Anda di halaman 1dari 15

ABSTRAK

Hubungan dua arah antara periodontitis dan diabetes melitus dapat menyebabkan
gejala mulut yang berbeda yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan umum pasien
yang terkena. Laporan kasus yang disajikan dari pasien diabetes tipe 2 wanita dengan
periodontitis parah dan abses periodontal menunjukkan bagaimana kolaborasi
interdisipliner antara dokter yang merawat dan dokter gigi dapat secara signifikan
meningkatkan kondisi rongga mulut dan kontrol metabolik.

Kata kunci: diabetes tipe 2, gejala rongga mulut, periodontitis

Abstract

The bidirectional relationship between periodontitis and diabetes mellitus can cause distinct
oral symptoms that can impact the general health conditions of affected patients. The
presented case report of a female diabetes type 2 patient with severe periodontitis and a
periodontal abscess shows how interdisciplinary collaboration between the attending
physician and dentist can significantly improve oral conditions and metabolic control.

Key words: diabetes type 2, oral symptoms, periodontitis

PENDAHULUAN

Diabetes melitus merupakan salah satu kelompok penyakit metabolic yang

ditandai dengan hiperglikemia kronis dari defek sekresi insulin, kerja insulin, atau

keduanya. Mayoritas kasus diabetes yang dapat didiagnosis dibedakan menjadi 2

kategori etiopatogenetik utama: diabetes melitus tipe 1 dan diabetes melitus tipe 2.

Diabetes melitus tipe 1 (juga dikenal sebagai diabetes remaja atau diabetes melitus

yang bergantung pada insulin) disebabkan oleh defisiensi absolut sekresi insulin,

sebagian besar terjadi dari kerusakan autoimun sel β pankreas. Kira-kira 5-10% dari
2

pasien diabetes berkaitan dengan kategori ini. Yang lebih umum adalah diabetes tipe

2 melitus (90-95% pasien diabetes). Diabetes melitus tipe 2 (juga dikenal sebagai

diabetes onset dewasa atau noninsulin-diabetes melitus dependen) sering disebabkan

karena kombinasi resistensi terhadap tindakan insulin dan respon sekresi insulin

kompensasi yang tidak memadai, menyebabkan defisiensi relatif sekresi insulin.

Faktor risiko berkembangnya diabetes melitus tipe 2 meningkat berkaitan dengan

usia, berat badan dan kurangnya aktivitas fisik. Kronis hiperglikemia pada pasien

diabetes dikaitkan dengan berbagai macam penyakit sekunder, termasuk retinopati,

nefropati, neuropati perifer, dan penyakit kardiovaskular.

Penyakit periodontal adalah peradangan yang merusak jaringan pendukung gigi

yang dihasilkan dari gangguan multifaktorial yang kompleks, yang melibatkan

berbagai mikroorganisme diatur dalam biofilm plak gigi dan interaksi sel host.

Selanjutnya, predisposisi genetik, penyakit sistemik seperti diabetes melitus, dan

perilaku personal seperti merokok dan kebersihan mulut berperan penting dalam

etiopatogenesis periodontitis, yang dapat menyebabkan hilangnya perlekatan,

kerusakan tulang alveolar, dan pembentukan poket periodontal, akhirnya

menyebabkan kehilangan gigi.

Diabetes melitus dan penyakit periodontal merupakan kedua penyakit

multifaktorial dengan prevalensi tinggi di seluruh dunia. Federasi Diabetes

Internasional memperkirakan bahwa dari 2011 hingga 2033 jumlah penderita diabetes

melitus secara global akan bertambah dari 366 juta sampai 552 juta orang. Banyak

penelitian cross-sectional dan studi klinis prospektif longitudinal memberikan bukti


3

mengenai hubungan dua arah antara kedua penyakit dan upaya kuat telah

dikhususkan untuk menjelaskan mekanisme yang mendasari. Bukti terbaru

menunjukkan bahwa diabetes melitus mendorong kejadian, perkembangan, dan

tingkat keparahan periodontitis, dimana kontrol glikemik pasien tampaknya menjadi

faktor terkuat yang mempengaruhi. Begitu pula sebaliknya, peradangan periodontal

mempersulit kontrol glikemik diabetes dan tampaknya berdampak pada risiko dan

onset komplikasi terkait diabetes. Kasus yang disajikan menunjukkan bagaimana

kolaborasi interdisipliner antara dokter dan dokter gigi dapat meningkatkan kualitas

kondisi rongga mulut dan kontrol metabolisme secara signifikan.

