Anda di halaman 1dari 49

LAPORAN PENDAHULUAN

HARGA DIRI RENDAH

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


A. Pengertian
Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau
kemampuan diri yang negative dan dapat secara langsung atau tidak
langsung diekspresikan (Towsend, 2008).
Penilaian negatif seseorang terhadap diri dan kemampuan, yang
diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung (Schult dan
Videbeck, 2008).
Perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan harga
diri, merasa gagal mencapai keinginan (Keliat, 2009).

B. Tanda Dan Gejala


Berikut ini adalah tanda dan gejala klien dgn gangguan harga diri rendah :
1. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan
terhadap penyakit (rambut botak karena terapi)
2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri)
3. Gangguan hubungan sosial (menarik diri)
4. Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)
5. Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang
suram, mungkin klien akan mengakiri kehidupannya (Keliat, 2009).
Tanda dan Gejala yang lain
1 Mengkritik diri sendiri
2 Perasaan tidak mampu
3 Pandangan hidup yang p esimistis
4 Tidak menerima pujian
5 Penurunan produktivitas
6 Penolakan terhadap kemampuan diri
7 Kurang memperhatikan perawatan diri
8 Berpakaian tidak rapih
9 Selera makan berkurang
10 Tidak berani menatap lawan bicara
11 Lebih banyak menunuduk
12 Bicara lambat dengan nada suara lemah (Fitria, 2009).

C. Rentang Respon
Respon Respon
Adaptif Maladaptif

Aktualisasi Konsep diri Harga diri Kerancuan Depersonalisasi


diri positif rendah identitas

1. Aktualisasi diri : Pernayataan diri tentangkonsep diri yang positif


dengan latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima.
2. Konsep diri positif : apabila individu mempunyai pengalaman yang
positif dalam beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal positif maupun
yang negative dari dirinya
3. Harga diri rendah : Individu cenderung untuk menilai dirinya negative
dan merasa rendah dari orang lain.
4. Kerancuan identitas : Kegagalan individu mengintegrasikan aspek-
aspek identitas masa kanak-kanak kedalam kematangan aspek psikososial
kepribadi an pada masa dewasa yang harmonis.
5. Depersonalisasi : Perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap diri
sendiri yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak
dapat membedakan dirinya dengan orang lain.

D. Faktor Predisposisi
1. Faktor yang mempengaruhi harga diri, termasuk penolakan orang tua,
harapan orang tua yang tidak realistis.
2. Faktor yang mempengaruhi penampilan peran, yaitu peran yang sesuai
dengan jenis kelamin, peran dalam pekerjaan dan peran yang sesuai
dengan kebudayaan
3. Faktor yang mempengaruhi identitas diri, yaitu orang tua yang tidak
percaya pada anak, tekanan teman sebaya dan kultur social yang berubah.

E. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah adalah hilangnya sebagian
anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami
kegagalan, serta menurunnya produktivitas. Gangguan konsep diri : harga
diri rendah ini dapat terjadi secara situasional maupun kronik.
1. Situasional
Gangguan konsep diri : harga diri rendah yang terjadi secara
situasional bisa disebabkan oleh trauma yang muncul secara tiba-tiba
misalnya harus dioperasi, mengalami kecelakaan, mejadi korban
perkosaan, atau menjadi narapidana sehingga harus masuk penjara.
Selain itu dirawat di rumah sakit juga bisa menyebabkan rendahnya
harga diri seseorang dikarenakan penyakit fisik, pemasangan alat bantu
yang membuat klien tidak nyaman, harapan yang tidak tercapai akan
struktur, bentuk dan fungsi tubuh serta perlakuan petugas kesehatan yang
kurang menghargai klien dan keluarga.
2. Kronik
Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis biasanya sudah
berlangsung sejak lama yang dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum
dirawat. Klien sudah memiliki pikiran negatif sebelum dirawat dan
menjadi semakin meningkat saat dirawat.

F. Akibat (Effect)
Harga diri rendah kronis dapat beresiko terjadinya isolasi sosial. Isolasi
sosial merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang
lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins,1993). Isosial
sosial dapat mengakibatkan perubahan persepsi sensori: halusinasi yang
pada akhirnya menyebabkan resiko tinggi perilaku kekerasan.
Tanda dan gejala isolasi sosial :
1 Rasa bersalah
2 Adanya penolakan
3 Marah, sedih dan menangis
4 Perubahan pola makan, tidur, mimpi, konsentrasi dan aktivitas
5 Mengungkapkan tidak berdaya
6 Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul
7 Menghindar dari orang lain (menyendiri)
8 Komunikasi kurang/tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap
dengan klien lain/perawat
9 Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk
10 Berdiam diri di kamar/klien kurang mobilitas
11 Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan percakapan
atau pergi jika diajak bercakap-cakap
12 Tidak/ jarang melakukan kegiatan sehari-hari (Keliat, 2009).

G. Teori Para Ahli Mengenai Harga Diri Rendah


Peplau dan Sulivan dalam Keliat (2009) mengatakan bahwa pengalaman
interpersonal di masa atau tahap perkembangan dari bayi sampai lanjut usia
yang tidak menyenangkan seperti good me, bad me, not me, merasa sering
dipersalahkan, atau merasa tertekan kelak, akan menimbulkan perasaan
aman yang tidak terpenuhi. Hal ini dapat menimbulkan perasaan ditolak
oleh lingkungan dan apabila koping yang digunakan tidak efektif dapat
menyebabkan harga diri rendah.
Caplan dalam Keliat (1999) mengatakan bahwa lingkungan sosial,
pengalaman individu dan adanya perubahan social seperti perasaan
dikucilkan, ditolak serta tidak dihargai akan mempengaruhi individu.
Keadaan seperti ini dapat menyebabkan stress dan menimbulkan
penyimpangan perilaku seperti harga diri rendah kronis.
H. Mekanisme Koping
Mekanisme koping termasuk pertahanan koping jangka pendek dan
jangka panjang serta penggunaan mekanisme pertahanan ego untuk
melindungi diri yang menyakitkan.
1. Pertahanan jangka pendek
a. Aktivitas yang dapat memberikan pelarian sementara dari krisis
identitas (misal : bermain musik, bekerja keras, menonton TV)
b. Aktivitas yang dapat memberikan identitas pengganti sementara (ikut
serta dalam aktivitas sosial, agama, klub politik, kelompok/geng)
c. Aktivitas yang secara sementara menguatkan perasaan diri (misal :
olahraga yang kompetitif, pencapaian akademik, kontes untuk
mendapatkan popularitas)
d. Aktivitas yang mewakili upaya jangka pendek untuk membuat
masalah identitas menjadi kurang berarti dalam kehidupan idividu
(misal : penyalahgunaan obat)
2. Pertahanan jangka panjang
a. Penutupan identitas : Adopsi identitas premature yang diinginkan oleh
orang penting bagi individu tanpa memperhatikan keinginan, aspirasi
dan potensi diri individu tersebut
b. Identitas negatif : Asumsi identitas yang tidak wajar untuk dapat
diterima oleh nilai dan harapan masyarakat.

II. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN


A. Gangguan konsep diri : HDR
Data Mayor :
 DS : Klien hidup tak bermakna, tidak memiliki kelebihan apapun,
merasa jelek
 DO : Kontak mata kurang, tidak berinisiatif berinteraksi dengan orang
lain
Data Minor :
 DS : Klien mengatakan malas, putus asa, ingin mati.
 DO : Klien malas-malasan, produktivitas menuru
DAFTAR PUSTAKA
Balitbang. 2010. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor

Fitria, Nita. 2009. Aplikasi Dasar dan Aplikasi penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta:
Salemba Medika.

