Anda di halaman 1dari 5

Cerita Rakyat dari Sumatera Selatan : Siti Fatimah dan Tan Boen

An
Cerita Rakyat dari Sumatera Selatan

Suatu hari, seorang putra mahkota dari negeri China datang ke Kerajaan Sriwijaga. Ia datang dengan
menaiki kapal yang sangat besar. Kapal itu memuat barang-barang yang akan dijual ke Kerajaan Sriwijaga.
Putra mahkota itu bernama Tan Boen An. Wajahnga tampan, tubuhnya tegap dan kulitnya kuning
kecokelatan. Tan Boen An menemui Raja Sriwijaga. Ia hendak meminta izin pada Raja untuk berdagang di
wilayah itu. Raja Sriwijaya dengan senang hati mengizinkannya. Dalam hati, Raja berkata, “Alangkah
giatnya pemuda ini. Meskipun putra mahkota, ia tetap bekerja keras.” Raja berkhayal, akankah ia
mendapatkan menantu seperti Tan Boen An?

Beberapa bulan kemudian, Tan Boen An memberanikan diri untuk melamar Siti Fatimah. “Jika Baginda
mengizinkan, saya bermaksud untuk mempersunting Siti Fatimah,” kata Tan Boen An. Raja berpikir
sejenak, “Hmm…. aku memang menyukaimu, dan aku tahu kalau anakku juga mencintaimu. Tapi aku
ingin mengetahui keseriusanmu. Jadi, aku akan mengajukan syarat,” jawab Raja. Raja meminta Tan Boen
An untuk menyediakan sembilan guci berisi emas. “Itulah mas kawin yang aku minta darimu, aku yakin
sembilan guci emas bukanlah hal yang berat bagimu,” kata raja. Tan Boen An menyetujui permintaan
tersebut. Karena itu, ia menulis surat pada orangtuanya dan menyuruh seorang utusan untuk pulang ke
negeri China. “Ayah, Ibu, Ananda akan menikahi putri Kerajaan Sriwijaya. Mohon doa restu dari Ayah dan
Ibu. Sebagai mas kawin, Ananda membutuhkan sembilan guci emas. Ananda berharap Ayah
mengirimkannya,” demikian bunyi suratnya.

Selang beberapa waktu, utusan itu kembali dengan membawa surat balasan dari orangtua Tan Boen An.
Rupanya mereka merestui rencana pernikahan tersebut dan bersedia memberikan sembilan guci emas
sebagai mas kawin. Tan Boen An sangat senang. Ia mengajak Siti Fatimah dan Raja Sriwijaya menaiki
kapalnya yang berlabuh di Sungai Musi. Ia ingin menunjukkan sembilan guci emas itu pada calon istri dan
mertuanya.Namun, tanpa sepengetahuan Tan Boen An, orangtuanya menutupi emas-emas itu dengan aneka
sayuran dan buah-buahan. Untuk berjaga-jaga, kalau ada perompak yang menyerang kapal, emas-emas itu
tak akan ditemukan. Sayang mereka lupa memberitahukan hal itu pada Tan Boen An dalam surat.“Lihat
Siti Fatimah, guci-guci ini berisi emas,” kata Tan Boen An bangga. Ia membuka salah satu guci. Tapi apa
gang terjadi? Bau busuk dan menyengat tercium dari guci itu. Ketika Tan Boen An melihat ke dalam guci
itu, ia hanya melihat tomat dan sawi gang sudah busuk.

Tan Boen An sangat malu. Ia membuang guci itu ke sungai. Kemudian ia membuka guci-guci gang lain,
tapi semuanga sama. Ia hanga menemukan sayur dan buah yang telah busuk. Tan Boen An mulai marah, ia
melempar guci-guci itu ke Sungai Musi. Tinggal satu guci yang tersisa, Tan Boen An menendang guci itu
keras-keras sambil berteriak, “Ayah, Ibu, mengapa mempermalukan Ananda seperti ini?”Pgarrr…. guci itu
pecah berkeping-keping terkena tendangannga. Se- mua orang gang ada di atas kapal terkejut. Di antara
sagur dan buah busuk, terlihat emas! Tan Boen An tak kalah terkejut.

