oleh perancang strategi perusahaan dengan
alat semacam PDCA. Pada periode itu fokus organisasi adalah mengelola
sumberdaya dengan efisien guna mencapai sasaran kinerja. Cara seperti ini
masih dapat diandalkan sampai tibanya lingkungan VUCA (Volatile,
Uncertain, Complexity, Ambiguity). Kata volatile merujuk kepada gejolak
perubahan yang labil dan cepat. Saking cepat dan derasnya arus perubahan,
maka para pebisnis kesulitan mengantisipasi apa yang akan terjadi
selanjutnya.

“The greatest danger in times of turbulence is not the turbulence.                                


It is to act with yesterday’s logic.“

Peter F Drucker

Dalam situasi labil, memproyeksikan apa yang terjadi dimasa lalu justru bisa
menyesatkan jika dijadikan acuan pengambilan keputusan. Para leaders perlu
merespon dengan pola pikir yang tidak seperti biasanya. Skill dan
pengetahuan yang tadinya menjadi andalan sangat mungkin justru tidak
relevan lagi. Sebagian besar dari angkatan kerja dengan pengetahuan masa
lalu justru kini bisa berubah menjadi beban perusahaan. Jika pengetahuan
serta pengalaman mereka tidak dilengkapi reskilling dan perubahan mindset
akan sulit untuk mampu berenang didalam derasnya lingkungan VUCA. Team
baru memerlukan leader yang bisa melakukan terobosan. Mereka yang
menjadi bagian team sukses masa lalu bisa jadi tidak termasuk dalam
gerbong leader masa depan. Anggaran lima tahunan dengan cepat menjadi
kadaluarsa. Bahkan anggaran dan sasaran kerja tahunan jika tidak kontinyu
direvisi justru akan tidak relevan.

Dalam situasi VUCA para leader dituntut untuk memiliki kejelasan visi jangka
panjang namun fleksibel dan adaptif dengan durasi tempo respon yang
pendek. Value dan outcome menjadi pegangan untuk decision making. Visi
jangka panjang tetap dipegang menjadi pemandu oleh leader. Namun
pendekatan adaptif dan agile menjadi pendekatan di lapangan. Pola
pengelolaan organisasi yang kaku dan bergantung pada kepastian akan
menyulitkan gerak cepat para pelaku lapangan justru menjadi penghambat
bisnis bermanuver meraih kesempatan pertumbuhan. Para pimpinan di
organisasi yang birokratis akan kesulitan bergerak lincah. Fenomena
tertekannya perusahaan oleh gejolak VUCA ini sudah terjadi pada berbagai
industri. Namun sayangnya banyak pelaku usaha yang sampai saat ini belum
menyadari benar mereka sudah berada di ambang batas titik kritis survival.
Tidak mengherankan ketika kesadaran atas komplikasi VUCA baru muncul,
meresponpun cenderung sudah terlambat dan menjadi korbannya adalah
keniscayaan.         
Definisi VUCA:

Volatile: lingkungan bisnis yang labil, berubah amat cepat dan terjadi dalam
skala besar.

Uncertain: sulitnya memprediksi dengan akurat apa yang akan terjadi.

Complex: tantangan menjadi lebih rumit karena multi faktor yang saling
terkait.

Ambiguous: ketidakjelasan suatu kejadian dan mata rantai akibatnya.