Keliat, B.A. 2009. Proses Kesehatan Jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC

Maramis, F, W. 2008. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga


University Press.

Stuart, G.W. dan Sundeen, S.J. 2010. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Terjemahan
dari Pocket Guide to Psychiatric Nursing, oleh Achir Yani S. Hamid. 3 rd ed.
Jakarta : EGC.

Tim Direktorat Keswa. 2009. Standar Asuhan Keperawatan Jiwa. Ed : 1.


Bandung : RSJP.

Townsend, Mary C. 2008. Diagnosa Keperawatan Psikiatri. Edisi 3. Jakarta :


EGC.
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


A. Pengertian
Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang
mengalami kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi
aktivitas perawatan diri secara mandiri seperti mandi (higiene),
berpakaian/berhias, makan dan BAB/BAK (Toileting).
Kurang perawatan diri : higiene adalah keadaan dimana individu
mengalami kegagalan kemampuan untuk melaksanakan atau menyelesaikan
aktivitas kebersihan diri (Carpenito, 2008).

B. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Defisit Perawatan Diri


1. Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif dan keterampilan klien kurang.
2. Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
3. Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan dari lingkungannya.

C. Tanda dan Gejala


1. Mandi/hygiene
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan,
memperoleh atau mendapatkan sumber air mandi, mengaturan suhu atau
aliran air mandi, mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan
tubuh, serta masuk dan keluar kamar mandi.
2. Berpakaian/berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil
potongan pakaian, menanggalkan pakaian, serta memperoleh atau
menukar pakaian. Klien juga memiliki ketidakmampuan untuk
mengenakan pakaian dalam, memilih pakaian, menggunakan alat
tambahan, menggunakan kancing tarik, melepaskan pakaian,
menggunakan kaos kaki, mempertahankan penampilan pada tingkat yang
memuaskan, mengambil pakaian, dan mengenakan sepatu.
3. Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan,
mempersiapkan makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan,
menggunakan alat tambahan, mendapatkan makanan, membuka
container, memanipulasi makanan dalam mulut, mengambil makanan
dari wadah lalu memasukkannya ke mulut, melengkapi makan, mencerna
makanan menurut cara yang diterima masyarakat, mengambil cangkir
atau gelas, serta mencerna cukup makanan dengan aman.
4. BAB/BAK (toileting)
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam
mendapatkan jamban atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban,
memanipulasi pakaian untuk toileting, membersihkan diri setelah
BAB/BAK dengan tepat, dan menyiram toilet atau kamar kecil.
Keterbatasan perawatan diri diatas biasanya diakibatkan karena
stressor yang cukup berat dan sulit diatangani oleh klien (Klien bisa
mengalami harga diri rendah), sehingga dirinya tidak mau mengurus atau
merawat dirinya sendiri baik dalam hal mandi, berpakaian, berhias,
makan maupun BAB dan BAK. Bila tidak dilakukan intervensi oleh
perawat, maka kemungkinan klien bisa mengalami masalah risiko tinggi
isolasi sosial.
D. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif

Menyendiri (Solitude) Otonomi Kebersamaan Saling Ketergantungan

1. Menyendiri (Solitude) : Respon yang dibutuhkan seseorang untuk


merenungkan apa yang dilakukan dilingkungan sosialnya dan juga suatu
cara mengevaluasi diri untuk menentukan langkah selanjutnya.
2. Otonomi : Kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan
ide-ide pikiran, perasaan dalam hubungan social
3. Kebersamaan : Kondisi dalam hubungan sosial interpersonal dimana
individu mampu saling member dan menerima.
4. Saling Ketergantungan : Hubungan saling tergantung antara individu
dengan orang lain dalam rangka membina hubungan interpersonal.

II. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN


A. Defisit Perawatan diri
Data Mayor :
 DS : Menyatakan malas mandi, tidak tahu cara makan yang baik, tidak
tahu cara dandan yang baik, tidak tahu cara eliminasi yang
baik.
 DO : Badan kotor, dandan tidak rapih, makan berantakan, BAB/BAK
sembarang tempat.
Data Minor :
 DS : Merasa tidak berguna, merasa tak perlu merubah penampilan,
merasa tidak ada yang peduli
 DO : Tidak tersedia alat kebersihan, tidak tersedia alat makan, tidak
tersedia alat toileting
DAFTAR PUSTAKA
Fitria, Nita. 2009. Aplikasi Dasar dan Aplikasi penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta
Salemba Medika.
Keliat, B.A. 2009. Proses Kesehatan Jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC
Stuart, G.W. dan Sundeen, S.J. 2010. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Terjemahan
dari Pocket Guide to Psychiatric Nursing, oleh Achir Yani S. Hamid. 3 rd ed.
Jakarta : EGC.
Townsend, Mary C. 2008. Diagnosa Keperawatan Psikiatri. Edisi 3. Jakarta :
EGC.
Tim Direktorat Keswa. 2009. Standar Asuhan Keperawatan Jiwa. Ed : 1.
Bandung : RSJP.
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


A. Pengertian
1. Hubungan Sosial
Hubungan sosial adalah hubungan untuk menjalin kerjasama dan
ketergantungan dengan orang lain (Stuart and Sundeen, 2010).
2. Kerusakkan Interaksi Sosial
Kerusakan interaksi sosial merupakan suatu gangguan hubungan
intrapersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel
yang menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi
seseorang dalam hubungan sosial (Depkes, 2010).
Kerusakan interaksi sosial adalah suatu keadaan dimana seseorang
berpartisipasi dalam pertukaran sosial dengan kuantitas dan kualitas yang
tidak efektif. Klien yang mengalami kerusakan interaksi sosial
mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain salah satunya
mengarah pada perilaku menarik diri (Townsend, 2008).
Kerusakan interaksi sosial adalah satu gangguan kepribadian yang
tidak fleksibel, tingkah maladaptif, dang mengganggu fungsi individu
dalam hubungan sosialnya (Stuart dan Sundeen, 2010)
3. Isolasi Sosial
Suatu sikap di mana individu menghindari diri dari interaksi dengan
orang lain. Individu merasa bahwa ia kehingan hubungan akrab dan tidak
mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran, prestasi, atau
kegagalan. Ia mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan
dengan orang lain, yang dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri,
tidak ada perhatian, dan tidak sanggup membagi pengamatan dengan
orang lain (Balitbang, 2010) .
Merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan maupun komunikasi dengan orang lain (Rawlins,
2013).
Merupakan upaya menghindari suatu hubungan komunikasi dengan
orang lain karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak
mempunyai kesempatan untuk berbagi rasa, pikiran, dan kegagalan.
Klien mengalami kesulitan dalam berhubungan secara spontan dengan
orang lain yang dimanifestasikan dengan mengisolasi diri, tidak ada
perhatian, dan tidak sanggup berbagi pengalaman (Balitbang, 2010).
Suatu keadaan kesepian yang dialami seseorang karena orang lain
menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (Townsend, 2008).

