Anda di halaman 1dari 11

TINJAUAN YURIDIS EKSEKUSI PIDANA MATI DI INDONESIA

Paulinus Soge
Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Email: soge@mail.uajy.ac.id

Abstract
From the juridical perspective, execution of death penalty in Indonesia is carried out by firing to death
based on Law No. 2 Pnps 1964. Such a method was stressed again by Constitution Court in its sententce
No. 21/PUU-VI/2008 which refused to change method of execution with the other one that would not be a
torture for the condemned as requested by those condemned of death penalty in Bali bomb case, Amrosi
and his friends. The Contitution Court considered that execution of death penalty based on this law has the
risk of unaccuracy which can cause pain, but it is not a torture meant by Article 28I of the 1945 Constitu-
tion.
Keywords: death penalty execution, fired to death, not a torture.

Abstrak
Eksekusi pidana mati di Indonesia ditinjau dari perspektif yuridis dilaksanakan dengan ditembak sampai
mati berdasarkan UU No. 2 Pnps Tahun 1964. Hal ini ditegaskan kembali oleh Mahkamah Konstitusi (MK)
dalam putusan No. 21/PUU-VI/2008 yang menolak mengganti cara eksekusi pidana mati dengan cara lain
yang bersifat tidak menyiksa terpidana sebagaimana dimohon oleh para terpidana mati kasus bom Bali,
Amrozi dan teman-temannya. MK berpendapat bahwa eksekusi pidana mati berdasarkan Undang Undang
ini mengandung risiko terjadinya ketidaktepatan dalam pelaksanaan yang menimbulkan rasa sakit, namun
hal itu bukan merupakan penyiksaan sebagaimana dimaksud Pasal 28I UUD 1945.

Kata kunci: eksekusi pidana mati, ditembak sampai mati, bukan penyiksaan.

A. Pendahuluan dengan keras menentang pidana mati. Dalam


Dari perspektif sejarah hukum dapat diketahui tulisannya tersebut beliau menganjurkan agar
bahwa pidana mati telah dikenal bersamaan penerapan pidana m ati se yog yanya juga
dengan adanya manusia di muka bumi ini. Pidana mempertimbangkan kemanusiaan. Dia meragukan
mati telah dikenal sejak zaman Nabi Musa, Yunani hak negara untuk menjatuhkan pidana mati.
kuno, dan kekaiseran Romawi. Pada zaman Yunani Keraguannya didasarkan pada teori perjanjian sosial
kuno, pidana mati diterapkan terhadap Socrates bahwa satu-satunya alasan untuk menghukum
tahun 399 sebelum Masehi dengan menggunakan adalah menjamin keberlansungan kehidupan
racun (Lilik Mulyadi, 2007: 288). Pada zaman masyarakat dan mencegah orang untuk melakukan
kekaisaran Romawi, pidana mati diterapkan antara kejahatan. Pidana mati tidak dapat mencegah
lain untuk mencegah menyebarluasnya agama kejahatan dan bahkan merupakan kebrutalan.
Katholik dan juga untuk hiburan bagi warga kota Menurut Beccaria pidana mati tidak menghargai
Roma. Kaisar Nero yang hidup pada abad pertama sumber daya manusia yang merupakan modal
terkenal sangat kejam terhadap penganut agama utama Negara (Syamsul Hidayat, 2010: 41-42).
Katholik. Banyak pengikut ajaran Katholik yang Perjuangan keras Beccaria akhirnya berhasil
dengan sungguh percaya kepada Tuhan dan tidak mempengaruhi beberapa peraturan hukum pada
takut mempertahankan agamanya, dimasukkan ke jamannya. Hukum Pidana Belanda menghapuskan
dalam kandang harim au dan serigala yang pidana mati pada tanggal 17 September 1870
kelaparan, agar diterkam dan menjadi santapan dengan Stb. 162. Tahun 1880 ketika Belanda mulai
hewan-hewan buas itu di suatu arena yang dapat memperbaharui hukum pidananya, pidana mati
disaksikan oleh ribuan warga kota Roma (Syamsul diperdebatkan lagi, namun akhirnya diputuskan
Hidayat, 2010: 40). menolak pidana mati (Roeslan Saleh, 1978: 8).
Beccaria dalam tulisannya pada paruh kedua Karena itu dalam Wetbooek van Straaftrecht (WvS)
abad ke-18 yang berjudul “Dei Deliti e delle Pene” Belanda tidak ada pengaturan tentang pidana mati.

94 Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Tinjauan Yuridis Eksekusi Pidana Mati di ...
Ketika WvS dibawa ke Indonesia dan mulai Selanjutnya, menurut data Amnesti Interna-
digunakan pada tanggal 1 Januari 1918, bersamaan tional (Lilik Mulyadi, 2007: 288), pengaturan hukum
dengan kolonisasi Belanda, maka berdasarkan asas berkait pidana mati di antara negara-negara dapat
konkordansi, pidana mati diatur dalam Pasal 10 dilihat dalam tabel 2 sebagai berikut .
KUHP sebagai salah satu sanksi pidana pokok.
Menurut beberapa pakar hukum pidana, pidana mati Table 2. Pengaturan Hukum Berkait Pidana
dipertahankan pada saat itu karena kondisi khusus Mati di antara Negara-negara
di Indonesia memerlukan jenis pidana yang keras
ini untuk melawan para penjahat kelas kakap yang
menyebar di seantero wilayah Indonesia. Dalam
suatu daerah yang begitu luas dihuni oleh beraneka
ragam penduduk, kepolisian negara yang jumlahnya
sangat terbatas jelas tidak mampu menjamin
keamanan seperti halnya di Eropa (Andi Hamzah
and Sumangilepu, 1983: 23). Selain itu, menurut
para pendukungnya, pidana mati tidak hanya dilihat
dari kepentingan si terpidana, tetapi juga harus
dilihat dari kepentingan si korban dan keluarganya
pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Sebalik n ya para penentang pidana m ati
berpendapat bahwa pidana mati tidak manusiawi
karena terpidana tidak dapat direhabilitasi di dalam
masyarakat (Abu Tamrin, 2012: 2).
Kontroversi mengenai pidana mati tidak hanya
terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.
Bertolak dari kontroversi tersebut beberapa negara
telah menghapus pidana mati (abolisionists), tetapi
beberapa negara masih mempertahankannya Dari table-tabel tersebut dapat diketahui bah-
(retentionists). Data mengenai pengaturan pidana wa telah terjadi perubahan signifikan di sejumlah
mati sampai dengan akhir Agustus 1987 dapat dilihat negara baik yang abolitionists maupun retentionists
pada tebel 1 sebagai berikut (Muladi 1989: 1). dalam delapan belas tahun terkahir (1987 s.d. 2007).
Pada 1987 hanya terdapat 32 negara yang secara
Table 1. Pengaturan Hukum Berkait Pidana Mati absolut menghapus pidana mati, tetapi pada 2007
di antara Negara-negara sampai terdapat 80 negara yang menghapus pidana mati.
Akhir Agustus 1987 Sebaliknya, pada 1987 terdapat 118 negara yang
dianggap sebagai retentionists termasuk Indone-
sia, sementara pada 2007 terdapat 78 negara yang
masih menerapkan pidana mati termasuk Indone-
sia.
Dengan demikian, pidana mati telah menjadi
kenyataan dan keberadaaannya tidak dapat
dipisahkan dari nilai-nilai sosial dan budaya suatu
negara. Oleh karena itu, menurut Muladi upaya
yang harus dilakukan oleh berbagai negara di dunia
adalah bagaimana membuat pengaturan hukum
agar eksekusi pidana mati menjadi lebih manusiawi
(Muladi, 1989: 1-2), . Berkait usaha ini dikenal
upaya yang disebut dengan “The Safeguard Guar-
anteeing Protection of the Rights of Those Facing
Death Penalty” yang diterima ECOSOC PBB tahun
1984 yang berisi sembilan butir sebagai berikut.
1. Di negara-negara yang belum menghapus
pidana mati, pidana mati hanya dikenakan
untuk kejahatan-kejahatan yang paling serius.
Perlu dipahami bahwa lingkup kejahatan-
kejahatan tersebut tidak melampaui kejahatan-

Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Tinjauan Yuridis Eksekusi Pidana Mati di ... 95
kejahatan yang disengaja dengan konsekuensi 1984 untuk dilakukan oleh berbagai negara di dunia
disuntik mati atau konsekuensi-konsekuensi agar ek sekusi pidana m ati m enjadi lebih
sangat berat lainnya. manusiawi, maka penulis mengkaji eksekusi
2. Pidana mati hanya dapat diterapkan pada pidana mati di Indonesia. Permasalahannya ialah,
suatu kejahatan yang oleh hukum diatur apakah eksekusi pidana mati di Indonesia sesuai
dengan pidana mati pada saat kejahatan atau sejalan dengan semangat yang ada dalam
tersebut dilakukan, perlu dibuat peraturan sembilan butir “The Safeguard Guaranteeing Pro-
hukum untuk pengenaan pidana yang lebih tection of the Rights of Those Facing Death Pen-
ringan, dengan demikian pelaku kejahatan alty” ?, Lebih khusus lagi, apakah eksekusi pidana
dapat memperoleh manfaat. mati di Indonesia merupakan penyiksaan sehingga
3. Mereka yang berusia di bawah 18 tahun ketika menjadi kurang manusiawi ?
melakukan kejahatan tidak boleh dijatuhi
pidana mati, begitu pun pidana mati tidak boleh B. Eksistensi Pidana Mati di Indonesia
dikenakan terhadap perempuan hamil, ibu yang Menurut Muladi (Muladi, 1989: 5), eksistensi
baru melahirkan, atau orang gila. pidana mati harus didasarkan pada beberapa
4. Pidana mati hanya dapat dikenakan apabila konsep teoretis mengenai tujuan pemberian sanksi
yang didakwakan kepada orang tersebut pidana seperti teori retributif, teori teleologis dan
didasar k an pada buk ti yang jelas dan teori retributif teleologis. Menurut para pendukung
meyakinkan dan tidak ada alternatif lain yang teori retributif pemberian sanksi pidana terhadap
dapat menjelaskan kenyataan tersebut. orang yang telah melakukan tindak pidana itu adil
5. Pidana mati hanya dapat dilaksanakan karena akan memperbaiki keseimbangan moral
berdasarkan putusan akhir yang dijatuhkan yang telah dirusak oleh kejahatan. Orang baik akan
oleh pengadilan yang kompeten setelah berbahagia dan orang jahat akan menderita karena
melalui proses hukum yang memberikan perilakunya yang jahat. Akan terjadi ketidak-
semua perlindungan yang mungkin untuk seimbangan apabila pelaku kejahatan gagal
menjamin peradilan yang jujur, sekurang- mendapatkan penderitaan karena perbuatan
kurangnya sepadan dengan apa yang diatur jahatnya. Keseimbangan moral akan tercapai
dalam Pasal 14 Konvensi Internasional apabila pelaku kejahatan diberi sanksi pidana dan
mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik, termasuk korban mendapatkan kompensasi.
telah dipenuhinya hak tersangka atau terdakwa Sementara itu, menurut para penganjur teori
yang dapat dikenakan pidana mati untuk teleologis, sanksi pidana dapat diberikan untuk
mendapatkan bantuan hukum yang memadai memperoleh kemanfaatan. Pemberian sanksi
pada semua tahap dalam proses peradilan. pidana pelaku kejahatan dapat menjadikannya
6. Seseorang yang dijatuhi pidana mati harus seorang yang lebih baik dan sekaligus dapat
diberi hak untuk mengajukan banding ke mencegah penjahat yang petensial agar dunia
pengadilan yang lebih tinggi tingkat kewe- menjadi tempat yang lebih baik. Kejahatan dianggap
nangannya, dan langkah-langkah harus diambil sebagai sakit jiwa dan dapat disembuhkan dengan
untuk menjamin pengajuan banding tersebut. obat yang tidak menyenangkan, yaitu sanksi
7. Seseorang yang dijatuhi pidana mati harus pidana. Para pemikir teori teleologis menyatakan
mempunyai hak untuk mendapatkan pengam- bahwa subyek moral harus mempunyai pilihan
punan, atau pergantian hukuman pengam- bahwa tindakannya dapat mempunyai kemanfaatan
punan atau pergantian pidana dapat diberikan maksimum. Kemanfaatan suatu tindakan dapat
pada semua kasus yang dapat dikenai pidana diukur dari keberhasilannya menciptakan kebaha-
mati. giaan atau mengurangi penderitaan bagi setiap
8. Pidana mati tidak boleh dikenakan tergantung orang.
pada pengajuan banding atau proses hukum Selanjutnya, menurut para penganjur teori retri-
lainnya berkaitan dengan pengampunan atau butif teleologis, tujuan pemberian sanksi pidana itu
pergantian pidana. jamak karena berkaitan dengan prinsip-prinsip
9. Manakala pidana mati harus dijatuhkan, pelak- teleologis dan retributif dalam suatu kesatuan, oleh
sanaannya harus memberikan penderitaan karena itu teori ini juga disebut teori integratif. Teori ini
yang seminimal mungkin. menganjurkan kemungkinan untuk mengintegrasikan
beberapa fungsi sekaligus: fungsi retributif dan fungsi
Bertolak dari sembilan butir upaya yang kemanfaatan, misalnya pencegahan dan rehabilitasi,
dicanangkan oleh “The Safeguard Guaranteeing yang harus dikombinasikan sebagai target yang
Protection of the Rights of Those Facing Death diterima melalui perencanaan dalam memberikan
Penalty”dan telah diterima ECOSOC PBB tahun sanksi pidana. Sanksi pidana harus menjadi sarana