Ia segera menyadari kalau semua guci gang ia lemparkan ke sungai tadi berisi emas. Tanpa pikir panjang,
ia segera terjun dan berenang mengusuri Sungai Musi. Sekuat tenaga ia mencari guci-gucinga gang telah
hangut itu.

Ia terus berenang jauh meninggalkan kapal sampai tubuhnga tak terlihat lagi. Siti Fatimah cemas
menunggunya. Ia berdiri di tepi kapal dan berharap Tan Boen An akan muncul. Namun yang ditunggu-
tunggu tak kunjung tiba. Siti Fatimah pun memutuskan untuk menyusul Tan Boen An. Ia berpamitan pada
ayahnya “Ayah, aku harus menemukan kekasihku. Jika aku tak kembali, carilah tumpukan tanah di sekitar
sungai ini. Jika Ayah menemukannya, itulah kuburanku.” Setelah berkata demikian, ia menceburkan diri ke
sungai ditemani dayangnya yang setia. Raja Sriwijaya menangisi kepergian putrinya. Lama ia menunggu,
tapi Putri dan Tan Boen An tak pernah kembali. Tiba-tiba, Raja teringat pada pesan putrinya. Dan benar
saja, di tepi Sungai Musi terdapat gundukan tanah. Raja Sriwijaya sangat sedih, itu berarti Siti Fatimah
telah meninggal. Gundukan itu makin lama makin membesar, dan penduduk sekitar menamainya Pulau
Kemaro.
Asal Mula Nagari Minangkabau (Cerita Rakyat Sumatra Barat)

Cerita rakyat Sumatera Barat

Minangkabau termasuk salah satu nagari (desa) yang berada di wilayah Kecamatan Sungayang, Kabupaten
Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat. Namun, setelah terjadi suatu peristiwa maka, daerah itu dinamakan Nagari
Minangkabau. Cerita Asal Mula Nagari Minangkabau.

Dahulu, di dearah sumatera Barat, ada sebuah kerajaan yang makmur dan damai Kerajaan itu di pimpin oleh seorang
Raja yang bijaksana. Kerjaan itu beranama Kerajaan Pagaruyung. Suatu ketika terdengar kabar bahwa kerajaan
Majapahit akan menyerah mereka. Para pemimpin Kerajaan Pagaruyung memberikan semboyan kepada seluruh
perajurit “Musuh pantang dicari, datang pantang ditolak. Kalau bisa dihindari, tapi kalau terdesak kita hadapi,”.
Suatu hari, di tengah masa peperangan yang akan di mulai tersebut. Raja kerajaan Pagaruyung melakukan diskusi
dengan para penasehatnya. Mereka memberikan berbagai macam usulan untuk menahan serangan pasukan
Majapahit. Setelah semua penasehat memberikan idenya tibalah kepada seorang penasehat kepercayaan Raja
memberikan idenya.

“Paduka Raja, Apakah sebaiknya kita ajak musuh untuk berunding untuk menghindari pertumpahan darah. Kita
sambut mereka di perbatasan setelah itu kita ajak mereka untuk berunding. Jika mereka menolak, ajaklah mereka
untuk beradu kerbau ,” Penasehat Raja berkata. “Hmmm… ide yang bagus,” sang Raja berkata, begitu pula dengan
para penasehat yang lain. Setelah itu, sang Raja bersama punggawanya menyiapkan segala sesuatu nya. Sang raja
menyuruh putrinya untuk mencari beberapa dayangnya yang cantik. Lalu mereka diajarkan tata krama dan dikenakan
pakaian yang indah.

Setelah semua siap, bersama orang kerpercayaan raja dayang-dayang istana pergi ke perbatasan untuk menyambut
kedatangan pasukan musuh. Mereka membawa banyak sekali makanan lezat untuk menjamu pasukan Majapahit.
Sementara itu, dari kejauhan, pasukan Pagaruyung berjaga-jaga untuk mengatisipasi segala kemungkinan yang bisa
terjadi. Tak berapa lama setelah rombongan Datuk Tantejo Garhano tiba di perbatasan, pasukan musuh dari
Majapahit pun sampai di tempat itu. Sesampainya mereka disana, Mereka dijamu oleh dayang – dayang istana yang
telah dipersiapkan kerajaan Pagaruyung. Melihat wanita cantik dan perlakuan ramah oleh pihak Pagaruyung.
pasukan Majapahit menjadi terheran-heran, dengan keramahan dayang – dayang cantik itu, pasukan Majapahit mulai
hilang semangat untuk melakukan peperangan. Setelah mereka menikmati hidangan dan hiburan yang diberikan,
pasukan Majapahit di ajak masuk menemui Sang Raja.

