Anda di halaman 1dari 18

FIQIH MUAMMALAH

(Teori Hak/Kepemilikan)

(Dosen Pengampu : Rachmadani S.Sy.M.h)

Oleh Kelompok II :

Putri Ayu Wulandari/19010101245

Murdiana / 19010101209

Shinta Elfan Khairati/ 19010101213

Irwansyah /19010101217

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKUKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KENDARI

2020

BAB 1
PENDAHULUAN

Kepemilikan biasanya diidentikkan dengan harta. Manusia memilki hak untuk memiliki
sebuah kepemilikan. Namun,manusia tidak mengetahui aturan-aturan kepemilikan menurut
syar’i, definisi kepemilikan itu sendiri menurut syari’ah, dan sebab-sebab kepemilikan itu
sendiri. Milik dan harta memiliki hubungan yang erat satu sama lain. Dan tujuan kepemilikan itu
yakni untuk melaksanakan tugas tertentu yang intinya adalah mendatangkan manfaat bagi
pemiliknya dan masyarakat yang menjadi lingkungannya, dengan cara menjaga hukum-hukum
syari’at dan syarat-syaratnya yang di tetapkan,  sebagaimana firman Allah SWT,

…‫…و أَ ْنفِقُوْ ا ِم َّما َج َعلَ ُك ْم ُم ْست َْخلَفِ ْينَ فِ ْي ِه‬


َ

Artinya,“ Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu  yang Allah telah menjadikan kamu
menguasainya.”

Jika seseorang memiliki harta dan secara syara’ ia dapat memanfaatkannya, maka ia
disebut yang dimiliki. Diantara keduanya ada hubungan i’tibariyah (konsiderasi) yang diakui
oleh Syari’dan dilekatkan padanya dampak-dampaknya. Hubungan ini adalah kepemilikan atau
milik (bagi pemilik) yang dampaknya adalah kewenangan pemilik-tidak lain-untuk
memanfaatkan apa yang dimiliki dan mengelolanya dengan berabagai tindakan.

A. LATAR BELAKANG

Pemilik sesungguhnya dari sumber daya yang ada adalah Allah SWT, manusia
dalam hal ini hanya penerima titipan untuk sementara saja. Sehingga sewaktu-waktu
dapat di ambil kembali oleh Allah SWT. Oleh sebab itu kepemilikan mutlak atas harta
tidak di akui dalam islam. Sebagaimana terdapat dalam firman Allah dalam Qs. Al-
Baqarah ayat 284:

“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.
Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hati mu atau kamu menyembunyikan,
niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmun itu. Maka
Allah mengampuni siapa yang di kehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-
Nya, dan Alllah Mahakuasa atas segala sesuatu” Manusia adalah khalifah atas harta
miliknya, hal ini dijelasakan dalam QS. Al-Hadiid ayat 7: “Berimanlah kamu kepada
Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah
menjadikan kamun menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan
menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar”

B. RUMUSAN MASALAH

1.  Pengertian kepemilikan?

2.  jenis jenis kepemilikan?

3.  Sebab-sebab kepemilikan?

BAB II
PEMBAHASAN

TEORI HAK (KEPEMILIKAN)


1. Pengertian Kepemilikan

Hak milik (kepemilikan) adalah hubungan antara manusia dengan harta yang
ditetapkan syara', dimana manusia memiliki kewenangan khusus untuk melakukan
transaksi terhadap harta tersebut, sepanjang tidak ditemukan hal yang melarangnya.
Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh manusia, baik berupa harta benda (dzat)
atau nilai manfaat. Dengan demikian, dapat dipahami pernyataan Hanafiyah yang
mengatakan bahwa manfaat dan hak merupakan kepemilikan, bukan merupakan harta.
Secara bahasa, kepemilikan bermakna pemilikan atas manusia atas suatu harta dan
kewenangan untuk bertransaksi secara bebas terhadapnya. Menurut istilah ulama fiqh,
kepemilikan adalah keistimewaan atas suatu benda yang menghalangi pihak lain
bertindak atasnyadan memungkinkan pemiliknya untuk bertransaksi secara langsung di
atasnya selama tidak ada halangan syara'. (Zuhaili, 1989, IV, hal.56-57)