96 Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Tinjauan Yuridis Eksekusi Pidana Mati di ...
untuk mengasimilasikan narapidana agar mereka dengan badan, kerangka dan bentuk suatu sistem;
dapat kembali dan hidup bersama dengan warga substansi hukum menentukan peraturan dan norma
lainnya di dalam masyarakat. Berkaitan hal ini dapat yang digunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan
dikatakan bahwa pidana merupakan suatu seni. dan perilaku individu yang diamati dalam sistem;
Di antara ketiga teori tersebut, teori integratif dan budaya hukum mencakup pandangan, perilaku,
mengenai tujuan pemberian sanksi pidana cocok keyakinan, harapan dan ide-ide tentang hukum.
untuk Indonesia karena sekarang ini pemberian Berkaitan sistem hukum disadari bahwa pandangan
sanksi pidana sangat rumit sebagai akibat dari tradisional bangsa Indonesia mengenai manusia dan
upaya-upaya yang mengarahkan perhatian terhadap m asyarakat dapat menciptakan hukum adat
faktor-faktor yang berkaitan dengan HAM dan (adatrecht) dengan berbagai aspek, dan salah
menjadikan sanksi pidana menjadi operasional and satunya adalah aspek pidana. Dari aspek ini, antara
fungsional (Muladi, 1989: 5). Pilihan teori integratif lain dapat dipelajari bahwa pidana mati yang dahulu
m engenai tujuan pem berian sank si pidana digunakan untuk mengembalikan keseimbangan
didasarkan pada beberapa alasan, seperti alasan yang dirusak oleh beberapa kejahatan adat yang
ideologis, sosiologis and yuridis. serius dalam berbagai suku di Indonesia, dieksekusi
Secara ideologis Indonesia adalah negara yang dengan berbagai cara antara lain si terpidana
berdasarkan pada Pancasila. Berkaitan pidana dibakar hidup-hidup pada sebuah tiang, dibunuh
mati, baik penganjur maupun penentang pidana dengan menggunakan keris, dicap dengan besi
m ati m endasarkan pem ikiran m ereka pada panas, digantung pada pohon bambu yang
Pancasila. Fenomena ini dapat dilihat dari hasil melengkung agar dimakan oleh burung-burung,
penelitian yang dilakukan tahun 1981/1982 oleh dipenggal kepalanya dengan pedang, dirajam
Fakultas Hukum UNDIP yang berkolaborasi dengan dengan batu sampai mati, dan seterusnya.
Kejaksaan Agung RI. Penelitian tersebut melapor- Berdasarkan alasan yuridis, sebagaimana
kan bahwa “ada kecenderungan baik penganjur telah diuraikan di atas bahwa ketika WvS dibawa
maupun penentang pidana mati menggunakan ke Indonesia dan mulai digunakan tanggal 1 Januari
Pancasila sebagai “justifikasi” (Syamsul Hidayat, 1918, bersamaan dengan kolonisasi Belanda
2010: 5). berdasarkan asas konkordansi, pidana mati diatur
Berkaitan alasan sosiologis, G. Peter dalam Pasal 10 sebagai salah satu sanksi pidana.
Hoefnagels sebagaimana dikutip Muladi (Muladi, Oleh karena itu, di dalam KUHP terdapat beberapa
1989: 10) menyatakan bahwa permasalahan utama kejahatan yang diancam dengan pidana mati
kejahatan dan sanksi pidana berada di luar hukum sebagai berikut (R. Sugandhi, 1981: 14).
dan dapat ditemukan dalam realitas manusia dan 1. Makar membunuh kepala negara (Pasal 104)
masyarakat. Oleh karena itu, pendekatan dasar 2. Mengajak Negara Asing guna menyerang In-
yang dig una kan m e nelusur i p erm asa lah an donesia (Pasal 111 ayat {2}).
kejahatan dan pemberian sanksi pidana bukanlah 3. Memberi pertolongan pada musuh waktu In-
pendekatan hukum tetapi pendekatan dalam donesia dalam keadaan perang (Pasal 124 ayat
konteks manusia dan masyarakat sesuai kondisi {3}).
sosial masyarakat Indonesia. Dari berbagai litera- 4. Membunuh Kepala Negara sahabat (Pasal 140
ture, baik yang ditulis para pakar asing maupun ayat {4}).
Indonesia , dapat diketahui bahwa esensi manusia 5. Melakukan pembunuhan dengan direncanakan
dalam konteks hubungannya dengan masyarakat terlebih dahulu (Pasal 140 ayat {3} dan Pasal
pada umumnya memberikan prioritas terhadap 340).
keseimbangan. Manusia adalah bagian alam dan
6. Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang
keberadaannya tidak dapat dipisahk an dari
atau lebih berkawan, pada waktu malam atau
kesatuan dan keseluruhan alam semesta. Segala
dengan jalan membongkar dan sebagainya,
sesuatu saling berhubungan dan mempengaruhi.
yang menyebabkan ada orang terluka berat
Dalam hal ini, yang paling penting bagi masyarakat
atau mati (Pasal 365 paragraph {4}).
ialah adanya keseimbangan dan keharmonisan
7. Melakukan pembajakan di laut, di pesisir, di
antara dunia fisik dan mistik, antara manusia secara
pantai dan di sungai, sehingga menyebabkan
keseluruhan dan individu, antara persekutuan dan
ada orang mati (Pasal 444).
teman di dalam masyarakat.
Menurut Friedman, (Lawrence M. Friedman, 8. Dalam waktu perang menganjurkan huru-hara,
1977: 6-7), sistem hukum dapat dibagi menjadi pemberontakan dan sebagainya antara pekerja-
tiga sub sistem: struktur hukum, substansi hukum, pekerja dalam perusahaan pertahanan negara
dan budaya hukum. Struktur hukum berkaitan (Pasal 124 bis).

Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Tinjauan Yuridis Eksekusi Pidana Mati di ... 97
9. Dalam wa k tu perang m enipu k e tik a adanya unsur tak dapat dijadikan pegangan (capri-
menyampaikan keperluan angkatan perang ciousness) dan ketakmasukalanan (unreasonable-
(Pasal 127 dan 129). ness). Jadi, sekalipun pidana mati diperbolehkan
10. Pemerasan dengan pemberatan (Pasal 368 asalkan diatur berdasarkan hukum nasional, tetapi
ayat{2}). hukum tersebut haruslah sah (legal), adil (just),
dapat dijadikan pegangan dan juga masuk akal.
Di luar KUHP pidana mati tercantum dalam
Oleh karena itu, menurut (Komnas HAM, 2008:
berbagai Undang-Undang, antara lain Undang-
7) ketentuan tentang hak hidup yang termuat dalam
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Pasal 6 ayat (1) ICCPR tersebut tidak dapat ditafsir
Undang-Undang Tindak Pidana Narkotika, Undang-
begitu saja sebagai larangan terhadap pidana mati.
Undang Tindak Pidana Terorisme, dan lain-lainnya.
Menurut ketentuan ini, pidana m ati sebagai
Berkait alasan yuridis, Barda Nawawi Arief pencabutan hak hidup masih diakui adanya jika
(sebagaimana dikutip Syamsul Hidayat, 2010, 5- diatur melalui hukum nasional yang adil, sah, dapat
6) menjelaskan bahwa pernyataan dalam UUD 1945 dipegang, dan juga masuk akal.
dan Undang Undang HAM bahwa “setiap orang
Selanjutnya, dijelaskan bahwa Pasal 6 ayat
mempunyai hak untuk hidup” mirip dengan Pasal 6
(1) masih mengakui pidana mati juga mengingat
ayat (1) ICCPR yang menentukan bahwa “setiap
adanya ketentuan-ketentuan yang mengikutinya
manusia mempunyai hak untuk hidup”. Tetapi,
mengatur pembatasan terhadap pidana mati.
Pasal 6 ayat (1) tersebut dilanjutkan dengan kalimat
Ketentuan-ketentuan yang mengikuti Pasal 6 ayat
yang tegas bahwa “Tak seorang pun dicabut
(1), yaitu Pasal 6 ayat (2) s.d. (6) adalah.
nyawanya secara sewenang-wenang”. Oleh karena
itu, meskipun Pasal 6 ayat (1) ICCPR menyatakan (2) Di negara-negara yang belum menghapuskan
bahwa “setiap orang mempunyai hak untuk hidup” pidana mati, putusan pidana mati hanya dapat
tidak harus berarti bahwa hak hidupnya tidak dapat dijatuhkan terhadap kejahatan yang paling
dicabut. Yang jelas dilarang adalah “mencabut hak berat sesuai dengan hukum yang berlaku pada
hidup seseorang secara sewenang-wenang”. saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan
Bahkan dalam Pasal 6 ayat (2) dinyatakan bahwa tidak bertentangan dengan Kovenan ini dan
pidana mati masih dimungkinkan untuk “kejahatan- Konvensi tentang Pencegahan dan Peng-
kejahatan yang sangat serius”. Penjelasan Barda hukuman Kejahatan Genosida. Pidana mati
Nawawi Arief tentang Pasal 6 ayat (1) ICCPR hanya dapat dilaksanakan atas dasar putusan
tersebut identik dengan pendapat ahli hukum dan akhir yang dijatuhkan oleh pengadilan yang
pelapor khusus PBB untuk penyiksaan, Manfred berwenang (competent).
Nowak (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2008: (4) Siapapun yang dijatuhi pidana mati mem-
6) yang menyatakan bahwa kewajiban untuk punyai hak untuk mendapatkan pengam-
menghormati hak hidup sebagaimana tertuang punan atau keringanan pidana. Amnesti,
dalam Pasal 6 ayat (1) ICCPR bersifat tidak absolut. pengampunan atau pengurangan pidana mati
Dalam hal ini hanya ‘pencabutan/perampasan hak dapat diberikan dalam semua kasus.
hidup secara sewenang-wenang’ yang dipandang (5) Pidana mati tidak dapat dijatuhkan atas
melanggar Pasal 6. Menurut Sir Negel Ridley kejahatan yang dilakukan oleh seseorang di
(Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2008: 6-7), bawah usia delapan belas tahun, dan tidak
bahwa pidana mati dapat dinyatakan sesuai dapat dilaksanakan pada perempuan yang
ketentuan Pasal 6 ICCPR apabila diatur oleh hukum tengah mengandung.
nasional. Namun demikian, menurut Nowak, kata (6) Tidak ada satupun dalam pasal ini yang dapat
keterangan ‘secara sewenang-wenang/arbi- digunakan untuk menunda atau mencegah
trarily’ juga harus dimaknai lebih jauh. Arbitrarily penghapusan pidana mati oleh Negara-negara
deprivation of life mengandung unsur ketidaksahan/ Pihak pada Kovenan ini.
unlawfulness dan tidak adil/injustice. Dengan
Eksistensi pidana mati di Indonesia ditegaskan
demikian, hukum nasional yang memuat ketentuan
kembali ketika MK menolak menghapus pidana
pidana mati harus pula memenuhi ketentuan
mati dari sistem hukum pidana Indonesia dalam
tersebut dan tidak mengandung unsur-unsur
putusan MK mengenai pengujian KUHP, (Kompas,
ketidaksahan dan bersifat tidak adil. Oleh karena
2012: 5). MK menegaskan, pidana mati dibenarkan
itu, frasa ‘tidak seorang pun dapat dirampas hak
menurut UUD 1945 maupun Deklarasi Universal Hak
hidupnya secara sewenang-wenang’ dalam Pasal
Asasi Manusia. MK menolak membatalkan frasa
6 ICCPR m enunjuk kan bahwa ‘sew enang-
“pidana mati” dalam Pasal 365 ayat (4) KUHP.
wenang/arbitrarily’ bermakna baik secara tidak
Permohonan ini diajukan oleh dua terpidana mati
sah/illegally maupun tidak adil/unjustly. Ditegaskan
Pengadilan Tinggi Pekanbaru, Raja Syahrial alias
pula bahwa frasa tersebut meminta pula tidak

