(Teori Hak/Kepemilikan)
Oleh Kelompok II :
Murdiana / 19010101209
Irwansyah /19010101217
2020
BAB 1
PENDAHULUAN
Kepemilikan biasanya diidentikkan dengan harta. Manusia memilki hak untuk memiliki
sebuah kepemilikan. Namun,manusia tidak mengetahui aturan-aturan kepemilikan menurut
syar’i, definisi kepemilikan itu sendiri menurut syari’ah, dan sebab-sebab kepemilikan itu
sendiri. Milik dan harta memiliki hubungan yang erat satu sama lain. Dan tujuan kepemilikan itu
yakni untuk melaksanakan tugas tertentu yang intinya adalah mendatangkan manfaat bagi
pemiliknya dan masyarakat yang menjadi lingkungannya, dengan cara menjaga hukum-hukum
syari’at dan syarat-syaratnya yang di tetapkan, sebagaimana firman Allah SWT,
Artinya,“ Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu
menguasainya.”
Jika seseorang memiliki harta dan secara syara’ ia dapat memanfaatkannya, maka ia
disebut yang dimiliki. Diantara keduanya ada hubungan i’tibariyah (konsiderasi) yang diakui
oleh Syari’dan dilekatkan padanya dampak-dampaknya. Hubungan ini adalah kepemilikan atau
milik (bagi pemilik) yang dampaknya adalah kewenangan pemilik-tidak lain-untuk
memanfaatkan apa yang dimiliki dan mengelolanya dengan berabagai tindakan.
A. LATAR BELAKANG
Pemilik sesungguhnya dari sumber daya yang ada adalah Allah SWT, manusia
dalam hal ini hanya penerima titipan untuk sementara saja. Sehingga sewaktu-waktu
dapat di ambil kembali oleh Allah SWT. Oleh sebab itu kepemilikan mutlak atas harta
tidak di akui dalam islam. Sebagaimana terdapat dalam firman Allah dalam Qs. Al-
Baqarah ayat 284:
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.
Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hati mu atau kamu menyembunyikan,
niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmun itu. Maka
Allah mengampuni siapa yang di kehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-
Nya, dan Alllah Mahakuasa atas segala sesuatu” Manusia adalah khalifah atas harta
miliknya, hal ini dijelasakan dalam QS. Al-Hadiid ayat 7: “Berimanlah kamu kepada
Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah
menjadikan kamun menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan
menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar”
B. RUMUSAN MASALAH
BAB II
PEMBAHASAN
Hak milik (kepemilikan) adalah hubungan antara manusia dengan harta yang
ditetapkan syara', dimana manusia memiliki kewenangan khusus untuk melakukan
transaksi terhadap harta tersebut, sepanjang tidak ditemukan hal yang melarangnya.
Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh manusia, baik berupa harta benda (dzat)
atau nilai manfaat. Dengan demikian, dapat dipahami pernyataan Hanafiyah yang
mengatakan bahwa manfaat dan hak merupakan kepemilikan, bukan merupakan harta.
