Anda di halaman 1dari 22

UPAYA MENGATASI KECEMASAN DALAM MENJALANI

HEMODIALISA PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIS

Di Malang Tahun 2019

KARYA TULIS ILMIAH


(STUDI KASUS)

Oleh :

NADIA NURFAIZA
NIM : 201710300511045

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
TAHUN 2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang semakin meningkat. Insiden PGK di banyak negara sebesar 200 khasus per
satu juta penduduk per tahun (Delima & Tjitra, 2017). Penyakit gagal ginjal
kronis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya penurunan secara
progresif pada fungsi organ ginjal dalam rentan waktu beberapa bulan bahkan
tahun. PGK sendiri ditandai dengan adanya penurunan Glomerular Filtration
Rate (GFR) yang kurang dari 60ml/min/1,73 meter persegi selama minimal 3
bulan [ CITATION Kem17 \l 1057 ]. Gagal ginjal kronis yaitu suatu penyakit
renal tahap akhir (ESDR) yang meganggu fungsi pada renal yang progresif dan
irrevesible yang mana ginjal gagal mempetahankan metabolisme keseimbangan
cairan dan elektrolit, mengakibatkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen
lain dalam darah) [ CITATION Rud13 \l 1057 ]. Menurut Handono (2016)
Penyakit Gagal ginjal kronis adalah penurunan dari beberapa fungsi yaitu fungsi
ekskresi, fungsi pengaturan, fungsi hormonal dan ginjal secara progresif. Penyakit
gagal ginjal kronik baik stadium awal maupun stadium akhir memerlukan
perhatian khusus karena memerlukan perawatan dan penanganan khusus untuk
hemodialisis atau tranplatasi ginjal [ CITATION Ari16 \l 1057 ].

Menurut Hit el al (2016) dari hasil prevalensi Global Burden of Desease


penyakit gagal ginjal kronis menempati urutan ke-27 sebagai penyebab kematian
di dunia pada tahun 1990 dan urutan tersebut naik menjadi ke-18 pada tahun
2010. Terdapat sekitar 2.622.000 orang menjalani pengobatan PGK, dan
2.029.000 orang diantaranya menjalani pengobatan dialisis, sisanya 593.000 orang
menjalani trasplatasi ginjal. Hasil riset kementerian kesehatan pada tahun 2013,
menunjukan bahwa 0,2% orang di Indonesia telah terdiagnosis PGK stadium V,
dan 0,3% orang berada di Jawa timur. Hasil riskesdas pada tahun 2013
peningkatan prevalensi ini terkait dengan bertambahnya umur yang tajam pada
kelompok rentan usia 35-44 tahun dibandingkan kelompok rentan usia 25-34
tahun. Jumlah ini akan terus meningkat sebanding dengan adanya peningkatan
populasi penduduk, jumlah lanjut usia, dan jumlah pasien hipertensi dan diabetes.[
CITATION Kam18 \l 1057 ].

Penderita gagal ginjal pada dasarnya memiliki kemungkinan kematian.


Pasien gagal ginjal terminal atau End Stage Renal Deasase tidak akan bertahan
lama tanpa menjalani terapi pengganti ginjal (Hemodialisa) karena selain
mencegah kematian, terapi hemodialisis dapat menambah usia harapan hidup.
Hemodialisa juga tidak akan menyembuhkan atau mengobati pasien gagal ginjal,
namun sebaliknya masalah komplikasi dan perubahan pada bentuk dan fungsi
sistem di tubuh juga akan bertambah [ CITATION Juw18 \l 1057 ]. Pada pasien
yang menjalani hemodialisa secara umum akan mengalami ketergantungan untuk
dapat bertahan hidup dengan menggunakan mesin dialisis. Hal tersebut akan
memunculkan pemikiran dalam diri pasien bahwa dirinya terancam dan
mengurangi harapan hidup lebih lama, pasien akan mengalami ketakutan bahwa
umurnya tidak akan lama lagi dan pemikiran ini akan menimbulkan konflik pada
keluarga [ CITATION Pat15 \l 1057 ].

Jika pasien ada di situasi yang mengancam, maka respon koping


kecemasan akan terbentuk. Mekanisme koping sendiri ada dua yaitu mekanisme
adaptif dan mekanisme maladaptif. Apabila pasien memiliki koping yang efektif
maka kecemasan akan diturunkan dan energi yang ada akan diubah untuk istirahat
dan penyembuhan. Apabila pasien memiliki koping yang tidak efektif maka
pasien akan cenderung menggunakan koping mekanisme maladaptif sehingga
menimbukan ketegangan yang semakin meningkat, kebutuhan energi, respon
pikiran dan tubuh juga akan meningkat[ CITATION Fay17 \l 1057 ]

Perasaan cemas yang dirasakan oleh pasien yang menjalani terapi


hemodialisa akan sangat sering ditemukan dan akan menjadi masalah psikologis
bagi pasien gagal ginjal kronis itu sendiri. Cemas adalah respon emosional
terhadap berbagai macam stressor baik yang jelas ataupun tidak teridentifikasikan
secara tidak menyenangkan yang di tandai dengan perasaan khawatir, takut serta
perasaan yang terancam.[ CITATION Pat15 \l 1057 ]. Penting bagi perawat untuk
memperhatikan karakteristik pasien karena hal ini berpengaruh terhadap
psikologis pasien mendengar ketetapan mendapatkan terapi HD karena hal itu
dapat mempengaruhi langka yang pasien ambil dalam mengobati
penyakitnya[ CITATION Sop16 \l 1057 ].