        Komponen pertama VUCA adalah volatilitas. Volatilitas ditandai
munculnya berbagai tantangan baru yang sulit terbaca penyebabnya.
Tantangan baru ini tidak memiliki pola yang konsisten. Mereka berubah
dengan amat cepat. Apa yang menjadi ancaman dua tahun lalu bisa jadi
sudah tergantikan oleh ancaman lain saat ini. Apa yang tadinya dipikirkan
menjadi penyebab ternyata bukanlah akar dari suatu masalah. Apa yang
terpikir sebagai inisiatif untuk solusi ternyata justru terbukti sebaliknya. Proses
terbentuknya lingkungan volatile tidak terlepas dari pengaruh teknologi,
munculnya tatanan ekonomi baru, berubahnya nilai-nilai dan gaya hidup, dan
tersedianya pertukaran arus informasi, barang dan jasa dengan trend harga
menurun dibarengi tingginya kecepatan arus perpindahan barang/jasa dan
penyebaran informasi. Munculnya model ekonomi sharing transportasi dan
akomodasi telah menimbulkan disruption terhadap kemapanan bisnis taksi
dan perhotelan. Aplikasi seperti Grab, Uber dan Gojek mengguncang pemain
esksis di bisnis angkutan dan transportasi. Model bisnis mereka menggulung
hampir semua operator taksi di negara manapun di dunia. Airbnb tiba-tiba
menjadi solusi yang menjawab kebutuhan para pelancong atau bahkan
pebisnis yang membutuhkan penginapan dengan harga bersahabat, dan
kualitas tidak kalah senyaman di rumah sendiri. Proyeksi dan perencanaan
bisnis dituntut menjadi fleksibel dan adaptif dengan potensi munculnya
disruptor, regulasi baru, perubahan teknologi, kompetisi, pola sosial dan gaya
hidup konsumen. Perusahaan yang model strukturnya tambun dan kaku mulai
mengalami kesulitan bermanufer dan tidak jarang bahkan bernafas. Langkah
mereka terasa lamban dan perolehan pangsa pasar tererosi. Kecepatan
merespon menjadi kunci sukses selain keakuratan membaca peta perubahan
yang sedang terjadi. Pola senioritas dan penggunaan power sebagai model
sukses menggerakkan tindakan di organisasi justru kini menjadi penghambat
terbesar untuk menghasilkan terobosan dan kreatifitas. 

        Uncertainty atau ketidakpastian adalah momok bagi para pebisnis.


Uncertainty lingkungan menjadi kondisi umum yang suka tidak suka menjadi
bagian keseharian dalam dunia bisnis. Imbas dari kondisi global cepat atau
lambat akan terasa akibatnya. Munculnya perbankan online misalnya telah
berimbas terhadap ditutupnya 46000 kantor cabang bank di seluruh Eropa
sejak tahun 2007. Impak dari Brexit telah mempengaruhi sebagian besar
operasional perbankan dunia yang menggantungkan transaksi foreks di pasar
London sebagai pasar kedua terbesar dunia.  Terpilihnya Trump menjadi
presiden US ke-45 pada akhir tahun 2016 adalah hal yang ada diluar dugaan
para pengamat politik. Ketegangan hubungan diplomatik dan perang dagang
dengan China menimbulkan efek pelemahan mata uang dan fluktuasi bursa
saham di berbagai negara dunia ketiga. China yang dulunya menjadi
lokomotif pertumbuhan ekonomi dunia kini mulai diragukan sustainabilitynya.
Kombinasi politik isolasionist Amerika, eskalasi konflik di Timur Tengah,
melemahnya permintaan dari China menambah ketidakstabilan ekonomi
global. Belum lagi kita selesai dihadapkan pada situasi diatas, kekeringan,
perubahan cuaca ekstrim serta bencana alam selama sepuluh tahun terakhir
telah mengancam stabilitas supply bahan pangan dunia. Harga komoditas
panganpun merangkak naik sejak sepuluh tahun terakhir. Minyak bumi yang
tadinya langka beberapa tahun ini harganya anjlok. Suplai minyak hasil
fraksinasi lumpur pasir di Amerika Utara mengubah peta harga minyak dunia.
Efeknya terasa dengan mulai jatuhnya raksasa minyak dan perusahaan
pensupport logistiknya. Imbas berlapis dari kondisi ini mengakibatkan tingkat
uncertainty yang lebih tinggi.

