Uu Kelautan Zee
Uu Kelautan Zee
5 Tahun 1983
Tentang : Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia
Menimbang :
f. bahwa segenap sumber daya alam hayati dan non hayati yang
terdapat di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia baik potensial maupun
efektif adalah modal dan milik bersama Bangsa Indonesia sesuai
dengan Wawasan Nusantara;
g. bahwa baik praktek negara maupun Konvensi Hukum Laut yang
dihasilkan oleh Konperensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hukum Laut Ketiga menunjukkan telah diakuinya rezim zona ekonomi
eksklusif selebar 200 (dua ratus) mil laut sebagai bagian dari hukum
laut internasional yang baru;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat. (1), dan Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
BAB II
ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA
Pasal 2
Pasal 3
(2) Selama persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ada
dan tidak terdapat keadaan-keadaan khusus yang perlu
dipertimbangkan, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia
dan negara tersebut adalah garis tengah atau garis sama jarak antara
garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia atau titik-titik terluar
Indonesia dan garis-garis pangkal laut wilayah atau titik-titik terluar
negara tersebut, kecuali jika dengan negara tersebut telah tercapai
persetujuan tentang pengaturan sementara yang berkaitan dengan
batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia termaksud.
BAB III
HAK BERDAULAT, HAK-HAK LAIN, YURISDIKSI
DAN KEWAJIBAN-KEWAJIBAN
Pasal 4
BAB IV
KEGIATAN-KEGIATAN DI ZONA
EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA
Pasal 5
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 4 ayat (2), barang siapa
melakukan eksplorasi dan/atau eksploitasi sumber daya alam atau
kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan/atau eksploitasi
ekonomis seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, harus berdasarkan izin dari
Pemerintah Republik Indonesia atau berdasarkan persetujuan
internasional dengan Pemerintah Republik Indonesia dan dilaksanakan
menurut syarat-syarat perizinan atau persetujuan internasional
tersebut.
(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 4 ayat (2), eksplorasi dan
eksploitasi suatu sumber daya alam hayati di daerah tertentu di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia oleh orang atau badan hukum atau
Pemerintah Negara Asing dapat diizinkan jika jumlah tangkapan yang
diperbolehkan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk jenis
tersebut melebihi kemampuan Indonesia untuk memanfaatkannya.
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
BAB V
GANTI RUGI
Pasal 9
Pasal 10
Pasal 11
(3) Bentuk, jenis dan besarnya kerugian yang timbul sebagai akibat
pencemaran lingkungan laut dan/atau perusakan sumber daya alam
ditetapkan berdasarkan hasil penelitian ekologis.
Pasal 12
Ketentuan tentang batas ganti rugi maksimum, tata cara penelitian ekologis
dan penuntutan ganti rugi tersebut dalam Pasal 11 diatur dalam peraturan
perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20.
BAB VI
PENEGAKAN HUKUM
Pasal 13
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
Pasal 18
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 19
Pasal 20
Pasal 21
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 18 Oktober 1983
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 Oktober 1983
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
SUDHARMONO, S.H.
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA
I.UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dengan istilah sumber daya alam hayati dalam undang-
undang ini adalah sama artinya dengan istilah sumber daya perikanan dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan perikanan.
Pasal 2
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pasal ini memberikan ketentuan bahwa prinsip sama jarak digunakan
untuk menetapkan batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia
dengan negara tetangga, kecuali jika terdapat keadaan-keadaan
khusus yang perlu dipertimbangkan sehingga tidak merugikan
kepentingan nasional.
Keadaan khusus tersebut adalah misalnya terdapatnya suatu
pulau dari negara lain yang terletak dalam jarak kurang dari 200(dua
ratus) mil laut dari garis pangkal untuk menetapkan lebarnya Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Pasal 4
Ayat (1)
Hak berdaulat Indonesia yang dimaksud oleh undang-undang ini tidak
sama atau tidak dapat disamakan dengan kedaulatan penuh yang
dimiliki dan dilaksanakan oleh Indonesia atas laut wilayah, perairan
Nusantara dan perairan pedalaman Indonesia. Berdasarkan hal
tersebut diatas maka sanksi-sanksi yang diancam di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia berbeda dengan sanksi-sanksi yang diancam di
perairan yang berada dibawah kedaulatan Republik Indonesia
tersebut.