Hasil studi pendahuluan penelitian yang dilakukan oleh Wartilsna dkk


pada tahun 2015 di Manado mengemukakan bahwa 79 pasien dari 110 pasien
mengatakan cemas dan khawatir dengan penyakit dan keadaan dirinya yang harus
menjalani terapi hemodialisa secara terus menerus (tingkat kecemasan berat)
[ CITATION lam15 \l 1057 ]. Hasil penelitian yang dilakukan Diana di Malang
pada tahun 2006, pasien jenis kelamin wanita memiliki tingkat kecemasan lebih
rendah dari pada pria. Penelitian Rahma W tahun 2008 mengemukakan pada
pasien gagal ginjal kronis sebagian besar mengalami kecemasan sebagian besar
yaitu 90% mengenai masalah kematian dan 10% megenai masalah keluarga
[ CITATION Jan15 \l 1057 ].

Studi kasus dengan hasil wawancara menunjukan bagaimana Tn.S umur


48 tahun, penderita gagal ginjal yang telah menjalani hemodialisa selama hampir
satu tahun memiliki tingkat kecemasan yang rendah dengan total skor total state
anxiety 49 dan skor total trait anxiety 42 yang diukur menggunakan STAI (State-
Trait Anxiety Inventory). Penderita juga mengatakan bahwa keadaan yang
dialaminya saat ini harus diterima dengan lapang dada dan ikhlas, sehingga dapat
disimpulkan bahwa penderita memiliki tingkat kecemasan lebih rendah. Hal ini
menunjukan bahwa hasil studi pendahuluan yang saya lakukan menunjukan hasil
yang berbeda dengan kebanyakan studi khasus pendahuluan sebelumnya.
Berdasarkan pemaparan di atas maka peneliti ingin menggali lebih lanjut upaya
mengatasi kecemasan penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisa agar
tetap dapat mengambil keputusan dengan tepat dan meningkatkan kualitas
hidupnya, meskipun penderita harus bergantung pada hemodialisa.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana upaya mengatasi kecemasan pada pasien gagal ginjal dalam
menjalani hemodialisa ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang hendak dicapai
dalam penelitian ini adalah mengetahui tentang upaya mengatasi kecemasan
pasien dalam menjalani hemodialisa.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi Keluarga Pasien
Khususnya bagi responden keluarga dari pasien dapat berbagi pengalaman
dan menjadi bahan pembelajaran bagi orang lain dan keluarga yang
mengalami masalah yang sama.

1.4.2 Bagi Penderita


Manfaat hasil penelitian studi kasus bagi penderita adalah agar penderita
dapat berbagi pengalaman dalam mengatasi kecemasan dan menjadi
pembelajaran bagi orang lain yang menghadapi masalah yang sama.

1.4.3 Bagi Institusi Pendidikan


Manfaat hasil studi kasus bagi pendidikan adalah sebagai pengetahuan
untuk penelitian selanjutnya di dunia pendidikan keperawatan.

1.4.4 Bagi Perawat


Manfaat hasil penelitian studi kasus bagi perawat adalah agar perawat
dapat meningkatkan fungsi perawat sendiri dalam upaya menghadapi
kecemasan yang dialami penderita saat menjalani hemodialisa.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gagal Ginjal Kronis


2.1.1 Definisi
Gagal ginjal kronis merupakan kerusakan ginjal progresif yang fatal dan
ditandai dengan urea dan limbah nitrogen yang beredar dalam darah serta
komplikasinya apabila tidak ditangani dengan terapi hemodialisa atau trasplatasi
ginjal[ CITATION Nur09 \l 1057 ]. Gagal ginjal kronis merupakan gangguan
pada fungsi ginjal secara progresif dan irrevesible dimana kemampuan ginjal
dalam mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan elektrolit yang
menyebabkan terjadinya uremia (retnsi urea dan sampah nitrogen berada di dalam
darah) menurut Brunner & Suddarth, 2001 dalam [ CITATION Har13 \l 1057 ]

