Anda di halaman 1dari 7

Garis Besar UU Perkawinan Secara Umum

BAB I Dasar Perkawinan (Pasal 1– Pasal 5)


Bab ini memuat ketentuan umum berupa definisi perkawinan, sebagaimana
tertuang dalam Pasal 1. Berdasarkan definisi dalam Pasal 1 UU Perkawinan maka kita
dapat melihat kaitan yang sangat erat antara perkawinan dengan agama. Pasal 2
menjelaskan tentang syarat sah perkawinan, yakni bilamana dilakukan menurut
hukum agama dan kepercayaan yang dianut. Pasal 3, 4, dan 5 mengatur mengenai
asas poligami terbuka yang dianut dalam UU Perkawinan. Pasal-pasal tersebut
mengatur mengenai pemberian izin oleh pengadilan dan syarat-syaratnya,
sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 dan 5 UU Perkawinan.

BAB II Syarat Perkawinan (Pasal 6– Pasal 12)

Bab ini memuat tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi kedua calon
mempelai untuk melangsungkan perkawinan. Dalam bab ini juga diatur mengenai
batas minimal perkwainan dilaksanakan. Jika mengacu pada Pasal 7 ayat 1 UU
Perkawinan, maka batas minimal untuk pihak pria adalah 19 tahun dan untuk wanita
adalah 16 tahun. Namun, jika mengacu pada peraturan terbaru, yakni Pasal 7 ayat 1
UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, maka usia minimal untuk melangsungkan perkawinan adalah 19 tahun
bagi pihak pria dan wanita.

Dalam Pasal 8, 9, dan 10 diatur mengenai larangan perkawinan baik bagi yang
baru akan melangsungkan perkawinan, maupun yang telah mengalami cerai kawin
untuk yang kedua kalinya. Dalam Pasal 11, diatur mengenai masa tunggu bagi wanita
yang telah putus perkawinannya. Mengenai masa tunggu, diatur dalam Pasal 39 PP
No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan U ndang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
BAB III Pencegahan Perkawinan (Pasal 13– Pasal 21)

Menurut Pasal 13 UU Perkawinan, perkawinan dapat dicegah apabila ada


pihak yang tidak memenuhi syarat. Pihak yang dapat mencegah perkawinan diatur
dalam Pasal 14, 15, dan 16. Mengenai tata cara mengajukan pencegahan perkawinan
ke pengadilan diatur dalam Pasal 18 UU Perkawinan.

BAB IV Batalnya Perkawinan (Pasal 22– Pasal 28)

Menurut Pasal 22 UU Perkawinan, perkawinan dapat dibatalkan apabila para


pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 23, 24,
26, dan 27 UU Perkawinan mengatur tentang pihak-pihak yang dapat mengajukan
pembatalan perkawinan. Tata cara permohonan pembatalan perkawinan ke
pengadilan diatur dalam Pasal 25. Mengenai berlakunya pembatalan perkawinan
diatur dalam Pasal 28.

BAB V Perjanjian Perkawinan (Pasal 29)

Pada waktu atau sebelum melangsungkan perkawinan, kedua pihak dapat


mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan.
Mengenai perjanjian perkawinan ini diatur dalam Pasal 29 ayat 1 sampai 4. Menurut
ayat 2, perjanjian tersebut tidak sah bilamana melanggar batas-batas hukum, agama,
dan kesusilaan. Mengenai batas berlakunya perjanjian tersebut diatur dalam ayat 3,
yakni selama perkawinan dilangsungkan. Menurut ayat 4, perjanjian perkawinan
tidak dapat diubah kecuali perubahan tersebut terjadi setelah ada perjanjian.

BAB VI Hak dan Kewajiban Suami Istri (Pasal 30– Pasal 34)

Mengenai hak dan kewajiban suami istri diatur dalam pasal 30 sampai dengan
34 UU Perkawinan. Hak dan kewajiban ini timbul sebagai akibat hukum dari suatu
perkawinan. Menurut Pasal 30, kewajiban dipikul oleh kedua belah pihak, yakni
suami dan istri. Mengenai hak suami dan istri diatur dalam Pasal 31. Sedangkan
mengenai kewajiban suami dan istri diatur dalam Pasal 32-34 UU Perkawinan.
BAB VII Harta Benda dalam Perkawinan (Pasal 35– Pasal 37)

Dalam perkawinan harta benda dibagi menjadi dua, yakni harta bawaan dan
harta yang diperoleh selama perkawinan. Kepemilikan atas harta-harta tersebut diatur
dalam Pasal 35. Menurut Pasal 35 ayat 1 harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama. Mengenai kepemilikan harta bawaan diatur
dalam Pasal 35 ayat 2, yakni harta bawaan ada di bawah penguasaan masing-masing
selama para pihak tidak menentukan lain.

Mengenai pihak-pihak yang dapat bertindak diatur dalam Pasal 36. Dalam
Pasal 36 ayat 1, suami istri dapat bertindak mengenai harta bersama. Dalam Pasal 36
ayat 2, mengenai harta bawaan masing-masing suami istri mempunyai hak untuk
melakukan perbuatan hukum atas harta bendanya. Mengenai kedudukan harta benda
bilamana suatu perkawinan putus karena perceraian diatur dalam Pasal 37. Harta
benda tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing.

BAB VIII Putusnya Perkawinan serta Akibatnya (Pasal 38 – Pasal 41)


Pada BAB VIII dijelaskan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian,
perceraian, dan atas keputusan pengadilan. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan
Sidang pengadilan setelah adanya usaha dan tidak berhasil untuk mendamaikan kedua
pihak. Perceraian juga harus memiliki alasan yang jelas bahwa memang suami isteri
tidak dapat hidup rukun. Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan dan Tatacara
mengajukan gugatan perceraian diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian yaitu berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya, bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak, dan mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
isteri.
BAB IX Kedudukan Anak (Pasal 42 – Pasal 44)
Pada BAB IX dijelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan
dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Anak yang dilahirkan diluar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, jika ia
dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan
tersebut. Setelahnya Pengadilan akan memberikan keputusan tentang sah atau
tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

BAB X Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak (Pasal 45 – Pasal 49)
Pada BAB X dijelaskan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik
anak sampai anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban ini tetap
berlaku meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Dijelaskan juga bahwa
anak wajib menghormati dan mentaati kehendak baik orang tua. Ketika anak telah
dewasa, ia wajib memelihara menurut orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas
menurut kemampuannya. Anak yang belum mencapai umur delapan belas tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan masih berada dibawah kekuasaan orang
tuanya, serta orang tua tersebut mewakili anak mengenai segala perbuatan hukum
didalam dan diluar Pengadilan. Berikutnya orang tua juga tidak diperbolehkan
memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang milik anaknya yang belum
berumur delapan betas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Salah
seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak untuk
waktu yang tertentu jika ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya dan
berkelakuan buruk sekali. Meskipun kekuasaannya dicabut, mereka masih tetap
berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya.

BAB XI Perwalian (Pasal 50 – Pasal 54)


Pada BAB XI dijelaskan bahwa anak yang belum berumur delapan belas
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah
kekuasaan orang tua, maka berada dibawah kekuasaan wali. Perwalian tersebut
mengenai pribadi anak maupun harta bendanya. Wali dapat ditunjuk oleh satu orang
tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau lisan. Wali dapat diambil dari
keluarga anak atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan
berkelakuan baik. Wali wajib mengurus anak dan harta bendanya sebaik-baiknya,
dengan menghormati agama dan kepercayaan anak tersebut. Wali wajib membuat
daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya serta bertanggung-jawab
terhadap harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya. Wali dapat dicabut
kekuasannya terhadap seorang anak untuk waktu yang tertentu jika ia sangat
melalaikan kewajibannya terhadap anak perwaliannya dan berkelakuan buruk sekali.
Wali yang telah menyebabkan kerugian terhadap harta benda anak yang dibawah
kekuasaannya diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut tas tuntutan anak atau
keluarga anak dengan Keputusan Pengadilan.

BAB XII Ketentuan-Ketentuan Lain (Pasal 55 – Pasal 63)


Bagian pembuktian asal-usul anak. Asal-usul seorang anak hanya dapat
dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang. Jika akte kelahiran tersebut tidak ada, maka Pengadilan dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan
pemeriksaan. Setelahnya instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum
Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang
bersangkutan.
Bagian perkawinan diluar Indonesia. Perkawinan yang dilangsungkan diluar
Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara
Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum
yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara
Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-undang. Berikutnya dalam waktu satu
tahun setelah suami isteri itu kembali di Indonesia, surat bukti perkawinan mereka
harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.
Bagian perkawinan campuran. Perkawinan campuran dalam Undang-undang
ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia. Orang yang melakukan perkawinan campuran, dapat
memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan
kewarganegaraannya. Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum
syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak
masing-masing telah dipenuhi. Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat
yang berwenang. Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan
kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan.
Bagian pengadilan. Pengadilan yang dimaksud ialah Pengadilan Agama bagi
mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Umum bagi lainnya. Setiap Keputusan
Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum.

BAB XIII Ketentuan Peralihan (Pasal 64 – Pasal 65)


Perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang
terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-
peraturan lama adalah sah. Berikutnya seorang suami beristeri lebih dari seorang
memiliki ketentuan untuk wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua
isteri dan anaknya, isteri kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta yang
ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua, dan semua isteri mempunyai hak yang
sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.

BAB XIV Ketentuan Penutup (Pasal 66 – Pasal 67)


Perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan setelah
berlakunya Undang-undang ini, maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen, Peraturan
Perkawinan Campuran, dan peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh
telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Anda mungkin juga menyukai