Setelah pasukan Majapahit selesai menikmati hidangan dan beristirahat sejenak, Datuk Tantejo Garhano segera
mengajak pemimpin mereka ke istana untuk menemui sang Raja. “Selamat datang, Tuan,” sambut sang Raja dengan
Ramah. “Ada apa gerangan Tuan kemari?” sang Raja pura-pura tidak tahu, kata sang Raja. “Kami diutus oleh Raja
Majapahit untuk menaklukkan Pagaruyung. Dengan kemengan kami harus kembali!,” jawab pemimpin itu.

“Oh, begitu,” jawab sang Raja sambil tersenyum, “Kami memahami tugas Tuan. Tapi, bagaimana kalau peperangan
ini kita ganti dengan adu kerbau. Tujuannya adalah untuk menghindari pertumpahan darah di antara pasukan kita.”
Pemimpin pasukan Majapahit itu terdiam. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia pun menyetujui usulan sang Raja.
“Baiklah, Paduka Raja. Kami menerima tawaran Paduka,” jawab pemimpin itu.

Dalam kesepakatan itu tidak ada ketentuan jenis maupun ukuran kerbau yang dilarang. Pasukan Majapahit memilih
seekor kerbau yang paling kuat, besar. Di lain pihak, Pagaruyung justru memilih seekor anak kerbau yang masih
menyusu. Tetapi pada kepala anak kerbau dipasang besi runcing. Sehari sebelum pertandingan itu anak kerbau itu
sengaja dibuat lapar. Keesokan harinya, kedua kerbau aduan segera dibawa ke gelanggang. Kedua belah pihak
memberikan semangat dukungan pada kerbau aduan kerajaan mereka masing-masing. Setelah beberapa waktu
berlalu, kedua kerbau tersebut dilepas, kerbau milik Majapahit terlihat beringas dan liar. sedangkan, anak kerbau
milik Pagaruyung segera memburu hendak menyusu pada kerbau besar itu karena mengira induknya.Perut kerbau
milik Majapahit pun terluka terkena tusukan besi runcing yang terpasang di mulut anak kerbau milik Pagaruyung.
Setelah beberapa kali tusukan, kerbau milik pasukan Majapahit akhirnya roboh dan terkapar di tanah. Melihat
kejadian itu, penonton dari pihak Pagaruyung pun bersorak-sorak gembira.

Akhirnya, pasukan Majapahit dinyatakan kalah dalam pertandingan tersebut. Mereka pun diizinkan kembali ke
Majapahit dengan damai. Setelah kejadian itu, berita kemenangan Kerajaan Pagaruyung mengalahkan majapahit
menggunakan kerbau menjadi ke mana – mana . Kata “minang kabau” yang berarti menang kerbau menjadi terkenal
keseluruh pelosok desa. Lama-kelamaan, penggunaan kata “minang” menjadi kata “minang”. Sejak itulah, tempat itu
dinamakan Nagari Minangkabau, yaitu sebuah nagari (desa) yang bernama Minangkabau. Sebagai upaya untuk
mengenang peristiwa tersebut, penduduk negeri Pagaruyung merancang sebuah rumah rangkiang (loteng) yang
atapnya menyerupai bentuk tanduk kerbau. Konon, rumah itu dibangun di perbatasan, tempat pasukan Majapahit
dijamu oleh para wanita-wanita cantik Pagaruyung.
Asal Usul Telaga Warna

Cerita Rakyat Jawa Barat

Dahulu kala sebuah kerajaan berdiri di Jawa Barat. Kerajaan itu diperintah oleh seorang prabu yang arif
bijaksana. Rakyatnya hidup sejahtera.

Sayang sekali Prabu dan permaisurinya tidak dikaruniai keturunan. Bertahun-tahun mereka menunggu kehadiran
seorang anak, hingga sang Prabu memutuskan untuk pergi ke hutan dan berdoa. Ia memohon kepada Yang
Maha Kuasa untuk memberinya keturunan.

Seluruh kerajaan ikut bergembira ketika akhirnya doa Prabu dan Permaisuri dikabulkan. Permaisuri mengandung
dan melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik.

Puteri tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik. Karena ia puteri satu-satunya dan kelahirannya dulu begitu
lama dinantikan, ia sangat dimanja. Semua keinginannya dituruti.

Sekarang sang puteri sudah dewasa. Sebentar lagi ia akan berusia tujuh belas tahun. Rakyat kerajaan
mengumpulkan banyak sekali hadiah untuk puteri tercinta mereka. Sang Prabu mengumpulkan semua hadiah
dari rakyat dan berniat akan membagi-bagikannya kembali kepada mereka.

Ia hanya menyisihkan sedikit perhiasan emas dan beberapa batu permata. Ia kemudian meminta tukang
perhiasan untuk melebur emas itu dan membuatnya menjadi sebuah kalung permata yang indah untuk
puterinya.

Pada hari ulang tahun sang puteri, Prabu menyerahkan kalung itu.

“Puteriku, sekarang kau sudah dewasa. Lihatlah kalung yang indah ini. Kalung ini hadiah dari rakyat kita. Mereka
sangat menyayangimu. “

“Pakailah kalung ini, nak.”

Rakyat kerajaan sengaja datang berduyun-duyun untuk melihat sang puteri pada hari ulang tahunnya. Mereka
ingin melihat kalung yang sangat elok bertaburan batu permata berwarna-warni itu menghias leher puteri
kesayangan mereka.

Puteri hanya melirik kalung itu sekilas.

Prabu dan Permaisuri membujuknya agar mau mengenakan kalung itu.

“Aku tidak mau,’ jawab puteri singkat.

“Ayolah, nak,” kata permaisuri, ia mengambil kalung itu hendak memakaikannya di leher puterinya. Namun
puteri menepis tangan permaisuri hingga kalung itu terbanting ke lantai.

“Aku tak mau memakainya! Kalung itu jelek! Jelek!” jeritnya sambil lari ke kamarnya.

Permaisuri dan semua yang hadir terpana. Kalung warna-warni yang indah itu putus dan permatanya berserakan
di lantai. Permaisuri terduduk dan mulai menangis. Lambat laun semua wanita ikut menangis, bahkan para pria
pun ikut menitikkan air mata. Mereka tak pernah mengira puteri yang sangat mereka sayangi dapat berbuat
seperti itu.

Tiba-tiba di tempat kalung itu jatuh muncul sebuah mata air yang makin lama makin besar hingga istana
tenggelam. Tak hanya itu, seluruh kerajaan tergenang oleh air, membentuk sebuah danau yang luas.
Danau itu sekarang tidak seluas dulu. Airnya nampak berwarna-warni indah karena pantulan warna langit dan
pohon-pohonan di sekelilingnya. Namun orang percaya bahwa warna-warna indah danau itu berasal dari kalung
sang puteri yang ada di dasarnya.
Dongeng Jaka Tarub
Cerita Rakyat Jawa Tengah

Pada zaman dahulu kala, di sebuah desa tinggallah seorang Janda bernama Mbok Randa. Ia tinggal seorang
diri karena suaminya sudah lama meninggal dunia. Suatu hari, ia mengangkat seorang anak Laki-laki
menjadi anaknya. Anak angkatnya diberi nama Jaka Tarub. Jaka Tarub pun tumbuh beranjak dewasa.

Jaka Tarub menjadi pemuda yang sangat tampan, gagah, dan baik hati. Ia juga memiliki kesaktian. Setiap
hari, ia selalu membantu ibunya di sawah. Karena memiliki wajah yang sangat tampan banyak gadis-gadis
cantik yang ingin menjadi istrinya. Namun, ia belum ingin menikah.

Setiap hari ibunya menyuruh Jaka Tarub untuk segera menikah. Namun, lagi-lagi ia menolak permintaan
ibunya. Suatu hari Mbok Randa jatuh sakit dan menghembuskan nafas terakhirnya. Jaka Tarub sangat
sedih. Sejak kematian Mbok Randha, Jaka Tarub sering melamun. Kini sawah ladangnya terbengkalai.
Contoh Cerita Rakyat Legenda Dari Jawa Tengah Kisah Jaka Tarub “Sia-sia aku bekerja. Untuk siapa
hasilnya?” demikian gumam Jaka Tarub.

Suatu malam, Jaka Tarub bermimpi memakan Daging Rusa. Pada saat ia terbangun dari tidurnya, ia pun
langsung pergi ke hutan. Dari pagi sampai siang hari ia berjalan. Namun, ia sama sekali tidak menjumpai
Rusa. Jangankan Rusa, Kancil pun tidak ada. Suatu ketika, ia melewati telaga itu dan secara tidak sengaja
ia melihat para bidadari sedang mandi disana. Di telaga tampak tujuh perempuan cantik tengah bermain-
main air, bercanda, bersuka ria. Jaka Tarub sangat terkejut melihat kecantikan mereka.

Karena jaka Tarub merasa terpikat oleh tujuh bidadari itu, akhirnya ia mengambil salah satu selendangnya.
Setelahnya para bidadari beres mandi, merekapun berdandan dan siap-siap untuk kembali ke kahyangan.

Mereka kembali mengenakan selendangnya masing-masing. Namun salah satu bidadari itu tidak menemu-
kan selendangnya. Keenam kakaknya turut membantu mencari, namun hingga senja tak ditemukan juga.
Karena hari sudah mulai senja, Nawangwulan di tinggalkan seorang diri. Kakak-kakanya kembali ke
Khayangan. Ia merasa sangat sedih. Tidak lama kemudian Jaka Tarub datang menghampiri dan berpura-
pura menolong sang Bidadari itu. Di ajaknya bidadari yang ternyata bernama Nawang Wulan itu pulang ke
rumahnya. Kehadiran Nawang Wulan membuat Jaka Tarub kembali bersemangat. Singkat cerita,
merekapun akhirnya menikah. Keduanya hidup dengan Bahagia. mereka pun memiliki seorang putri cantik
bernama Nawangsih. Sebelum mereka menikah, Nawang wulan mengingatkan kepada Jaka Tarub untuk
tidak menanyakan kebiasan yang akan dilakukannya nanti setelahnya ia menjadi istri.

Rahasianya Nawang Wulan yaitu, Ia memasak nasi selalu menggunakan satu butir beras, dengan sebutir
beras itu ia dapat menghasilkan nasi yang banyak. Setelah mereka menikah Jaka Tarub sangat penasaran.
Namun, dia tidak bertanya langsung kepada Nawang wulan melainkan ia langsung membuka dan melihat
panci yang suka dijadikan istrinya itu memasak nasi. Ia melihat Setangkai padi masih tergolek di
dalamnya, ia pun segera menutupnya kembali. Akibat rasa penasaran Jaka Tarub. Nawang Wulan
kehilangan kekuatannya. Sejak saat itu, Nawang Wulan harus menumbuk dan menampi beras untuk
dimasak, seperti wanita umumnya. Karena tumpukan padinya terus berkurang, suatu waktu, Nawangwulan
tanpa sengaja menemukan selendang bidadarinya terselip di antara tumpukan padi. ternyata selendang
tersebut ada di lumbung gabah yang di sembunyikan oleh suaminya. Nawang wulan pun merasa sangat
marah ketika suaminyalah yang mencuri selendangnya. Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi ke
kahyangan. Jaka Tarub pun meminta maaf dan memohon kepada istrinya agar tidak pergi lagi ke
kahyanngan, Namun Nawangwulan sudah bulat tekadnya, hingga akhirnya ia pergi ke kahyangan. Namun
ia tetap sesekali turun ke bumi untuk menyusui bayinya. Namun, dengan satu syarat, jaka tarub tidak boleh
bersama Nawangsih ketika Nawang wulan menemuinya. Biarkan ia seorang diri di dekat telaga.

Jaka Tarub menahan kesedihannya dengan sangat. Ia ingin terlihat tegar. Setelah Jaka Tarub menyatakan
kesanggupannya untuk tidak bertemu lagi dengan Nawangwulan, sang bidadaripun terbang meninggalkan
dirinya dan Nawangsih. Jaka Tarub hanya sanggup menatap kepergian Nawangwulan sambil mendekap
Nawangsih. Sungguh kesalahannya tidak termaafkan. Tiada hal lain yang dapat dilakukannya saat ini
selain merawat Nawangsih dengan baik

Anda mungkin juga menyukai