Anda di halaman 1dari 7

Pengaruh Hukum Islam Dalam

UU Perkawinan

A. Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia.


Perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat. Bukan
hanya sebagai perizinan belaka, tetapi perkawinan merupakan tempat
berlangsungnya perputaran hidup dimasyarakat. Oleh karena itu, agar perkawinan
tidak menjadi sekedar diksi justifikasi maka perlu diatur dalam sebuah peraturan
Perundang-undangan. Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang
perkawinan telah ada di Indonesia semenjak zaman sebelum kemerdekaan. Disini
akan dibagi menjadi 3 masa yaitu Sebelum Kemerdekaan, 1946-1973, dan 1974-
Sekarang.

1. Sebelum Kemerdekaan.
Indonesia merupakan negara bekas jajahan Belanda selama kurang
lebih 350 Tahun. Selama itu Indonesia dikuasai oleh Belanda sehingga
segala sesuatu yang menjadi wilayah koloni akan diterapkan aturan-aturan
yang berlaku di Belanda sesuai dengan asas Konkordansi. Aturan atau
hukum Belanda yang berlaku mencakup semua bidang termasuk juga
ranah perkawinan. Pada saat itu terdapat 3 hukum yang diwariskan
Belanda yaitu HOCI atau Ordonansi Perkawinan Kristen pada Staatsblad
1933 No. 74, KUHPerdata/BW, serta Peraturan Perkawinan Campuran
pada Staatsblad 1898 No. 1581. Ketiga hukum produk Belanda tersebut
tidak serta merta berlaku bagi seluruh Masyarakat, melainkan
diperuntukkan bagi beberapa golongan. HOCI sendiri berlaku untuk orang
Indonesia asli yang menganut agama Kristen. Selanjutnya KUHPerdata
atau BW berlaku untuk golongan Eropa dan Timur Asing Cina serta orang
Indonesia yang memiliki keturunan Eropa atau Timur Asing Cina.
1
Ahmad Rifai dkk, Sejarah Undang-Undang Perkawinan Atas Pendapat Hingga Pertentangan dari
Masyarakat dan Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 1973-1974. Journal of Indonesian History. Vol 4 No 1.
2015. hal 4.
Kemudian untuk Peraturan Perkawinan Campuran umumnya
diperuntukkan untuk perawinan yang berbeda golongan dengan mengikuti
hukum dari Suami2. Sedangkan untuk golongan lainnya seperti Timur
Asing selain Cina dan masyarakat adat dipergunakan hukum adat asalnya
masing-masing.

2. Masa 1946-1973
Satu tahun setelah merdeka Indonesia masih belum memiliki
produk hukumnya sendiri yang mengatur perkawinan walaupun masih ada
produk hukum warisan peninggalan Belanda. HOCI dan KUHPerdata
hanya mengatur golongan Eropa dan orang Indonesia yang menganut
agama Kristen saja, sehingga jika pada saat terjadi permasalahan
perkawinan dapat terselesaikan dengan cepat dikarenakan hukum yang
mengatur sudah terkodifikasi secara eksplisit. Berbeda dengan golongan
yang telah disebutkan tadi, Golongan Islam belum memiliki kodifikasi
hukum yang jelas tentang masalah perkawinan yang sesuai dengan hukum
Islam. Akhirnya orang yang menganut agama Islam berpedoman pada
kitab-kitab fiqih karya mujtahid seperti Imam Syafi’i dan lainnya3.
Dikarena adanya perbedaan Tafsir dan penerapan oleh orang-orang Islam,
mulai lah timbul permasalahan karena penerapannya yang berbeda-beda
seperti perkawinan dibawah umur, perkawinan paksa, penyalahgunaan hak
talak dan poligami.
Berangkat dari permasalahan tersebut, akhirnya pemerintah
menetapkan Undang-Undang No. 22 tahun 1946 Tentang pencatatan
nikah, talak, rujuk yang disahkan Presiden Soekarno untuk diberlakukan
pada pulau Jawa dan Madura saja. Kemudian Peraturan tersebut
diterapkan juga di pulau Sumatera oleh Pemerintah Darurat RI dan
selanjutnya diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia dengan dasar

2
Ibid. hal 5.
3
KHIYAROH, Alasan dan Tujuan Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Al-Qadha : Jurnal
Hukum Islam Dan Perundang-Undangan. Vol 7 No. 1. 2020. hal 4.
hukum Undang-Undang No. 32 Tahun 19544. Walaupun sudah ada
kodifikasi hukum yang mengatur Undang-Undang tersebut hanya
mengatur secara acara saja sedangkan untuk secara materi masih
menggunakan substansi yang terdapat pada fikih-fikih islam itu sendiri.
Hal tersebut masih menyebabkan masalah-masalah perkawinan yang
didominasi oleh masalah Poligami.
Terlebih lagi pada saat disahkannya PP No. 19 Tahun 1952 yang
berisi diperbolehkannya poligami tanpa syarat yang semakin
memperkeruh keadaan. Permasalahan tersebut semakin menjadi-jadi
sehingga menyebabkan protesnya para organisasi-organisasi perempuan
yang menuntut pemerintah untuk segera membuat aturan yang baru karena
masalah tersebut semakin membuat para perempuan direndahkan dalam
perkawinan5. Akhirnya tahun 1973 pemerintah pun akan membahas RUU
Perkawinan pada sidang DPR. Isi dari RUU tersebut sudah bocor terlebih
dahulu sebelum persidangan dimulai dan banyak masyarakat yang
mengetahui bahwa substansi dari RUU Perkawinan tersebut banyak sekali
yang bertentangan dengan hukum Islam karena substansinya merujuk pada
HOCI dan KUHPerdata.