Ketika seseorang telah memiliki harta benda dengan jalan yang dibenarkan syara',
maka ia memiliki kewenangan khusus atasnya. Ia memiliki kekhususan untuk mengambil
manfaat atau bertransaksi atasnya sepanjang tidak ada halangan syara' yang
mencegahnya, seperti gila, safih , anak kecil, dan lainnya. Keistimewaan itu juga bisa
mencegah orang lain untk memenfaatkan atau bertransaksi atas kepemilikan harta
tersebut, kecuali terdapat aturan syara' yang memperbolehkannya, seperti adanya
akad wakalah.  Secara asal, harta benda boleh dimiliki. Namun, terdapat beberapa kondisi
yang dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan dan manfaat publk (fasiliyas umum)
seperti jalan umum,  jembatan, benteng, sungai, laut, museum, perpustakaan umum, dan
lainnya. Harta ini tidak dapat diprivatisasi dan dimliki oleh individu, namun ia harus tetap
menjad aset publik untuk dimanfaatkan bersama. Jika harta tersebut sudah tidak
dikonsumsi oleh publik, maka harta tersebut kembali kepadas asalnya, yakni bisa dimiliki
oleh individu. Selain itu, ada juga harta yang tidak bisa dimilii kecuali dibenarkan oleh
syara'. Seperti harta yang diwakafkan dan aset-aset baitul maal. Harta wakaf tidak boleh
diperjual-belikan atau dihibahka, kecuali telah rusak atau biaya perawatannya lebih
mahal dari pada penghasilan yang didapatkan. Dalam konteks ini, mahkamah
(pengadilan/pemerintahan) boleh memberikan izin untuk mentransaksikan harta benda
tersebut. Manusia sebagai khalifah di bumi memiliki tugas untuk memakmurkan seluruh
bumi bagi kesejahteraan umat manusia. Dalam mengemban misi ini Allah memberikan
pedoman tentang kepemilikan bahwa dasar kepemilikan seorang diukur dari asas
manfaat, bukan dasar penggunaan. Seseorang yang tidak mampu memanfaatkan
kepemilikan hartanya sesuai yang diamanahkan Allah kepadanya maka hak kepemilikan
tersebut dengan sendirinya gugur. sesuai  sabda Rasulullah yang menyatakan: ”Barang
siapa yang menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah mati itu menjadi milikinya,
dan tidak berhak memilikinya orang yang sekedar memagarinya dengan tembok setelah
tiga tahun” Dalam konsep Islam Allahlah Pencipta, Pengatur dan Pemilik segala yang
ada di alam semesta ini:   Al Maidah (5):17 “Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan
bumi dan apa yang di antara keduanya. Dia menciptakan apa yang dikehendakiNya. Dan
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

Sedangkan manusia adalah pihak yang mendapatkan kuasa dari Allah Swt. untuk
memiliki dan memanfaatkan harta tersebut Al Hadid (57):7 “Berimanlah kamu kepada
allah dan RasulNya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah
menjadikan kamu menguasainya…”