Secara bahasa, kepemilikan bermakna pemilikan atas manusia atas suatu harta dan
kewenangan untuk bertransaksi secara bebas terhadapnya. Menurut istilah ulama fiqh,
kepemilikan adalah keistimewaan atas suatu benda yang menghalangi pihak lain
bertindak atasnyadan memungkinkan pemiliknya untuk bertransaksi secara langsung di
atasnya selama tidak ada halangan syara'. (Zuhaili, 1989, IV, hal.56-57)
Ketika seseorang telah memiliki harta benda dengan jalan yang dibenarkan syara',
maka ia memiliki kewenangan khusus atasnya. Ia memiliki kekhususan untuk mengambil
manfaat atau bertransaksi atasnya sepanjang tidak ada halangan syara' yang
mencegahnya, seperti gila, safih , anak kecil, dan lainnya. Keistimewaan itu juga bisa
mencegah orang lain untk memenfaatkan atau bertransaksi atas kepemilikan harta
tersebut, kecuali terdapat aturan syara' yang memperbolehkannya, seperti adanya
akad wakalah. Secara asal, harta benda boleh dimiliki. Namun, terdapat beberapa kondisi
yang dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan dan manfaat publk (fasiliyas umum)
seperti jalan umum, jembatan, benteng, sungai, laut, museum, perpustakaan umum, dan
lainnya. Harta ini tidak dapat diprivatisasi dan dimliki oleh individu, namun ia harus tetap
menjad aset publik untuk dimanfaatkan bersama. Jika harta tersebut sudah tidak
dikonsumsi oleh publik, maka harta tersebut kembali kepadas asalnya, yakni bisa dimiliki
oleh individu. Selain itu, ada juga harta yang tidak bisa dimilii kecuali dibenarkan oleh
syara'. Seperti harta yang diwakafkan dan aset-aset baitul maal. Harta wakaf tidak boleh
diperjual-belikan atau dihibahka, kecuali telah rusak atau biaya perawatannya lebih
mahal dari pada penghasilan yang didapatkan. Dalam konteks ini, mahkamah
(pengadilan/pemerintahan) boleh memberikan izin untuk mentransaksikan harta benda
tersebut. Manusia sebagai khalifah di bumi memiliki tugas untuk memakmurkan seluruh
bumi bagi kesejahteraan umat manusia. Dalam mengemban misi ini Allah memberikan
pedoman tentang kepemilikan bahwa dasar kepemilikan seorang diukur dari asas
manfaat, bukan dasar penggunaan. Seseorang yang tidak mampu memanfaatkan
kepemilikan hartanya sesuai yang diamanahkan Allah kepadanya maka hak kepemilikan
tersebut dengan sendirinya gugur. sesuai sabda Rasulullah yang menyatakan: ”Barang
siapa yang menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah mati itu menjadi milikinya,
dan tidak berhak memilikinya orang yang sekedar memagarinya dengan tembok setelah
tiga tahun” Dalam konsep Islam Allahlah Pencipta, Pengatur dan Pemilik segala yang
ada di alam semesta ini: Al Maidah (5):17 “Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan
bumi dan apa yang di antara keduanya. Dia menciptakan apa yang dikehendakiNya. Dan
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Sedangkan manusia adalah pihak yang mendapatkan kuasa dari Allah Swt. untuk
memiliki dan memanfaatkan harta tersebut Al Hadid (57):7 “Berimanlah kamu kepada
allah dan RasulNya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah
menjadikan kamu menguasainya…”
Dalam konsep Islam bahwa kepemilikan terklasifikasi menjadi tiga jenis, yakni
Air yang dimaksudkan dalam hadis di atas adalah air yang masih
belum diambil, baik yang keluar dari mata air, sumur, maupun yang
mengalir di sungai atau danau bukan air yang dimiliki oleh perorangan di
rimahnya. Oleh karena itu pembahasan para fuqaha mengenai air sebagai
kepemilikan umum difokuskan pada air-air yang belum diambil tersebut.
Adapun al-kala’ adalah padang rumput, baik rumput basah atau hijau (al-
khala) maupun rumput kering (al-hashish) yang tumbuh di tanah, gunung
atau aliran sungai yang tidak ada pemiliknya. Sedangkan yang dimaksud
al-nar adalah bahan bakar dan segala sesuatu yang terkait dengannya,
termasuk di dalamnya adalah kayu bakar.
3. SEBAB-SEBAB KEPEMILIKAN
a. Istila’ al-Mubahat (Penguasaan harta bebas)
Istila’ al-Mubahat adalah cara pemilikan melalui penguasaan terhadap harta yang
belum dikuasai atau dimiliki pihak lain. Al-Mubahat adalah harta benda yang tidak
termasuk dalam milik yang dilindungi (dikuasai oleh orang lain) dan tidak ada larangan
hukum (mani’ al-syar’iy) untuk memilikinya. Misalnya,air yang masih berada dalam
sumbernya,ikan yang berada di lautan, hewan dan pohon kayu di hutan, dan lainnya.