2.1.2 Stadium Gagal Ginjal

1. Stadium I
Tahap stadium ini adalah tahap yang paling rigan, dimana kondisi ginjal
masih baik karena disini hanya terjadi penurunan tahap ginjal. Dalam
tahap ini kreatinin serum dan kadar BUN atau Blood Urea Nitrogen dalam
batas normal. Gangguan fungsi ginjal pada tahap ini hanya akan diketahui
dengan memberikan beban kerja yang berat, seperti tes pemekatan
kemihyang lama atau dengan mengadakan test GFR yang teliti.
2. Stadium II
Tahap stadium ini disebut dengan tahap influens ginjal, karena sudah lebih
dari 75% jaringan yang berfungsi pada ginjal rusak. Dalam tahap ini
pasien akan mengalami nokturia dan poliuria, yaitu perbandingan jumlah
kemih siang hari dan malam hari adalah 3:1 atau 4:1, bersihan kreatinin
10-30 ml/menit. Biasanya ditemukan anemia pada gagal ginjal dengan faal
ginjal di antara 5% - 25% . Faal ginjal akan sangat menurun dan
menimbulkan gejala-gejala kekurangan darah, tekanan darah naik, dan
aktivitas penderita mulai terganggu.
3. Stadium III
Tahap stadium ini adalah gagal ginjal tahap akhir atau uremia, hal ini
dikarenakan 90% dari massa nefron telah hancur atau sekitar 200.000
nefron yang utuh. Pada tahap ini penderita mulai merasakan gejala yang
cukup parah, karena ginjal tidak lagi sanggup mempertahankan
homeostatis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Pasien akan mengalami
oliguri atau pengeluaran kemih kurang dari 500/hari karena kegagalan
glomeroulus meskipun proses penyakit menyerang tubulus ginjal
[ CITATION Ari161 \l 1057 ]

2.1.3 Etiologi
Kondisi klinis yang dapat menyebabkan terjadinya PGK dapat dipengaruhi
oleh ginjal sendiri dan oleh faktor luar.

1. Penyakit dari ginjal


a. Penyakit pada saringan (glomerolus) : glomerolusitis
b. Infeksi kuman : Pyelonefritis, ureteritis.
c. Batu ginjal : nefrolitiasis
d. Kista di ginjal : polcystis kidney
e. Trauma langsung pada ginjal.
f. Keganasan pada ginjal.
g. Sumbatan : batu, tumor, penyempitan/striktur.
2. Penyakit Umum di luar ginjal
a. Penyakit sistemik : diabetes melitus, hipertensi, kolestrol tinggi.
b. Dysplidemia
c. SLE
d. Infeksi di badan : TBC paru, sifilis, malaria, hepatitis,
e. Preklamsi,
f. Obat-obatan
g. Kehilangan banyak cairan yang mendadak (luka bakar)
[ CITATION Mut12 \l 1057 ]
2.1.4 Manifestasi Klinis
Ada beberapa gejala yang timbul oleh adanya penyakit gagal ginjal,
diantara yaitu :

1. Gastrointestinal : Biasanya terdapat ulserasi pada saluran pencernaan


dan pendarahan.
2. Kardiovaskular : Hipertensi, perubahan elektro kardiografi (EKG),
perikarditis, efusi perikardium, dan tamponade
perikardium.
3. Respirasi : Edema paru, efusi pleura, dan pleuritis.
4. Neuromuskular : Lemah, gangguan tidur, sakit kepala, letargi,
gangguan muskular, neuropati perifer, bingung,
dan koma.
5. Metabolik/Endokrin : Inti glukosa, hiperlipidemia, gangguan hormon
seks menyebabkan penurunan libido, impoten.
[ CITATION Nur09 \l 1057 ].
6. Muskuloskeletal : Kram otot, kehilangan kekuatan otot, fraktur
tulang.
7. Integumen : Warna kulit abu-abu, mengilat, pruritis, kulit
kering bersisik, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut
tipis dan kasar.
[ CITATION Har13 \l 1057 ]
2.1.5 Patofisiologi
Umumnya gagal ginjal kronis terjadi karena adanya penurunan dan
kerusakan nefron yang mengakibatkan fungsi ginjal yang progresif menghilang.
Total laju filtrasi glomerolus (GFR) dan klirens mengalami penurunan namun
BUN dan kreatin meningkat. Kemudian nefron yang masih ada menjadi hipertrofi
karena fungsinya untuk menyaring menjadi lebih banyak. Akibatnya ginjal
kehilangan kemampuan dalam memekatkan urine. Ditahap ekskresi urine
dikeluarkan dalam jumlah besar sehingga pasien mengalami kehilangan cairan.
Tubulus pada akhirnya akan kehilangan kemampuan dalam menyerap elektrolit
dan urine yang dibuang mengandung banyak sodium sehingga berakibat poliuri
(Bayhakki,2013) dalam [ CITATION Hut17 \l 1057 ]
2.1.6 Penatalaksanaan
Penyakit gagal ginjal adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
Namun terdapat beberapa cara untuk mengobati gagal ginjal yang secara khusus
bertujuan untuk mengurangi resiko munculnya penyakit lain yang berpotensi
menambah masalah bagi pasien. Beberapa pengobatanya yaitu :
1. Menjaga Tekanan Darah
Dengan menjaga tekanan darah maka dapat mengontrol perkembangan
kerusakan ginjal, karena tekanan darah sendiri dapat mempercepat
kerusakan tersebut. Obat penghambat ACE merupakan obat yang mampu
memberikan perlindungan tambahan pada ginjal dan mengurangi tekanan
darah dalam tubuh serta mengurangi tekanan dalam aliran pembuluh
darah. Contoh obat ACE yaitu ramipril dan lisinorpil.
2. Perubahan Gaya Hidup
Hal yang bisa dilakukan ialah dengan mengubah gaya hidup seperti
mengurangi konsumsi garam, mengurangi berat badan diutamakan bagi
penderita obesitas
3. Obat-obatan
Obat-obatan seperti anthipertensi, suplemen besi, agen pengikat fosfat,
suplemen kalsium, furosemid (membantu berkemih), transfusi darah.
4. Intake cairan dan makanan
Yaitu dengan cara minum air yang cukup dan pengaturan diit rendah
protein memperlambat perkembangan gagal ginjal.
5. Hemodialisis
Yaitu terapi pengganti ginjal yang berfungsi mengeluarkan sisa-sisa
metabolisme atau racun dari peredaran darah manusia seperti air, natrium,
kalium, hydrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui
membran semi permiable sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada
ginjal. [ CITATION Rud13 \l 1057 ]