B. Tanda dan Gejala


Berikut ini adalah tanda dan gejala klien dengan isolasi sosial.
1 Kurang spontan.
2 Apatis (acuh terhadap lingkungan).
3 Ekspresi wajah kurang berseri.
4 Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri.
5 Tidak ada atau kurang komunikasi verbal.
6 Mengisolasi diri
7 Tidak ada atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya.
8 Asupan makanan dan minuman terganggu.
9 Retensi urine dan feses.
10 Aktivitas menurun.
11 Kurang energi (tenaga).
12 Rendah diri.
13 Poster tubuh berubah, misalnya sikap fetus/janin (khususnya pada posisi
tidur).
Perilaku ini biasanya disebabkan karena seseorang menilai dirinya
rendah, sehingga timbul perasaan malu untuk berinteraksi dengan orang
lain. Bila tidak dilakukan intervensi lebih lanjut, maka akan menyebabkan
perubahan persepsi sensori : halusinasi dan resiko tinggi mencederai diri,
orang lain juga bisa menyebabkan intoleransi aktivitas yang akhirnya bisa
berpengaruh terhadap ketidakmampuan untuk melakukan perawatan secara
mandiri. Seseorang yang mempunyai harga diri rendah awalnya disebabkan
oleh ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah dalam hidupnya,
sehingga orang tersebut berperilaku tidak normal (koping individu tidak
efektif). Peranan keluarga cukup besar dalam mendorong klien agar mampu
menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, bila sistem pendukungnya tidak
baik (koping keluarga tidak efektif) maka akan mendukung seseorang
memiliki harga diri rendah.

C. Rentang Respons
Respons Adaptif Respons Maladaptif

Menyendiri Merasa sendiri Menarik diri


Otononi Depedensi Ketergantungan
Bekerja sama Curiga Manipulasi
Interdependen curiga

Berikut ini akan dijelaskan tentang respons yang terjadi pada isolasi sosial.
1. Respons adaptif
Respons adaptif adalah respons yang masih dapat diterima oleh
norma-norma sosial dan kebudayaan secara umum berlaku. Dengan kata
lain individu tersebut masih dalam batas normal ketika menelesaikan
masalah. Berikut ini adalah sikap yang termasuk respons adaptif.
a. Menyendiri, respons yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan
apa yang telah terjadi di lingkungan sosialnya.
b. Otonomi, kemempuan individu untuk menentukan dan menyampaikan
ide, pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.
c. Bekerja sama, kemampuan individu yang saling membutuhkan satu
sama lain.
d. Interdependen, saling ketergantungan antara individu dengan orang
lain dalam membina hubungan interpersonal.
2. Respons maladaptif
Respons maladaptif adalah respons yang menyimpang dari norma
sosial dan kehidupan di suatu tempat. Berikut ini adalah perilaku yang
termasuk respons maladaptiff
a. Menarik diri, seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina
hubungan secara terbuka dengan orang lain.
b. Ketergantungan, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri
sehingga tergantung dengan orang lain.
c. Manipulasi, seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek
individu sehingga tidak dapat membina hubungan sosial secara
mendalam.
d. Curiga, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap orang
lain.

D. Etiologi
Terjadinya menarik diri dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan
stressor presipitasi. Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan
faktor predisposisi dan stressor presipitasi. Faktor perkembangan dan
sosial budaya merupakan faktor predisposisi terjadi perilaku menarik diri.
Kegagalan perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri,
tidak percaya pada diri orang lain, ragu, takut salah, pesimis, putus asa
terhadap hubungan dengan orang lain, menghindari orang lain, tidak mampu
merumuskan keinginan dan merasa tertekan. Keadaan ini dapat
menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain,
menghindar dari orang lain, lebih menyukai berdiam diri sendiri dan
kegiatan sendiri terabaikan.
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor Tumbuh Kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas
perkembangan yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam
hubungan sosial.
Bila tugas-tugas dalam perkembangan ini tidak terpenuhi maka
akan menghambat fase perkembangan sosial yang nantinya akan dapat
menimbulkan masalah.
Tugas Perkembangan Berhubungan Dengan Pertumbuhan
Interpersonal.
Tahap Perkembangan Tugas
Masa Bayi Menetapkan rasa percaya
Mengembangkan otonomi dan awal
Masa Bermain
perilaku mandiri
Belajar menunjukkan inisiatif, rasa
Masa Prasekolah
tanggung jawab, dan hati nurani
Belajar berkompetisi, bekerja sama,
Masa Sekolah
dan berkompromi
Menjalin hubungan intim dengan
Masa Praremaja
teman sesama jenis kelamin.
Menjadi intim dengan teman lawan
Masa Remaja
jenis atau bergantung pada orang tua.
Menjadi saling bergantung antara
orangtua dan teman, mencari
Masa Dewasa Muda
pasangan, menikah, dan mempunyai
anak.
Belajar menerima hasil kehidupan
Masa Tengah Baya
yang sudah dilalui.
Berduka karena kehilangan dan
Masa Dewasa Tua mengembangkan perasaan
keterikatan dengan budaya.
Sumber : Stuart dan Sundeen (`2010)
b. Faktor Komunikasi dalam Keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori
ini yang termasuk masalah dalam berkomunikasi sehingga
menimbulkan ketidakjelasan (double bind) yaitu suatu keadaan di
mana seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling
bertentangan dalam waktu bersamaan atau ekspresi emosi yang tinggi
dalam keluarga yang menghambat untuk berhubungan dengan
lingkungan di luar keluarga.

c. Faktor Sosial Budaya


Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial
merupakan suatu faktor pendukung terjadinya gangguan dalam
hubungan sosial. Hal ini disebabkan oleh norma-norma yang salah
dianut oleh keluarga, dimana setiap anggota keluarga yang tidak
produktif seperti usia lanjut, berpenyakit kronis, dan penyandang cacat
diasingkan dari lingkungan sosialnya.
d. Faktor Biologis
Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor pendukung
terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang dapat
mempengaruhi terjadinya gangguan hubungan sosial adalah otak,
misalnya pada klien skizofrenia yang mengalami masalah dalam
hubungan sosial memiliki struktur yang abnormal pada otak seperti
atropi otak, serta perubahan ukuran dan bentuk sel-sel dalam limbik
dan daerah kortikal.
2. Faktor Presipitasi
Terjadinya gangguan hubungan sosial juga dapat ditimbulkan oleh
faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor stresorpresipitasi dapat
dikelompokkan sebagai berikut.
a. Faktor eksterna
Contohnya adalah stresor sosial budaya, yaitu stres yang
ditimbulkan oleh faktor sosial budaya seperti keluarga.
b. Faktor internal
Contohnya adalah stresor psikologis, yaitu stres terjadi akibat
ansietas yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan individu untuk mengatasinya. Ansietas ini
dapat terjadi akibat tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat
atau tidak terpenuhinya kebutuhan individu.
E. Dampak Menarik Diri Terhadap Kebutuhan Dasar Manusia
Dibawah ini akan dijelaskan mengenai dampak gangguan interaksi sosial
menarik diri terhadap kebutuhan dasar manusia yang dikemukakan oleh
Abraham Maslow.
1. Kebutuhan Fisiologis
Klien dengan interaksi sosial menarik diri kurang memperhatikan diri
dan lingkungannya sehingga motivasi untuk makan sendiri tidak ada.
Klien kurang memperhatikan kebutuhan istirahat dan tidur, karena asyik
dengan pikirannya sendiri sehingga tidak ada minat untuk mengurus diri
dan keberhasilannya.
2. Kebutuhan Rasa Aman
Klien dengan gangguan interaksi menarik diri cenderung merasa
cemas, gelisah, takut dan bingung sehingga akan menimbulkan rasa tidak
aman bagi klien.
3. Kebutuhan Mencintai dan Dicintai
Klien dengan gangguan interaksi sosial menarik diri cenderung
memisahkan diri dari orang lain.
4. Kebutuhan Harga Diri
Klien dengan gangguan interaksi sosial menarik diri akan mengalami
perasaan yang tidak berarti dan tidak berguna. Klien akan mengkritik diri
sendiri, menurunkan dan mengurangi martabat diri sendiri sehingga klien
terganggu.
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri
Klien dengan gangguan interaksi sosial menarik diri akan merasa
tidak percaya diri, merasa dirinya tidak pantas menerima pengakuan dan
penghargaan dari orang lain dan klien akan merasa rendah diri untuk
meminta pengakuan dari orang lain.
II. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN
A. Isolasi sosial
Data Mayor :
 DS : Klien mengatakan malas berinteraksi, mengatakan orang lain tidak
mau menerima dirinya, merasa orang lain tidak selevel.
 DO : Menyendiri, mengurung diri, tidak mau bercakap-cakap dengan
orang lain.
Data Minor :
 DS : Curiga dengan orang lain, mendengar suara/melihat bayangan,
merasa tak berguna
 DO : Mematung, mondar-mandir tanpa arah, tidak berinisiatif
berhubungan dengan orang lain
DAFTAR PUSTAKA
Aziz R, dkk, 2011. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr.
Amino Gonohutomo.
Balitbang. 2010. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor
Fitria, Nita. 2009. Aplikasi Dasar dan Aplikasi penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta:
Salemba Medika.
Keliat Budi Ana. 2009.Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta :
EGC.
Keliat Budi Ana. 2009. Gangguan Konsep Diri, Edisi I, Jakarta : EGC.
Stuart GW, Sundeen. 2010. Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th
ed.). St.Louis Mosby Year Book.
LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN SENSORI PERSEPSI : HALUSINASI