LAPORAN KASUS

Seorang pasien wanita berusia 50 tahun dirujuk dari dokter gigi ke rumah sakit

universitas dengan keluhan nyeri di rahang atas kiri dan daerah rahang bawah kanan.

Pasien melaporkan bahwa gigi 36 dicabut oleh dokter giginya 2 bulan yang lalu

karena bengkak dan nyeri yang hebat. Lebih lanjut, dia melaporkan menderita stroke

1 tahun yang lalu dan infark miokard 3 tahun yang lalu. Dia perokok (10 batang/hari

selama 30 tahun) dan menderita fibromyalgia, polineuropati, aritmia jantung,

hipertensi, obesitas (indeks massa tubuh 39) dan diabetes melitus tipe 2 (HbA1c

7,7%). Diabetes didiagnosis 4 tahun yang lalu dan dikontrol dengan insulin (Insuman

Comb 25® 24-0-24; Humalog® sesuai kebutuhan) dan obat anti-diabetes oral

(Metformin 1000 mg 1-0-1). Selain itu, pasien meminum banyak obat lain untuk

penyakitnya yang lain (Aggrenox, Ramipril, Torasemid, Bisoprolol, Pantoprazol,


4

Amineurin, Simvastatin, Novalgin, Gabapentin, Amlodipin) dan diketahui memiliki

alergi terhadap penisilin.

Pemeriksaan intraoral menunjukkan adanya plak gigi pada semua gigi (catatan

kontrol plak- PCR- adalah 100%). Gingiva menunjukkan tanda-tanda inflamasi

umum dan pada regio 24 sampai 27 terdapat pembengkakan dan supurasi dengan

fistula di bukal 24. Terjadi pertumbuhan gingiva berlebih yang ringan di regio

anterior maksila dan mandibula. Pasien kehilangan beberapa gigi dan tidak menjalani

perawatan prostodontik. Gigi 24 sampai 27 flared out karena gigi antagonis yang

hilang (Gbr. 1). Karies didiagnosis pada gigi berikut: 45, 46, dan 36. Semua gigi,

kecuali 46, vitalitas (+). Kedalaman probing periodontal (PPD) ≥ 4 mm pada semua

gigi. Gigi 16 sampai 27 menunjukkan PPD ≥ 6 mm. Keterlibatan furkasi didiagnosis

pada gigi 16, 26, 27 dan 46. Gigi 46 memiliki mobility grade 3. Perdarahan saat

probing (BOP) 24% dari semua lokasi yang diperiksa (Gbr. 2). Pemeriksaan

radiografi menunjukkan kehilangan tulang horizontal generalisata hingga pada tengah

akar gigi, kalkulus, dan terdapat kehilangan tulang vertikal lokalisata yang

parah/berat. Gigi 46 menunjukkan gambaran radiolusen pada periapikal dan

intraradikuler dan di daerah 36 sinar-X menunjukkan soket gigi yang baru diekstraksi

(Gbr. 3).
5

Gambar 1. Kondisi klinis sebelum perawatan periodontal sistematis.

Gambar 2. Status periodontal sebelum terapi periodontal sistematis. PPD: kedalaman


probing periodontal. BOP: perdarahan saat probing. GM: margin gingiva. AL: tingkat
attachment.
6

Gambar 3. Radiografi panoramik pasien.

Diagnosis berikut dibuat: 1. periodontitis kronis generalisata yang parah yang

dimodifikasi dengan diabetes mellitus tipe 2; 2. abses periodontal pada regio 24

sampai 27; 3. Pertumbuhan gingiva berlebih karena penggunaan amlodipine; 4. gigi

46 karies profunda dan periodontitis apikalis simptomatik. Prognosis gigi 46

ditetapkan tanpa harapan, sedangkan prognosis gigi 24, 25, 26, dan 27 ditetapkan

tidak menguntungkan. Prognosis dari semua gigi lainnya diharapkan baik.

Rencana perawatan gigi-medis kolaboratif dibuat bersama dengan dokter yang

merawat. Pertama-tama, abses dikeluarkan dan gigi 46 diekstraksi. Protesa sementara

dibuat dan dipasangkan. Pasien diberi pelatihan kebersihan mulut dan pembersihan

gigi profesional, serta terapi restoratif lesi karies (3 kunjungan dalam 7 minggu).