98 Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Tinjauan Yuridis Eksekusi Pidana Mati di ...
Herman alias Wak Ancam dan Raja Fadli alias Deli. berarti, a) apabila terdakwa atau penuntut umum
Keduanya terbukti mencuri dengan kekerasan menerima putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan
secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau negeri; b) apabila batas waktu untuk mengajukan
mati. banding telah lewat; c) apabila permohonan ban-
Para pemohon mendalilkan, pidana mati ding dicabut, dan d) apabila terpidana tidak
melanggar hak hidup yang dijamin Pasal 28A dan mengajukan permohonan grasi kepada Presiden
Pasa l 28I U UD 194 5. Par a pem ohon juga (dalam jangka waktu yang sama seperti pengajuan
mendalilkan, pencurian dengan kekerasan yang permohonan banding).
menyebabkan luka berat atau mati tidak termasuk Pasal 11 KUHP menentukan bahwa eksekusi
the most serious crime. Namun MK berpendapat, pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di
pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan lingkungan peradilan umum atau peradilan militer,
matinya orang merupakan the most serious crime dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut
karena menimbulkan ketakutan luar biasa pada ketentuan-ketentuan dalam UU No. 2 Pnps Tahun
masyarakat. Ketakutan itu sama dengan ketakutan 1964. Di dalam penjelasan (R. Sugandhi, 1981: 14-
karena narkoba. 15). Pasal 11 KUHP dinyatakan bahwa sebelum
Terkait pidana mati yang dinilai melanggar adanya ketentuan-ketentuan dalam UU No. 2 Pnps
Pasal 28A dan Pasal 28I, MK melakukan penafsiran Tahun 1964, pidana mati dilaksanakan oleh algojo
sistematis terhadap hal tersebut. Hak asasi dalam di tempat penggantungan menggunakan sebuah
dua pasal ter sebut haruslah tunduk pada jerat di leher terpidana mati dan mengikatkan jerat
pembatasan hak yang diatur Pasal 28J UUD 1945. itu pada tiang penggantungan serta menjatuhkan
Sistematika ini sejalan dengan Deklarasi HAM papan tempat orang itu berdiri. Tetapi, karena
Universal yang mnempatkan HAM sebagai pasal k etentuan ini tidak sesuai lagi dengan
penutup. MK pernah menolak menghapus pidana perkembangan serta jiwa revolusi Indonesia maka
mati pada 30 O ktober 2007 saat m enguji pelaksanaan pidana mati itu dilakukan dengan
permohonan penyelundup heroin “Bali Nine” yang ditembak sampai mati di suatu tempat dalam daerah
dipidana mati. hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan
Sampai sekarang dari aspek yuridis Indone- dalam tingkat pertama.
sia merupakan negara retensionist berkaitan pidana Penjela san R. Sugandhi di atas perlu
mati. Namun demikian menurut (Muladi, 1989: 24), dilengkapi dengan penjelasan (Andi Hamzah, 2011:
baik para penganjur maupun penentang pidana mati 312-313), bahwa cara pelaksanaan pidana mati
sama jumlahnya di dalam masyarakat. Oleh karena sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 11 KUHP,
itu, untuk menjaga keseimbangan perasaan kedua yaitu dengan menggantung terpidana oleh seorang
kelompok tersebut di masa yang akan datang algojo namun dewasa ini tidak dilaksanakan lagi
khususnya di dalam konsep KUHP baru, pidana sebenarnya merupakan suatu sejarah tersendiri.
mati masih tetap dipertahankan tetapi ditempatkan Pelaksanaan pidana mati dengan menggantung
di luar sanksi pidana pokok sebagai sanksi pidana terpidana menurut ketentuan Pasal 11 KUHP itu
pokok yang bersifat khusus. Pengaturan yang berlangsung sampai tanggal 8 Maret 1942 ketika
demikian itu akan menunjukkan pidana mati Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada
sebagai sanksi pidana yang bersifat eksepsional. Jepang.
Penempatan sanksi pidana mati dalam ayat yang Jepang mengeluarkan suatu peraturan, yaitu
terpisah di luar sanksi pidana pokok adalah benar, Osamu Gunrei No. 1 Tahun 1942, yang menyatakan
karena merupakan suatu kompromi antara para bahwa pelaksanaan pidana mati dengan jalan
pendukung dan penentang pidana mati. Di dalam menembak mati terpidana. Pada waktu pendudukan
praktek hakim harus memberikan pertimbangan Belanda sesudah Perang Dunia II usai, berlaku Stb.
yang sungguh-sungguh apabila h e nd a k No. 123, yang menyatakan pelaksanaan pidana mati
menjatuhkan pidana mati. dengan ditembak mati. Setelah Indonesia merdeka
dengan UU No. 1 Tahun 1946 yang dikeluarkan oleh
C. Eksekusi Pidana Mati di Indonesia RI Yogyakarta, maka dinyatakan berlaku ialah
KUHP. Jadi, dengan sendirinya berlaku Pasal 11
Berdasarkan ketentuan Pasal 270 KUHAP
KUHP tersebut yang m enyata k an bahwa
dapat diketahui bahwa pelaksanaan putusan
pelaksanaan pidana mati dengan cara digantung.
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera Berdasarkan UU No. 73 Tahun 1958, UU No.
mengirimkan salinan surat putusan kepadanya. 1 Tahun 1946 dinyatakan berlaku untuk seluruh
Dalam pengertian yuridis, putusan pengadilan wilayah Indonesia. Jadi, sejak 29 September 1958
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap pidana mati seharusnya dilaksanakan dengan cara

Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Tinjauan Yuridis Eksekusi Pidana Mati di ... 99
digantung menurut Pasal 11 KUHP. Tetapi sejak bahwa terdakwa sudah meninggal dan penuntut
saat pelaksanaan pidana mati terhadap pelaku umum wajib membuat laporan mengenai eksekusi
peristiwa Cikini tahun 1958, pidana mati dijalankan pidana mati tersebut.
dengan cara ditembak. Begitu pula terhadap Menurut (Lilik Mulyadi, 2007: 289-290),
Kartosuwirjo dan Dr. Soumokil. Baru pada tahun berdasarkan ketentuan Pasal 2 s.d. 16 UU No. 2
1964 dengan Penetapan Presiden No. 2 Tahun Pnps Tahun 1964 prosedur eksekusi pidana mati
1964, dikeluarkan peraturan tentang tata cara adalah sebagai berikut.
pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan di 1. Dalam jangka waktu tiga kali 24 empat jam
lingkungan peradilan umum dan militer yang saat pidana mati dilaksanakan jaksa tinggi/
dilakukan dengan ditembak mati. Berdasarkan UU jaksa yang bersangkutan harus memberita-
No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai huk an kepa da terpida na tentan g a ka n
Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden dilaksanakan pidana mati tersebut dan apabila
Sebagai Undang-Undang, Penetapan Presiden No. terpidana hendak mengemukakan sesuatu,
2 Tahun 1964 dinyatakan menjadi UU No. 2 Pnps keterangannya, atau pesannya itu diterima
Tahun 1964. oleh jaksa tinggi atau jaksa tersebut (Pasal 6
Pasal 271 KUHAP menentukan bahwa dalam ayat {1}dan {2} UU No. 2 Pnps Tahun 1964).
hal pidana mati pelaksanaannya dilakukan tidak 2. Apabila terpidana sedang hamil, eksekusi
di muka umum dan menurut ketentuan Undang- pidana mati baru dapat dilaksanakan empat
Undang. Bertolak dari ketentuan Pasal 271 KUHAP puluh hari setelah anaknya dilahirkan (Pasal 7
tersebut, Leden Marpaung (Leden Marpaung, 2010, UU No. 2 Pnps Tahun 1964).
217-218) menjelaskan bahwa adanya berita pidana 3. Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan
mati pada surat kabar atau warta berita yang oleh menteri kehakiman yaitu di suatu tempat
dibaca/diketahui masyarakat tetapi kelanjutan dalam daer ah huk u m pe nga dila n ya ng
berita tersebut mengenai pelaksanaannya kadang- menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama
kadang setelah bertahun-tahun. Hal tersebut bukan (Pasal 2 ayat {1}UU No. 2 Pnps Tahun 1964).
disebabkan kemauan aparat atau bukan karena
4. Kepa la k epolisian dar i daerah yang
aparat pelaksana mengalami hambatan tetapi
bersangkutan bertanggung jawab mengenai
sem ata-m ata k arena prosedur/tata cara
pelaksanaan pidana mati tersebut setelah
pelak sanaan pidana m ati harus ditem puh
mendengar nasihat dari jaksa tinggi/jaksa yang
berdasarkan UU No. 2 Pnps Tahun 1964 dan UU
telah melakukan penuntutan pidana mati pada
No. 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi
peradilan tingkat pertama (Pasal 3 dan 4 UU
sebagaimana telah diganti dengan UU No. 2 Tahun
No. 2 Pnps Tahun 1964).
2002 tentang Permohonan Grasi.
5. Pelaksanaan pidana mati dilakukan oleh regu
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU No. 3 Tahun
penembak yang terdiri atas seorang bintara,
1950 tentang Permohonan Grasi, jika terpidana mati
10 orang tamtama, di bawah pimpinan seorang
tidak mengajukan grasi maka hakim atau ketua
perwira yang semuanya dari Brigade Mobile
pengadilan negeri, jaksa atau kepala kejaksaan
(Pasal 10 ayat {1} UU No. 2 Pnps Tahun 1964).
negeri harus mengajukan permohonan grasi karena
6. Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan
jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 12
(atau perwira yang ditunjuk) dan jaksa tinggi/
Undang-Undang tersebut. Dengan demikian,
ja ksa yang bertanggung jawab harus
meskipun terpidana mati tidak mengajukan grasi,
menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut
berdasarkan Pasal 13 UU No. 22 Tahun 2002
(Pasal 4 UU No. 2 Pnps Tahun 1964).
eksekusi pidana mati belum dapat dilaksanakan
sebelum Keputusan Presiden tentang Penolakan 7. Sebelum pelaksanaan pidana mati, maka
Grasi diterima oleh terpidana mati. terpidana dapat disertai rohaniawan (Pasal 11
ayat {1} UU No.2 Pnps Tahun 1964), kemudian
Prosedur eksekusi pidana mati baik yang
terpidana dapat menjalani pidana mati secara
dijatuhk an oleh pengadilan um um m aupun
berdiri, duduk atau berlutut (Pasal 12 ayat {1}
pengadilan militer harus dilaksanakan sesuai
UU No. 2 Tahun 1964) dan eksekusi pidana
ketentuan UU No. 2 Pnps Tahun 1964, yaitu
mati dilaksanakan tidak di muka umum dan
eksekusi pidana mati dilaksanakan oleh 12 orang
dengan cara sesederhana mungkin kecuali
terdiri atas satu orang perwira, satu orang bintara,
ditetapkan lain oleh Presiden (Pasal 9 UU No.
dan 10 orang tamtama, di bawah komando seorang
2 Pnps Tahun 1964).
perwira. Jarak antara regu penembak dengan
terpidana mati antara lima sampai 10 meter. Hanya 8. Penguburan jenazah terpidana diserahkan
satu senapan diisi peluru. Setelah eksekusi seorang kepada keluarganya atau sahabat terpidana
dokter melakukan pemeriksaan untuk memastikan kecuali berdasarkan kepentingan umum Jaksa
Tinggi/Jaksa yang bersangkutan dapat

100 Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Tinjauan Yuridis Eksekusi Pidana Mati di ...
menentukan lain (Pasal 15 ayat {1} UU No. 2 dicantumkan di dalam surat keputusan dari
Pnps Tahun 1964); dan pengadilan yang bersangkutan (Pasal 16 ayat
9. Kemudian setelah eksekusi pidana mati {1} dan {2} UU No. 2 Pnps Tahun 1964).
dila k sanakan, ja k sa tin ggi/jaksa yang Dari tahun 1978 s.d. tahun 2005 pelaksanaan
bersangkutan harus membuat berita acara pidana mati di Indonesia dapat dilihat dalam tabel
mengenai pelaksanaan pidana mati dan isi dari 3 sebagai berikut (Lilik Mulyadi, 2007: 291).
berita acara tersebut k em udian harus

Tabel 3. Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia dari tahun 1978 s.d. 2005

Dari tabel 3 di atas tampak bahwa berkait D. Putusan MK Nomor 21/PUU-VI/2008 tentang
pidana mati, Indonesia konsekuen menerapkan Eksekusi Pidana Mati
pidana mati sebagai negara yang retensionist. 1. Duduk Perkara
Pidana mati tetap diterapkan terhadap pelaku Putusan MK Nomor 21/PUU-VI/2008
kejahatan yang sangat serius seperti pembunuhan (MK, 2008: 1-2) berawal dari Permohonan
berencana yang dilakukan dengan sangat sadis dan Pengujian UU No. 2 Pnps Tahun 1964 tentang
pengedaran narkotika dalam skala besar. Selain itu, Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang
pidana m ati juga diterapkan kepada pelaku Dijatuhkan Pengadilan di Lingkungan Peradilan
kejahatan terorisme, seperti Amrozi bin Nurhasyim, Umum dan Militer yang telah ditetapkan
Ali Ghufron bin Nurhasyim als. Muklas dan Abdul menjadi Undang Undang oleh UU No. 5 Tahun
Azis als. Imam Samudra dalam kasus bom Bali 1969 terhadap UUD 1945, yang diajukan oleh
yang menelan banyak korban yang tidak berdosa, Am rozi bin Nurhasyim , Ali Ghuf ron bin
meskipun para terpidana mati tersebut mengajukan Nurhasyim als. Muklas dan Abdul Azis als.
judicial review terhadap UU No. 2 Pnps Tahun 1964 Imam Samudra dengan surat permohonan
yang akhirnya ditolak oleh MK, sehingga eksekusi bertanggal 6 Agustus 2008 yang diterima dan
pidana mati terhadap mereka tetap dilaksanakan terdaftar di Kepaniteraan MK pada tanggal 6
berdasarkan ketentuan Undang Undang tersebut. Agustus 2008, dengan registrasi perkara
Nomor 21/PUU-VI/2008.

Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Tinjauan Yuridis Eksekusi Pidana Mati di ... 101
Para pemohon pada dasarnya mengaju- e. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
kan Pengujian Undang Undang (PUU) tentang (DPR-GR) bukan lembaga perwakilan
norma-norma yang terdapat di dalam UU No. rakyat sebagainana dimaksud oleh UUD
2 Pnps Tahun 1964 yang ditetapkan menjadi 1945, karena DPRG dibentuk atas dasar
Undang Undang dengan UU No. 5 Tahun 1969 Penetapan Presiden dan anggotanya juga
tentang Pernyataan Berbagai Penetapan diangkat oleh Presiden, sedang Dewan
Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana
Undang-Undang. dimaksud oleh Pasal 19 Amandemen UUD
1945, anggotanya dipilih melalui pemilihan
2. Permohonan Pengujian Formal umum.
Dalam permohonan pengujian formil (MK, f. Pembentukan Undang Undang menurut
2008: 7-8), para pemohon berpendapat bahwa UUD 1945 adalah sebagaimana tersebut
menurut ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf “a” dalam Pasal 20 Amandemen UUD 1945,
UU MK, perihal Undang Undang yang dapat maka pembentukan UU No. 2 Pnps Tahun
dimohonkan untuk diuji oleh MK adalah 1964 juncto UU No. 5 Tahun 1969 tidak
Undang Undang yang pembentukannya tidak sesuai Pasal 20 tersebut.
memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945.
g. Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati
Menurut para pemohon UU No. 2 Pnps Tahun
dengan cara ditembak hingga mati oleh
1964 yang telah ditetapkan menjadi Undang
Regu Penem ba k , yang selam a in i
Undang dengan UU No. 5 Tahun 1969
dijalankan di negara Republik Indonesia
merupakan Undang-Undang yang pemben-
merupakan tata cara yang didasarkan
tukannya tidak memenuhi ketentuan UUD
pada Undang-Undang yang pembentukan-
1945.
nya tidak sesuai UUD 1945.
Adapun dalil-dalil para pemohon menge-
h. Fakta hukum, UU No. 2 Pnps Tahun 1964
nai pengujian formil adalah sebagai berikut.
yang telah diwajibkan oleh UU No. 5 Tahun
a. UU No. 2 Pnps Tahun 1964 merupakan 1969 untuk diadak an perbaikan/
Undang-Undang yang pembentukannya penyempurnaan dalam arti bahwa materi
didasarkan pada Penetapan Presiden penetapan tersebut dijadikan bahan
Republik Indonesia. penyusunan Undang-Undang baru, hingga
b. Penetapan Presiden a quo, kemudian perm ohonan diajukan ke MK belum
menjadi Undang-Undang adalah karena pernah ada perbaikan m a up u n
diundangkannya UU No. 5 Tahun 1969 penyempurnaan terhadap Tata Cara
tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia.
Presiden dan Peraturan Presiden sebagai
Undang Undang. 3. Permohonan Pengujian Material
c. Penetapan Presiden a quo merupakan Dalam permohonan pengujian material
Penetapan Presiden yang dimaksud oleh (MK, 2008: 8-9), para pemohon berpendapat
Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1969 yang bahwa menurut ketentuan Pasal 51 ayat (3)
menentukan: huruf “b” UU MK, perihal Undang Undang yang
“Terhitung sejak disahkannya Undang dapat dimohonkan untuk diuji oleh MK adalah
Undang ini, menyatakan Penetapan- Undang Undang yang materi muatan dalam
penetapan Presiden dan Peraturan- ayat, pasal, dan/atau bagian Undang Undang
peraturan Pre siden se bagaim ana bertentangan dengan UUD 1945. Menurut para
termaksud dalam lampiran IIA dan IIB pemohon UU No. 2 Pnps Tahun 1964 juncto
Undang-Undang ini, sebagai Undang- UU No. 5 Tahun 1969 bertentangan dengan
Undang dengan ketentuan, bahwa materi UUD 1945 khususnya Pasal 281 ayat (1)
Penetapan-penetapan Presiden dan perubahan kedua, berdasarkan dalil-dalil
Peraturan-perauran Presiden tersebut sebagai berikut.
ditampung atau dijadikan bahan bagi a. Pasal 281 ayat (1) menentukan:
penyusunan Undang-Undang yang baru”. “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,
d. UU No. 2 Pnps Tahun 1964 juncto UU No. hak kemederkaan pikiran dan hati nurani,
5 Tahun 1969 adalah Undang-Undang hak beragam a, hak untuk tidak
yang pembentukannya dilakukan dengan diperbudak, hak untuk diakui sebagai
cara disahkan oleh Presiden Republik pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk
Indonesia dengan disetujui oleh Dewan tidak dituntut atas dasar hukum yang
Perwakilan Rakyat Gotong Royong. berlaku surut adalah hak asasi manusia

102 Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Tinjauan Yuridis Eksekusi Pidana Mati di ...
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan mengakibatkan kematian langsung adalah
apa pun”. tem bakan di atas telinga terpidana
b. Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati mengapa ada tata cara yang mengharus-
dengan cara ditembak hingga mati oleh kan membidik pada “jantung”, artinya,
regu Penembak sebagaimana ditentukan pem bentuk Undang-Undang tidak
dalam UU No. 2 Pnps Tahun 1964 juncto meyakini bahwa tembakan pada jantung
UU No. 5 Tahun 1969, adalah penyiksaan akan mengakibatkan kematian langsung,
terhadap terpidana karena dalil-dalil. sehingga ada ketentuan Pasal 14 ayat (4)
Pasal 1 UU No. 2 Pnps Tahun 1964 tersebut.
menentukan bahwa pidana mati dengan d. Meskipun seorang warga Negara Indone-
cara ditembak dilakukan dengan cara sia itu statusnya adalah terpidana maka
dite m bak hingga m ati. Ka lim at ini menurut UUD 1945, khususnya Pasal 28I
menimbulkan pengertian bahwa kematian ayat (1), tetap dijam in hak asa si
yang akan diterima oleh Terpidana tidak m anu sian ya , sehin gga penyik saa n
se ka ligus terjadi dalam “satu ka li terhadapnya dengan menggunakan tata
tem bakan”, nam un harus dilak ukan cara pelaksanaan pidana mati berdasarkan
secara berkali-kali hingga mati. Dengan UU No. 2 Pnps Tahun 1964 juncto UU No.
demikian, terjadi penderitaan yang amat 5 Tahun 1969 materin ya j e la s
sangat sebelum terpidana akhirnya mati. bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 14 ayat (4) UU No. 2 Pnps
Tahun 1964 lebih memberikan penegasan 3. Putusan MK Nomor 21/PUU-VI/2008
atas k em ung k inan tid ak terjadin ya Di dalam Amar Putusan (MK, 2008: 74-
kematian dalam satu kali tembakan, 75) dinyatakan bahwa, dengan mengingat Pasal
sehingga diperlukan tembakan pengakhir, 56 ayat (5) UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK
dengan kalimat Undang-Undang: (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
“ Apabila se telah pene m ba k an, 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara
terpidana masih meperlihatkan tanda- Republik Indonesia Nom or 4316) m aka
tanda bahwa ia belum m ati, m a k a berdasarkan UUD 1945, MK menyatakan
Komandan Regu segera memerintahkan permohonan para pemohon baik mengenai
kepada Bintara regu Penembak untuk pengujian formal maupun pengujian material
melepaskan tembakan pengakhir…” ditolak untuk seluruhnya.
Sebe lum te m ba k an pengakh ir Putusan MK yang menolak permohonan
tersebut berarti Undang-Undang ini para pemohon baik mengenai pengujian for-
mengakui bahwa terpidana masih hidup, mal maupun material untuk seluruhnya karena
padahal dia suda h dalam k eadaan MK menyim pulkan berdasarkan seluruh
tertembak dan tentunya dalam keadaan pertimbangan tentang fakta dan hukum yang
berlum uran darah, sehingga dalam diuraikan di dalam persidangan bahwa:
keadaan tersiksa yang amat sangat, a. dalil-dalil para pemohon mengenai
sebelum akhirnya mati oleh tembakan pengujian formal tidak beralasan sehingga
pengakhir. harus ditolak;
c. Regu Penembak yang diberi tugas untuk b. rasa sakit yang dialami oleh terpidana
mengeksekusi terpidana menurut UU No.2 mati merupakan konsekuensi logis yang
Pnps Tahun 1964 juncto UU No. 5 Tahun melekat dalam proses kematian sebagai
1969, diharuskan membidik pada jantung akibat pelaksanaan pidana mati terhadap
terpidana (Pasal 14 ayat {3}) namun pada terpidana sesuai tata cara yang berlaku,
Pasal 14 ayat (4) menentukan untuk sehingga tidak term as uk k ategori
mengar ahk an tem bak an te m b ak an penyiksaan terhadap diri terpidana mati;
pengakhir dengan menekankan ujung c. dari berbagai alternatif tentang tata cara
laras senjatanya pada kepala terpidana pelaksanaan pidana mati selain cara
tepat di atas telinganya. Dengan demikian ditembak, seperti digantung, dipenggal
tata cara ini tidak memberikan kepastian pada leher, disetrum listrik, dimasukkan
akan “tiadanya penyiksaan” dalam proses ke dalam ruang gas, dan disuntik mati,
k em atian terpidana. Jik a m enurut sem uanya m enim bulk an rasa sak it
pembentuk Undang-Undang yang dapat meskipun gradasi dan kecepatan

Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Tinjauan Yuridis Eksekusi Pidana Mati di ... 103
kematiannya berbeda-beda. Tidak ada D. Simpulan
satu cara pun yang menjamin tiadanya Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan
rasa sakit dalam pelaksanaannya, bahkan bahwa, “secara yuridis eksekusi pidana mati di In-
semuanya megandung risiko terjadinya donesia dilaksanakan dengan ditembak sampai
ketidaktepatan dalam pelaksanaan yang mati berdasarkan ketentuan UU No. 2 Pnps Tahun
menimbulkan rasa sakit. Namun, hal itu 1964”. Hal ini ditegaskan kembali oleh MK dalam
bukan merupakan penyiksaan sebagai- putusan No. 21/PUU-VI/2008 yang m enolak
mana dimaksud Pasal 28I UUD 1945, mengganti cara eksekusi pidana mati dengan cara
sehingga UU No. 2 Pnps Tahun 1964 lain yang bersif at tidak m enyiksa terpidana
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana sebagaimana dimohon oleh para terpidana mati
Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Bom Bali Amrozi cs. MK berpendapat bahwa
Lingkungan Peradilan Umum dan Militer eksekusi pidana mati berdasarkan Undang Undang
tidak bertentangan dengan UUD 1945, ini megandung risiko terjadinya ketidaktepatan
m ak a perm ohonan par a pem ohon dalam pelaksanaan yang menimbulkan rasa sakit,
sepanjang pengujian m aterial tidak namun hal itu bukan merupakan penyiksaan
beralasan dan harus ditolak. sebagaimana dimaksud Pasal 28 I UUD 1945.

Daftar Pustaka

Abu Tamrin. 2012. “Hukuman Mati dan Hak Asasi Manusia dalam Peraturan Perundang-undangan”.
www.legalitas.org. [17 Januari 2012].
Andi Hamzah. 2011. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Edisi Kedua, Cetakan Kelima.
Andi Hamzah dan Sumangilepu. 1983. Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan Masa Depan.
Jakarta: Ghalia Indonesia
Anonim. 2008. Putusan MK No. 21/PUU-VI/2008.
Friedman, Lawrence M. 1977. Law and Society: An Introduction. New Yersey: Prentice Hall Inc. Englewood
Cliffs
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 2008. Keputusan Sidang Paripurna Komnas HAM Nomor: 033/SP/IX/
2008 dalam Sidang Paripurna Tanggal 23-24 September 2008.
Kompas. 2012. MK Kembali Tolak Menghapus Pidana Mati. [19 Juli 2012]
Leden Marpaung. 2010. Proses Penanganan Perkara Pidana (di Kejaksaan & Pengadilan Negeri Upaya
Hukum & Eksekusi. Jakarta: Sinar Grafika. Bagian Kedua, Edisi Kedua.
Lilik Mulyadi. 2007. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya. Bandung:
Penerbit PT Alumni
Muladi. 1989. “Pidana Mati Ditinjau dari Sudut Tujuan Pemidanaan”. Makalah. Disampaikan pada Simposium
Nasional “Realisasi Pidana Mati di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universi-
tas Muhammadiyah, Surakarta, 15 Juni 1989. Surakarta: Fakultas Hukum UMS
Roeslan Saleh. 1978. Masalah Pidana Mati. Jakarta: Aksara Baru
R. Sugandhi. 1981. K.U.H.P. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya. Surabaya:
Penerbit Usaha Nasional
Syamsul Hidayat. 2010. Pidana Mati di Indonesia. Yogyakarta: Genta Press

104 Yustisia Vol.1 No. 3 September - Desember 2012 Tinjauan Yuridis Eksekusi Pidana Mati di ...

Anda mungkin juga menyukai