C. Rentang Respon
Respon Respon
Adaptif Maladaptif
D. Faktor Predisposisi
1. Faktor yang mempengaruhi harga diri, termasuk penolakan orang tua,
harapan orang tua yang tidak realistis.
2. Faktor yang mempengaruhi penampilan peran, yaitu peran yang sesuai
dengan jenis kelamin, peran dalam pekerjaan dan peran yang sesuai
dengan kebudayaan
3. Faktor yang mempengaruhi identitas diri, yaitu orang tua yang tidak
percaya pada anak, tekanan teman sebaya dan kultur social yang berubah.
E. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah adalah hilangnya sebagian
anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami
kegagalan, serta menurunnya produktivitas. Gangguan konsep diri : harga
diri rendah ini dapat terjadi secara situasional maupun kronik.
1. Situasional
Gangguan konsep diri : harga diri rendah yang terjadi secara
situasional bisa disebabkan oleh trauma yang muncul secara tiba-tiba
misalnya harus dioperasi, mengalami kecelakaan, mejadi korban
perkosaan, atau menjadi narapidana sehingga harus masuk penjara.
Selain itu dirawat di rumah sakit juga bisa menyebabkan rendahnya
harga diri seseorang dikarenakan penyakit fisik, pemasangan alat bantu
yang membuat klien tidak nyaman, harapan yang tidak tercapai akan
struktur, bentuk dan fungsi tubuh serta perlakuan petugas kesehatan yang
kurang menghargai klien dan keluarga.
2. Kronik
Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis biasanya sudah
berlangsung sejak lama yang dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum
dirawat. Klien sudah memiliki pikiran negatif sebelum dirawat dan
menjadi semakin meningkat saat dirawat.
F. Akibat (Effect)
Harga diri rendah kronis dapat beresiko terjadinya isolasi sosial. Isolasi
sosial merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang
lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins,1993). Isosial
sosial dapat mengakibatkan perubahan persepsi sensori: halusinasi yang
pada akhirnya menyebabkan resiko tinggi perilaku kekerasan.
Tanda dan gejala isolasi sosial :
1 Rasa bersalah
2 Adanya penolakan
3 Marah, sedih dan menangis
4 Perubahan pola makan, tidur, mimpi, konsentrasi dan aktivitas
5 Mengungkapkan tidak berdaya
6 Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul
7 Menghindar dari orang lain (menyendiri)
8 Komunikasi kurang/tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap
dengan klien lain/perawat
9 Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk
10 Berdiam diri di kamar/klien kurang mobilitas
11 Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan percakapan
atau pergi jika diajak bercakap-cakap
12 Tidak/ jarang melakukan kegiatan sehari-hari (Keliat, 2009).
Fitria, Nita. 2009. Aplikasi Dasar dan Aplikasi penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta:
Salemba Medika.
Stuart, G.W. dan Sundeen, S.J. 2010. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Terjemahan
dari Pocket Guide to Psychiatric Nursing, oleh Achir Yani S. Hamid. 3 rd ed.
Jakarta : EGC.
C. Rentang Respons
Respons Adaptif Respons Maladaptif
Berikut ini akan dijelaskan tentang respons yang terjadi pada isolasi sosial.
1. Respons adaptif
Respons adaptif adalah respons yang masih dapat diterima oleh
norma-norma sosial dan kebudayaan secara umum berlaku. Dengan kata
lain individu tersebut masih dalam batas normal ketika menelesaikan
masalah. Berikut ini adalah sikap yang termasuk respons adaptif.
a. Menyendiri, respons yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan
apa yang telah terjadi di lingkungan sosialnya.
b. Otonomi, kemempuan individu untuk menentukan dan menyampaikan
ide, pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.
c. Bekerja sama, kemampuan individu yang saling membutuhkan satu
sama lain.
d. Interdependen, saling ketergantungan antara individu dengan orang
lain dalam membina hubungan interpersonal.
2. Respons maladaptif
Respons maladaptif adalah respons yang menyimpang dari norma
sosial dan kehidupan di suatu tempat. Berikut ini adalah perilaku yang
termasuk respons maladaptiff
a. Menarik diri, seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina
hubungan secara terbuka dengan orang lain.
b. Ketergantungan, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri
sehingga tergantung dengan orang lain.
c. Manipulasi, seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek
individu sehingga tidak dapat membina hubungan sosial secara
mendalam.
d. Curiga, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap orang
lain.