3. Masa 1974- Sekarang


Setelah melalui beberapa proses pembentukan Undang-Undang yang
dilakukan secara menyeluruh baik dari pihak DPR dan pemerintah maka
pada 2 Januari 1974, Presiden Soeharto resmi mengesahkan Undang-
Undang No 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan.6Kemudian disusul
dengan pengesahan Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 mengenai
Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 serta Peraturan Menteri Agama No. 3
dan No.4 pada Juli 1975 yang memuat kewajiban pegawai pencatatan

4
UU No. 32 Tahun 1954 ini menetapkan berlakunya UU No. 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah,
Talak, dan Rujuk Diseluruh Wilayah Indonesia yang sebelumnya hanya diberlakukan di Wilayah Jawa dan
Madura.
5
Ahmad Rifai dkk, Op.Cit., hal 7.
6
KHIYAROH, Alasan dan Tujuan Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Al-Qadha : Jurnal
Hukum Islam Dan Perundang-Undangan. Vol 7 No. 1. 2020. Hal. 8.
pernikahan dan tata kerja pengadilan agama, dan contoh-contoh akta
nikah, cerai, talak dan rujuk. Dengan disahkannya UU Perkawinan No 1
Tahun 1974 membawa dampak bagi keseluruhan masyarakat Indonesia ke
depannya. Dampak tersebut mempengaruhi beberapa golongan di
antaranya:7
a. Segi Kewanitaan
Bagi kaum wanita, adanya UU No 1 Tahun 1974 ini memberikan
banyak hal positif terutama dalam lingkup poligami serta
kedudukan isteri yang tertata dalam rumah tangga. Sesuai dengan
Pasal 4 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 dimana pengadilan hanya
memberikan izin untuk melakukan poligami dengan keadaan
tertentu seperti isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya,
mendapatkan cacat atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan
serta jika tidak dapat melahirkan keturunan. Selain itu dalam
melakukan poligami, suamu harus bisa memenuhi syarat dalam
Pasal 5 UU No 1 Tahun 1974. Hal ini selaras dengan Pasal 55
Komplikasi Hukum Islam yang bersumber dari kitab-kitab Fiqih
yang merupakan penjabaran Hukum-Hukum dalam Al-Quran dan
Sunnah Nabi.8 Hal ini sesuai dengan tuntutan yang disuarakan oleh
kaum wanita dari tahun 1950 yang kini sudah terealisasikan dalam
UU No 1 Tahun 1974.
b. Kaum Pegawai Negri Sipil
Bagi kaum Pegawai Negeri Sipil, terdapat pengetatan mengenai
urusan perkawinan dan anggaran negara dalam membiayai istri
pensiunan PNS dapat dikurangi. Walaupun dalam Pasal 16 ayat (1)
UU 11 No 1969 mengatur:
Apabila Pegawai Negeri atau penerima pensiun pegawai
meninggal dunia, maka istri (istri-istri) nya untuk pegawai Negeri
pria atau suaminya untuk Pegawai Negeri Wanita, yang
7
Ahmad Rifai dkk, Op.Cit., hal 6.
8
Prof. Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
(Depok: Rajawali Press, 2019), hal 49.
sebelumnya telah terdaftar pada kantor Urusan Pegawai, berhak
menerima pensiun janda atau pensiun duda.

Pemberian uang pensiun tetap dibayarkan pada isteri-isteri seorang


PNS dengan catatan perkawinannya sah secara hukum dan harus
terdaftar dalam Kantor Urusan Negeri Sipil.

c. Masyarakat Luas
Bagi masyarakat luas, terdapat beberapa dampak adanya UU No 1
Tahun 1974 mengenai Perkawinan yaitu adanya pengurangan
angka perceraian dan poligami yang awalnya sebelum
Kemerdekaan mencapai angka ribuan. Dalam Sejarah Perempuan
Indonesia karya Cora Vreede de Stuers menyebutkan angka
poligini di Jawa pada 1939 menjadi yang tertinggi di antara
wilayah lain. Kemudian pasca adanya UU Perkawinan, jumlah
angka poligini terus menerus menyusut, pada 2012 mencapai 995
kemudian hanya sejumlah 643 pada tahun 2016.9

Menurut sebagian ahli, UU Perkawinan banyak mengadopsi Hukum Islam,


hal ini dibuktikan dengan adanya kesesuaian mengenai poligami antara
UU dengan Kompilasi Hukum Islam.10 Dengan diundangkannya UU
Perkawinan tersebut maka terdapat kemajuan Hukum Islam di Indonesia
dalam ranah hukum nasional dibandingkan pada masa-masa sebelumnya.

