Anda di halaman 1dari 5

ESSAY

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

Disusun oleh :

Nama : Arya Adhi Yoga Wikrama Jaya

Nim : 018.06.0031

Kelas : A

Blok : DIGESTIVE II

Dosen : dr. Amanukarti Resi Oetomo, Sp.PD., FINASIM

UNIVRSITAS ISLAM AL-AZHAR


FAKULTAS KEDOKTERAN
MATARAM
2020
Latar Belakang

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) adalah suatu kondisi refluksnya HCL dari
gaster ke esofagus, mengakibatkan gejala klinis dan komplikasi yang menurunkan
kualitas hidup seseorang, GERD merupakan salah satu jenis gangguan pencernaan yang
cukup sering dijumpai di masyarakat sehinggadapat menurunkan kualitas hidup.Untuk
mengetahui lebih rinci bagaimana penyakit GERD ini maka akan dibahas dalam essay ini.

Isi

Definisi GERD menurut Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks


Gastroesofageal di Indonesia tahun 2013 adalah suatu gangguan berupa isi lambung
mengalami refluks berulang ke dalam esofagus, menyebabkan gejala dan/atau komplikasi
yang mengganggu. GERD adalah suatu keadaan patologis akibat refluks kandungan lambung
ke dalam esofagus dengan berbagai gejala akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan
saluran napas. Sedangkan menurut American College of Gastroenterology, GERD is a
physical condition in which acid from the stomach flows backward up into the esofagus. Jadi,
GERD adalah suatu keadaan patologis di mana cairan asam lambung mengalami refluks
sehingga masuk ke dalam esofagus dan menyebabkan gejala.

Prevalensi GERD di AmerikaUtara yaitu 18,1%-27,8% di Eropa yaitu 8,8%-25,9% di


Asia Timur 2,5%-7,8%, Australia 11,6%, dan Amerika Selatan yaitu23,0%. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan di Rumah sakit Cipto Mangun kusumo, didapatkan
peningkatan prevalensi GERD dari 5,7% padatahun 1997 sampai 25,18% pada tahun
2002, peningkatan ini terjadi akibat adanya perubahan gaya hidup yang dapat
meningkatkan faktor risiko GERD seperti merokok dan obesitas GERD ditandai dengan
berbagai manifestasi klinis, mulai dari gejala refluks tanpa makroskopis esofagitis sampai
komplikasi kronis berupa kerusakan mukosa esofageal. Heartburn adalah gejala yang paling
umum dari GERD. Pada beberapa pasien, nyeri ulu hati bisa disertai regurgitasi asam,
odinofagia, dan disfagia.7 Berbagai macam gejala paru dan otolaring juga dapat muncul.
Selain laringitis, faringitis, batuk kronis, asma, bronkiektasis, sindrom aspirasi berulang,
manifestasi ekstraesofageal dari GERD dapat termasuk mual dan muntah serta perubahan
erosif pada enamel gigi.

GERD diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu Esofagitis erosif (Erosive


Esophagitis/ERD) yang ditandai dengan adanya kerusakan mukosa esofagus pada
pemeriksaan endoskopi, sedangkan, Esofagitis non erosif (Non-Erosive Reflux
Disease/NERD) dengan gejala refluks yang mengganggu tanpa adanya kerusakan mukosa
esofagus pada pemeriksaan endoskopi.

Patogenesis GERD multifaktorial. Refluks patologis diperkirakan terjadi ketika asam


yang berbahaya dari asam lambung, empedu, pepsin, dan isi duodenum mengalahkan barier
protektif antirefluks esofagus normal, seperti bersihan asam esofageal dan resistensi mukosa.
Mekanisme utama yang mendasari GERD adalah LES (Lower Esophageal Sphincter/sfingter
esofagus bagian bawah) tidak sempurna, yang meningkatkan volume asam lambung yang
refluks ke esofagus sehingga melebihi kapasitas normal yang dapat ditolerir oleh mukosa
esofagus.

Kejadian GERD dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Studi terbaru
menunjukkan bahwa polimorfisme genetik pada gen yang mempengaruhi respon inflamasi
host, metabolisme obat, regulasi siklus sel, perbaikan DNA, mutagenesis, fungsi sensorik
esofagus terkait dengan risiko GERD.