D. Etiologi
Terjadinya menarik diri dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan
stressor presipitasi. Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan
faktor predisposisi dan stressor presipitasi. Faktor perkembangan dan
sosial budaya merupakan faktor predisposisi terjadi perilaku menarik diri.
Kegagalan perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri,
tidak percaya pada diri orang lain, ragu, takut salah, pesimis, putus asa
terhadap hubungan dengan orang lain, menghindari orang lain, tidak mampu
merumuskan keinginan dan merasa tertekan. Keadaan ini dapat
menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain,
menghindar dari orang lain, lebih menyukai berdiam diri sendiri dan
kegiatan sendiri terabaikan.
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor Tumbuh Kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas
perkembangan yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam
hubungan sosial.
Bila tugas-tugas dalam perkembangan ini tidak terpenuhi maka
akan menghambat fase perkembangan sosial yang nantinya akan dapat
menimbulkan masalah.
Tugas Perkembangan Berhubungan Dengan Pertumbuhan
Interpersonal.
Tahap Perkembangan Tugas
Masa Bayi Menetapkan rasa percaya
Mengembangkan otonomi dan awal
Masa Bermain
perilaku mandiri
Belajar menunjukkan inisiatif, rasa
Masa Prasekolah
tanggung jawab, dan hati nurani
Belajar berkompetisi, bekerja sama,
Masa Sekolah
dan berkompromi
Menjalin hubungan intim dengan
Masa Praremaja
teman sesama jenis kelamin.
Menjadi intim dengan teman lawan
Masa Remaja
jenis atau bergantung pada orang tua.
Menjadi saling bergantung antara
orangtua dan teman, mencari
Masa Dewasa Muda
pasangan, menikah, dan mempunyai
anak.
Belajar menerima hasil kehidupan
Masa Tengah Baya
yang sudah dilalui.
Berduka karena kehilangan dan
Masa Dewasa Tua mengembangkan perasaan
keterikatan dengan budaya.
Sumber : Stuart dan Sundeen (`2010)
b. Faktor Komunikasi dalam Keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori
ini yang termasuk masalah dalam berkomunikasi sehingga
menimbulkan ketidakjelasan (double bind) yaitu suatu keadaan di
mana seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling
bertentangan dalam waktu bersamaan atau ekspresi emosi yang tinggi
dalam keluarga yang menghambat untuk berhubungan dengan
lingkungan di luar keluarga.
D. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan
jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi
stress. Diperoleh dari klien atau keluarga. Faktor predisposisi meliputi:
1. Faktor Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan
interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami stress dan
kecemasan.
2. Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor di masyarakat dapat menyebabkan seseorang merasa
disingkarkan, sehingga orang tersebut merasa kesepian di lingkungan
yang membesarkannya.
3. Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika
seseorang mengalami stres yang berlebihan, maka di dalam tubuhnya
akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia
seperti buffofenon dan dimethytransferase (DMP).
4. Faktor Psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran
ganda bertentangan yang sering diterima oleh seseorang akan
mengakibatkan stres dan kecemasan yang tinggi dan berakhir pada
gangguan orientasi realitas.
5. Faktor Genetik
Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui, tetapi hasil
studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang
sangat berpengaruh pada penyakit ini.
E. Faktor Presipitasi
Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan,
ancaman/tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya
rangsang lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam
kelompok, terlalu lama diajak komunikasi, objek yang ada dilingkungan
juga suasana sepi/isolasi adalah sering sebagai pencetus terjadinya
halusinasi karena hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan
yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.
F. Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa rasa curiga, takut, tidak
aman, gelisah dan bingung, berperilaku yang merusak diri, kurang
perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, serta tidak dapat
membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Rawlins dan Heacock (1993)
mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat
keberadaan individu sebagai makhluk yang dibangun atas unsur-unsur bio-
psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari 5 dimensi yaitu:
1. Dimensi fisik
Manusia dibangun oleh sistem indra untuk menanggapi ransangan
eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat
ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti: kelelahan yang luar
biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi
alkohol dan kesulitan tidur dalam waktu lama.
2. Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan karena masalah yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi terjadi. Isi dari halusinasi dapat
berupa perintah memaksa dan menakutkan, sehingga klien tidak sanggup
lagi menentang perintah tersebut hingga berbuat sesuatu terhadap
ketakutannya.
3. Dimensi intelektual
Individu yang mengalami halusinasi akan memperlihatkan adanya
penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari
ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, tetapi pada saat
tertentu menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh
perhatian klien dan tidak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
4. Dimensi sosial
Dimensi sosial menunjukkan individu cenderung untuk mandiri.
Individu asik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat
untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri, dan harga
diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan
sistem kontrol, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, maka
hal tersebut dapat mengancam dirinya atau orang lain. Dengan demikian
intervensi keperawatan pada klien yang mengalami halusianasi adalah
dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan
penngalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan agar
klien tidak menyendiri.
5. Dimensi spiritual
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi
dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Klien
yang mengalami halusiansi cenderung menyendiri dan cenderung tidak
sadar dengan keberadaanya serta halusinasi menjadi sistem kontrol dalam
individu tersebut.
G. Sumber Koping
Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu
dapat mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan sumber koping
dilingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan
masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu
seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan
mengadopsi strategi koping yang berhasil.
H. Mekanisme Koping
Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk upaya
penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan
untuk melindungi diri.
I. Tahapan Halusinasi
1. Tahap I ( non-psikotik )
Pada tahap ini, halusinasi mampu memberikan rasa nyaman pada
klien, tingkat orientasi sedang. Secara umum pada tahap ini halusinasi
merupakan hal yang menyenangkan bagi klien. Karakteristik :
a. Mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan
b. Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan
kecemasan
c. Pikiran dan pengalaman sensorik masih ada dalam control kesadaran
Perilaku yang muncul :
a. Tersenyum atau tertawa sendiri
b. Menggerakkan bibir tanpa suara
c. Pergerakan mata yang cepat
d. Respon verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi
2. Tahap II ( non-psikotik )
Pada tahap ini biasanya klien bersikap menyalahkan dan mengalami
tingkat kecemasan yang berat. Secara umum, halusinasi yang ada dapat
menyebabkan antipasti.
Karakteristik :
a. Pengalaman sensori menakutkan atau merasakan dilecehkan oleh
pengalaman tersebut
b. Mulai merasa kehilangan kontrol
c. Menarik diri dari orang lain
Perilaku yang muncul :
a. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah.
b. Perhatian terhadap lingkungan menurun
c. Konsentrasi terhadap pengalaman sensori menurun
d. Kehilangan kemampuan dalam membedakan antara halusinasi dan
realita
3. Tahap III ( psikotik )
Klien biasanya tidak dapat mengontrol dirinya sendiri, tingkat
kecemasan berat, dan halusinasi tidak dapat ditolak lagi. Karekteristik :
a. Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya
b. Isi halusinasi menjadi atraktif
c. Klien menjadi kesepian bila pengalaman sensori berakhir
Perilaku yang muncul :
a. Klien menuruti perintah halusinasi
b. Sulit berhubungan dengan orang lain
c. Perhatian terhadap lingkungan sedikit atau sesaat
d. Tidak mampu mengikuti perintah yang nyata
e. Klien tampak tremor dan berkeringat
4. Tahap IV ( psikotik )
Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan biasanya klien terlihat
panic
Perilaku yang muncul :
Fitria, Nita. 2009. Aplikasi Dasar dan Aplikasi penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta:
Salemba Medika.
Keliat, B,A. 2009. Askep Pada Kliean Gangguan Orientasi Realitas. Jakarta.
C. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif
1. Faktor predisposisi
a. Faktor perkemabangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan
interpersonal seseorang. Hal ini dapat menigkatkan stress dan ansiets
yang berakhir dengan gangguan persepsi, klien menekan perasaannya
sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi yang tidak efektif.
b. Faktor sosial budaya
Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat
menyebabkan timbulnya waham.
c. Faktor psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda/bertentangan, dapat
menimbulkan ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap
kenyataan.
d. Faktor biologis
Waham diyakini terjadi karena atrofi otak, pembesaran ventrikel di
otak, atau perubahan pada sel kortikal dan limbik.
e. Genetis
Diturunkan, adanya abnormalitas perkembangan sistem saraf yang
berhubungan dengan respon biologis yang maladaptif.
f. Neurobiologis
Adanya gangguan pada korteks pre frontal dan korteks limbic
g. Neurotransmitter
Abnormalitas pada dopamine, serotonin dan glutamat.
h. Virus paparan virus influensa pada trimester III
2. Faktor Presipitasi
a. Faktor sosial budaya
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang
berarti atau diasingkan dari kelompok.
b. Faktor biokimia
Dopamine, norepineprin, dan zat halusinogen lainnya diduga dapat
menjadi penyebab waham pada seseorang.
c. Faktor psikologis
Kecemasan yang memanjang dan terbatasnya kemampuan untuk
mengatasi masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk
menghindari kenyataan yang menyenangkan.