2.2 Hemodialisa
2.2.1 Definisi
Hemodialisis adalah proses terapi pengganti ginjal dengan menggunakan
selaput membran semi premiable (dialiser), yang berfungsi seperti nefron
sehingga dapat mengeluarkan produk sisa-sisa metabolisme dan mengoreksi
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal ginjal
(Ignatavicius, 2006 dalam [ CITATION Hut17 \l 1057 ]. Hemodialisis adalah
suatu proses pertukaran zat terlarut dan produk sisa tubuh dalam darah
menggunakan bantuan alat [ CITATION Ais18 \l 1057 ].

2.2.2 Tujuan Dialisis


Prosedur dialisis bertujuan untuk mengeluarkan zat-zat terlarut dengan
berat molekul rendah dan tinggi. Dalam prosedur dialisis ini terdiri dari
pemompaan darah berheparin melalaui dialiser dengan kecepatan aliran 300-
500ml/menit, sementara dialasat mengalir secara berlawanan dengan kecepatan
500-800ml/menit. Takaran dilisis didefinisikan sebagai derivasi klirens urea
fraksional selama satu kali terapi dialisis, dan ditentukan bagi pasien, fungsi ginjal
yang tersisa, asupan protein makanan, derajat anabolisme atau katabolisme dan
adanya penyakit penyerta. [ CITATION Jam13 \l 1057 ].

2.2.3 Prinsip Kerja Hemodialisa


Terdapat 3 prinsip kerja hemodialisa yaitu, difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.

1. Pada prinsip kerja difusi racun dan zat buangan yang ada di dalam darah
berpindah ke dialisat (cairan yang memiliki komposisi kimia menyerupai
cairan tubuh normal).
2. Pada proses osmosis adalah proses berpindahnya air yang disebabkan
tenaga kimiawi dan dialisat.
3. Proses ultrafiltrasi ialah proses berpindahnya zat dan air karena perbedaan
hidrostatik di dalam darah dan dialisat [ CITATION Mut12 \l 1057 ].

2.2.4 Peralatan Hemodialisa


1. Dialiser
Terdiri dari membran dialiser yang memisahkan kompartemen darah dan
dialisat. Ada beberapa macam dialiser tergantung ukuran, struktur fisik
dan tipe membran yang digunakan sebagai pembentukan kompartemen
darah. Hal di atas juga termasuk beberapa faktor yang dapat menentukan
potensi dialiser khususnya yang mampu membuang air (ultrafiltrasi) dan
sisa-sisa produk (klirens). Fungsi utama dialiser adalah :
a. Membuang produk metabolisme protein sperti urea, kreatinin, dan
asam urat.
b. Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan diantara 2
darah dan bagian cairan, yang terdiri atas tekanan positif dalam arus
darah dan tekanan negatif (penghisap) dalam kompartemen dialisat
(proses ultrafiltrasi)
c. Mempertahankan dan mengembalikan sistem buffer dalam tubuh.
d. Mempertahankan atau menegmbalikan kadar elektrolit tubuh.
2. Dialasat atau Cairan Dialisis
Merupakan cairan yang terdiri atas air dan elektrolit utama yang berasal
dari serum normal. Dialasat dibuat dalam sistem bersih bukan sistem steril.
Air untuk dialisat harus aman dari berbagai bakteriologis.
3. Asesori Peralatan
Adalah sebuah perangkat keras yang bisa digunakan pada sistem dialisis
seperti pompa darah, pompa infus untuk pemberian heparin, alat monitor
untuk mendekteksi jika terjadi ketidakamanan, konsetrasi dialisat,
perubahan tekanan, udara dan kebocoran darah [ CITATION Rud13 \l
1057 ]