Terdapat banyak hal yang menjadi faktor risiko GERD, di antaranya adalah obesitas,
Hernia Hiatus, merokok, konsumsi alkohol berlebihan, sindrom iritasi usus (IBS/Irritable
Bowel Syndrome) dan riwayat keluarga dengan penyakit saluran cerna. Selain itu,
penggunaan farmasi seperti antikolinergik, antidepresan, dan bronkodilator inhalasi juga
meningkatkan kemungkinan terjadinya GERD.

Untuk dapat menegakan diagnosis, dapat dilakukan Anamnesis yang cermat


merupakan cara utama untuk menegakkan diagnosis GERD, dan gejala spesifik untuk GERD
adalah heartburn dan/atau regurgitasi yang timbul setelah makan. Pada RS rujukan, sebelum
dilakukan pemeriksaan endoskopi untuk menegakkan diagnosis GERD, sebaiknya dilakukan
pemeriksaan penunjang lain untuk menyingkirkan penyakit dengan gejala yang menyerupai
GERD (laboratorium, EKG, USG, foto thoraks, dan lainnya sesuai indikasi).

Pemeriksaan penunjang untuk GERD berupa GERD-Q(Kuesioner GERD) merupakan


suatu perangkat kuesioner yang dikembangkan untuk membantu diagnosis GERD dan
mengukur respons terhadap terapi. Analisis terhadap lebih dari 300 pasien di pelayanan
primer menunjukkan bahwa GERD-Q mampu memberikan sensitivitas dan spesifisitas
sebesar 65% dan 71%, serupa dengan hasil yang diperoleh oleh gastroenterologis.
Pemeriksaan penunjaang lain berupa endoskopi saluran cerna bagian atas (SCBA), standar
baku untuk diagnosis GERD dengan esofagitis erosif adalah dengan menggunakan endoskopi
SCBA dan ditemukan adanya mucosal break pada esofagus. Pemeriksaan histopatologi
dalam diagnosis GERD adalah untuk menentukan adanya metaplasia, displasia, atau
keganasan. Pemeriksaan pH-metri 24 jam, pemeriksaan pH-metri konvensional 24 jam atau
kapsul 48 jam (jika tersedia) atau mikroelektroda yang dimasukkan di 5 cm atas LES dalam
diagnosis NERD adalah Mengevaluasi pasien-pasien GERD yang tidak berespons dengan
terapi PPI. Mengevaluasi apakah pasien-pasien dengan gejala ekstra esofageal sebelum terapi
PPI atau setelah dinyatakan gagal dengan terapi PPI. Memastikan diagnosis GERD sebelum
operasi anti-refluks atau untuk evaluasi gejala NERD berulang setelah operasi anti-refluks.

Tata laksana yang dapat dilakukan berupa tindakan terapi non-farmakologik,


farmakologik, endoskopik, dan bedah. Penatalaksanaan non-farmakologik meliputi
memodifikasi berat badan berlebih dan meninggikan kepala lebih kurang 15-20 cm pada saat
tidur, serta faktor-faktor tambahan lain seperti menghentikan merokok, minum alkohol,
mengurangi makanan dan obat-obatan yang merangsang asam lambung dan menyebabkan
refluks, makan tidak boleh terlalu kenyang dan makan malam paling lambat 3 jam sebelum
tidur. Penatalaksanaan farmakologik meliputi pemberian obat-obatan yang telah diketahui
dapat mengatasi gejala GERD meliputi antasida, prokinetik, antagonis reseptor H2, Proton
Pump Inhibitor (PPI) dan Baclofen.

Tujuan pengobatan GERD adalah untuk mengatasi gejala, memperbaiki kerusakan


mukosa, mencegah kekambuhan, dan mencegah komplikasi. Berdasarkan Guidelines for the
Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease tahun 1995 dan revisi tahun
2013, terapi GERD dapat dilakukan dengan:

1. Treatment Guideline I: Lifestyle Modification


2. Treatment Guideline II: Patient Directed Therapy
3. Treatment Guideline III: Acid Suppression
4. Treatment Guideline IV: Promotility Therapy
5. Treatment Guideline V: Maintenance Therapy
6. Treatment Guideline VI: Surgery Therapy
7. Treatment Guideline VII: Refractory GERD
Refrensi:

Diah A N. 2014. Obesity As Risk Faktor Of Gastroesophageal Reflux Disease. Medical


Journal Of Lampung University: Vol. 3, No. 7

Monica D.S et al. 2017. Diagnosis dan Tatalaksana Gastroesophageal Reux Disease
(GERD) di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer. Continuing Medical Education: Vol.
44 No.5

Anda mungkin juga menyukai