        Complexity adalah komponen ketiga VUCA. Dalam situasi lingkungan


VUCA kita akan kesulitan untuk memahami penyebab suatu masalah secara
langsung. Interdepensi dan interkoneksi berbagai kejadian menjadi penyebab
yang saling mempengaruhi satu sama lain dan mengakibatkan timbulnya
masalah yang ada. Penyebab kompleksitas bisa berasal dari berbagai
multiple faktor seperti: munculnya beragam kompetitor baru, disrupsi
teknologi, berubahnya pola konsumsi, regulasi yang kompleks, perubahan
pola supply chain, dan masih banyak faktor lainnya. Solusi yang tadinya dikira
jawaban menjadi absurd ketika implementasi dijalankan dan hasilnya tidak
kunjung meredakan masalah yang ada. Upaya menggali penyebab masalah
sepertinya justru menemukan hal-hal baru yang tadinya tidak diperhitungkan.
Kompleksitas masalah bisa membuat penentu kebijakan merasa frustasi.
Masalah yang muncul dalam konteks VUCA adalah akibat tumpang tindihnya
berbagai kejadian dan penyebab. Istilah yang digunakan oleh Ronald Heifetz
untuk memberi nama kondisi ini adalah tantangan adaptif. Ketika satu
organisasi mencoba menggunakan pendekatan linear seperti mencoba
mengurai masalah dengan pendekatan analisa ‘tulang ikan’, solusi secara
tuntas hampir tidak akan diperoleh dan masalah yang sama cenderung
muncul lagi ke permukaan. Pendekatan mengatasi kompleksitas
membutuhkan kearifan untuk melihat setiap komponen pelaku system dan
bahkan termasuk bercermin kedalam diri atau organisasi sebagai kontributor
masalah yang muncul. Proses inilah yang sering secara tanpa sadar dihindari
oleh para perumus kebijakan. Kenyataan bahwa diri mereka menjadi bagian
dari pembuat masalah yang ada menimbulkan rasa khawatir dan takut atas
plakat kegagalan sebagai pimpinan. Situasi organisasi yang kental dengan
senioritas dan gaya leadership yang lebih mengendalikan (controlling) akan
melemahkan respom terhadap  kompleksitas tantangan. Pola respon yang
selalu melihat ke pihak luar sebagai penyebab masalah lebih memperuncing
keadaan dan akan menciptakan ketegangan-ketegangan baru dalam
organisasi. Tidak jarang anggota yang memberikan feedback kejadian
lapangan justru kecewa karena respon para atasan di kantor pusat yang
cenderung menimpakan beban kekeliruan eksekusi kepada team lapangan.
Situasi bisa semakin parah jika gaya pimpinan mengadopsi ABS (asal bapak
senang) dan reaktif (mengontrol, perfeksionis, mengikuti arah angin yang
diatas). Kompleksitas lingkungan memerlukan revitalisasi pola leadership.
Tidak jarang justru yang ada diatas menjadi salah satu mata rantai penyebab
utama persoalan yang muncul sebagai kompleksitas VUCA. 