2.3 Kecemasan
2.3.1 Definisi

Kecemasan ( Anxiety ) berasal dari bahasa Latin angustus yang artinya


kaku, dan ango anci yang berarti mencekik. Menurut Freud, kecemasan
merupakan fungsi ego untuk mengingatkan individu mengenai kemungkinan
adanya suatu bahaya agar dapat menyiapkan reaksi adaptif yang sesuai
[ CITATION Jan15 \l 1057 ]. Kecemasan merupakan perasaan takut yang tidak
jelas dan tidak didukung situasi. Keadaan cemas terjadi ketika individu merasa
tidak nyaman, taku, atau mungkin memiliki firasat akan ditimpa malapetaka
padahal dia sendiri tidak mengetahui mengapa emosi yang mengancam itu terjadi.
Gangguan kecemasan (Anxiety) adalah sekelompok keadaan yang memberikan
gambaran penting mengenai kecemasan yang berlebih, disertai adanya respon
perilaku, emosional, dan fisiologis [ CITATION Lis16 \l 1057 ].
Menurut Vidbeck (2008) dalam[ CITATION Kam181 \l 1057 ], dalam
Keaadaan cemas respon syaraf otonom yaitu serabut saraf simpatis memberikan
tanda pertahanan yang kemudian kelenjar adrenalin (epinefrin) dan meningkatkan
tekanan arteri serta denyut jantung lebih tinggi. Pembuluh perifer berkontraksi
ketika darah dialirkan dari gastrointestinal yang meningkatkan pecehan glukosa
lebih cepat pada otot dan srah pusat sehingga kekuatan tubuh melemah lebih
cepat.

2.3.2 Etiologi
1. Faktor Psikis
Banyak orang mengalami kecemasan yang dapat membuat seseorang
menjadi tidak berdaya karena dapat mengancam keselamatan. Hal tersebut
timbul oleh adanya ancaman luar yang dianggap membahayakan diri.
Kecemasan sebenarnya kondisi emosional dimana diri tidak memberi
respon terhadap rangsangan yang tidak menyenangkan, tiba-tiba dan sulit
dijelaskan. Kecemasan ditandai dengan adanya perubahan fisiologis dan
perilaku ketakutan, inilah yang menyebabkan kesamaan dalam
menggunakan istilah kecemasan dan ketakutan. Tingkat kecemasan dan
daya tahan seseorang berbeda ada yang sistem kecemasannya berfungsi
denga baik atau terlalu berlebihan sehingga menjadi suatu penyakit, yaitu
penyakit kecemasan.
2. Faktor Fisik
Faktor fisik dapat memnyebabkan kecemasan seperti adanya penyakit
tubuh dan obat-obatan. Beberapa penyakit yang timbulkan kecemasan
yaitu :
a. Kelainan syaraf sperti trauma kepala, infeksi otak, penyakit telinga
bagian dalam.
b. Kelainan jantung dan pembuluh darah.
c. Kelainan hormon endokrin.
d. Kelainan paru dan saluran nafas.

Untuk obat-obatan yang dapat menyebabkan kecemasan misalnya alkohol,


obat perangsang (stimulan), kafein, kokain, dan obat-obatan
lainnya[ CITATION Jun12 \l 1057 ].
2.3.3 Tingkat Kecemasan
1. Kecemasan Ringan
Kecemasan ringan berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Orang
yang mengalami kecemasan ringan sesekali mengalami napas pendek,
naiknya tekanan darah dan nadi, muka berkerut, bibir begetar, dan
mengalami gejala pada lambung. Respons kognitif pada pasin akan
mengalami lapang presepsi melebar, dapat menerima rangsangan
kompleks, konsentrasi pada masalah, dan dapat bisa menjelaskan masalah
secara efektif. Respons perilaku dan emosi yang mengalami kecemasan
tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan, kadang suara juga
meninggi.

2. Kecemasan Sedang

Pada tingkat kecemasan sedang presepsi pasien pada lingkungan menurun,


lebih fokus terhadap hal-hal penting dan menyampingkan hal-hal lain.
Respons fisiologis yang muncul pada pasien yang mengalami kecemasan
sedang seperti nafas pendek, nadi dan tekanan naik, mulut kering,
anoreksia, diare, konstipasi, dan geliah. Sedangkan untuk respons
kognitifnya seperti lapang presepsi yang sempit, rangsangan luar sulit
untuk diterima, berfokus apa yang menjadi perhatian. Adapun yang
menjadi respons perilaku dan emosi adalah adanya gerakan tersentak-
sentak, meremas tangan, sulit tidur, dan perasaan tidak aman.