Tujuan Istila’ al-Mubahat yaitu penguasaan atas al-mubahat (harta babas) dengan
tujuan untuk dimiliki. Adapun cara penguasaan harta bebas tersebut yaitu:
1. Ihya’ al-mawat, yaitu membuka tanah (ladang) baru yang tidak di manfaatkan orang
lain, tidak dimiliki dan berada diluar tempat tinggal penduduk
2. Berburu hewan. Allah menghalalkan buruan kecuali jika pemburu sedang berihram.
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 1,
”.Kelebihan air tidak dilarang agar dengannya kelebihan rerumputan dapat dilarang “
b. Al-Uquud (Kontrak)
Akad adalah pertalian antara ijab dan qabul sesuai dengan ketentuan syara’yang
menimbulkan pengaruh terhadap objek akad. Akad merupakan sebab kepemilikan yang
paling kuat dan paling luas berlaku dalam kehidupan menusia yang membutuhkan
distribusi harta kekayaan. Dilihat dari sebab,kepemilikan dapat dibadakan menjadi:
1. Uqud Jabariah (akad secara paksa), yaitu dilaksanakan oleh otoritas pengadilan
secara langsung atau melalui kuasa hukumnya. Seperti, paksaan menjual harta untuk
melunasi hutang, kekuasaan hakim untuk memeksa menjual harta timbunan dalam
kasus ihtikar demi kepentingan umum.
2. Tamllik Jabari (pemilikan secara paksa), yaitu yang dibadakan menjadi 2. Pertama,
pemilikan secara paksa atas maal ‘iqar (harta tidak bergarak) yang hendak dijual.
Hak pemilikan paksa ini dalam term fiqh dinamakkan dengan hak syuf’ah. Hak ini
dimiliki oleh sekutu atau tetangga. Kedua, secara paksa untuk kepentingan umum.
Contohnya, pembangunan masjid dan perluasan jalan umum yang memerlukan tanah
lebih. Nabi SAW bersabda,
ق فَاَل شفعة َ ضى َرسُوْ ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم بِال ُّش ْف َع ِة فِ ْي ُك ِّل َما َلَ ْم يقسم فَا ِ َذا َوقَ َعت ْال ُح ُدوْ ِد َو
َ ص َرفت الطُ ُر َ َق
“Rasulallah memutuskan dengan syuf’ah pada setiap harta yang tidak terbagi. Jika telah
ada batas-batas dan jalan-jalan telah terbuka, maka tidak ada syu’ah.”
c. Al-Khalafiyyah
Al-Khalafiyyah adalah penggantian seseorang atau sesuatu yang baru menempati
posisis pemilikan yang lama. Dengan demikian dapat dibedakan menjadi 2 kategori yaitu:
1. Penggantian atas seseorang oleh orang lain. Misalnya dalam hal hukum waris. Dalam
hukum waris, seorang ahli waris menggambarkan posisi pemilikan orang yang wafat
terhadap harta yang ditinggalkan (tarikah).
2. Penggantian banda atas benda yang lainnya, seperti terjadi pada tadlmin
(pertanggungan) ketika seseorang merusak atau menghilangkan harta benda orang
lain, atau pada ta’widl (pengganti kerugian) ketika seseorang mengenakan atau
menyebabkan kerusakan harta benda orang lain.
1. Melalui pertanian, yang antara lain disebutkan dalam QS. ‘Abasa; 25-32
2. Melalui industri, yang antara lain disebutkan dalam QS. al-Hadîd: 25
3. Melalui perdagangan dan jasa, yang antara lain disebutkan dalam QS.
Quraisy: 1-4. Bidang ini sangatlah luas, baik jual beli, sewa menyewa, pinjam
meminjam, syarikat/penkongsian, kerjasama, dan sebagainya, bahkan
termasuk akad jabariyah seperti akad yang harus dilakukan berdasarkan
keputusan hakim dan akad istimlak untuk maslahat umum, umpamanya tanah-
tanah yang dibebaskan untuk kepentingan umum.
Keempat; Pewarisan
KESIMPULAN
Hak milik (kepemilikan) adalah hubungan antara manusia dengan harta yang ditetapkan
syara', dimana manusia memiliki kewenangan khusus untuk melakukan transaksi terhadap harta
tersebut, sepanjang tidak ditemukan hal yang melarangnya. Kepemilikan adalah sesuatu yang
dimiliki oleh manusia, baik berupa harta benda (dzat) atau nilai manfaat.macam kepemilikan :
milk tamm dan milk al-naqish, Kepemilikan pribadi (al-milkiyat al-fardiyah), Kepemilikan
Umum (al-milkiyyat al-‘ammah),dan Kepemilikan Negara (milkiyyat al-dawlah).kemudian ada
penyebab hak kepemilikan itu terjadi: Istila’ al-Mubahat (Penguasaan harta bebas), Al-Uquud
(Kontrak), Al-Khalafiyyah, dan Al-Tawallud Minal Mamluk.
SARAN
Semoga dengan adanya pembahasan makalah kami dapat menjadi masukan dan sumber
inspirasi bagi semua orang dan semoga bermanfaat. Kami menyadari sepenuhnya bahwa kami
hanyalah manusia biasa yang tak luput dari salah dan lupa, oleh sebab itu kami sadar bahwa
makalh ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami sangat harapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak terutama dari dosen yang bersangkutan, agar kedepannya dapat
membuat yang lebih baik.
PENUTUP
Demikianlah bahasan ini kami akhiri. Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi semua orang
yang membacanya. Hanya kepada Allah kami memohon taufiq agar kami bersama mereka dapat
melayani syari’at-Nya dan menerapkan hukum-hukumnya. Segala puji bagi Allah. Semoga Allah
melimpahkan karunia atas junjungan kami Muhammad, keluarga, dan semua sahabatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Mizan, Bandung, 2003, hal. 324.
Taqiyy al-Din al-Nabhani, al-Nizam al-Iqtisadi fi al-Islam, Dar al-Ummah, Beirut, 1990, hal.
57.
Yunus al-Misri, Usul al-Iqtisadi al-Islami, Dar al-Qalam, Damaskus, 1999, hal. 41-49.
Dalam kitab-kitab klasik, sering juga hanya disebut dengan al-arfaq yang diartikan sebagai
fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana umum yang dapat dimanfaatkan oleh warga dan masyarakat
secara umum.
Lihat al-Shawkani, Nayl al-Awtar, Dar al-Fikr, Beirut, 1994, jil. 6, hal. 48.
Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah, Dar alFikr, Beirut, 1960, hal.
180-184.
Abd al-Rahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, terj. Ibn Sholah Bangil, al-Izzah, 200, hal.
91.
Abu Ya’la al-Farra’, al-Ahkam al-Sultaniyyah, Dar al-Fikr, Beirut, hal. 253
Riwayat lengkap beserta penjelasannya lihat: Abu Ya’la al-Farra’, al-Ahkam al-Sultaniyyah,
264.
‘Abd al-Qadim Zallum, al-Amwal fi Dawlat al-Khilafah, Dar al-‘Ilm li al- Malayin, Beirut,
1983, hal. 89.
Al-Nabhani, al-Nizam al-Iqtisadi, hal. 218.
Antonio, Muhammad Syafii. 2007. Pengantar Fiqh Muamalah: Landasan Manajemen dan
Transaksi Bisnis.
Zaidan,Abdul Karim. 2008. Study Syar’iah: Mengenal Syari’ah Islam Lebih Dalam. Jakarta :
Robbani Press.
Antonio, Muhammad Syafii. 2011. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.
Al-arif, Muhammad Nur Rianto. 2011. Dasar-Dasar Ekonomi Islam. Solo: PT Era Adicitra
Intermedia.
http://asa-2009.blogspot.com/2013/04/konsep-kepemilikan-dalam-islam.html