        Ambiguity adalah faktor keempat lingkungan VUCA. Ambiguity


memiliki padanan kata ‘membingungkan’. Bisa diumpamakan seperti melihat
melalui kaca buram yang membuat para pembuat keputusan kesulitan
memandang apa yang ada. Saat solusi yang diyakini tepat akan dijalankan,
kepastian mencapai hasil dirasakan unpredicatable. Ambiguity ditandai
dengan kesulitan mengkonsepsikan tantangan yang ada dan
memformulasikan model solusinya. Pada saat ambiguity melanda maka para
leaders dihadapkan pada keraguan untuk mengambil keputusan karena
outcome menjadi amat tidak pasti. Contohnya ketika organisasi dihadapkan
pada pada pertanyaan seperti apakah struktur organisasi yang harus diubah?
terdesentralisasi atau tersentralisasi? Apakah akan diputuskan masuk ke
pasar baru atau tetap bermain di pasar lama? Apakah akan ikut menawarkan
produk dengan tambahan feature yang dianggap belum lazim? Apakah perlu
melakukan aliansi strategics dengan pesaing atau berkompetisi? Apakah
akan ikut meluncurkan platform online seperti start-up atau menggunakan
pola konvensional? Para leaders merasakan adanya paradoks pada pilihan
mereka. Artinya mereka menghadapi suatu dilema dan tidak tahu jawaban
pastinya. Tidak jarang para leaders yang merasa dirinya sangat paham dan
telah menemukan solusi menjadi ciut nyalinya saat masuk ke fase
implementasi. Hasil lapangan yang diperoleh justru mementahkan asumsi
yang diambil saat solusi baru dibuat. Bagi para leaders yang bertahan pada
opininya dan mengandalkan pengalaman kesuksesan dimasa lalu tentu akan
tidak mudah menerima realita ini. Ketegangan di organisasi muncul saat
mereka yang di puncak merasa sebagai pengendali ‘otak’ dan mengganggap
mereka yang dibawah adalah tangan serta kakinya. Sikap top manajemen
yang seolah paling tahu, arogan, tidak mau tahu dan tidak mau mendengar
apa yang mereka anggap sebagai ‘alasan’ orang lapangan, justru akan makin
menurunkan  kemampuan organisasi merespon situasi. Munculnya sikap ini
biasanya berasal dari keadaan diri para leader sendiri yang sebenarnya tidak
tahu persis harus melakukan respon apa namun malu mengakuinya. Bahkan
mereka berharap ada jalan keluar dengan menggunakan power, menuntut
teamnya dan secara sporadis mencoba berbagai inisiatif peningkatan kinerja.
Situasi ambiguitas seperti ini dialami oleh organisasi global seperti Nokia dan
Blackberry yang menjadi ‘korban’ atas kesuksesannya sendiri. Di Indonesia
hal semacam ini sedang melanda para pemain industri farmasi etikal. Dengan
munculnya BPJS dan peraturan pemerintah yang baru mengenai obat
generik, para pemain lama yang telah terlena sekian puluh tahun menikmati
lemahnya peraturan pemerintah sekarang mulai terhenyak dari tidur
panjangnya. Beberapa dari mereka mencoba platform online menjual obat
OTC maupun etikal. Namun cara mengelola people yang sangat
konvensional dan gaya kepemimpinan yang hirarkis, serta SDM yang
cenderung mandul collective thinkingnya membuat setiap langkah mereka
tidak menghasilkan titik terang. Yang jelas mereka bisa dikatakan gagal
beradaptasi dengan cepatnya perubahan yang terjadi dipasar. Di organisasi
sekaliber konsultan manajemen atau lembaga audit kelas duniapun tidak
terlepas mengalami fenomena ambiguitas. Mereka yang tadinya terbiasa
untuk memberikan advis bisnis dan merekomendasikan perlunya perubahan
di klien justru tidak mampu merumuskan dan memberi solusi keorganisasinya
sendiri. Angka turnover yang meningkat tinggi di organisasi konsultan dan
auditor selama dua dekade terakhir dan situasi kerja yang secara fisik
menuntut jam kerja panjang, mempengaruhi kondisi kerja yang tidak sehat.
Bekerja dan berkarir diterima sebagai fakta yang tidak bisa berjalan beriringan
dengan keseimbangan waktu untuk keluarga dan pribadi. Di kalangan para
pimpinan bahkan sampai terbentuk belief yang kuat bahwa untuk sukses
perlu pengorbanan keluarga. Ini termasuk waktu serta perhatian ke keluarga
atau bahkan ke diri sendiri yang menjadi terdepresiasi ketitik kompromistis
hidup yang tidak lagi ‘hijau’. Ambiguitas diibaratkan seperti hidup dalam
lingkungan berkabut yang menutupi pandangan jernih kesekeliling. Apa yang
seolah dianggap fakta sebenarnya tidak lebih merupakan fatamorgana dan
kebenaran dengan asumsinya yang diterima karena sudah menjadi
kebiasaan dan juga dilakukan oleh banyak orang tanpa mempertanyakan lagi
eksistensinya. Jumlah para leaders yang berani mengajukan pertanyaan apa
yang sesungguhnya terjadi relatif lebih sedikit daripada yang diam. Mereka
bisa jadi akan dianggap menentang arus atau bahkan dianggap aneh dalam
kelompoknya. 