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


A. Pengertian
Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya
rangsang dari luar. Walaupun tampak sebagai suatu yang “khayal”,
halusinasi sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan mental penderita
yang “terepsesi”. Halusinasi dapat terjadi karena dasarr-dasar organik
fungsional, psikotik, maupun histerik (Yosep, 2009).
Menurut Cook dan Fontaine (2012) perubahan persepsi sensori:
halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan persepsi sensori, seperti merasakan sensasi palsu berupa suara,
penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan. Klien merasakan
stimulasi yang sebetulnya tidak ada. Selain itu, perubahan persepsi sensori:
halusinasi bisa juga diartikan sebagai persepsi sensori tentang suatu objek,
gambaran, dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar
meliputi semua sistem penginderaan (pendengaran, penglihatan, penciuman,
perabaan, atau pengecapan).
Individu menginterpretasikan stresor yang tidak ada stimulus dari
lingkungan (Depkes RI, 2010).
Suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan pada pola
stimulus yang mendekat (yang diprakarsai secara internal dan eksternal).
Disertai dengan suatu pengurangan berlebih-lebihan atau kelainan berespon
terhadap stimulus (Towsend, 2008).
Kesalahan sensori persepsi dari satu atau lebih indra pendengaran,
penglihatan, taktil, atau penciuman yang ada stimulus eksterna (Antai
Otong, 2008).
Gangguan penyerapan/persepsi pancaindra tanpa adanya rangsangan dari
luar. Gangguan ini dapat terjadi pada sistem pengindraan pada saat
kesadaran individu tersebut penuh dan baik. Maksudnya rangsangan
tersebut terjadi pada saat klien dapat menerima rangsangan dari luar dan
dari individu sendiri. Dengan kata lain klien berespon terhadaprangsangan
yang tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat
dibuktikan (Wilson, 2009).

B. Teori yang Menjelaskan Halusinasi


1. Teori Biokimia
Terjadi sebagai respon metabolisme terhadap stres yang
mengakibatkan terlepasnya zat halusinogenik neurotik (buffofenon dan
dimethytransaferase).
2. Teori Psikoanalisis
Merupakan respon pertahanan ego untuk melawan rangsangan dari
luar yang mengancam dan ditekan untuk muncul dalam alam sadar.

C. Jenis – jenis Halusinasi


Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subjektif
Halusinasi Dengar  Bicara atau  Mendengar suara-
tertawa sendiri. suara atau
(Klien mendengar kegaduhan.
suara/bunyi yang tidak ada  Marah-marah
hubungannya dengan tanpa sebab.  Mendengar suara
stimulus yang yang mengajak
nyata/lingkungan).  Mendekatkan bercakap-cakap.
telinga ke arah
tertentu.  Mendengar suara
menyuruh
 Menutup telinga. melakukan sesuatu
yang berbahaya.

Halusinasi Penglihatan  Menunjuk-nunjuk Melihat bayangan,


ke arah tertentu.sinar, bentuk
(Klien melihat gambaran geometris, kartun,
yang jelas/samar terhadap  Ketakutan pada melihat hantu, atau
adanya stimulus yang situasi yang tidak monster.
nyata dari lingkungan dan jelas.
orang lain tidak
melihatnya).
Halusinasi Penciuman  Mengendus-endus Membauai bau-bauan
seperti sedang seperti bau darah, urin,
(Klien mencium bau yang membaui bau- feses, dan terkadang
muncul dari sumber bauan tertentu. bau-bau tersebut
tertentu tanpa stimulus menyenangkan bagi
klien.
yang nyata).  Menutup hidung.

Halusinasi Pengecapan  Sering meludah. Merasakan rasa seperti


darah, urin, atau feses.
(Klien merasakan sesuatu  Muntah.
yang tidak nyata, biasanya
merasakan rasa yang tidak
enak).
Halusinasi Perabaan  Menggaruk-garuk  Mengatakan ada
permukaan kulit. serangga di
(Klien merasakan sesuatu permukaan kulit.
pada kulitnya tanpa ada
stimulus yang nyata)  Merasa seperti
tersengat listrik.

Halusinasi Kinestetik  Memegang Mengatakan badannya


kakinya yang melayang di udara.
(Klien merasa badannya dianggapnya
bergerak dalam suatu bergerak sendiri.
ruangan/anggota badannya
bergerak)
Halusinasi Viseral  Memegang Mengatakan perutnya
badannya yang menjadi mengecil
(Perasaan tertentu timbul dianggap berubah setelah minum
dalam tubuhnya) bentuk dan tidak softdrink.
normal seperti
biasanya.

Sumber : Stuart dan Sundeen (2010)

D. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan
jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi
stress. Diperoleh dari klien atau keluarga. Faktor predisposisi meliputi:
1. Faktor Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan
interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami stress dan
kecemasan.
2. Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor di masyarakat dapat menyebabkan seseorang merasa
disingkarkan, sehingga orang tersebut merasa kesepian di lingkungan
yang membesarkannya.
3. Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika
seseorang mengalami stres yang berlebihan, maka di dalam tubuhnya
akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia
seperti buffofenon dan dimethytransferase (DMP).
4. Faktor Psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran
ganda bertentangan yang sering diterima oleh seseorang akan
mengakibatkan stres dan kecemasan yang tinggi dan berakhir pada
gangguan orientasi realitas.
5. Faktor Genetik
Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui, tetapi hasil
studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang
sangat berpengaruh pada penyakit ini.

E. Faktor Presipitasi
Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan,
ancaman/tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya
rangsang lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam
kelompok, terlalu lama diajak komunikasi, objek yang ada dilingkungan
juga suasana sepi/isolasi adalah sering sebagai pencetus terjadinya
halusinasi karena hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan
yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.

F. Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa rasa curiga, takut, tidak
aman, gelisah dan bingung, berperilaku yang merusak diri, kurang
perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, serta tidak dapat
membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Rawlins dan Heacock (1993)
mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat
keberadaan individu sebagai makhluk yang dibangun atas unsur-unsur bio-
psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari 5 dimensi yaitu:
1. Dimensi fisik
Manusia dibangun oleh sistem indra untuk menanggapi ransangan
eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat
ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti: kelelahan yang luar
biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi
alkohol dan kesulitan tidur dalam waktu lama.
2. Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan karena masalah yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi terjadi. Isi dari halusinasi dapat
berupa perintah memaksa dan menakutkan, sehingga klien tidak sanggup
lagi menentang perintah tersebut hingga berbuat sesuatu terhadap
ketakutannya.
3. Dimensi intelektual
Individu yang mengalami halusinasi akan memperlihatkan adanya
penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari
ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, tetapi pada saat
tertentu menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh
perhatian klien dan tidak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
4. Dimensi sosial
Dimensi sosial menunjukkan individu cenderung untuk mandiri.
Individu asik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat
untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri, dan harga
diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan
sistem kontrol, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, maka
hal tersebut dapat mengancam dirinya atau orang lain. Dengan demikian
intervensi keperawatan pada klien yang mengalami halusianasi adalah
dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan
penngalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan agar
klien tidak menyendiri.
5. Dimensi spiritual
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi
dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Klien
yang mengalami halusiansi cenderung menyendiri dan cenderung tidak
sadar dengan keberadaanya serta halusinasi menjadi sistem kontrol dalam
individu tersebut.

G. Sumber Koping
Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu
dapat mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan sumber koping
dilingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan
masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu
seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan
mengadopsi strategi koping yang berhasil.

H. Mekanisme Koping
Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk upaya
penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan
untuk melindungi diri.

I. Tahapan Halusinasi
1. Tahap I ( non-psikotik )
Pada tahap ini, halusinasi mampu memberikan rasa nyaman pada
klien, tingkat orientasi sedang. Secara umum pada tahap ini halusinasi
merupakan hal yang menyenangkan bagi klien. Karakteristik :
a. Mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan
b. Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan
kecemasan
c. Pikiran dan pengalaman sensorik masih ada dalam control kesadaran
Perilaku yang muncul :
a. Tersenyum atau tertawa sendiri
b. Menggerakkan bibir tanpa suara
c. Pergerakan mata yang cepat
d. Respon verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi

2. Tahap II ( non-psikotik )
Pada tahap ini biasanya klien bersikap menyalahkan dan mengalami
tingkat kecemasan yang berat. Secara umum, halusinasi yang ada dapat
menyebabkan antipasti.
Karakteristik :
a. Pengalaman sensori menakutkan atau merasakan dilecehkan oleh
pengalaman tersebut
b. Mulai merasa kehilangan kontrol
c. Menarik diri dari orang lain
Perilaku yang muncul :
a. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah.
b. Perhatian terhadap lingkungan menurun
c. Konsentrasi terhadap pengalaman sensori menurun
d. Kehilangan kemampuan dalam membedakan antara halusinasi dan
realita
3. Tahap III ( psikotik )
Klien biasanya tidak dapat mengontrol dirinya sendiri, tingkat
kecemasan berat, dan halusinasi tidak dapat ditolak lagi. Karekteristik :
a. Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya
b. Isi halusinasi menjadi atraktif
c. Klien menjadi kesepian bila pengalaman sensori berakhir
Perilaku yang muncul :
a. Klien menuruti perintah halusinasi
b. Sulit berhubungan dengan orang lain
c. Perhatian terhadap lingkungan sedikit atau sesaat
d. Tidak mampu mengikuti perintah yang nyata
e. Klien tampak tremor dan berkeringat
4. Tahap IV ( psikotik )
Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan biasanya klien terlihat
panic
Perilaku yang muncul :

a. Resiko tinggi menciderai


b. Agitasi atau kataton
c. Tidak mampu merespon rangsangan yang ada
Timbulnya perubahan persepsi sensori halusinasi biasanya diawali
dengan seseorang yang menarik diri dari lingkungan karena orang
tersebut menilai dirinya rendah. Bila klien mengalami halusinasi
dengar dan lihat atau salah satunya yang menyuruh pada kejelekan
maka akan berisiko terhadap perilaku

II. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN


A. Perubahan persepsi sensori : halusinasi
Data Mayor :
 DS : Mengatakan mendengar suara, bisikan/melihat bayangan
 DO : Bicara sendiri, tertawa sendiri, marah tanpa sebab
Data Minor :
 DS : Menyatakan kesal, menyatakan senang dengan suara-suara
 DO : Menyendiri, melamun
DAFTAR PUSTAKA

Balitbang. 2010. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor

Fitria, Nita. 2009. Aplikasi Dasar dan Aplikasi penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta:
Salemba Medika.

Keliat, B,A. 2009. Askep Pada Kliean Gangguan Orientasi Realitas. Jakarta.

Maramis, F, W. 2008. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga


University Press.

Stuart & Sundeen. 2010. Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.


LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN PROSES PIKIR : WAHAM

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


A. Pengertian
Waham adalah keyakinan yang salah dan kuat dipertahankan walaupun
tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan realitas social
(Stuart dan Sundeen, 2010).
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang
salah. Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar
belakang budaya klien. Waham dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan dan
perkembangan seperti adanya penolakan, kekerasan, tidak ada kasih sayang,
pertengkaran orang tua dan aniaya (Keliat, 2009).
Menurut Depkes (2010), Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai
dengan knyataan, tetapi dipertahankan dan tidak dapay diubah secara logis oleh
orang lain. Keyakinan ini berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan
kontrol.

B. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala pada klien dengan perubahan proses piker : waham
adalah sebagai berikut.
1. Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya (tentang agama,
kebesaran, kecurigaan, keadaan dirinya berulang kali secara berlebihan
tetapi tidak sesuai kenyataan
2. Klien tampak tidak mempunyai orang lain
3. Curiga
4. Bermusuhan
5. Merusak (diri, orang lain, lingkungan)
6. Takut, sangat waspada
7. Tidak tepat menilai lingkungan/ realitas
8. Ekspresi wajah tegang
9. Mudah tersinggung (Azis R dkk, 2013).
Tanda dan Gejala :
1. Menolak makan
2. Tidak ada perhatian pada perawatan diri
3. Ekspresi wajah sedih/gembira/ketakutan
4. Gerakan tidak terkontrol
5. Mudah teresinggung
6. Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan
7. Tidak dapat membedakan antara kenyataan dan bukan kenyataan
8. Menghindar dari orang lain
9. Mendominasi pembicaraan
10. Berbicara kasar
11. Menjalankan kegiatan keagamaan secara berlebihan (Fitria, 2009).

C. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif

-Pikiran logis -Kadang proses piker - Gg. Isi piker


-Persepsi akurat terganggu halusinasi
-Emosi konsisten dng -Ilusi - Perubahan proses
pengalaman -Emosi berlebih emosi
-Perilaku sesuai -Berperilaku yg tidak - Perilaku tidak
-Hubungan social biasa terorganisasi
harmonis -Menarik diri - Isolasi sosial

D. Penyebab dari Waham


Salah satu penyebab dari perubahan proses pikir: waham yaitu harga diri
rendah kronis. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri
dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri.
Gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap
diri sendiri, hilang kepercayaan diri, dan merasa gagal mencapai keinginan.
Harga diri rendah kronik dapat menyebabkan isolasi sosial dan pada
akhirnya menyebabkan perubahan proses pikir: waham.