3. Kecemasan Berat
Pada kecemasan berat lapangan perspsinya cenderung lebih sempit dan
cenderung memikirkan hal-hal yang lebih kecil dan mengabaikan hal-hal
lain. Pasien memerlukan pengarahan agar dapat memusatkan pada hal lain.
Respons fisiologis yang muncul pada pasien yang mengalami kecemasan
berat seperti nfas pendek, nadi dan tekanan darah naik, banyak
berkeringat, rasa sakit kepala, penglihatan kabur, dan mengalami
ketegangan. Sedangkan untuk respons kognitifnya seperti lapang presepsi
yang sempit dan tidak mampu untuk menyelesaikan masalah. Adapun
yang menjadi respon perilaku dan emosinya terlihat dari pasien yang
memiliki peasaan tidak aman dan verbalisasi yang cepat.

4. Panik

Pada kecemasan yang sudah mencapai panik lapang presepsi orang sudah
sagat sempit dan sudah mengalami gangguan hingga pasien sendiri sudah
tidak dapat mengendalikan diri dan akan kesulitan melakukan apapun
meskipun sudah diberikan arahan. Respons fisioloogis yang muncul pada
pasien yang mengalami kepanikan seperti, nafas pendek, rasa tercekik,
sakit dada, pucat, hipotensi, dan koordinasi motorik yang sengat rendah.
Sedangkan untuk respon kognitifnya adalah lapang presepsi yang sangat
sempit dan tidak dapat lagi berfikir secara logis. Adapun respons perilaku
dan emosinya terlihat agitasi, mengamuk dan marah-marah, ketakutan,
berteriak, kehilangan kontrol dan memiliki presepsi yang
kacau[ CITATION Pie11 \l 1057 ].

2.1.3 Faktor-Faktor Penyebab Kecemasan


Kecemasan menurut teori psikoanalisis disebabkan oleh konflik emosional
di antara dua kepribadian, yakni Id, Ego, dan Superego. Hal ini berkaitan dengan
adanya keterkaitan pertahanan ego dengan kecemasan. Kecemasan menurut teori
interpersonal disebabkan oleh adanya rasa takut atas penolakan interpersonal dan
disertai dengan trauma perkembangan, seperti kehilangan atau perpisahan orang
tua termasuk harga diri yang hilang yang dapat mengakbatkan kecemasan berat.
Berdasarkan kedua teori di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab
kecemasan terdiri dari :

1. Perasaan takut tidak diterima dalam lingkungan tertentu


2. Adanya pengalaman traumatis
3. Adanya frustasi akibat kegagalan, ancman integritas diri, dan konsep diri..
[ CITATION Pie11 \l 1057 ]

2.1.4 Aspek Kecemasan


Menurut Ivi & Kate dalam [CITATION Ann06 \l 1057 ] membagi analisis
fungsional gangguan kecemasan yaitu :
1. Suasana hati : kecemasan, mudah marah, perasaan sangart tegang.
2. Pikiran : khawatir, sukar berkonsentrasi, pikiran kosong,
membesar-besarkan ancaman, memandang diri sendiri sebagai sangat
sensitif dan tidak berdaya.
3. Motivasi : menghindari situasi, ketergantungan tinggi, dan ingin
melarikan diri.
4. Perilaku : gelisah, gugup, kewaspadaan yang berlebihan.
5. Gejala biologis : gerakan otomatis meningkat, seperti bertkeringat,
gemetar, pusing, berdebar-debar, mual dan mulut kering.

Kemudian menurut M. Nur & Rini dalam [ CITATION Ann06 \l 1057 ]


membagi kecemasan dalam tiga aspek yaitu :

1. Aspek fisik : pusing, sakit kepala, tangan mengeluarjan


keringat, menimbulkan rasa mual pada perut, mulut kering, grogi dll.
2. Aspek emosional : timbulnya rasa panik dan takut.
3. Aspek mental atau kognitif : timbulnya gangguan terhadap perhatian
dan memori, rasa khawatir, ketidakteraturan dalam berfikir, dan bingung.