Hak-hak lain berdasarkan hukum internasional adalah hak
Republik Indonesia untuk melaksanakan penegakan hukum dan hot
pursuit terhadap kapal-kapal asing yang melakukan pelanggaran atas
ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia
mengenai zona ekonomi eksklusif. Kewajiban lainnya berdasarkan
hukum internasional adalah kewajiban Republik Indonesia untuk
menghormati hak-hak negara lain, misalnya kebebasan pelayaran dan
penerbangan (freedom of navigation and overflight)dan kebebasan
pemasangan kabel-kabel dan pipa-pipa bawah laut (freedom of the
laying of submarine cables and pipelines).
Ayat (2)
Ayat ini menentukan, bahwa sepanjang menyangkut sumber daya
alam hayati dan non hayati di dasar laut dan tanah di bawahnya yang
terletak di dalam batas-batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia hak
berdaulat Indonesia dilaksanakan dan diatur berdasarkan peraturan
perundang-undangan Indonesia yang berlaku di bidang landas
kontinen serta persetujuan- persetujuan internasional tentang landas
kontinen yang menentukan batas-batas landas kontinen antara
Indonesia dengan negara-negara tetangga yang pantainya saling
berhadapan atau saling berdampingan dengan Indonesia.
Ayat (3)
Sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku
seperti yang tumbuh dari praktek negara dan dituangkan dalam
Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut yang
dihasilkan oleh Konperensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang
Hukum Laut Ketiga di zona ekonomi eksklusif setiap negara, baik
negara pantai maupun negara tak berpantai, menikmati kebebasan
pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan
pemasangan kabel dan pipa bawah laut, serta penggunaan laut yang
bertalian dengan kebebasan-kebebasan tersebut seperti
pengoperasian kapal-kapal, pesawat udara dan pemeliharaan kabel
dan pipa bawah laut.
Pasal 5
Ayat (1)
Kegiatan untuk eksplorasi dan/atau eksploitasi sumber daya alam atau
kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan/atau eksploitasi
ekonomis seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang dilakukan oleh warga negara
Indonesia atau badan hukum Indonesia harus berdasarkan izin dari
Pemerintah Republik Indonesia.
Sedangkan kegiatan-kegiatan tersebut di atas yang dilakukan
oleh negara asing, orang atau badan hukum asing harus berdasarkan
persetujuan internasional antara Pemerintah Republik Indonesia
dengan negara asing yang bersangkutan.
Dalam syarat-syarat perjanjian atau persetujuan internasional
dicantumkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi
oleh mereka yang melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di
zona tersebut, antara lain kewajiban untuk membayar pungutan
kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Ayat (2)
Sumber daya alam hayati pada dasarnya memiliki daya pulih kembali,
namun tidak berarti tak terbatas.
Dengan adanya sifat-sifat yang demikian, maka dalam
melaksanakan pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati,
Pemerintah Republik Indonesia menetapkan tingkat pemanfaatan baik
di sebagian atau keseluruhan daerah di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia.
Ayat (3)
Dalam rangka konservasi sumber daya alam hayati, Indonesia
berkewajban untuk menjamin batas panen lestari (Maximum
sustainable yield) sumber daya alam hayatinya di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia.
Dengan memperhatikan batas panen lestari tersebut, Indonesia
berkewajiban pula menetapkan jumlah tangkapan sumber daya alam
hayati yang diperbolehkan (allowable catch).
Dalam hal usaha perikanan Indonesia belum dapat sepenuhnya
memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan
tersebut, maka selisih antara jumlah tangkapan yang diperbolehkan
dan jumlah kemampuan tangkap (capacity to harvest)
Indonesia, boleh dimanfaatkan oleh negara lain dengan izin
Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional.
Misalnya jumlah tangkapan yang diperbolehkan ada 1.000 (seribu) ton
sedangkan jumlah kemampuan tangkap Indonesia baru mencapai 600
(enam ratus) ton maka negara lain boleh ikut memanfaatkan dari sisa
400 (empat ratus) ton tersebut dengan izin Pemerintah Republik
Indonesia berdasarkan persetujuan internasional.
Penunjukan pada Pasal 4 ayat (2) dimaksudkan untuk
menegaskan bahwa jenis-jenis sedenter (sedentary species) yang
terdapat pada dasar laut zona ekonomi eksklusif tunduk pada rezim
landas kontinen(Pasal 1 huruf b Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973
tentang Landas Kontinen Indonesia). Oleh karena itu tidak tunduk
pada ketentuan ayat ini.