Kesimpulan

Perkawinan merupakan aspek penting dalam masyarakat sehingga perlu


diatur dan diberikan regulasi dalam peraturan Perundang-undangan. Perundang-
undangan mengenai perkawinan memiliki sejarah panjang semenjak jaman
sebelum kemerdekaan. Sejarah mengenai peraturan perundang-undangan dibagi
menjadi 3 masa, yaitu Sebelum Kemerdekaan, 1946-1973, dan 1974-Sekarang.

9
Nur Janti, “Angka Poligami dari Masa ke Masa”( https://historia.id/kultur/articles/angka-poligami-dari-
masa-ke-masa-vgXwV/page/1, Diakses pada 5 Mei 2019).
10
Dr. Moh. Ali Wafa: Hukum Perkawinan di Indonesia: Sebuah Kajian dalam Hukum Islam dan Hukum
Materiil, (Pamulang: Yayasan Asy-Sya’riah Modern Indonesia, 2018), hal 27.
Pada masa sebelum kemerdekaan, aturan mengenai Perkawinan yang
berlaku merupakan aturan yang bersumber dari hukum Belanda melalui asas
korkodansi. terdapat 3 hukum yang diwariskan Belanda yaitu HOCI atau
Ordonansi Perkawinan Kristen pada Staatsblad 1933 No. 74, KUHPerdata/BW,
serta Peraturan Perkawinan Campuran pada Staatsblad 1898 No. 158. Aturan ini
berlaku bagi masing-masing golongan yaitu untuk golongan Eropa, Timur Asing,
dan Pribumi serta ketentuan guna perkawinan campuran. Dapat dilihat bahwa
peraturan yang ada masih terkotak-kotak dan terbatas pada golongan sehingga
hukum Islam hanya berlaku bagi kaum pribumi atau Timur Asing yang menganut
agama Islam.
Masa 1946-1973, Indonesia baru saja merdeka sehingga aturan yang
digunakan masih peninggalan Belanda yaitu HOCI dan KUHPerdata yang berlaku
bagi gol. Eropa dan pribumi yang beragama Kristen. Sedangkan bagi golongan
Islam belum ada kondifikasi hukum yang jelas terutama mengenai Perkawinan
sehingga berpedoman pada kitab-kitab fiqih. Kemudian adanya perbedaan Tafsir
dan penerapan oleh orang-orang Islam, mulai lah timbul permasalahan karena
penerapannya yang berbeda-beda seperti perkawinan dibawah umur, perkawinan
paksa, penyalahgunaan hak talak dan poligami.
Pemerintah menetapkan Undang-Undang No. 22 tahun 1946 Tentang
pencatatan nikah, talak, rujuk yang disahkan Presiden Soekarno yang disusul oleh
UU No. 32 Tahun 1954 serta PP No. 19 Tahun 1952. Dalam aturan ini masih
bertumpu pada substansi fiqih serta adanya poligami tanpa syarat menimbulkan
protes dari organisasi perempuan. Kemudian pada 1973, pemerintah membahas
RUU Perkawinan yang mendapatkan reaksi dari pihak Islam dimana RUU
tersebut dinilai tidak sesuai dengan hukum Islam karena merujuk pada HOCI dan
KUHPerdata. Sebelum disahkannya UU No 1 Tahun 1974, aturan dan regulasi
mengenai Perkawinan masih belum tersusun dan terkodifikasi serta penerapan
Hukum Islam hanya berpengaruh pada golongan tertentu dengan penafsiran yang
berbeda-beda.
Kemudian pada masa 1974 hingga sekarang, regulasi mengenai
perkawinan lebih terkodifikasi dan memberikan fasilitas bagi golongan Islam
dalam menjalankan perkawinan sesuai dengan Hukum Islam. Disahkannya
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan, Kemudian disusul
dengan pengesahan Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 mengenai
Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 serta Peraturan Menteri Agama No. 3 dan
No.4 pada Juli 1975 yang memuat kewajiban pegawai pencatatan pernikahan dan
tata kerja pengadilan agama, dan contoh-contoh akta ni-kah, cerai, talak dan rujuk
serta Komplikasi Hukum Islam yang bersumber dari kitab-kitab Fiqih yang
merupakan penjabaran Hukum-Hukum dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi.
Dengan adanya regulasi ini, maka permasalahan mengenai tata cara perkawinan,
poligami, posisi istri dalam rumah tangga. Dengan diundangkannya UU
Perkawinan tersebut maka terdapat kema-juan Hukum Islam di Indonesia dalam
ranah hukum nasional dibanding-kan pada masa-masa sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai