Anda di halaman 1dari 7

Pancasila sebagai dasar filsafat negara, pandangan hidup bangsa serta ideologi

bangsa dan negara, bukanlah hanya merupakan rangkaian kata-kata yang indah
namun harus diwujudkan dan diaktualisasikan dalm berbagai bidang dalam
kehidupan bermasyarakan dan bernegara.
Aktualisasi pancasila dapat dibedakan atas dua macam yaitu aktualisasi objektif
dan subjektif. Akutualisasi pancasila yang  objektif yaitu aktualisasi pancasila
dalam berbagai bidang kehidupan kenegaraan yang meliputi kelembagaan
negara antara lain legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Selain itu juga meliputi
bidang-bidang aktualisasi lainnya seperti politik, ekonomi,hukum terutama
dalam penjabaran ke dalam undang-undang, garis-garis besar haluan negara,
hankam, pendidikan maupun bidang kenegaraan lainnya. Adapun aktualisasi
pancasila yang subjektif adalah aktualisasi pancasila pada individu terutama
dalam aspek moral dalam kaitannya dengan hidup negara dan masyarakat.
Aktualisasi yang subjektif tersebut tidak terkecuali baik warga negara biasa,
aparat penyalenggara negara, penguasa negara, terutama kalangan elit politik
dalam kegiatan politik perlu mawas diri agar memiliki moral ketuhanan dan
kemanusiaan sebagaimana terkandung dalam pancasila.

INTERNALISASI NILAI-NILAI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA


DAN BERNEGARA
Posted by Teguh Hindarto
Sebuah Refleksi Menjelang Peringatan Hari Kelahiran Pancasila

(Tulisan Terakhir)

Saat pidato pada Hari Jadi Pancasila 1 Juni 2011 lalu, mantan Presiden R.I. kedua, B.J.
Habibie dengan berapi-api mengatakan, “Reaktualisasi Pancasila semakin menemukan 
relevansinya   di   tengah  menguatnya   paham  radikalisme,   fanatisme    kelompok   dan
kekerasan  yang mengatasnamakan agama yang kembali marak beberapa waktu terakhir ini.
Saat infrastruktur demokrasi  terus    dikonsolidasikan,     sikap    intoleransi    dan     
kecenderungan         mempergunakan        kekerasan       dalam  menyelesaikan 
perbedaan,  apalagi mengatasnamakan  agama,  menjadi  kontraproduktif  bagi 
perjalanan bangsa  yang  multikultural  ini.  Fenomena  fanatisme  kelompok, penolakan
terhadap  kemajemukan  dan  tindakan  teror  kekerasan  tersebut menunjukkan  bahwa 
obsesi  membangun  budaya  demokrasi  yang  beradab,  etis  dan eksotis  serta 
menjunjung  tinggi  keberagaman  dan menghargai  perbedaan  masih  jauh  dari
kenyataan.[1]  

Keprihatinan mantan Presiden tersebut merupakan keprihatinan kita bersama. Betapa saat ini,
Pancasila sebagai buah pemikiran luhur Presiden Soekarno yang telah mempersatukan
berbagai perbedaan agama, suku, ras, budaya Indonesia dan diterima sebagai konsensus
bersama sebagai dasar negara oleh para bapak pendiri bangsa, saat ini semakin menjauh dari
ingatan warga negara Indonesia dan mulai dikhianati dengan berbagai tindakan-tindakan
kekerasan atas nama agama, korupsi yang tidak juga berhenti, tidak menghormati keputusan
hukum, berbagai tindakan amuk massa dan anarkisme yang merajalela.

Setiap lembaga sekolah memang masih mendaraskan Pancasila setiap upacara bendera pada
hati senin, Mata pelajaran PPKN masih menjadikan Pancasila sebagai bagian kurikulum
pembahasan. Namun mengapa berbagai tindakan-tindakan bangsa ini semakin hari semakin
menjauh dari nilai-nilai Pancasila? Bisa jadi karena kita saat ini hanya menghafal Pancasila
namun tidak menghayati maknanya. Bisa jadi kita saat ini mengetahui secara teoritis
Pancasila namun tidak melakukan internalisasi dan penerapan dalam konteks kehidupan
nyata.

Pengaruh Orde Baru yang sedikit banyak dituding telah menjadikan Pancasila sebagai alat
politik dan legitimasi kekuasaan menyebabkan penolakkan terhadap Pancasila yang dianggap
sebagai bagian dari produk Orde Baru. Padahal Pancasila telah dirumuskan jauh sebelum
adanya Orde Lama dan Orde Baru.

Haruskah kita meninggalkan Pancasila? Tidak! Yang kita harus tinggalkan bukan Pancasila.
Yang harus kita tinggalkan adalah sikap-sikap mempolitisir Pancasila menjadi alat
kepentingan kekuasaan. Ketika lembaga negara memberangus kebebasan berpendapat dengan
mengatasnamakan Pancasila, maka negara telah menjadikan Pancasila sebagai legitimator
tindakan-tindakannya, padahal Pancasila mengakomodir kebebasan berpendapat.

Pancasila, sebagaimana Ir. Soekarno katakan saat berpidato di hadapan BPUPKI, “Sekarang


banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan,
lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi - saya namakan ini dengan
petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah Panca Sila. Sila artinya azas atau
dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan
abadi...Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia
Merdeka, Weltanschauung kita”. 

Kita garis bawahi istilah Weltanschauung (pandangan hidup). Kita harus kembalikan


Pancasila bukan dalam makna politis melainkan sebagai filsafat dan pandangan hidup
bangsa Indonesia karena Pancasila adalah nilai-nilai yang digali dalam sikap kehidupan
Bangsa Indonesia sejak sebelum merdeka sebagaimana Ir Soekarno katakan, ‘“...Aku tolak
dengan tegas ucapan Prof. Notonegoro, bahwa aku adalah pencipta Pancasila. Pancasila
diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Aku hanya menggali Pancasila daripada buminya
Bangsa Indonesia. Pancasila terbenam di dalam bumi bangsa Indonesia 350 tahun lamanya.
Aku gali kembali dan aku sembahkan Pancasila ini di atas persada bangsa Indonesia
kembali”. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah kepribadian bangsa Indonesia
yang digali, dirumuskan, disistematisir menjadi sebuah pandangan hidup oleh Ir. Soekarno.

Jika kita memahami bahwa Pancasila adalah kepribadian bangsa, maka secara inheren
Pancasila harus menjadi gaya hidup dan dasar berpikir, berbangsa dan bernegara baik secara
nasional maupun internasional.

Dengan Sila Pertama, Ketuhanan yang Maha Esa bukan dimaksudkan bahwa agama


mayoritas dapat memaksakan kehendaknya terhadap yang minoritas. Sila pertama
memberikan jaminan hak kepada semua pemeluk agama di Republik Indonesia untuk hidup
dan mengaktualisasikan peribadahannya. Sayangnya, dalam berbagai prakteknya, masih
banyak sikap-sikap yang jauh dari pengejawantahan sila yang pertama. Sebagaimana disitir
oleh Presiden B.J. Habibie sebelumnya, berbagai kekerasan dan anarkisme atas nama agama
semakin menguat akhir-akhir ini. Dan pembiaran terjadi di mana-mana. Negara seolah
kehilangan supremasinya.

Marty Natalegawa saat menanggapi pertanyaan gencar dalam sidang kelompok Dewan Hak
Asasi Manusia PBB di Geneva mengenai kebebasan beragama di Indonesia, mengatakan
bahwa alam demokrasi yang membawa kebebasan telah memberi kesempatan pihak-pihak
yang berpandangan keras dan cenderung ekstreem untuk mengeksploitasi ruang demokrasi
demi kepentingan mereka[2]. Pernyataan ini dikomentari oleh F. Budi Hardiman sebagai,
“...pengakuan telanjang di hadapan dunia internasional bahwa pemerintah kita gagal
menjamin toleransi dalam masyarakat...”[3]. Beliau memberikan kritiknya terhadap
pemerintah, “Dalam demokrasi pemerintah memang harus toleran, tetapi hal itu tidak
berarti juga toleran terhadap intoleransi...jadi penyebab meningkatnya intoleransi bukanlah
demokrasi, melainkan suatu pemerintahan yang toleran terhadap intoleransi...”[4]. Dalam
hal ini, kita membutuhkan pemimpin dan negara yang lebih tegas mengatur kebebasan
beribadah dan mengekspresikan agamanya dan menindak berbagai sikap intoleran dan
memberangus kebebasan beragama sebagaimana terjadi akhir-akhir ini.
Dengan Sila Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, memberikan pedoman sikap
moralitas sebagai manusia Indonesia yang menegakkan keadilan dan nilai-nilai keadaban.
Yang terjadi saat ini adalah aksi-aksi ketidakberadaban di tengah-tengah masyarakat kita.
Kita saksikan kasus Mesuji dimana terjadi pembantaian penduduk dalam perselisihan soal
lahan. Beberapa tahun silam kita menyaksikan konflik di Ambon, Kalimantan yang
memperlihatkan jauhnya diri kita dari nilai-nilaia keadaban dan mementingkan kekerasan
sebagai jalan keluar penyelesaian persoalan.

Dengan Sila Ketiga, Persatuan Indonesia, kita diingatkan untuk menjadi warga Indonesia
yang bersatu dan menjaga persatuan sekalipun kita memiliki banyak perbedaaan baik agama,
suku, ras, budaya, bahasa dll. Otonomi daerah bermanfaat untuk pembangunan daerah karena
dengan status tersebut akan memberikan ruang yang cukup besar kepala daerah
memakmurkan daerahnya. Namun ekses negatifnya tentu saja menciptakan raja-raja kecil
yang menjauh dari loyalitas terhadap pusat. Berbagai ancaman daerah untuk melepaskan diri
dari NKRI karena berbagai persoalan pengelolaan sumber daya alam mmerupakan bentuk-
bentuk ancaman terhadap persatuan Indonesia yang harus dijaga.

Dengan Sila Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam


permusyawaratan/perwakilan, kita dididik untuk menyelesaikan segala sesuatu dengan cara
musyawarah untuk mufakat dan bukan pemaksaan kehendak segolongan tertentu. Nilai-nilai
luhur mengenai musyawarah telah semakin menjauh digantikan dengan pemaksaan pendapat
oleh sekelompok orang yang memiliki kekuatan. Berbagai aksi amuk massa dan anarkisme
terhadap berbagai penolakkan kebijakan pemerintah menjadi cermin menjauhnya sikap-sikap
musyawarah untuk mencapai mufakat. Mengapa pemindahan lokasi sebuah pasar harus
berakhir dengan bentrok antara aparat dan masyarakat? Apakah cara musyawarah sudah
ditempuh dengan maksimal? Dalam musyawarah diantara kedua belah pihak yang
bersengketa, mensyaratkan bukan saja rasa keadilan melainkan kerelaan dan keikhlasan
menyerahkan kepentingan-kepentingan individu dan egoisme pribadi kepada kepentingan
yang lebih besar.

Dengan Sila Kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dimaksudkan bahwa
setiap insan masyarakat Indonesia harus menjadi orang yang menegakkan nilai-nilai keadilan
sosial. Keadilan Sosial bisa dimulai dengan bersikap adil dalam keluarga, bersikap adil dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan dalam lingkungan bermasyarakat. Jika nilai-nilai ini
sudah membatin dan menjadi gaya hidup, maka ketika seseorang menempati jabatan-jabatan
fungsional publik, maka nilai-nilai keadilan sosial akan terejawantahkan dengan baik dalam
berbagai kebijakan publik demi melayani masyarakat.

Dengan mengembalikan Pancasila sebagai Pandangan Hidup, Filsafat Hidup, Gaya Hidup
maka Pancasila akan hadir sebagai sebuah kehidupan nyata masyarakat Indonesia. Pancasila
akan dilupakan masyarakat Indonesia manakala Pancasila dipenjara dan menjadi sandera
politik dan kekuasaan Tirani.

Presiden B.J. Habibie melanjutkan pidatonya dengan memberikan nasihat, “Nilai-nilai  itu 
harus  diinternalisasikan  dalam  sanubari bangsa sehingga Pancasila hidup dan
berkembang di seluruh pelosok nusantara.   Aktualisasi nilai-nilai Pancasila harus menjadi
gerakan nasional yang terencana dengan baik sehingga tidak  menjadi slogan politik yang
tidak ada implementasinya”. Dua kata kunci penting dalam pidato Habibie yaitu
“Internalisasi” dan “Gerakan Nasional”. Sayangnya anjuran tersebut tidak direspon
sebagaimana mestinya karena sampai hari ini kita belum mendengar ada gerakan nasional
yang sinergis dan terpadu menjadikan Pancasila sebagai nilai-nilai luhur yang harus
diinternalisasikan dalam sanubari bangsa.

Setidaknya pemerintah dan lembaga-lembaga sekolah melalui guru dan kurikulum


mengejawantahkan nilai-nilai pemahaman dan penghayatan Pancasila sebagai pandangan
hidup dan jati diri bangsa dengan metode-metode yang lebih konkrit melalui aksi-aksi nyata
dan bukan pemahaman teotitis belaka. Siswa sekolah tidak hanya diberikan informasi
mengenai aspek realitas historis lahirnya Pancasila melainkan bagaimana kita menerapkan
Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Apakah dengan penjelasan dan pembahasan di atas kita telah menggantikan kedudukan
Agama dan Kitab Suci dengan Pancasila? Sebuah kesimpulan naif jika kita
mengonfrontasikan Pancasila dengan Agama dan Kitab Suci. Bukankah setiap sila dalam
Pancasila merupakan pengejawantahan perilaku bangsa Indonesia yang juga bersumber dan
didukung serta diajarkan oleh masing-masing agama yang ada di Indonesia? Apakah masing-
masing agama yang ada di Indonesia tidak mengajarkan soal ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, musyawarah serta keadilan sosial? Jika semua agama menjunjung nilai-nilai luhur
tersebut maka Pancasila telah merangkumnya menjadi sebuah pedoman etik bersama agar
kita dapat hidup dan berkarya dalam berbagai perbedaan di Republik tercinta ini.

Marilah bersama-sama kita membulatkan tekad untuk melakukan internalisasi nilai-nilai


Pancasila dalam segala bidang kehidupan baik interaksi sosial, interaksi politik, interaksi
umat beragama, interaksi kebudayaan, dimulai dari kehidupan keluarga, masyarakat,
berbangsa dan bernegara menuju Indonesia yang lebih beradab. 

Daftar Rujukan

http://research.amikom.ac.id/index.php/STI/article/download/6701/4843

http://thelastmemoris.blogspot.com/2011/12/makna-aktualisasi-pancasila-dalam.html

http://teguhhindarto.blogspot.com/2012/05/internalisasi-nilai-nilai-pancasila.html

Anda mungkin juga menyukai