Pasal 6
Sesuai dengan Pasal 4 ayat (1), Republik Indonesia mempunyai hak eksklusif
untuk membangun, mengizinkan dan mengatur pembangunan,
pengoperasian dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan
bangunan-bangunan lainnya.
Di samping itu Indonesia mempunyai yurisdiksi eksklusif atas pulau-pulau
buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan tersebut termasuk
yurisdiksi yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-
undangan di bidang bea cukai, fiskal, kesehatan, keselamatan dan imigrasi.
Meskipun Indonesia mempunyai yurisdiksi eksklusif tetapi pulau-pulau
buatan, instalasi dan bangunan-bangunan tersebut tidak memiliki status
sebagai pulau dalam arti wilayah negara dan oleh karena itu tidak memiliki
laut teritorial sendiri dan kehadirannya tidaklah mempengaruhi batas laut
teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia atau Landas Kontinen Indonesia.
Pasal 7
Pasal 8
Ayat (1)
Wewenang perlindungan dan pelestarian sumber daya alam di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia secara internasional didasarkan pada
praktek negara, yang sekarang telah diterima pula dalam Konvensi
Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut, sedangkan secara
nasional landasannya terdapat dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun
1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Ayat (2)
Pembuangan ("dumping") dilaut dapat menimbulkan pencemaran
lingkungan laut; berhubung dengan itu perlu diatur tempat, cara dan
frekuensi pembuangan serta jenis, kadar dan jumlah bahan yang
dibuang melalui perizinan.
Pembuangan meliputi pembuangan limbah dan pembuangan
bahan-bahan lainnya yang menyebabkan pencemaran lingkungan laut;
pembuangan limbah yang biasanya dilakukan oleh kapal selama
pelayaran tidak memerlukan izin.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Kewajiban untuk memikul tanggung jawab mutlak dan membayar
ganti rugi bagi rehabilitasi lingkungan laut dan/atau sumber daya alam
dalam jumlah yang memadai ini merupakan konsekuensi dari
kewajiban untuk melestarikan keserasian dan keseimbangan
lingkungan.
Karena itu kewajiban ini melekat pada barang siapa yang
melakukan perbuatan, tidak melakukan perbuatan/membiarkan
terjadinya pencemaran lingkungan laut dan/atau kerusakan sumber
daya alam.
"Tanggung jawab mutlak" ("strict liability") berarti bahwa
tanggung jawab tersebut timbul pada saat terjadinya pencemaran
lingkungan laut dan/atau perusakan sumber daya alam, tidak dapat
dielakkan dan secara prosedural tidak diperlukan upaya pembuktian
lagi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bentuk, jenis dan besarnya kerugian yang timbul dari pencemaran
lingkungan laut dan/atau kerusakan sumber daya alam yang terjadi
akan menentukan besarnya kerugian. Penelitian ekologis tentang
bentuk, jenis dan besarnya kerugian tersebut dilakukan oleh sebuah
tim yang terdiri dari pihak pemerintah, pihak penderita dan pihak
pencemar.
Tim dimaksud akan dibentuk secara khusus untuk tiap-tiap kasus.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Laut yang dapat ditunjuk sebagai penyidik adalah misalnya Komandan
kapal, Panglima Daerah Angkatan Laut, Komandan Pangkalan dan
Komandan Stasion Angkatan Laut. Penetapan Perwira Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Laut sebagai aparat penyidik di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 30 ayat(2)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia dan Pasal 17
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Permohonan untuk membebaskan kapal dan/atau orang-orang
tersebut yang ditangkap karena diduga melakukan pelanggaran,
sesuai dengan praktek yang berlaku, dapat diajukan oleh perwakilan
negara dari kapal asing yang bersangkutan, pemilik, nahkoda atau
siapa saja menurut bukti-bukti yang sah mempunyai hubungan kerja
atau hubungan usaha dengan kapal tersebut.
Ayat (2)
Penetapan besarnya uang jaminan ditentukan berdasarkan harga
kapal, alat-alat perlengkapan dan hasil dari kegiatannya ditambah
besarnya jumlah denda maximum.
Cukup jelas.
__________________________________