Nim : 20150610412
Kelas :G
Terjadinya tindakan operasi yang dilakukan oleh dokter berkaitan dengan transaksi
terapeutik yaitu berdasarkan duduk perkara yang dimana pada saat melakukan suatu operasi
hernia, dokter bedah melihat bahwa testikel kiri pasien sudah terinfeksi parah. Karena pasien
sedang dibius total, maka oleh dokter mengambil inisiatif untuk mengangkat testikel kiri itu
tanpa meminta persetujuan pasien lagi, karena sangat berbahaya dan bisa timbul gangrene
dan menjadi septikema yang sangat berbahaya yang jika di biarkan akan berakibat pada
gangguan kesehatan yang sangat fatal yang akan dialami oleh si pasien.
Pada saat dokter bedah melakukan operasi hernia, dokter bedah melihat testikel kiri oleh
pasien bedah sudah terinfeksi parah dan kondisi pasien bedah tersebut dalam keadaan terbius
total atau tidak dalam keadaan sadar, maka dokter pun melakukan tindakan tersebut tanpa
persetujuan terlebih dahulu oleh si pasien karena hal tersebut dapat membahayakan bagi si
pasien apabila tidak segera melakukan tindakan operasi.
Berdasarkan dari fakta hukum yang telah di jelaskan diatas, maka identifikasi masalah
yang terkait dengan transaksi terapeutik ini:
a) Hubungan hukum antara dokter bedah dan pasien dalam pelayanan medik secara
profesional didasarkan standar kompetensi sesuai dengan keahlian dan keterampilan
dibidang kedokteran baik berupa tindakan diagnostik maupun terapeutik.
b) Pengangkatan testikel kiri oleh dokter terhadap pasien yang belum diminta persetujuan
karna kondisi pasien yang terbius maka perlu dilakukan tindakan darurat tersebut..
E. ANALISIS HUKUM
Prioritas yang paling utama adalah tindakan menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap
penting, namun Informed consent tidak boleh menjadi penghalang atau penghambat bagi
pelaksanaan emergency care sebab dalam keadaan kritis dimana dokter berpacu dengan
maut, ia tidak mempunyai cukup waktu untuk menjelaskan sampai pasien benar-benar
menyadari kondisi dan kebutuhannya serta memberikan keputusannya. Dokter juga tidak
mempunyai banyak waktu untuk menunggu kedatangan keluarga pasien. Kalaupun keluarga
pasien telah hadir dan kemudian tidak menyetujui tindakan dokter, maka berdasarkan
doctrine of necessity, dokter tetap harus melakukan tindakan medik. Hal ini dijabarkan dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585/PerMenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan
Tindakan Medik, bahwa dalam keadaan emergency tidak diperlukan Informed consent.1
Maka dari itu,keadaan gawat darurat yang menyangkut keselamatan pasien seperti kasus
ini maka dokter boleh mengambil tindakan untuk menyelamatkan pasien karena pasien
dalam keadaan tidak sadar dan membutuhkan pertolongan.2
F. KESIMPULAN
1
Johanis Kerangan. “Tinjauan Yuridis Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) pada Pasien Kondisi Tidak
Sadar di Instalasi Rawat Darurat”, diakses dari https://johaniskerangan.wordpress.com/2014/03/18/tinjauan-
yuridis-persetujuan-tindakan-medis-informed-consent-pada-pasien-kondisi-tidak-sadar-di-instalasi-rawat-darurat-
ird, pada tanggal 26 November 2018 pkl. 18.02
2
Rivin Yuris Ardani, “pertanggungjawaban perdata dokter mengenai tindakan medis tanpa informed consent”, (UI:
lib, 2016) hlm 5.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat di simpulkan bahwa tindakan yang di lakukan oleh
dokter terhadap pasiennya sudah tepat, dikarenakan tindakan tersebut dilakukan demi
keselamatan pasien berdasarkan Pasal 13 UU Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Praktik
Kedokteran
G. DAFTAR PUSTAKA