Disinfeksi mulut penuh (FMD) dilakukan dengan terapi antibiotik adjuvan dengan

persetujuan dokter yang merawat (300 mg Clindasaar® 4 kali sehari selama 7 hari,

dimulai 1 hari sebelum FMD). Obat kumur klorheksidin 0,2% diresepkan untuk 2
7

minggu berikutnya. Sementara itu, dokter menginstruksikan dan memotivasi pasien

kembali untuk terapi diabetes dan pengobatan anti-diabetes yang dioptimalkan

(sebagai tambahan: Victoza® 1,2 mg/ml 0-0-1). Evaluasi kembali status periodontal

dilakukan 3 bulan setelah FMD. Tidak ada tanda-tanda peradangan gingiva dan

pertumbuhan gingiva berlebih yang diamati pada kunjungan ini. BOP menurun

menjadi 2,4%. Semua gigi menunjukkan PPD ≤ 4 mm tanpa BOP kecuali gigi 26 dan

27 (5 dan 6 mm). Scaling subgingiva diulangi pada gigi 26 dan 27. Penilaian risiko

individu merekomendasikan terapi periodontal suportif (SPT) dalam interval 3 bulan.

Pasien menunjukkan kepatuhan yang baik dan tidak melewatkan janji SPT dan tidak

ada janji dengan dokternya. Satu tahun setelah FMD, pemeriksaan periodontal tidak

ada yang menunjukkan lokasi dengan PPD >4 mm dan indeks kebersihan mulut yang

rendah secara terus menerus (PCR: 35%; GBI: 6%) serta kondisi klinis yang sehat

(Gambar 4 dan 5). Evaluasi ulang radiografik dari regio 24 sampai 27 menunjukkan

adanya regenerasi tulang (Gbr. 6). Nilai HbA1c turun menjadi 7,3%.
8

Gambar 4. Kondisi klinis setelah 1 tahun desinfeksi rongga mulut (fullmouth


disinfection/FMD).

Gambar 5. Status periodontal setelah 1 tahun terapi periodontal suportif. PPD:


kedalaman probing periodontal. BOP: perdarahan saat probing. GM: margin gingiva.
AL: tingkat attachment.
9

Gambar 6. Radiografi pada regio gigi 24 sampai 26. A: Sebelum terapi periodontal.
Fistula regio gigi 24. B: 1 tahun setelah desinfeksi rongga mulut (FMD). Kalkulus
pada permukaan akar gigi 25 telah dihilangkan setelahnya.

PEMBAHASAN

Laporan kasus yang disajikan menunjukkan keberhasilan perawatan periodontal

pada pasien diabetes wanita dengan abses periodontal, periodontitis kronis, dan

pertumbuhan gingiva berlebih secara medis. Selain itu, kontrol glikemik pasien dapat

ditingkatkan dari HbA1c 7,7% menjadi 7,3% setelah perawatan periodontal dan

pengobatan diabetes tambahan. Hasil terapi sesuai dengan bukti terbaru mengenai

respon pasien diabetes terhadap terapi periodontal.

Controlled study telah menunjukkan bahwa terapi periodontal mekanis pasien

diabetes dengan periodontitis dapat meningkatkan nilai HbA1c sekitar 0,4% poin.

Pasien dengan diabetes yang tidak terkontrol memiliki peningkatan risiko infeksi

mulut, penurunan aliran saliva dan gangguan penyembuhan luka. Mereka juga

merespons secara berbeda terhadap plak bakteri karena peningkatan kadar sitokin di

jaringan gingiva. Di sisi lain, terdapat bukti yang konsisten dan kuat bahwa
10

periodontitis yang parah mempengaruhi kontrol glikemik. Dan juga terdapat bukti

hubungan ketergantungan dosis langsung antara keparahan inflamasi periodontal dan

komplikasi diabetes, serta bukti yang berkembang untuk peningkatan risiko onset

diabetes pada pasien dengan periodontitis yang parah. Pemahaman saat ini tentang

mekanisme biologis dibalik hubungan dua arah dijelaskan sebagai berikut: diabetes

tipe 2 didahului oleh peradangan sistemik, yang menyebabkan resistensi insulin dan

penurunan fungsi betacell pankreas dan apoptosis sel-sel ini. Inflamasi periodontal