2. JENIS JENIS KEPEMILIKAN


Seseorang yang telah beruntung memperoleh harta, pada hakekatnya hanya
menerima titipan sebagai amanat untuk disalurkan dan dibelanjakan sesuai dengan
kehendak pemilik sebenarnya (Allah Swt.), baik dalam pengembangan harta maupun
penggunaannya. Sejak semula Allah telah menetapkan bahwa harta hendaknya digunakan
untuk kepentingan bersama. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa “pada
mulanya” masyarakatlah yang berwenang menggunakan harta tersebut secara
keseluruhan, kemudian Allah menganugerahkan sebagian darinya kepada pribadi-pribadi
(dan institusi) yang mengusahakan perolehannya sesuai dengan kebutuhan masing-
masinng.
Begitu jiuga dengan aset-aset baitul maal atau aset pemerintahan. Aset ini tidak
boleh di diperjualbelikan (privatisasi) kecuali ada ketetapan pemerintah yang dilatar
belakangiadanya dlarurat atau kemaslahatan yang mendesak. Aset pemerintah layakny
harta anak yatimyang tidak boleh ditransaksikan kecuali terdapat kebutuhandan
kemaslahatan yang mendesak. Ada juga harta yang bisa dimiliki dengan mutlak tanpa
batasan, yakni selain kedua harta diatas. (Zuhaili, 1989, IV,hal.57-58) Dilihat dari unsur
harta (benda dan manfaat),
kepemilikan dapat dibedakan menjadi milk tamm dan milk al-naqish.
 Milk tamm adalah kepemilikan atas benda sekaligus atas manfaatnya, pemilik
memiliki hak mutlak atas kepemilikan ini tanpa dibatasi dengan waktu. Selain itu,
kepemilikan ini tidak bisa digugurkan kecuali dengan jalan yang dibenarkan
syara', seperti jual beli, mekanisme hukum waris, ataupun wasiat. Dalam milk al
tamm, pemilik memiliki kewenangan mutlak atas harta yang dimiliki. Ia bebas
melakukan transaksi, investasi atau hal lainnya, seperti jual beli, hibah, waqf,
wasiat, i'arah, ijarah, dan lainnyakarena ia memilikidzat harta benda sekaligus
manfaatnya. Jika ia merusak harta yang dimiliki, maka tidak berkewajiban untuk
menggantina. Akan tetapi, dari sisi agama, ia bisa mendapatkan sanksi, karena
merusak harta benda haram hukumnya.
 Sedangkan milk al naqish (kepemilikan tidak sempurna) adalahkepemilikan atas
salah satu unsur harta benda saja. Bisa berupa kepemilikian atas manfaat tanpa
memiliki bendanya, atau kepemilikan atas bendanya tanpa disertai pemilikan
manfaatnya. Sebagai sebuah sistem tersendiri, Islam telah menjelaskan segala hal
yang berkaitan dengan mekanisme perolehan kepemilikan, tata cara mengelola
dan mengembangkan kepemilikan, serta cara mendistribusikan kekayaan tersebut
di tengah-tengah manusia secara detail melalui ketetapan hukum-hukumnya. Atas
dasar itu, maka hukum-hukum yang menyangkut masalah ekonomi dalam Islam,
dibangun atas kaidah-kaidah umum ekonomi Islam (al-qawaid al-‘ammah al-
iqtisadi al-Islamyyah) yang meliputi tiga kaidah, yakni:
1) Kepemilikan (al-milkiyyah),
2) Mekanisme pengelolaan kekayaan (kayfiyyah al-tasarruf fi al-mal) dan
3) Distribusi kekayaan di antara manusia (al-tawzi’ al-tharwah bayna al-nas).

Dalam konsep Islam bahwa kepemilikan terklasifikasi menjadi tiga jenis, yakni

1) Kepemilikan pribadi (al-milkiyat al-fardiyah)


