Anda di halaman 1dari 3

Kalau hujan bisa Ngomong

Katanya, air memiliki memori. Katanya, jika bertemu ketika salju pertama turun, akan bersama dalam
waktu yang lama. Lantas, bagaimana saat hujan pertama?

Dunia tidak lagi sama memang benar adanya. Masyarakat lama yang terganti masyarakat muda-minimal
pola pikirnya. Aku menelisik tajam tentang kondisi ini di tengah terbatasnya waktuku. Mengangkat dagu
dengan harap cukup mampu menutup senyumku yang kelewat lebar. Tuhan Sang Pencipta Alam
sungguh berbaik hati mengizinkanku menjadi bagian dari ini semua. Mengharapkan sebuah temu.

Bersama sejuknya angin yang perlahan menerpa, beratnya rumah penyanggaku, Si Awan yang telah
bersiap, aku turun untuk menyapa. Lihatlah, masih tergambar jelas memori saat dulu, orang-orang
masih ramah. Saling melempar senyum agar hidup berkah.

Aku tersenyum singkat, sesingkat waktu yang digariskan takdir kudapat. Kulihat orang-orang merapal
doa pada sang Kuasa.

Terima kasih banyak Tuhan!!!

Matursuwun Gusti!!!

Nampak terdengar anak-anak menular tawa dengan tingkahnya.

Haha lihat nih gayaku!

Hei aku juga bisa! Gaya Batu mengapung!!!

Hahahaha.

Ini menyenangkan. Sungguh. Lebih terasa menyenangkan saat tahu akulah dalang dari setitik
kebahagiaan itu.

Kuucup syukur gembira tiada tara ketika tanah mulai mengabsorsiku. Duhai, sampai jumpa di lain
waktu!

Lalu, aku datang kembali hingga tiba ke masa ini. Aku curi dengar, dunia sudah serba digital. Aku makin
tak sabar untuk melihat bagaimana wajah-wajah baru itu. Generasi yang selalu mendamba rintikku
sebagai sumber inspirasi spesial mereka. Yang mengagumi suasana yang kucipta dengan berteman
secangkir kopi ala-ala. Anak senja katanya. Haha!

Apa saja yang berubah? Tanyaku antusis tak terkira.

Waktu berlalu dengan harapanku yang makin dalu. Hingga aku belajar satu hal. Terburu-buru, bahkan
ihwal bertemu tidak akan pernah berakhir baik.
Ashh!!! Sial!!!

Astaga! Kenapa pakek hujan segala si!!!

You messed up everything... .

Aku tercekat ketika mendengar umpatan yang ditujukan padaku. Hatiku sakit mendengar sumpah
serapah itu. Apakah aku menjadi seburuk itu di mata kalian? Kemana senyum dan rasa syukur kala dulu?
Tanyaku menggantung di kedinginan rintik yang perlahan sedu. Kuputuskan mempercepat eksistensiku
dan membiarkan alam memainkan perannya padaku.

Argh!!! Sakit. Di dalam sini sesak! Banyak sampah terkubur!Aku Tak tahan akan ini. Hiks. Ya Tuhan, apa
ini? Rasanya menyiksa berada disini. Kemana perginya ratusan akar itu? Dimana hilangnya pepohonan
itu?

Tanah menjadi sumarah. Ia menolakku habis-habisan. Tak ada lagi senyum tenang lepas berjumpa. Aku
terhempas kembali ke permukaan. Dipermaikan takdir, dicemooh dengan stigma bencana.

Banjir kembali melanda Ibu Kota disebabkan curah hujan yang tinggi sejak Rabu malam.

Kawasan sekolah hingga rumah ibadah pun terendam banjir hingga ketinggian dua meter.

Bencana banjir kali ini, membuat anak-anak sakit. Tidak terkecuali para lansia dan ibu hamil yang was-
was akan konsisi ini, saat banjir lepas satu minggu tak pula kunjung surut.

Tidak, itu bukan aku. Sungguh aku hanya sedikit bagian dari ketidaktanggungjawaban para manusia
permukaan. Aku ingin berteriak bukan aku yang salah!!!! Bukan aku yang bencana!!! Hingga, akupun
tersadar, ini semua sudah garisan-Nya. Aku kehilangan penghargaan atas turunnya aku sebagai berkah.
Aku tak lagi merasakan puja mendamba mereka pada Sang Pencipta kala aku membasahi bumi mereka.
Hanya satu hal. Satu hal duhai sang khalifah dunia, kita perlu bekerja sama agar kita bisa saling
menerima. Rintihku tertutup riuh kawananku yang memaki marah pada manusia. Mereka ikhlas bila
begini sikap mereka pada kami. Mereka sungguh tak apa dicap sebagai bencana. Agar kamu semua
mengambil satu dua pelajaran. Aku mulai memutuskan untuk ikut kawananku hingga

Bukankah kita seharusnya berhenti menyakiti alam?

Tunggu. Aku kenal suara itu.

Maafkan kami yang senantiasa mencari pembenaran akan tindakan-tindakan salah kami. Bukankah
kami adalah bencana yang sebenarnya? Ayahku selalu bilang hujan punya andil besar dalam hidup aku.
Kupastikan, itu berkah tak terkira. Bukan bencana.

Ya! Aku kenal kau. Suaramu terdengar familiar.

Duhai alam, kalian tidak punya kontrol apapun akan apa yang akan terjadi. Justru sebaliknya, manusia
selalu dapat memilih. Atas tindakan-tindakan yang ia perbuat.
Aku dibuatnya terharu. Ada sebuah harap di dalam sana. Ada setitik asa perubahan untuk tak cepat
marah dan memaki ketetapan. Aku kembali bersemangat untuk memperbaiki keadaan. Sebab aku tahu,
dengan kamu, aku dapat memulainya.

Dulu, aku hadir di atas sebuah rumah dan jatuh meluncur ke jendela rumahmu. Tangismu
mengalihkanku sejenak atas bahagiaku dapat turun setelah sekian purnama. Terlihat ayahmu
memelukmu mesra dengan jejak tangis dimatanya. Ibumu, terbaring kaku dengan pucat di tempat
tidurnya. Aku membelalak. Akankah kehadiranku menambah lukamu? Namun, seketika terdengar sayup
ayahmu yang membisikimu pelan.

Nak, hari ini hari pertama hujan. Hari dimana kau menyapa dunia. Juga, hari dimana kau menemukan
sekaligus kehilangan. Kamu tahu? Bidadari kita sudah nyaman disisi Sang Pencipta. Biarlah rintik di luar
mengirinya dengan damai. Bersamalah ayah untuk waktu yang lama yaa.

Ada sesuatu meleleh di dalam sana. Hingga tanpa sadar, akupun melambungkan doa pada Sang Maha
Mengabulkan, izinkan aku membersamainya. Perkenankan aku menyimpan ingatan ini selama yang
kubisa.

Biodata

Umi Zulaiah yang lebih nyaman dengan panggilan Umizu, terbukti dari semua akun media sosialnya
bertulis demikian. Lahir 20 tahun silam saat pertemuan tanggal 18 dengan bulan September. Penulis
amatir yang cukup puas dengan dirinya sendiri sebagai penikmat. Hingga, saya tersadar satu hal.
Berbagilah, itu indah.

Anda mungkin juga menyukai