1. Faktor predisposisi
a. Faktor perkemabangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan
interpersonal seseorang. Hal ini dapat menigkatkan stress dan ansiets
yang berakhir dengan gangguan persepsi, klien menekan perasaannya
sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi yang tidak efektif.
b. Faktor sosial budaya
Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat
menyebabkan timbulnya waham.
c. Faktor psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda/bertentangan, dapat
menimbulkan ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap
kenyataan.
d. Faktor biologis
Waham diyakini terjadi karena atrofi otak, pembesaran ventrikel di
otak, atau perubahan pada sel kortikal dan limbik.
e. Genetis
Diturunkan, adanya abnormalitas perkembangan sistem saraf yang
berhubungan dengan respon biologis yang maladaptif.
f. Neurobiologis
Adanya gangguan pada korteks pre frontal dan korteks limbic
g. Neurotransmitter
Abnormalitas pada dopamine, serotonin dan glutamat.
h. Virus paparan virus influensa pada trimester III
2. Faktor Presipitasi
a. Faktor sosial budaya
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang
berarti atau diasingkan dari kelompok.
b. Faktor biokimia
Dopamine, norepineprin, dan zat halusinogen lainnya diduga dapat
menjadi penyebab waham pada seseorang.

c. Faktor psikologis
Kecemasan yang memanjang dan terbatasnya kemampuan untuk
mengatasi masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk
menghindari kenyataan yang menyenangkan.

E. Macam – macam Waham


1. Waham agama : keyakinan seseorang bahwa ia dipilih oleh Yang Maha
Kuasa atau menjadi utusan Yang Maha Kuasa.
2. Waham somatik : keyakinan seseorang bahwa tubuh atau bagian
tubuhnya sakit atau terganggu.
3. Waham kebesaran : keyakinan seseorang bahwa ia memiliki kekuatan
yang istimewa.
4. Waham paranoid : kecurigaan seseorang yang berlebihan atau tidak
rasional dan tidak mempercayai orang lain, ditandai dengan waham yang
sistematis bahwa orang lain “ingin menangkap “ atau memata-matainya.
5. Waham depresif : kepercayaan tidak mendasar serta cenderung
menyalahkan diri sendiri akibat perbuatan-perbuatannya yang melanggar
kesusilaan atau kejahatan, sering dirasakan sebagai waham sakit dan
waham bersalah
6. Waham nihilistik : suatu pikiran bahwa dirinya atau orang lain sudah
meninggal atau dunia sudah hancur
7. Waham pengaruh : keyakinan bahwa dirinya merupakan subjek pengaruh
dari orang lain
8. Siar pikir ; waham tentang pikiran yang disiarkan ke dunia luar.
9. Sisip pikir ; waham tentang pikiran yang ditempatkan ke dalam benak
orang lain atau pengaruh luar.

F. Mekanisme Koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi klien dari pengalaman yang
menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif meliputi :
1. Regresi : berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
mengatasi ansietas
2. Proyeksi : sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi
3. Menarik diri
4. Pada keluarga ; mengingkari

G. Akibat dari Waham


Klien dengan waham dapat berakibat terjadinya resiko mencederai diri,
orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan
yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan
lingkungan.
Tanda dan Gejala :
1. Memperlihatkan permusuhan
2. Mendekati orang lain dengan ancaman
3. Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai
4. Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan
5. Mempunyai rencana untuk melukai

II. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN


A. Perubahan proses pikir: waham
Data Mayor :
 DS : Merasa curiga, merasa cemburu, merasa diancam/diguna-guna,
merasa sebagai orang hebat, merasa memiliki kekuatan luar biasa, merasa
sakit/rusak organ tubuh.
 DO : Marah –marah tanpa sebab, banyak kata (longorhoe), menyendiri,
sirkumtansial, inkoheren.
Data Minor :
 DS : Merasa orang lain menjauh, merasa tidak ada yang mau mengerti
 DO : Marah – marah karena urusan sepele, menyendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Aziz R, dkk, 2013. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa. Semarang : RSJD Dr.
Amino Gonohutomo.
Balitbang. 2010. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) untuk 7
Diagnosa Keperawatan Jiwa Berat bagi S-1 Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika.
Keliat Budi Ana. 2009. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta :
EGC.
Stuart GW, Sundeen. 2010. Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th
ed.). St.Louis Mosby Year Book.
Yosep, I. 2009. Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama.
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


A. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal
atau marah yang tidak konstruktif (Stuart dan Sundeen, 2010).
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz
dalam Harnawati, 2015).
Sementara, menurut (Towsend, 2008) perilaku kekerasan adalah suatu keadaan
dimana seseorang individu mengalamai perilaku yang dapat melukai secara fisik
baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Suatu keadaan di mana klien
mengalami perilaku yang dapat membahayakan klien sendiri, lingkungan termasuk
orang lain dan barang – barang (Maramis, 2008).
Perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan scara verbal
dan fisik (Keltner et al, 2015).

B. Tanda dan Gejala


1. Fisik : Muka merah, Pandangan tajam/mata melotot, tangan
mengepal, otot tegang, rahang mengatup, serta postur
tubuh kaku.
2. Verbal : Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor,
berbicara dengan nada keras, kasar dan ketus.
3. Perilaku : Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain,
merusak lingkungan, amuk/agresif
4. Emosi : tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu,
dendam, jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, ngamuk, ingin
berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
5. Intelektual : Mendominasi, cerewet, cenderung suka meremehkan,
berdebat, kasar, dan tidak jarang mengeluarkan kata-kata bernada
sarkasme
6. Spiritual : Merasa diri kuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tak
bermoral, kreativitas terhambat
7. Sosial : Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan,
sindiran, memperlihatkan permusuhan, mendekati orang lain dengan
ancaman, memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai,
menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan, mempunyai
rencana untuk melukai

C. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

Keterangan
1. Asertif : Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan
orang lain dan memberikan ketenangan
2. Frustasi : Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan
tidak dapat menemukan alternative
3. Pasif : Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya
4. Agresif : Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk
menuntut tetapi masih terkontrol
5. Kekerasan : Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta
hilangnya control

Perbandingan antara perilaku Asertif, Pasif dan Agresif/Kekerasan


Pasif Asertif Agresif
Isi Negatif dan Positif dan Menyombongkan
Pembicaraan merendahkan diri, menawarkan diri, diri. Merendahkan
contohnya contohnya orang lain,
perkataan : perkataan : contohnya
“Dapatkah saya?” “Saya dapat…” perkataan :
“Dapatkah “Saya akan….” “Kamu selalu…”
kamu?” “Kamu tidak
pernah…”
Tekanan suara Cepat lambat, Sedang Keras dan ngotot
mengeluh
Posisi badan Menundukan Tegap dan santai Kaku, condong
kepala kedepan
Jarak Menjaga jarak Mempertahankan Siap dengan jarak
dengan sikap jarak yang akan menyerang
acuh/ nyaman orang lain
mengabaikan
Penampilan Loyo, tidak dapat Sikap tenang Mengancam, posisi
tenang menyerang
Kontak mata Sedikit/sama Mempertahankan Mata melotot dan
sekali tidak kontak mata dipertahankan
sesuai dengan
hubungan

Sumber : Keliat (2009) dalam Fitria (2009)

D. Faktor Predisposisi
Menurut Townsend (2008) terdapat beberapa teori yang dapat
menjelaskan tentang factor predisposisi perilaku kekerasan diantaranya
adalah sebagai berikut :
1. Teori Biologik
Berdasarkan teori biologic, ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai
berikut :
a. Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen system neurologis
mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls
agresif. Sistem limbic sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku bermusuhan dan respons agresif
b. Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townsend (1996)
menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrin, norepinefrin,
dopamine, asetil kolin dan serotinin) sangat berperan dalam
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Peningkatan hormone
androgen dan norepinefrin serta penurunan serotonin dan GABA (6
dan 7) pada cairan serebrospinal merupakan factor predisposisi
penting yang menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada
seseorang.
c. Pengaruh genetic, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat
kaitannya dengan genetic termasuk genetic tipe kariotipe XYY, yang
umumnya dimiliki oleh penghuni penjara pelaku tindak criminal
(narapidana)
d. Gangguan otak, sindrom otak organic berhubungan dengan berbagai
gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada limbic dan lobus
temporal), trauma otak, penyakit ensefalitis, epilepsi (epilepsi lobus
temporal) terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak
kekerasan.
2. Teori Psikologik
a. Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya
ego dan membuat konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan
dapat memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan
citra diri serta memberikan arti dalam kehidupannya. Teori lainnya
berasumsi bahwa perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan
pengungkapan secra terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan
rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan.
b. Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang
dipelajari, individu yang memiliki pengaruh biologic terhadap
perilaku kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh
peran eksternal dibandingkan anak-anak tanpa factor predisposisi
biologic.