meningkatkan inflamasi sistemik dengan masuknya patogen periodontal dan faktor

virulensinya ke dalam sirkulasi. Bukti terbaru menunjukkan bahwa perubahan lokal

pada jaringan periodontal ditandai dengan peningkatan interaksi antara leukosit dan

sel endotel dan oleh fungsi leukosit yang berubah (mengakibatkan peningkatan level

spesies oksigen reaktif dan sitokin proinflamasi- interleukin-1β, interleukin-6 dan

tumor nekrosis faktor-α). Perubahan lokal ini diperkuat oleh peningkatan akumulasi

produk akhir glikasi lanjutan (AGEs) dan interaksinya dengan reseptor untuk produk

akhir glikasi lanjutan (RAGE). Lebih lanjut, peningkatan kadar sitokin proinflamasi

menyebabkan peningkatan regulasi RANKL di jaringan periodontal, merangsang

kerusakan jaringan periodontal lebih lanjut. Perubahan kompleks akibat kondisi

diabetes ini memodifikasi reaksi inflamasi lokal pada periodonsium pasien diabetes,

yang mengarah ke keadaan pro-inflamasi pada jaringan gingiva dan mikrosirkulasi.

Dalam kasus yang disajikan, peningkatan HbA1c sebesar 0,4% poin mungkin

dihasilkan dari kombinasi pengobatan yang dioptimalkan dan terapi periodontal.

Intervensi gigi direncanakan bekerjasama dengan dokter yang merawat dan waktu
11

perawatan dipantau secara ketat dan dibatasi antara waktu makan dan konsumsi obat,

sehingga pasien dapat mengatasi tantangan sistemiknya.

Selain periodontitis, pasien juga mengalami sedikit pembesaran gingiva (gingival

enlargement) akibat amlodipine. (calcium channel blockers) CCB sering digunakan

untuk mengobati penyakit kardiovaskular seperti hipertensi, angina kronis, stabil dan

vasospastik, serta aritmia jantung. CCB dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan

struktur kimianya: dihydropyridine (nifedipine, amlodipine) dan nondihydropyridine

(diltiazem, verapamil, flunarizine). CCB menghambat masuknya ion kalsium di otot

jantung dan sel polos. CCB memblokir saluran kalsium yang bergantung pada

tegangan, mengakibatkan berkurangnya kontraksi arteri, menurunkan tekanan arteri

dan meningkatkan perfusi miokard. Bukti yang ada menunjukkan bahwa sekitar 30%

pasien dengan asupan amlodipine mengalami pertumbuhan gingiva berlebih.

Patogenesis penghambat saluran kalsium yang diinduksi pertumbuhan gingiva

berlebih masih belum jelas, tetapi diasumsikan bahwa fungsi sekretori fibroblas atau

sintesis kolagenase terpengaruh, mengakibatkan peningkatan proliferasi fibroblastik

dan sintesis kolagen yang mungkin ditingkatkan oleh perubahan inflamasi dalam

jaringan gingiva. Serangkaian kasus telah menunjukkan bahwa FMD adalah konsep

perawatan yang adekuat untuk pertumbuhan gingiva berlebih akibat obat yang

mengurangi kebutuhan intervensi bedah lebih lanjut bahkan pada kasus yang parah.

Dalam kasus yang disajikan, kami mendiagnosis hanya bentuk ringan dari

pertumbuhan gingiva berlebih dan kontrol plak supragingiva dan subgingiva yang

adekuat menghasilkan keringanan total. Perlu disebutkan bahwa kebiasaan merokok


12

pasien juga berpengaruh negatif terhadap status periodontal; namun, semua upaya

untuk membantu pasien berhenti merokok tidak berhasil.

KESIMPULAN

Kasus ini menunjukkan bahwa perawatan periodontal sistematis dan pengendalian

diabetes yang lebih baik dapat menghasilkan perbaikan yang luar biasa pada kondisi

periodontal dan sistemik. Untuk menghindari risiko yang mungkin mengganggu

perawatan atau hasilnya, koordinasi interdisipliner antara dokter gigi dan dokter yang

merawat memainkan peran yang mendasar dalam perawatan periodontitis dan

diabetes.

REFERENSI

1. ADA. Diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes Care,

2010;33(Suppl 1):S62-69.

