Bab I
Bab I
Oleh :
NADIA NURFAIZA
NIM : 201710300511045
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
1. Stadium I
Tahap stadium ini adalah tahap yang paling rigan, dimana kondisi ginjal
masih baik karena disini hanya terjadi penurunan tahap ginjal. Dalam
tahap ini kreatinin serum dan kadar BUN atau Blood Urea Nitrogen dalam
batas normal. Gangguan fungsi ginjal pada tahap ini hanya akan diketahui
dengan memberikan beban kerja yang berat, seperti tes pemekatan
kemihyang lama atau dengan mengadakan test GFR yang teliti.
2. Stadium II
Tahap stadium ini disebut dengan tahap influens ginjal, karena sudah lebih
dari 75% jaringan yang berfungsi pada ginjal rusak. Dalam tahap ini
pasien akan mengalami nokturia dan poliuria, yaitu perbandingan jumlah
kemih siang hari dan malam hari adalah 3:1 atau 4:1, bersihan kreatinin
10-30 ml/menit. Biasanya ditemukan anemia pada gagal ginjal dengan faal
ginjal di antara 5% - 25% . Faal ginjal akan sangat menurun dan
menimbulkan gejala-gejala kekurangan darah, tekanan darah naik, dan
aktivitas penderita mulai terganggu.
3. Stadium III
Tahap stadium ini adalah gagal ginjal tahap akhir atau uremia, hal ini
dikarenakan 90% dari massa nefron telah hancur atau sekitar 200.000
nefron yang utuh. Pada tahap ini penderita mulai merasakan gejala yang
cukup parah, karena ginjal tidak lagi sanggup mempertahankan
homeostatis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Pasien akan mengalami
oliguri atau pengeluaran kemih kurang dari 500/hari karena kegagalan
glomeroulus meskipun proses penyakit menyerang tubulus ginjal
[ CITATION Ari161 \l 1057 ]
2.1.3 Etiologi
Kondisi klinis yang dapat menyebabkan terjadinya PGK dapat dipengaruhi
oleh ginjal sendiri dan oleh faktor luar.
2.2 Hemodialisa
2.2.1 Definisi
Hemodialisis adalah proses terapi pengganti ginjal dengan menggunakan
selaput membran semi premiable (dialiser), yang berfungsi seperti nefron
sehingga dapat mengeluarkan produk sisa-sisa metabolisme dan mengoreksi
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal ginjal
(Ignatavicius, 2006 dalam [ CITATION Hut17 \l 1057 ]. Hemodialisis adalah
suatu proses pertukaran zat terlarut dan produk sisa tubuh dalam darah
menggunakan bantuan alat [ CITATION Ais18 \l 1057 ].
1. Pada prinsip kerja difusi racun dan zat buangan yang ada di dalam darah
berpindah ke dialisat (cairan yang memiliki komposisi kimia menyerupai
cairan tubuh normal).
2. Pada proses osmosis adalah proses berpindahnya air yang disebabkan
tenaga kimiawi dan dialisat.
3. Proses ultrafiltrasi ialah proses berpindahnya zat dan air karena perbedaan
hidrostatik di dalam darah dan dialisat [ CITATION Mut12 \l 1057 ].
2.3 Kecemasan
2.3.1 Definisi
2.3.2 Etiologi
1. Faktor Psikis
Banyak orang mengalami kecemasan yang dapat membuat seseorang
menjadi tidak berdaya karena dapat mengancam keselamatan. Hal tersebut
timbul oleh adanya ancaman luar yang dianggap membahayakan diri.
Kecemasan sebenarnya kondisi emosional dimana diri tidak memberi
respon terhadap rangsangan yang tidak menyenangkan, tiba-tiba dan sulit
dijelaskan. Kecemasan ditandai dengan adanya perubahan fisiologis dan
perilaku ketakutan, inilah yang menyebabkan kesamaan dalam
menggunakan istilah kecemasan dan ketakutan. Tingkat kecemasan dan
daya tahan seseorang berbeda ada yang sistem kecemasannya berfungsi
denga baik atau terlalu berlebihan sehingga menjadi suatu penyakit, yaitu
penyakit kecemasan.
2. Faktor Fisik
Faktor fisik dapat memnyebabkan kecemasan seperti adanya penyakit
tubuh dan obat-obatan. Beberapa penyakit yang timbulkan kecemasan
yaitu :
a. Kelainan syaraf sperti trauma kepala, infeksi otak, penyakit telinga
bagian dalam.
b. Kelainan jantung dan pembuluh darah.
c. Kelainan hormon endokrin.
d. Kelainan paru dan saluran nafas.
2. Kecemasan Sedang
3. Kecemasan Berat
Pada kecemasan berat lapangan perspsinya cenderung lebih sempit dan
cenderung memikirkan hal-hal yang lebih kecil dan mengabaikan hal-hal
lain. Pasien memerlukan pengarahan agar dapat memusatkan pada hal lain.
Respons fisiologis yang muncul pada pasien yang mengalami kecemasan
berat seperti nfas pendek, nadi dan tekanan darah naik, banyak
berkeringat, rasa sakit kepala, penglihatan kabur, dan mengalami
ketegangan. Sedangkan untuk respons kognitifnya seperti lapang presepsi
yang sempit dan tidak mampu untuk menyelesaikan masalah. Adapun
yang menjadi respon perilaku dan emosinya terlihat dari pasien yang
memiliki peasaan tidak aman dan verbalisasi yang cepat.
4. Panik
Pada kecemasan yang sudah mencapai panik lapang presepsi orang sudah
sagat sempit dan sudah mengalami gangguan hingga pasien sendiri sudah
tidak dapat mengendalikan diri dan akan kesulitan melakukan apapun
meskipun sudah diberikan arahan. Respons fisioloogis yang muncul pada
pasien yang mengalami kepanikan seperti, nafas pendek, rasa tercekik,
sakit dada, pucat, hipotensi, dan koordinasi motorik yang sengat rendah.
Sedangkan untuk respon kognitifnya adalah lapang presepsi yang sangat
sempit dan tidak dapat lagi berfikir secara logis. Adapun respons perilaku
dan emosinya terlihat agitasi, mengamuk dan marah-marah, ketakutan,
berteriak, kehilangan kontrol dan memiliki presepsi yang
kacau[ CITATION Pie11 \l 1057 ].
1. Represi
Dalam terminologi Freud, represi adalah pelepasan tanpa sengaja sesuatu
dari kesadaran. Merupakan upaya penolakan secara tidak sadar terhadap
sesuatu yang membuat tidak nyaman atau menyakitkan. Konsep tentang
represi merupakan dasar dari sistem kepribadian Freud dan berhubungan
dengan semua perilaku neurosis.
2. Reaksi Formasi
Reaksi yang mengubah raksi impuls yang tidak sesuai dapat diterima,
misalnya seseorang mempunyai impuls agresif dalam dirinya berubah
menjadi orang yang ramah dan sangat bersahabat.
3. Proyeksi
Merupakan mekanisme pertahanan diri individu yang menganggap suatu
impuls tidak baik, agresif, dan tidak dapat diterima sebagai bukan
miliknya namun milik orang lain. Misalnya “Aku tidak benci dia, tapi dia
yang benci aku” . Pada raksi ini proyeksi impuls masih dapat diterima oleh
individu tersebut.
4. Regresi
Adalah suatu mekanisme pertahanan saat individu kembali ke masa
periode awal dalam hidupnya yang lebih menyenangkan dan bebas dari
fustasi dan kecemasan yang saat ini dihadapi. Misalnya individu kembali
ke masa dia merasa lebih aman dari hidupnya dan dimanifestasikan oleh
perilakunya di saat itu seperti kekanak-kanakan dan perilaku independen.
5. Rasionalisasi
Merupakan mekanisme pertahanan kembali perilaku kita agra lebih
rasional dan dapat diterima oleh kita. Kita berusaha memaafkan atau
mempertimbangkan suatu pemikiran atau tindakan yang mengancam kita
dengan meyakinkan diri sendiri bahwa ada alasan yang rasional dibalik
pemikiran dan tindakan itu. Misalnya seesorang yang dipecat dari
pekerjaan mengatakan bahwa pekerjaan terssebut memang tidak terlalu
bagus untuknya. Hal ini dilakukan karena dengan menyalahkan objek atau
orang lain akan sedikit mengurangi ancaman pada individu.
6. Pemindahan
Suatu mekanisme pertahanan dengan memindahkkan inmpuls terhadap
objek lain karena objek yang dapat memuaskan tidak tersedia. Misalnya
seorang anak yang keal dan marah dengan orang tuanya, karena takut
maka marahnya dilimpahkan kepada adiknya.Pada mekanisme ini objek
pengganti adalah suatu objek yang menurut indiviu bukan merupakan
suatu ancaman.
7. Sublimasi
Sublimasi ialah melibatkan perubahan atau penggantian dari impuls itu
sendiri. Energi instingtual dialihkan dalam bentuk ekspresi lain yang
secara sosial bukan hanya diterima namun dipuji. Misalnya energi seksual
diubah menjadi prilaku kreatif yang artistik.
8. Isolasi
Adalah cara kita untuk menghindari perasaan yang tidak dapat diterima
dengan cara merepresikannya dan bereaksi terhadap peristiwa tersebut
tanpa emosi. Hal ini terjadi psikoterapi. Pasien berkeinginan untuk
mengatakan pada terapis tentang perasaannya namun tidak ingin
berkonfrontasi dengan perasaan yang dilibatkannya. Pasien kemudian akan
menghubungkan perasaan tersebut dengan cara pelepasan yang tenang
walau sebenarnyta ada keinginan untuk mengesplorasi lebih jauh.
9. Undoing
Individu akan melakukan perilaku atau pikiran ritual dalam upaya untuk
mencegah impuls yang tidak dapat diterima, Misalnya pada pasien dengan
gangguan obsesif komplusif, melakukan cuci tangan berulang kali demi
melpaskan pemikiran-pemikiran yang mengganggu.
10. Intelektualisasi
Sering bersamaan dengan isolasi, individu mendapatkan jarak yang lebih
jauh dari emosinya dan menutupi hal tersebut dengan analisis intelektual
yang abstrak dari individu itu sendiri [ CITATION And17 \l 1057 ]
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
Aisara, S., Azmi, S., & Yanni, M. (2018). Gambaran Klinis Penderita Penyakit
Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil
Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 7-21.
Andri, & P, Y. D. (2017). Teori Kecemasan Berdasarkan Psikoanalisis Klasik dan
Berbagai Mekanisme Pertahanan terhadap Kecemasan. Majalah
Kedokteran Indonesia Volume 57 Nomor 7, 233-237.
Annisa, D. F., & Ifdil. (2016). Konsep Kecemasan (Anxiety) pada Lanjut Usia.
KONSELOR, 93-99.
Ariani, S. (2016). Stop Gagal Ginjal dan Gangguan-Gangguan Ginjal lainnya.
Yogyakarta: Istana Media.
Arinta1, T. R. (2016). PENINGKATAN KADAR ALBUMIN PADA PASIEN
GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISIS .
Jurnal aisyah : Jurnal Ilmu Kesehatan, 1-7.
Fay, S. D., & Istichomah. (2017). HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN
DENGAN MEKANISME KOPING PADA PASIEN CKD (CHRONIC
KIDNEY DISEASE) YANG MENJALANI HEMODIALISA DI RS
CONDONG CATUR YOGYAKARTA. . Jurnal Kesehatan “Samodra
Ilmu” Vol. 08 No. 01 , 64-73.
Haryono, R. (2013). Keperawatan Medikal Bedah : Sistem Perkemihan.
Yogyakarta: ANDI.
Hutagaol , E. V. (2017). PENINGKATAN KUALITAS HIDUP PADA
PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI TERAPI
HEMODIALISA MELALUI PSYCHOLOGICAL INTERVENTION DI
UNIT HEMODIALISA RS ROYAL PRIMA MEDAN. Jurnal
JUMANTIK Volume 2 nomor 1, 43-61.
Jameson, L., & Loscalzo, J. (2013). HARRISON Nefrologi dan Gangguan Asam
Basa. Jakarta: Buku Kedokteran ECG.
Jangkup, J. Y., Elim, C., & F, L. (2015). TINGKAT KECEMASAN PADA
PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK (PGK) YANG MENJALANI
HEMODIALISIS DI BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO
. Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 3, Nomor 1, , 598-605.
Juwita, L., & Kartika, I. R. (2018). Pengalaman Menjalani Hemodialisa Pada
Pasien Gagal Ginjal Kronis. Jurnal Endurance : Kajian Ilmiah Problema
Kesehatan, 1-10.
Kamasita, S. E., Suryono, Nurdian, Y., Hermansyah, Y., Junaidi, E., &
Fatekurohman, M. (2018). PENGARUH HEMODIALISIS TERHADAP
KINETIK SEGMEN VENTRIKEL KIRI PADA PASIEN PENYAKIT
GINJAL KRONIK STADIUM V. NurseLine Journal , 1-10.
Kamil, I., Agustina, R., & Wahid, A. (2018). Gambaran Tingkat Kecemasan
Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis Di RSUD Ulin
Banjarmasin . Dinamika Kesehatan, Vol 9 No. 2 Desember 2018 , 366-
378.
Kementerian Kesehatan. (2017). Situasi Penyakit Ginjal Kronis. InfoDATIN, 01.
la.musa , W., Kundre, R., & Babakal , A. (2015). HUBUNGAN TINDAKAN
HEMODIALISA DENGAN TINGKAT KECEMASAN KLIEN GAGAL
GINJAL DI RUANGAN DAHLIA RSUP Prof Dr.R. KANDOU
MANADO. ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3. Nomor 1. , 1-8.
Lisiswanti, R., Septa, T., & Diferiansyah, O. (2016). Gangguan Cemas
Menyeluruh. J Medula Unila, Volume 5, Nomor 2, 63-69.
Muttaqin, A., & Sari, K. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Muttaqin, A., & Sari, K. (2012). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Nursalam, & B, F. B. (2009). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan
Gangguan Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Patimah, I., Suryani, & Nuraeni , A. (2015). Pengaruh Relaksasi Dzikir terhadap
Tingkat Kecemasan Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani
Hemodialisa . Volume 3 Nomor 1, 7.
Pieter, H. Z., Juniwarti, B., & Saragih, M. (2011). PENGANTAR
PSIKOPATOLOGI UNTUK KEPERAWATAN. Jakarta: Kencana.
Rudy Hartyono, S. N. (2013). Keperawatan Medikal Bedah : Sistem Perkemihan.
Yogyakarta: Rapha publishing.
Sopha, R. F., & Wardani, I. Y. (2016). STRES DAN TINGKAT KECEMASAN
SAAT DITETAPKAN PERLU HEMODIALISIS BERHUBUNGAN
DENGAN KARAKTERISTIK PASIEN . Jurnal Keperawatan Indonesia,
Volume 19 No.1, 55-61.
Supriyadi, Wagiyo, & Widowati, S. R. (2011). TINGKAT KUALITAS HIDUP
PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK TERAPI HEMODIALISI. Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 1-6.