F. Mekanisme Koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi klien dari pengalaman yang
menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif meliputi :
1. Regresi : berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
mengatasi ansietas
2. Proyeksi : sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi
3. Menarik diri
4. Pada keluarga ; mengingkari
Aziz R, dkk, 2013. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa. Semarang : RSJD Dr.
Amino Gonohutomo.
Balitbang. 2010. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) untuk 7
Diagnosa Keperawatan Jiwa Berat bagi S-1 Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika.
Keliat Budi Ana. 2009. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta :
EGC.
Stuart GW, Sundeen. 2010. Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th
ed.). St.Louis Mosby Year Book.
Yosep, I. 2009. Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama.
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN
C. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Keterangan
1. Asertif : Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan
orang lain dan memberikan ketenangan
2. Frustasi : Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan
tidak dapat menemukan alternative
3. Pasif : Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya
4. Agresif : Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk
menuntut tetapi masih terkontrol
5. Kekerasan : Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta
hilangnya control
D. Faktor Predisposisi
Menurut Townsend (2008) terdapat beberapa teori yang dapat
menjelaskan tentang factor predisposisi perilaku kekerasan diantaranya
adalah sebagai berikut :
1. Teori Biologik
Berdasarkan teori biologic, ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai
berikut :
a. Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen system neurologis
mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls
agresif. Sistem limbic sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku bermusuhan dan respons agresif
b. Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townsend (1996)
menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrin, norepinefrin,
dopamine, asetil kolin dan serotinin) sangat berperan dalam
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Peningkatan hormone
androgen dan norepinefrin serta penurunan serotonin dan GABA (6
dan 7) pada cairan serebrospinal merupakan factor predisposisi
penting yang menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada
seseorang.
c. Pengaruh genetic, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat
kaitannya dengan genetic termasuk genetic tipe kariotipe XYY, yang
umumnya dimiliki oleh penghuni penjara pelaku tindak criminal
(narapidana)
d. Gangguan otak, sindrom otak organic berhubungan dengan berbagai
gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada limbic dan lobus
temporal), trauma otak, penyakit ensefalitis, epilepsi (epilepsi lobus
temporal) terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak
kekerasan.
2. Teori Psikologik
a. Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya
ego dan membuat konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan
dapat memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan
citra diri serta memberikan arti dalam kehidupannya. Teori lainnya
berasumsi bahwa perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan
pengungkapan secra terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan
rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan.
b. Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang
dipelajari, individu yang memiliki pengaruh biologic terhadap
perilaku kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh
peran eksternal dibandingkan anak-anak tanpa factor predisposisi
biologic.
3. Teori Sosiokultural
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima
perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam
masyarakat ,erupakan factor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan
E. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat dibedakan menjadi factor internal dan eksternal :
1. Internal adalah semua factor yang dapat menimbulkan kelemahan,
menurunya percaya diri, rasa takut sakit, hilang kontrol dan lain-lain.
2. Eksternal adalah penganiayaan fisik, kehilangan orang yang dicintai,
krisis dan lain-lain.
Menurut Shives (2013) hal-hal yang dapat menimbulkan perilaku
kekerasan atau penganiayaan antara lain sebagai berikut :
1. Kesulitan kondisi social ekonomi
2. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu
3. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuannya dalam menempatkan diri sebagai orang yang
dewasa
4. Pelaku mungkin mempuanyai riwayat anti sosial seperti penyalahgunaan
obat dan alkohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat
menghadapi rasa frustasi
5. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.
F. Mekanisme Koping
Mekanisme yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego
seperti displacement, sublimasi, proyeksi, represif, denial, dan reaksi
formasi.
Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang
berkepanjangan dari seseorang karena ditinggal oleh orang yang dianggap
sangat berpengaruh dalam hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak teratasi,
maka dapat menyebabkan seseorang rendah diri (Harga diri rendah),
sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila ketidakmampuan
bergaul dengan orang lain ini tidak diatasi akan memunculkan halusinasi
berupa suara-suara atau bayangan yang meminta klien untuk melakukan
tindak kekerasan. Hal tersebut dapat berdampak pada keselamatan dirinya
dan orang lain (resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan).
Selain diakibatkan oleh berduka yang berkepanjangan, dukungan
keluarga yang kurang baik dalam menghadapi kondisi klien dapat
mempengaruhi perkembangan klien (koping keluarga tidak efektif). Hal ini
tentunya menyebabkan klien sering keluar masuk RS atau menimbulkan
kekambuhan karena dukungan keluarga tidak maksimal (regimen
teurapeutik inefektif).
Aziz R, dkk, 2013 ,Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr.
Amino Gonohutomo,
Balitbang. 2010. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor
Keliat Budi Ana, 2009, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta :
EGC,
Keliat Budi Ana, 2009, Gangguan Konsep Diri, Edisi I, Jakarta : EGC,
Stuart GW, Sundeen, 2010, Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th
ed.). St.Louis Mosby Year Book,
Townsend C. Mary , 2008, Diagnosa Keperawatan Psikiatri, Edisi 3, Penerbit
Buku Kedokteran,EGC;Jakarta.
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO TINGGI BUNUH DIRI
C. Rentang Respon
Respons Adaptif Respon Maladaptif
Peningkatan diri Beresiko destruktif Destruktif diri Pencederaan diri Bunuh diri
tidak langsung
Keterangan
1. Peningkatan diri : Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau
pertahanan diri secara wajar terhadap situasional yang membutuhkan
pertahanan diri.
2. Beresiko destruktif : Seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap
situasi yang seharusnya dapat mempertahankan diri.
3. Destruktif diri tidak langsung : Seseorang telah mengambil sikap yang
kurang tepat (maladaptif) terhadap situasi yang membutuhkan dirinya
unSP mempertahankan diri.
4. Pencenderaan diri : Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau
pencenderaan diri akibat hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.
5. Bunuh diri : Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai
dengan nyawanya hilang.
Pada umumnya tindakan bunuh diri merupakan cara ekspresi orang
yang penuh stress. Perilaku bunuh diri berkembang dalam rentang
diantaranya :
E. Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres berlebihan yang
dialami individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang
memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah melihat atau
membaca melalui media mengenai orang yang melakukan bunuh diri
ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal
tersebut menjadi sangat rentan.
Salah satu Instrumen yang dapat dipekai untuk mengukur bunuh diri :
SAD PERSONS
NO SAD PERSONS Keterangan
1 Sex (jenis kelamin) Laki laki lebih komit melakukan suicide 3
kali lebih tinggi dibanding wanita,
meskipun wanita lebih sering 3 kali
dibanding laki laki melakukan percobaan
bunuh diri
2 Age ( umur) Kelompok resiko tinggi : umur 19 tahun
atau lebih muda, 45 tahun atau lebih tua
dan khususnya umur 65 tahun lebih.
3 Depression 35 – 79% oran yang melakukan bunuh diri
mengalami sindrome depresi.
4 Previous attempts 65- 70% orang yang melakukan bunuh diri
(Percobaan sudah pernah melakukan percobaan
sebelumnya) sebelumnya
5 ETOH ( alkohol) 65 % orang yang suicide adalah orang
menyalahnugunakan alkohol
6 Rational thinking
Orang skizofrenia dan dementia lebih
Loss ( Kehilangan sering melakukan bunuh diri disbanding
berpikir rasional) general populasi
7 Sosial support
Orang yang melakukan bunuh diri
lacking ( Kurang biasanya kurannya dukungan dari teman
dukungan social) dan saudara, pekerjaan yang bermakna
serta dukungan spiritual keagaamaan
8 Organized plan Adanya perencanaan yang spesifik
( perencanaan yang terhadap bunuh diri merupakan resiko
teroranisasi) tinggi
9 No spouse ( Tidak Orang duda, janda, single adalah lebih
memiliki pasangan) rentang dibanding menikah
10 Sickness Orang berpenyakit kronik dan terminal
beresiko tinggi melakukan bunuh diri.
Fitria, N. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) unSP 7 Diagnosis
Keperawatan Jiwa Berat bagi Program S-1 Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.