2.1.5 Mekanisme Pertahanan pada Kecemasan


Kecemasan berfungsi sebagai adanya tanda bahaya, merupakan suatu
ancaman terhadap ego yang harus dihindari atau dilawan. Menurut Freud ada
beberapa mekanisme prtahanan yang digunakn untuk melawan kecemasan antara
lain :

1. Represi
Dalam terminologi Freud, represi adalah pelepasan tanpa sengaja sesuatu
dari kesadaran. Merupakan upaya penolakan secara tidak sadar terhadap
sesuatu yang membuat tidak nyaman atau menyakitkan. Konsep tentang
represi merupakan dasar dari sistem kepribadian Freud dan berhubungan
dengan semua perilaku neurosis.
2. Reaksi Formasi
Reaksi yang mengubah raksi impuls yang tidak sesuai dapat diterima,
misalnya seseorang mempunyai impuls agresif dalam dirinya berubah
menjadi orang yang ramah dan sangat bersahabat.
3. Proyeksi
Merupakan mekanisme pertahanan diri individu yang menganggap suatu
impuls tidak baik, agresif, dan tidak dapat diterima sebagai bukan
miliknya namun milik orang lain. Misalnya “Aku tidak benci dia, tapi dia
yang benci aku” . Pada raksi ini proyeksi impuls masih dapat diterima oleh
individu tersebut.
4. Regresi
Adalah suatu mekanisme pertahanan saat individu kembali ke masa
periode awal dalam hidupnya yang lebih menyenangkan dan bebas dari
fustasi dan kecemasan yang saat ini dihadapi. Misalnya individu kembali
ke masa dia merasa lebih aman dari hidupnya dan dimanifestasikan oleh
perilakunya di saat itu seperti kekanak-kanakan dan perilaku independen.
5. Rasionalisasi
Merupakan mekanisme pertahanan kembali perilaku kita agra lebih
rasional dan dapat diterima oleh kita. Kita berusaha memaafkan atau
mempertimbangkan suatu pemikiran atau tindakan yang mengancam kita
dengan meyakinkan diri sendiri bahwa ada alasan yang rasional dibalik
pemikiran dan tindakan itu. Misalnya seesorang yang dipecat dari
pekerjaan mengatakan bahwa pekerjaan terssebut memang tidak terlalu
bagus untuknya. Hal ini dilakukan karena dengan menyalahkan objek atau
orang lain akan sedikit mengurangi ancaman pada individu.
6. Pemindahan
Suatu mekanisme pertahanan dengan memindahkkan inmpuls terhadap
objek lain karena objek yang dapat memuaskan tidak tersedia. Misalnya
seorang anak yang keal dan marah dengan orang tuanya, karena takut
maka marahnya dilimpahkan kepada adiknya.Pada mekanisme ini objek
pengganti adalah suatu objek yang menurut indiviu bukan merupakan
suatu ancaman.
7. Sublimasi
Sublimasi ialah melibatkan perubahan atau penggantian dari impuls itu
sendiri. Energi instingtual dialihkan dalam bentuk ekspresi lain yang
secara sosial bukan hanya diterima namun dipuji. Misalnya energi seksual
diubah menjadi prilaku kreatif yang artistik.
8. Isolasi
Adalah cara kita untuk menghindari perasaan yang tidak dapat diterima
dengan cara merepresikannya dan bereaksi terhadap peristiwa tersebut
tanpa emosi. Hal ini terjadi psikoterapi. Pasien berkeinginan untuk
mengatakan pada terapis tentang perasaannya namun tidak ingin
berkonfrontasi dengan perasaan yang dilibatkannya. Pasien kemudian akan
menghubungkan perasaan tersebut dengan cara pelepasan yang tenang
walau sebenarnyta ada keinginan untuk mengesplorasi lebih jauh.
9. Undoing
Individu akan melakukan perilaku atau pikiran ritual dalam upaya untuk
mencegah impuls yang tidak dapat diterima, Misalnya pada pasien dengan
gangguan obsesif komplusif, melakukan cuci tangan berulang kali demi
melpaskan pemikiran-pemikiran yang mengganggu.
10. Intelektualisasi
Sering bersamaan dengan isolasi, individu mendapatkan jarak yang lebih
jauh dari emosinya dan menutupi hal tersebut dengan analisis intelektual
yang abstrak dari individu itu sendiri [ CITATION And17 \l 1057 ]
BAB III

METODELOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di rumah Tn.S di Senggreng, Sumberpucung
Malang 65165.

3.2 Setting Penelitian


Penelitian dilakukan di rumah Tn.S, rumah ini terdiri dari 4 kamar tidur, 2
kamar mandi, 1 ruang keluarga, 1 ruang tamu, dan 1 dapur. Penelitian ini
dilakukan di ruang tamu yang terdapat kursi dan meja di dalamnya. Rumah Tn.S
ditinggali oleh Tn.S, Istrinya Ny.Y, dan kedua anaknya Tn.R dan Nn.J.
Sebelumnya belum pernah dilakukan penelitian, maka dari itu peneliti akan
melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan
menggunakan metode wawancara.

3.4 Subyek Penelitian


DAFTAR PUSTAKA

Aisara, S., Azmi, S., & Yanni, M. (2018). Gambaran Klinis Penderita Penyakit
Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil
Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 7-21.
Andri, & P, Y. D. (2017). Teori Kecemasan Berdasarkan Psikoanalisis Klasik dan
Berbagai Mekanisme Pertahanan terhadap Kecemasan. Majalah
Kedokteran Indonesia Volume 57 Nomor 7, 233-237.
Annisa, D. F., & Ifdil. (2016). Konsep Kecemasan (Anxiety) pada Lanjut Usia.
KONSELOR, 93-99.
Ariani, S. (2016). Stop Gagal Ginjal dan Gangguan-Gangguan Ginjal lainnya.
Yogyakarta: Istana Media.
Arinta1, T. R. (2016). PENINGKATAN KADAR ALBUMIN PADA PASIEN
GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISIS .
Jurnal aisyah : Jurnal Ilmu Kesehatan, 1-7.
Fay, S. D., & Istichomah. (2017). HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN
DENGAN MEKANISME KOPING PADA PASIEN CKD (CHRONIC
KIDNEY DISEASE) YANG MENJALANI HEMODIALISA DI RS
CONDONG CATUR YOGYAKARTA. . Jurnal Kesehatan “Samodra
Ilmu” Vol. 08 No. 01 , 64-73.
Haryono, R. (2013). Keperawatan Medikal Bedah : Sistem Perkemihan.
Yogyakarta: ANDI.
Hutagaol , E. V. (2017). PENINGKATAN KUALITAS HIDUP PADA
PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI TERAPI
HEMODIALISA MELALUI PSYCHOLOGICAL INTERVENTION DI
UNIT HEMODIALISA RS ROYAL PRIMA MEDAN. Jurnal
JUMANTIK Volume 2 nomor 1, 43-61.
Jameson, L., & Loscalzo, J. (2013). HARRISON Nefrologi dan Gangguan Asam
Basa. Jakarta: Buku Kedokteran ECG.
Jangkup, J. Y., Elim, C., & F, L. (2015). TINGKAT KECEMASAN PADA
PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK (PGK) YANG MENJALANI
HEMODIALISIS DI BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO
. Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 3, Nomor 1, , 598-605.
Juwita, L., & Kartika, I. R. (2018). Pengalaman Menjalani Hemodialisa Pada
Pasien Gagal Ginjal Kronis. Jurnal Endurance : Kajian Ilmiah Problema
Kesehatan, 1-10.
Kamasita, S. E., Suryono, Nurdian, Y., Hermansyah, Y., Junaidi, E., &
Fatekurohman, M. (2018). PENGARUH HEMODIALISIS TERHADAP
KINETIK SEGMEN VENTRIKEL KIRI PADA PASIEN PENYAKIT
GINJAL KRONIK STADIUM V. NurseLine Journal , 1-10.
Kamil, I., Agustina, R., & Wahid, A. (2018). Gambaran Tingkat Kecemasan
Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis Di RSUD Ulin
Banjarmasin . Dinamika Kesehatan, Vol 9 No. 2 Desember 2018 , 366-
378.
Kementerian Kesehatan. (2017). Situasi Penyakit Ginjal Kronis. InfoDATIN, 01.
la.musa , W., Kundre, R., & Babakal , A. (2015). HUBUNGAN TINDAKAN
HEMODIALISA DENGAN TINGKAT KECEMASAN KLIEN GAGAL
GINJAL DI RUANGAN DAHLIA RSUP Prof Dr.R. KANDOU
MANADO. ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3. Nomor 1. , 1-8.
Lisiswanti, R., Septa, T., & Diferiansyah, O. (2016). Gangguan Cemas
Menyeluruh. J Medula Unila, Volume 5, Nomor 2, 63-69.
Muttaqin, A., & Sari, K. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Muttaqin, A., & Sari, K. (2012). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Nursalam, & B, F. B. (2009). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan
Gangguan Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Patimah, I., Suryani, & Nuraeni , A. (2015). Pengaruh Relaksasi Dzikir terhadap
Tingkat Kecemasan Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani
Hemodialisa . Volume 3 Nomor 1, 7.
Pieter, H. Z., Juniwarti, B., & Saragih, M. (2011). PENGANTAR
PSIKOPATOLOGI UNTUK KEPERAWATAN. Jakarta: Kencana.
Rudy Hartyono, S. N. (2013). Keperawatan Medikal Bedah : Sistem Perkemihan.
Yogyakarta: Rapha publishing.
Sopha, R. F., & Wardani, I. Y. (2016). STRES DAN TINGKAT KECEMASAN
SAAT DITETAPKAN PERLU HEMODIALISIS BERHUBUNGAN
DENGAN KARAKTERISTIK PASIEN . Jurnal Keperawatan Indonesia,
Volume 19 No.1, 55-61.
Supriyadi, Wagiyo, & Widowati, S. R. (2011). TINGKAT KUALITAS HIDUP
PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK TERAPI HEMODIALISI. Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 1-6.

Anda mungkin juga menyukai