2. Laine ML, Crielaard W, Loos BG. Genetic susceptibility to periodontitis.

Periodontol 2000, 2012;58(1):37-68.

3. Chavarry NG, Vettore MV, Sansone C, Sheiham A. The relationship between

diabetes mellitus and destructive periodontal disease: a meta-analysis. Oral Health

Prev Dent, 2009;7(2):107-127.

4. Haber J, Wattles J, Crowley M, Mandell R, Joshipura K, Kent RL. Evidence for

cigarette smoking as a major risk factor for periodontitis. J Periodontol,

1993;64(1):16-23.
13

5. Loe H, Theilade E, Jensen SB. Experimental gingivitis in man. J Periodontol,

1965;36:177-187.

6. Oanta C, Pasarin L, Ursarescu I, Martu A, Martu S. Impact of Oral Health

Education and a Non-Surgical Periodontal Therapy on the Quality of Life of Patients

with Diabetes Mellitus. Balk J Dent Med, 2015; 19:167-170

7. Whiting DR, Guariguata L, Weil C, Shaw J. IDF diabetes atlas: global estimates of

the prevalence of diabetes for 2011 and 2030. Diabetes Res Clin Pract,

2011;94(3):311-321.

8. Lalla E, Papapanou PN. Diabetes mellitus and periodontitis: a tale of two common

interrelated diseases. Nat Rev Endocrinol, 2011;7(12):738-748.

9. Armitage GC. Development of a classification system for periodontal diseases and

conditions. Ann Periodontol, 1999;4(1):1-6.

10. Kwok V, Caton JG. Commentary: prognosis revisited: a system for assigning

periodontal prognosis. J Periodontol, 2007;78(11):2063-2071.

11. Lang NP, Tonetti MS. Periodontal risk assessment (PRA) for patients in

supportive periodontal therapy (SPT). Oral Health Prev Dent, 2003;1(1):7-16.

12. Chapple IL, Genco R. EFPAAP working group 2 of the joint, diabetes and

periodontal diseases: consensus report of the Joint EFP/AAP Workshop on

Periodontitis and Systemic Diseases. J Periodontol, 2013;84(Suppl. 4):S106-112.

13. Sonnenschein SK, Meyle J. Local inflammatory reactions in patients with

diabetes and periodontitis. Periodontol 2000, 2015;69(1):221-254.


14

14. Gopal S, Joseph R, Santhosh VC, Kumar VVH, Shiny Joseph S, Shete AR.

Prevalence of gingival overgrowth induced by antihypertensive drugs: A hospital-

based study. J Indian Soc Periodontol, 2015;19(3):308-311.

15. Trackman PC, Kantarci A. Connective tissue metabolism and gingival

overgrowth. Crit Rev Oral Biol Med, 2004;15(3):165-175.

16. Dannewitz B, Krieger JK, Simon I, Dreyhaupt J, Staehle HJ, Eickholz P. Full-

mouth disinfection as a nonsurgical treatment approach for drug-induced gingival

overgrowth: a series of 11 cases. Int J Periodontics Restorative Dent, 2010;30(1):63-

71.

17. Casanova L, Hughes FJ, Preshaw PM. Diabetes and periodontal disease: a two-

way relationship. British dental journal. 2014 Oct;217(8):433-7.

18. Wang TF, Jen IA, Chou C, Lei YP. Effects of periodontal therapy on metabolic

control in patients with type 2 diabetes mellitus and periodontal disease: a meta-

analysis. Medicine. 2014 Dec;93(28):e292.

19. Bondon-Guitton E, Bagheri H, Montastruc J-L, The French Network of Regional

Pharmacovigilance Centers. Drug-induced gingival overgrowth: a study in the French

Pharmacovigilance Database. J Clin Periodontol 2012;39(6):513–8.

20. Toyo-Oka T, Nayler WG. Third generation calcium entry blockers. Blood

Pressure 1996;5(4):206–8.

21. Godfraind T. Calcium channel blockers in cardiovascular pharmacotherapy. J

Cardiovasc Pharmacol Ther 2014;19(6):501–15.


15

22. Umeizudike K, Olawuyi A, Umeizudike T, Olusegun-Joseph A, Bello B. Effect

of calcium channel blockers on gingival tissues in hypertensive patients in Lagos,

Nigeria: a pilot study. Contemp Clin Dent 2017;8(4):565.

Anda mungkin juga menyukai