Kepemilikan pribadi adalah suatu hukum yang berlaku bagi zat ataupun
kegunaan tertentu, yang memungkinkan pemiliknya untuk memanfaatkan barang
tersebut, serta memperoleh kompensasinya, baik karena diambil kegunaannya
oleh orang lain seperti disewa ataupun karena dikonsumsi dari barang tersebut.
Memang pada hakikatnya harta itu milik Allah (real and absolute ownership),
yang dititipkan kepada manusia (delegated and restricted ownership). Oleh
karena itu, pencarian harta atau aktivitas ekonomi harus diniatkan untuk
memperoleh karunia dan keridhaan Allah, yang berarti juga harus halal,
sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:Al Mulk (67): 15 ”Dialah yang
menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya
dan makanlah sebagian dari rizki-Nya”.
Kepemilikan individu ini akan sangat kondusif bagi upaya untuk
mendinamisasikan kehidupan keduniaan (ekonomi) umat, karena hal ini berarti
memberikan kebebasan kepada mereka untuk dapat menikmati hasil sesuai
dengan jerih payah mereka. Islam pun tidak membatasi pemilikan individu ini
selama tidak menjadikan seseorang lupa kepada Allah, termasuk kewajiban-
kewajiban yang telah ditetapkan-Nya berkaitan dengan pemilikan harta ini.
Adanya wewenang kepada manusia untuk membelanjakan, menafkahkan dan
melakukan berbagai bentuk transaksi atas harta yang dimiliki, seperti jual-beli,
gadai, sewa menyewa, hibah, wasiat, dan lain sebagainya adalah merupakan bukti
pengakuan Islam terhadap adanya hak kepemilikan individual.
Karena kepemilikan merupakan amanah dari Allah untuk memanfaatkan
suatu benda, maka kepemilikan atas suatu benda tidak semata berasal dari benda
itu sendiri ataupun karena karakter dasarnya, semisal bermanfaat atau tidak. Akan
tetapi ia berasal dari adanya izin yang diberikan Allah serta berasal dari sebab
yang diperbolehkan syariat untuk memilikinya (seperti kepemilikan atas rumah,
tanah, ayam dsb bukan minuman keras, babi, ganja dsb), sehingga melahirkan
akibatnya, yaitu adanya kepemilikan atas benda tersebut.
Sejalan dengan pengakuan hak individu tersebut, Islam mengakui adanya
ketidaksamaan pemilikan harta di antara mereka, sebagaimana firman Allah: az-
Zukhruf (43): 32 ”Kami telah menentukan ekonomi mereka dalam kehidupan
dunia, dan Kami telah melebihkan sebagian mereka atas lainnya beberapa
tingkat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan lainnya. Dan rahmat
Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.
Pengakuan akan hak milik individu tersebut diimbangi dengan kewajiban
dalam bentuk kewajiban zakat serta anjuran (sunnah) infak dan sedekah bagi
orang yang mampu. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan kesenjangan
ekonomi yang besar antara orang kaya dan orang miskin. Upaya pemerataan harus
dilaksanakan oleh umat Islam, baik secara individual maupun secara kolektif,
yang dilakukan oleh kelompok atau negara. Allah menegaskan dalam firman-Nya:
Al Baqarah (2): 267 ”Hai orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu.”.
2) Kepemilikan Umum (al-milkiyyat al-‘ammah)Kepemilikan umum adalah suatu
hukum yang berlaku kepada suatu komunitas untuk bersama-sama memanfaatkan
benda. Sedangkan benda-benda yang tergolong kategori kepemilikan umum
adalah benda-benda yang telah dinyatakan sebagai benda-benda yang dimiliki
komunitas secara bersama-sama dan tidak boleh dikuasai oleh hanya seorang saja.
saling tidak benda yang dapat dikelompokkan ke dalam kepemilikan umum ini,
ada tiga jenis, yaitu:
a) Fasilitas dan sarana umum (al-marafiq al-‘ammah li al-jama’ah).Benda
ini tergolong ke dalam jenis kepemilikan umum karena menjadi kebutuhan
pokok masyarakat dan jika tidak terpenuhi dapat menyebabkan
perpecahan dan persengketaan. Jenis harta ini dijelaskan dalam hadis nabi
yang berkaitan dengan sarana umum:
ٍ ‫ش َر َكا ُء فِي ثَاَل‬
‫ث فِي ا ْلكَإَل ِ َوا ْل َما ِء َوالنَّا ِر‬ ُ َ‫سلِ ُمون‬
ْ ‫ااْل ُم‬

“Manusia berserikat (bersama-sama memiliki) dalam tiga hal: air,


padang rumput dan api ” (HR Ahmad dan Abu Dawud)

Air yang dimaksudkan dalam hadis di atas adalah air yang masih
belum diambil, baik yang keluar dari mata air, sumur, maupun yang
mengalir di sungai atau danau bukan air yang dimiliki oleh perorangan di
rimahnya. Oleh karena itu pembahasan para fuqaha mengenai air sebagai
kepemilikan umum difokuskan pada air-air yang belum diambil tersebut.
Adapun al-kala’ adalah padang rumput, baik rumput basah atau hijau (al-
khala) maupun rumput kering (al-hashish) yang tumbuh di tanah, gunung
atau aliran sungai yang tidak ada pemiliknya. Sedangkan yang dimaksud
al-nar adalah bahan bakar dan segala sesuatu yang terkait dengannya,
termasuk di dalamnya adalah kayu bakar.

Bentuk kepemilikan umum, tidak hanya terbatas pada tiga macam


benda tersebut saja melainkan juga mencakup segala sesuatu yang
diperlukan oleh masyarakat dan jika tidak terpenuhi, dapat menyebabkan
perpecahan dan persengketaan. Hal ini disebabkan karena adanya indikasi
bahwa benda-benda tersebut dikategorikan sebagai kepemilikan umum
karena sifat tertentu yang terdapat di dalamnya sehingga dikategorikan
sebagai kepemilikan umum.