Untuk mengatasi dunia VUCA, para leader tidak bisa hanya menggunakan
keahlian teknis dan apa yang disebut soft skill leadership. Para leader perlu
menyelam kedalam diri masing-masing menggali serta mengenali apa yang
menjadi pola dalam lapisan iceberg dirinya. Ini termasuk memahami:

1. Apa yang melandasi keyakinannya tentang diri mereka sendiri, tentang


orang lain (kolega, team, sekelilingnya) serta tentang pekerjaan, tugas,
peran dan tanggungjawabnya.
2. Apa kekhawatiran dan ketakutan yang membayangi pemikiran, sikap
dan keputusan, saat berada dalam kondisi tertekan dan kritis? 
3. Dimana saat ini evolusi kesadaran dirinya sebagai seorang leader?
apakah dirinya berada pada level 1-3 dari kesadaran yang dikendalikan
oleh survival, reputasi dan imej serta perlunya eksistensi diri? atau dirinya
sebagai leader sudah berada pada tingkat keepmat kesadaran yang
ditengarai dengan keberanian menjadi otentik dan meninggalkan pola-pola
lama mindset serta perilakunya? 
4. Apa yang menjadi blindpsot dan penghambat internal dari pola mindset
dan perilaku dirinya ?
 Jika leader terlalu bersemangat – bisa jadi menimbulkan sikap
tidak pernah menyerah dan blindspot dipersepsi sebagai terlalu aktif
dan kurang memahami kondisi anak buah.
 Jika leader mengutamakan reputasi – bisa menumbuhkan sikap
manipulatif – yang penting harus terlihat baik!
 Jika leader ingin terlihat hebat dan kompeten – bisa
menumbuhkan sikap ingin selalu diakui dan menonjol. Blindspot nya
adalah terlalu fokus akan diri sendiri. 
5. Bagaimana leader akan melakukan perjalanan transformasi dirinya
menuju pribadi yang lebih aware terhadap kondisi internal diri sendiri dan
lingkungannya serta memiliki kemampuan untuk menjadi role model dan
memfasilitasi proses pembentukan collective thinking teamnya menuju
kreatifitas dan inovasi. Perjalanan ini adalah proses perubahan yang
signifikan. Seringkali para leaders akan memerlukan bantuan eksternal
untuk mengawal fasilitasi perjalanan transformasi ini. 
Dunia VUCA memiliki karakter tantangan adaptif. Para leader perlu
mengembangkan kemampuan adaptive agar bisa mengikuti dan mengelola
arus VUCA di lingkungannya. Dasar dari leader adaptive adalah perlunya
mindset yang membumi untuk lebih memposisikan peran leader sebagai
fasilitator yang lebih banyak mengajukan pertanyaan yang tepat untuk
menemukan mata rantai solusi. Leader perlu menumbuhkan sikap kolaboratif.
Oleh karena itu trust atau rasa percaya akan menjadi modal yang amat
penting bagi hubungan leader dengan team dan koleganya. Trust baru bisa
tumbuh dan terjaga manakala si leader lebih otentik dan ini dimulai dari
proses mengenali diri sendiri seperti yang saya uraikan di nomor 1-5 diatas.
Proses mengenali diri sendiri ini perlu dilanjutkan dengan sikap yang terbuka
dengan anggota team dan organisasinya. Memberikan contoh bahwa adalah
hal yang wajar jika seorang leader mengungkapkan isi hatinya, keraguannya,
kekhawatirannya serta barangkali kekeliruannya selama ini. Proses ini disebut
sebagai leader yang menjadi vulnerable atau dalam kosakata bahasa
Indonesia adalah leader yang menjadi rapuh (walaupun saya kurang setuju
dengan pilihan kata ini karena maknanya jadi agak lain dalam bahasa
Indonesia). Inti dari vulnerability adalah keberanian untuk transparan dan
membuka medan dialog sehingga secara tidak langsung si leader akan
melebur  dengan anggota teamnya. Justru dengan menjadi vulnerable maka
si leader akan memperoleh trust dan sikap kolaboratif. Perkawinan antara
kejujuran-vulnerability dan otentisitas (authenticity) merupakan syarat agar
trust terlahir. Kondisi lingkungan VUCA tidak bisa tidak harus dihadapi oleh
team yang trust antara anggotanya kuat. Kolaborasi terjadi di semua lapis dan
cross functional. Organisasi dengan tingkat trust dan kolaborasi yang solid
akan memupuk tumbuhnya  kemampuan adaptif dan collective intelligence.
Proses menuju leadership-team dan organisasi adaptif ini hanya bisa
direalisasikan melalui perubahan yang dimulai dari diri para leader di
organisasi. 

by Leksana TH

Anda mungkin juga menyukai