3. Teori Sosiokultural
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima
perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam
masyarakat ,erupakan factor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan

E. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat dibedakan menjadi factor internal dan eksternal :
1. Internal adalah semua factor yang dapat menimbulkan kelemahan,
menurunya percaya diri, rasa takut sakit, hilang kontrol dan lain-lain.
2. Eksternal adalah penganiayaan fisik, kehilangan orang yang dicintai,
krisis dan lain-lain.
Menurut Shives (2013) hal-hal yang dapat menimbulkan perilaku
kekerasan atau penganiayaan antara lain sebagai berikut :
1. Kesulitan kondisi social ekonomi
2. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu
3. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuannya dalam menempatkan diri sebagai orang yang
dewasa
4. Pelaku mungkin mempuanyai riwayat anti sosial seperti penyalahgunaan
obat dan alkohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat
menghadapi rasa frustasi
5. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.

F. Mekanisme Koping
Mekanisme yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego
seperti displacement, sublimasi, proyeksi, represif, denial, dan reaksi
formasi.
Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang
berkepanjangan dari seseorang karena ditinggal oleh orang yang dianggap
sangat berpengaruh dalam hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak teratasi,
maka dapat menyebabkan seseorang rendah diri (Harga diri rendah),
sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila ketidakmampuan
bergaul dengan orang lain ini tidak diatasi akan memunculkan halusinasi
berupa suara-suara atau bayangan yang meminta klien untuk melakukan
tindak kekerasan. Hal tersebut dapat berdampak pada keselamatan dirinya
dan orang lain (resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan).
Selain diakibatkan oleh berduka yang berkepanjangan, dukungan
keluarga yang kurang baik dalam menghadapi kondisi klien dapat
mempengaruhi perkembangan klien (koping keluarga tidak efektif). Hal ini
tentunya menyebabkan klien sering keluar masuk RS atau menimbulkan
kekambuhan karena dukungan keluarga tidak maksimal (regimen
teurapeutik inefektif).

G. Faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah perilaku kekerasan,


antara lain sebagai berikut :
1. Ketidakmampuan mengendalikan dorongan marah
2. Stimulus lingkungan
3. Konflik interpersonal
4. Status mental
5. Putus obat
6. Penyalahgunaan narkoba/alkohol

II. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN


A. Perilaku kekerasan
Data Mayor :
 DS : Mengancam, mengumpat, bicara keras dan kasar
 DO : Agitasi, meninju, membanting dan melempar
Data Minor :
 DS : mengatakan ada yang mengejek dan mengancam, mendengar
suara yang menjelekkan, merasa orang lain mengancam dirinya
 DO : menjauh dari orang lain, katatonia
DAFTAR PUSTAKA

Aziz R, dkk, 2013 ,Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr.
Amino Gonohutomo,
Balitbang. 2010. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor
Keliat Budi Ana, 2009, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta :
EGC,
Keliat Budi Ana, 2009, Gangguan Konsep Diri, Edisi I, Jakarta : EGC,
Stuart GW, Sundeen, 2010, Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th
ed.). St.Louis Mosby Year Book,
Townsend C. Mary , 2008, Diagnosa Keperawatan Psikiatri, Edisi 3, Penerbit
Buku Kedokteran,EGC;Jakarta.
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO TINGGI BUNUH DIRI

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


A. Pengertian
Bunuh diri adalah suatu upaya yang disadari dan bertujuan untuk
mengakhiri kehidupan individu secara sadar berhasrat dan berupaya
melaksanakan hasratnya untuk mati. Perilaku bunuh diri meliputi isyarat-
isyarat, percobaan atau ancaman verbal, yang akan mengakibatkan
kematian, luka atau mernyakiti diri sendiri (Clinton, 2013)
Bunuh diri adalah suatu keadaan di mana individu mengalami risiko
untuk menyakiti diri sendiri atatu melakukan tindakan yang dapat
mengancam nyawa. Dalam sumber lain dikatakan bahwa bunuh diri sebagai
tindakan destruktif terhadap diri sendiri yang jika tidak dicegah dapat
mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri yang mencakup setiap
benSP aktivitas bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu menyadari
hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan (Stuart dan sundeen, 2010)

B. Tanda dan Gejala


1. Mempunyai ide untuk bunuh diri
2. Mengungkapkan keinginan untuk mati
3. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan
4. Impulsif
5. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat
patuh)
6. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri
7. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang
obat dosis mematikan)
8. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panik, marah,
dan mengasingkan diri)
9. Kesehatan mental ( secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang
depresi, psikosis dan menyalahgunakan alkohol)
10. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronis atau
terminal)
11. Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau
mengalami kegagalan karier)
12. Umur 15-19 tahun atau diatas 45 tahun
13. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan)
14. Pekerjaan
15. Konflik interpersonal
16. Latar belakang keluarga
17. Orientasi seksual
18. Sumber-sumber personal
19. Sumber-sumber sosial
20. Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil

C. Rentang Respon
Respons Adaptif Respon Maladaptif

Peningkatan diri Beresiko destruktif Destruktif diri Pencederaan diri Bunuh diri
tidak langsung

Keterangan
1. Peningkatan diri : Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau
pertahanan diri secara wajar terhadap situasional yang membutuhkan
pertahanan diri.
2. Beresiko destruktif : Seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap
situasi yang seharusnya dapat mempertahankan diri.
3. Destruktif diri tidak langsung : Seseorang telah mengambil sikap yang
kurang tepat (maladaptif) terhadap situasi yang membutuhkan dirinya
unSP mempertahankan diri.
4. Pencenderaan diri : Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau
pencenderaan diri akibat hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.
5. Bunuh diri : Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai
dengan nyawanya hilang.
Pada umumnya tindakan bunuh diri merupakan cara ekspresi orang
yang penuh stress. Perilaku bunuh diri berkembang dalam rentang
diantaranya :