b) Sumber alam yang tabiat pembentukannya menghalangi dimiliki oleh


individu secara perorangan
Meski sama-sama sebagai sarana umum sebagaimana kepemilikan
umum jenis pertama, akan tetapi terdapat perbedaan antara keduanya. Jika
kepemilikan jenis pertama, tabiat dan asal pembentukannya tidak
menghalangi seseorang untuk memilikinya, maka jenis kedua ini, secara
tabiat dan asal pembentukannya, menghalangi seseorang untuk
memilikinya secara pribadi. Sebagaimana hadits nabi:
‫ق‬
َ َ ‫سب‬ ُ َ‫ِمنًى ُمن‬
َ ْ‫اخ َمن‬
“Kota Mina menjadi tempat mukim siapa saja yang lebih dahulu
(sampai kepadanya)” (HR al-Tirmidzi, ibn Majah, dan al-Hakim dari
‘Aishah).
Mina adalah sebuah nama tempat yang terletak di luar kota
Makkah al-Mukarramah sebagai tempat singgah jama’ah haji setelah
menyelesaikan wukuf di padang Arafah dengan tujuan meleksanakan syiar
ibadah haji yang waktunya sudah ditentukan, seperti melempar jumrah,
menyembelih hewan hadd, memotong qurban, dan bermalam di sana.
Makna “munakh man sabaq” (tempat mukim orang yang lebih dahulu
sampai) adalah bahwa Mina merupakan tempat seluruh kaum muslimin.
Barang siapa yang lebih dahulu sampai di bagian tempat di Mina dan ia
menempatinya, maka bagian itu adalah bagiannya dan bukan merupakan
milik perorangan sehingga orang lain tidak boleh memilikinya
(menempatinya).
Demikian juga jalan umum, manusia berhak lalu lalang di atasnya.
Oleh karenanya, penggunaan jalan yang dapat merugikan orang lain yang
membutuhkan, tidak boleh diizinkan oleh penguasa. Termasuk dalam
kategori ini adalah kereta api, instalasi air dan listrik, tiang-tiang
penyangga listrik, saluran air dan pipa-pipanya, semuanya adalah milik
umum sesuai dengan status jalan umum itu sendiri sebagai milik umum,
sehingga ia tidak boleh dimiliki secara pribadi. Bahkan hal ini juga
berlaku untuk mesjid.
c) Barang tambang yang depositnya tidak terbatas
Dalil yang digunakan dasar untuk jenis barang yang depositnya tidak
terbatas ini adalah hadis Nabi riwayat Abu Dawud tentang Abyad ibn
Hamal yang meminta kepada Rasulullah agar dia diizinkan mengelola
tambang garam di daerah Ma’rab:
‫ ٌل‬a‫ا َل َر ُج‬aaَ‫هُ فَلَ َّما أَنْ َولَّى ق‬aَ‫هُ ل‬a‫ستَ ْقطَ َعهُ ا ْل ِم ْل َح فَقَطَ َع‬ْ ‫سلَّ َم فَا‬
َ ‫صلَّى اللَّهم َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ ‫ول هَّللا‬
ِ ‫س‬ُ ‫أَنَّهُ َوفَ َد إِلَى َر‬
ُ‫س أَتَ ْد ِري َما قَطَعْتَ لَهُ إِنَّ َما قَطَعْتَ لَهُ ا ْل َما َء ا ْل ِع َّد قَا َل فَا ْنتَزَ َع ِم ْنه‬ ِ ِ‫ِمنَ ا ْل َم ْجل‬
“Bahwa ia datang kepada Rasulullah Saw. meminta (tambang) garam,
maka beliaupun memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki
yang bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, tahukah apa yang
engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan
sesuatu yang bagaikan air mengalir”. Lalu ia berkata: Kemudian
Rasulullah pun menarik kembali tambang itu darinya” (HR Abu Dawud).
Larangan tersebut tidak hanya terbatas pada tambang garam saja,
melainkan meliputi seluruh barang tambang yang jumlah depositnya
banyak (laksana air mengalir) atau tidak terbatas. Ini juga mencakup
kepemilikan semua jenis tambang, baik yang tampak di permukaan bumi
seperti garam, batu mulia atau tambang yang berada dalam perut bumi
seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, minyak, timah dan
sejenisnya.
Barang tambang semacam ini menjadi milik umum sehingga tidak
boleh dimiliki oleh perorangan atau beberapa orang. Demikian juga tidak
boleh hukumnya, memberikan keistimewaan kepada seseorang atau
lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya tetapi penguasa wajib
membiarkannya sebagai milik umum bagi seluruh rakyat. Negaralah yang
wajib menggalinya, memisahkannya dari benda-benda lain, menjualnya
dan menyimpan hasilnya di bait al-mal.
Sedangkan barang tambang yang depositnya tergolong kecil atau
sangat terbatas, dapat dimiliki oleh perseorangan atau perserikatan. Hal ini
didasarkan kepada hadis nabi yang mengizinkan kepada Bilal ibn Harith
al-Muzani memiliki barang tambang yang sudah ada di bagian Najd dan
Tihamah. Hanya saja mereka wajib membayar khumus (seperlima) dari
yang diproduksinya kepada bait al-mal.
3) Kepemilikan Negara (milkiyyat al-dawlah)
Kepemilikan negara adalah harta yang merupakan hak bagi seluruh kaum
muslimin/rakyat dan pengelolaannya menjadi wewenang khalifah/negara, dimana
khalifah/negara berhak memberikan atau mengkhususkannya kepada sebagian
kaum muslim/rakyat sesuai dengan ijtihadnya. Makna pengelolaan oleh khalifah
ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya.
Kepemilikan negara ini meliputi semua jenis harta benda yang tidak dapat
digolongkan ke dalam jenis harta milik umum (al-milkiyyat al-‘ammah) namun
terkadang bisa tergolong dalam jenis harta kepemilikan individu (al-milkiyyat al-
fardiyyah).
Beberapa harta yang dapat dikategorikan ke dalam jenis kepemilikan
negara adalah:
1. Harta ghanimah, anfal (harta yang diperoleh dari rampasan perang dengan
orang kafir), fay’ (harta yang diperoleh dari musuh tanpa peperangan) dan
khumus
2. Harta yang berasal dari kharaj (hak kaum muslim atas tanah yang diperoleh
dari orang kafir, baik melalui peperangan atau tidak)
3. Harta yang berasal dari jizyah (hak yang diberikan Allah kepada kaum muslim
dari orang kafir sebagai tunduknya mereka kepada Islam)
4. Harta yang berasal dari dari pajak
5. Harta yang berasal dari ushur (pajak penjualan yang diambil pemerinyah dari
pedagang yang melewati batas wilayahnya dengan pungutan yang
diklasifikasikan berdasarkan agamanya)
6. Harta yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta dari sisa waris
(amwal al-fadla)
7. Harta yang ditinggalkan oleh orang-orang murtad
8. Harta yang diperoleh secara tidak sah para penguasa, pegawai negara, harta
yang didapat tidak sejalan dengan syara’
9. Harta lain milik negara, semisal: padang pasir, gunung, pantai, laut dan tanah
mati yang tidak ada pemiliknya.

3. SEBAB-SEBAB KEPEMILIKAN
a. Istila’ al-Mubahat (Penguasaan harta bebas)
Istila’ al-Mubahat adalah cara pemilikan melalui penguasaan terhadap harta yang
belum dikuasai atau dimiliki pihak lain. Al-Mubahat adalah harta benda yang tidak
termasuk dalam milik yang dilindungi (dikuasai oleh orang lain) dan tidak ada larangan
hukum (mani’ al-syar’iy) untuk memilikinya. Misalnya,air yang masih berada dalam
sumbernya,ikan yang berada di lautan, hewan dan pohon kayu di hutan, dan lainnya.
Tujuan Istila’ al-Mubahat yaitu penguasaan atas al-mubahat (harta babas) dengan
tujuan untuk dimiliki. Adapun cara penguasaan harta bebas tersebut yaitu:

1. Ihya’ al-mawat, yaitu membuka tanah (ladang) baru yang tidak di manfaatkan orang
lain, tidak dimiliki dan berada diluar tempat tinggal penduduk
2. Berburu hewan. Allah menghalalkan buruan kecuali jika pemburu sedang berihram.
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 1,

Mengumpulkan kayu dan rerumputan di rimba belukar. Rasulullah saw bersabda,

‫اليمنع فضل الما ء ليمنع به فضل الكأل‬

”.Kelebihan air tidak dilarang agar dengannya kelebihan rerumputan dapat dilarang “

Penggalian tambang yang tersimpan di perut bumi

b. Al-Uquud (Kontrak)
Akad adalah pertalian antara ijab dan qabul sesuai dengan ketentuan syara’yang
menimbulkan pengaruh terhadap objek akad. Akad merupakan sebab kepemilikan yang
paling kuat dan paling luas berlaku dalam kehidupan menusia yang membutuhkan
distribusi harta kekayaan. Dilihat dari sebab,kepemilikan dapat dibadakan menjadi:

1. Uqud Jabariah (akad secara paksa), yaitu dilaksanakan oleh otoritas pengadilan
secara langsung atau melalui kuasa hukumnya. Seperti, paksaan menjual harta untuk
melunasi hutang, kekuasaan hakim untuk memeksa menjual harta timbunan dalam
kasus ihtikar demi kepentingan umum.
2. Tamllik Jabari (pemilikan secara paksa), yaitu yang dibadakan menjadi 2. Pertama,
pemilikan secara paksa atas maal ‘iqar  (harta tidak bergarak) yang hendak dijual.
Hak pemilikan paksa ini dalam term fiqh dinamakkan dengan hak syuf’ah. Hak ini
dimiliki oleh sekutu atau tetangga. Kedua, secara paksa untuk kepentingan umum.
Contohnya, pembangunan masjid dan perluasan jalan umum yang memerlukan tanah
lebih. Nabi SAW bersabda,

‫ق فَاَل شفعة‬ َ ‫ضى َرسُوْ ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم بِال ُّش ْف َع ِة فِ ْي ُك ِّل َما َلَ ْم يقسم فَا ِ َذا َوقَ َعت ْال ُح ُدوْ ِد َو‬
َ ‫ص َرفت الطُ ُر‬ َ َ‫ق‬

“Rasulallah memutuskan dengan syuf’ah pada setiap harta yang tidak terbagi. Jika telah
ada batas-batas dan jalan-jalan telah terbuka, maka tidak ada syu’ah.”

c. Al-Khalafiyyah
Al-Khalafiyyah adalah penggantian seseorang atau sesuatu yang baru menempati
posisis pemilikan yang lama. Dengan demikian dapat dibedakan menjadi 2 kategori yaitu:

1. Penggantian atas seseorang oleh orang lain. Misalnya dalam hal hukum waris. Dalam
hukum waris, seorang ahli waris menggambarkan posisi pemilikan orang yang wafat
terhadap harta yang ditinggalkan (tarikah).
2. Penggantian banda atas benda yang lainnya, seperti terjadi pada tadlmin
(pertanggungan) ketika seseorang merusak atau menghilangkan harta benda orang
lain, atau pada ta’widl (pengganti kerugian) ketika seseorang mengenakan atau
menyebabkan kerusakan harta benda orang lain.

d. Al-Tawallud Minal Mamluk


Al-Tawallud minal mamluk adalah sesuatu yang dihasilkan dari sesuatu yang lainya.
Setiap peranakan atau sesuatu yang tumbuh dari harta milik adalah milik pemiliknya.
Prinsip ini hanya berlaku pada harta benda yang dapat menghasilkan sesuatu yang
lain/baru (produktif), seperti bertelur, berkembang biak, menghasilkan air susu, dan lain-
lain.
Sebab-Sebab Memperoleh Harta
Dalam konsep Islam sebab-sebab memperoleh harta ada empat hal:
Pertama: Ihrazul Mubahat, atau memiliki benda-benda yang boleh dimiliki,
disuatu tempat untuk dimiliki.
Kedua; Aktifitas ekonomi, dalam bentuk:

1. Melalui pertanian, yang antara lain disebutkan dalam QS. ‘Abasa; 25-32
2. Melalui industri, yang antara lain disebutkan dalam QS. al-Hadîd: 25
3. Melalui perdagangan dan jasa, yang antara lain disebutkan dalam QS.
Quraisy: 1-4. Bidang ini sangatlah luas, baik jual beli, sewa menyewa, pinjam
meminjam, syarikat/penkongsian, kerjasama, dan sebagainya, bahkan
termasuk akad jabariyah seperti akad yang harus dilakukan berdasarkan
keputusan hakim dan akad istimlak untuk maslahat umum, umpamanya tanah-
tanah yang dibebaskan untuk kepentingan umum.

Ketiga; Beranak pinak

Keempat; Pewarisan

Dari ke-empat sebab-sebab memperoleh hak milik tersebut hanya satu


(pewarisan) yang tidak diperoleh dengan jalan bekerja. Oleh sebab itu Islam mewajibkan
bekerja.
BAB III

KESIMPULAN

Hak milik (kepemilikan) adalah hubungan antara manusia dengan harta yang ditetapkan
syara', dimana manusia memiliki kewenangan khusus untuk melakukan transaksi terhadap harta
tersebut, sepanjang tidak ditemukan hal yang melarangnya. Kepemilikan adalah sesuatu yang
dimiliki oleh manusia, baik berupa harta benda (dzat) atau nilai manfaat.macam kepemilikan :
milk tamm dan milk al-naqish, Kepemilikan pribadi (al-milkiyat al-fardiyah), Kepemilikan
Umum (al-milkiyyat al-‘ammah),dan Kepemilikan Negara (milkiyyat al-dawlah).kemudian ada
penyebab hak kepemilikan itu terjadi: Istila’ al-Mubahat (Penguasaan harta bebas), Al-Uquud
(Kontrak), Al-Khalafiyyah, dan Al-Tawallud Minal Mamluk.

SARAN

Semoga dengan adanya pembahasan makalah kami dapat menjadi masukan dan sumber
inspirasi bagi semua orang dan semoga bermanfaat. Kami menyadari sepenuhnya bahwa kami
hanyalah manusia biasa yang tak luput dari salah dan lupa, oleh sebab itu kami sadar bahwa
makalh ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami sangat harapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak terutama dari dosen yang bersangkutan, agar kedepannya dapat
membuat yang lebih baik.

PENUTUP

      Demikianlah bahasan ini kami akhiri. Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi semua orang
yang membacanya. Hanya kepada Allah kami memohon taufiq agar kami bersama mereka dapat
melayani syari’at-Nya dan menerapkan hukum-hukumnya. Segala puji bagi Allah. Semoga Allah
melimpahkan karunia atas junjungan kami Muhammad, keluarga, dan semua sahabatnya.

DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Mizan, Bandung, 2003, hal. 324.

Taqiyy al-Din al-Nabhani, al-Nizam al-Iqtisadi fi al-Islam, Dar al-Ummah, Beirut, 1990, hal. 
57.

Yunus al-Misri, Usul al-Iqtisadi al-Islami, Dar al-Qalam, Damaskus, 1999, hal.  41-49.

Al-Nabhani, al-Nizam al-Iqtisadi, hal. 72-73.

Ib.Id. hal. 123

Dalam kitab-kitab klasik, sering juga hanya disebut dengan al-arfaq yang diartikan sebagai
fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana umum yang dapat dimanfaatkan oleh warga dan masyarakat
secara umum.

Lihat al-Shawkani, Nayl al-Awtar,  Dar al-Fikr, Beirut, 1994, jil. 6, hal. 48.

Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah, Dar alFikr, Beirut, 1960, hal.
180-184.

Abd al-Rahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, terj. Ibn Sholah Bangil, al-Izzah, 200, hal.
91.

Lihat: al-Suyuti, al-Jami’ al-Saghir, jil 2, hal. 183.

Abu Ya’la al-Farra’, al-Ahkam al-Sultaniyyah,  Dar al-Fikr, Beirut, hal. 253

al-Shawkani, Nayl al-Awtar, jil. hal.  6 53.

Al-Maliki, Politik Islam, hal. 80.

Riwayat lengkap beserta penjelasannya lihat: Abu Ya’la al-Farra’, al-Ahkam al-Sultaniyyah,
264.

‘Abd al-Qadim Zallum, al-Amwal fi Dawlat al-Khilafah, Dar al-‘Ilm li al- Malayin, Beirut,
1983, hal.  89.
Al-Nabhani, al-Nizam al-Iqtisadi, hal. 218.

Abd al-Qadim Zallum, al-Amwal fi Dawlat al-Khilafah, hal. 39.

Antonio, Muhammad Syafii. 2007. Pengantar Fiqh Muamalah: Landasan Manajemen dan
Transaksi Bisnis.

Zaidan,Abdul Karim. 2008. Study Syar’iah: Mengenal Syari’ah Islam Lebih Dalam. Jakarta :
Robbani Press.

Antonio, Muhammad Syafii. 2011. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.

Al-arif, Muhammad Nur Rianto. 2011. Dasar-Dasar Ekonomi Islam. Solo: PT Era Adicitra
Intermedia.

Djamil. Fathurrahman. 2012. Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga


Keuangan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.

http://asa-2009.blogspot.com/2013/04/konsep-kepemilikan-dalam-islam.html

Anda mungkin juga menyukai