1. Suicidal ideation, Pada tahap ini merupakan proses kontemplasi dari


bunuh diri, atau sebuah metoda yang digunakan tanpa melakukan aksi/
tindakan, bahkan klien pada tahap ini tidak akan mengungkapkan
idenya apabila tidak ditekan. Walaupun demikian, perawat perlu
menyadari bahwa pasien pada tahap ini memiliki pikiran tentang
keinginan unSP mati
2. Suicidal intent, Pada tahap ini klien mulai berpikir dan sudah
melakukan perencanaan yang konkrit unSP melakukan bunuh diri
3. Suicidal threat, Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya
keinginan dan hasrat yang dalam, bahkan ancaman unSP mengakhiri
hidupnya
4. Suicidal gesture, Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif
yang diarahkan pada diri sendiri yang bertujuan tidak hanya
mengancam kehidupannya tetapi sudah pada percobaan unSP
melakukan bunuh diri. Hal ini terjadi karena individu mengalami
ambivalen antara mati, hidup dan tidak berencana unSP mati. Individu
ini masih memiliki kemauan unSP hidup, ingin di selamatkan, dan
individu ini sedang mengalami konflik mental. Tahap ini sering di
namakan “Crying for help” sebab individu ini sedang berjuang dengan
stres yang tidak mampu di selesaikan
5. Suicidal attempt, Pada tahap ini perilaku destruktif klien yang
mempunyai indikasi individu ingin mati dan tidak mau diselamatkan
misalnya minum obat yang mematikan, walaupun demikian banyak
individu masih mengalami ambivalen akan kehidupannya.
D. Faktor Predisposisi
1. Faktor genetik dan teori biologi
Faktor genetik mempengaruhi terjadinya resiko bunuh diri pada
keturunannya. Disamping itu adanya penurunan serotonin dapat
menyebabkan depresi yang berkontribusi terjadinya resiko buuh diri.
2. Teori sosiologi
Emile Durkheim membagi bunuh diri dalam 3 kategori yaitu :
Egoistik (orang yang tidak terintegrasi pada kelompok sosial) , atruistik
(Melakukan bunuh diri unSP kebaikan masyarakat) dan anomik ( Bunuh
diri karena kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain dan
beradaptasi dengan stressor).
3. Teori psikologi
Memfokuskan pada masalah tahap awal perkembangan ego, trauma
interpersonal, dan kecemasam berkepanjangan yang nungkin dapat
memicu seseorang unSP mencederai diri. Sigmund Freud dan Karl
Menninger meyakini bahwa bunuh diri merupakan hasil dari marah yang
diarahkan pada diri sendiri.
4. Teori interpersonal mengungkapkan bahwa mencederai diri sebagai
kegagalan dari pertemuan dalam hidup, masa anak-anak mendapat
perlakuan kasar serta tidak mendapatkan kepuasan (Stuart dan Sundeen,
2010)
5. Penyebab lain :
a. Adanya harapan yang tidak dapat di capai
b. Merupakan jalan untuk mengakhiri keputusasaan dan ketidak-
berdayaan
c. Cara untuk meminta bantuan
d. Sebuah tindakan untuk menyelesaikan masalah

E. Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres berlebihan yang
dialami individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang
memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah melihat atau
membaca melalui media mengenai orang yang melakukan bunuh diri
ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal
tersebut menjadi sangat rentan.

F. Masalah dan Data yang Perlu dikaji


Data yang perlu dikumpulkan saat pengkajian :
1. Riwayat masa lalu :
a. Riwayat percobaan bunuh diri dan mutilasi diri
b. Riwayat keluarga terhadap bunuh diri
c. Riwayat gangguan mood, penyalahgunaan NAPZA dan skizofrenia
d. Riwayat penyakit fisik yang kronik, nyeri kronik.
e. Klien yang memiliki riwayat gangguan kepribadian boderline,
paranoid, antisosial, gangguan persepsi sensori, gangguan proses
pikir, dlsb
f. Klien yang sedang mengalami kehilangan dan proses berduka
2. Symptom yang menyertainya
a. Apakah klien mengalami :
a) Ide bunuh diri
b) Ancaman bunuh diri
c) Percobaan bunuh diri
d) Sindrom mencederai diri sendiri yang disengaja
b. Derajat yang tinggi terhadap keputusasaan, ketidakberdayaan dan
anhedonia dimana hal ini merupakan faktor krusial terkait dengan
resiko bunuh diri.
3. Bila individu menyatakan memiliki rencana bagaimana untuk membunuh
diri mereka sendiri. Perlu dilakukan penkajian lebih mendalam lagi
diantaranya :
a. Cari tahu rencana apa yang sudah di rencanakan
b. Menentukan seberapa jauh klien sudah melakukan aksinya atau
perencanaan untuk melakukan aksinya yang sesuai dengan
rencananya.
c. Menentukan seberapa banyak waktu yang di pakai pasien untuk
merencanakan dan mengagas akan bunuh diri
d. Menentukan bagaiamana metoda yang mematikan itu mampu diakses
oleh klien.
e. Hal – hal yang perlu diperhatikan didalam melakukan pengkajian
tentang riwayat kesehatan mental klien yang mengalami resiko bunuh
diri :
f. Menciptakan hubungan saling percaya yang terapeutik
g. Memilih tempat yang tenang dan menjaga privasi klien
h. Mempertahankan ketenangan, suara yang tidak mengancam dan
mendorong komunikasi terbuka.
i. Menentukan keluhan utama klien dengan menggunakan kata – kata
yang dimengerti klien
j. Mendiskuiskan gangguan jiwa sebelumnya dan riwayat
pengobatannya
k. Mendaptakan data tentang demografi dan social ekonomi
l. Mendiskusikan keyakinan budaya dan keagamaan
m. Peroleh riwayat penyakit fisik klien

Salah satu Instrumen yang dapat dipekai untuk mengukur bunuh diri :
SAD PERSONS
NO SAD PERSONS Keterangan
1 Sex (jenis kelamin) Laki laki lebih komit melakukan suicide 3
kali lebih tinggi dibanding wanita,
meskipun wanita lebih sering 3 kali
dibanding laki laki melakukan percobaan
bunuh diri
2 Age ( umur) Kelompok resiko tinggi : umur 19 tahun
atau lebih muda, 45 tahun atau lebih tua
dan khususnya umur 65 tahun lebih.
3 Depression 35 – 79% oran yang melakukan bunuh diri
mengalami sindrome depresi.
4 Previous attempts 65- 70% orang yang melakukan bunuh diri
(Percobaan sudah pernah melakukan percobaan
sebelumnya) sebelumnya
5 ETOH ( alkohol) 65 % orang yang suicide adalah orang
menyalahnugunakan alkohol
6 Rational thinking
Orang skizofrenia dan dementia lebih
Loss ( Kehilangan sering melakukan bunuh diri disbanding
berpikir rasional) general populasi
7 Sosial support
Orang yang melakukan bunuh diri
lacking ( Kurang biasanya kurannya dukungan dari teman
dukungan social) dan saudara, pekerjaan yang bermakna
serta dukungan spiritual keagaamaan
8 Organized plan Adanya perencanaan yang spesifik
( perencanaan yang terhadap bunuh diri merupakan resiko
teroranisasi) tinggi
9 No spouse ( Tidak Orang duda, janda, single adalah lebih
memiliki pasangan) rentang dibanding menikah
10 Sickness Orang berpenyakit kronik dan terminal
beresiko tinggi melakukan bunuh diri.

II. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN


A. Risiko bunuh diri
Data Mayor :
 DS : Mengatakan hidupnya tak berguna lagi, ingin mati, mengatakan
pernah mencoba ingin bunuh diri, mengancam bunuh diri
 DO : Ekspresi murung, tak bergairah, ada bekas percobaan bunuh diri
Data Minor :
 DS : Mengatakan ada yang menyuruh bunuh diri, mengatakan lebih
baik mati saja, mengatakan sudah bosan hidup
 DO : Perubahan kebiasaan hidup, perubahan perangai
DAFTAR PUSTAKA

Balitbang. 2010. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor.

Fitria, N. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) unSP 7 Diagnosis
Keperawatan Jiwa Berat bagi Program S-1 Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.

Keliat, B. A. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Gangguan Orientasi


Realitas. Jakarta: EGC.

Maramis, F. W. 2008. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga


University Press.

Stuart & Sundeen. 2010. Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.

Yosep, I. 2009. Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai