Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes Melitus (DM) adalah sekelompok penyakit metabolik yang dapat terjadi
secara genetik (DM tipe I) dan didapat (DM tipe II). DM memiliki karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Secara epidemiologis DM seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai
terjadinya diabetes memerlukan waktu lebih dari 5 tahun sebelum diagnosis ditegakkan,
sehingga angka morbiditas dan mortalitas didapatkan cukup tinggi. (Kemenkes RI, 2014).

Peningkatan kadar gula dalam darah dapat terjadi salah satunya karena faktor risiko
yang dapat diperbaharui yaitu pola diet, status gizi dan aktivitas fisik. Semakin tinggi
konsumsi karbohidrat dapat menyebabkan status gizi menjadi berlebih dan apabila tidak
diimbangi dengan aktivitas yang cukup maka dapat menyebabkan kadar glukosa darah
meningkat. Apabila Kadar glukosa darah tidak terkontrol akan dapat menyebabkan berbagai
komplikasi baik akut maupun kronis. (Harsari Rana H., Fatmaningrum Widati., Prayitno
Jongky H. 2018).

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa kejadian diabetes DM akan


meningkat,sebagaian besar dari penyakit ini adalah DM tipe II.Dalam perjalanan penyakit D
M, dapat terjadi penyulit akut dan menahun. Penyulit akut yaitu ketoasidosis diabetik (DKA)
sering terjadi pada DM I, keadaan hiperosmolar non ketotik (NKH) pada DM tipe II atau
hipoglikemia sering terjadi karena ketidak sesuai penggunaan obat anti diabetes. Penyulit
menahun dapat berupa makroangiopati yaitu peningkatan risiko penyakit arteri koroner,
strok, diabetic foot serta mikroangiopati yaitu nefropati, retinopati,
daneuropati(PERKENI,2019).
Diabetic Foot Infections (DFIs) atau biasa disebut Infeksi Kaki Diabetes (IKD) merupakan
kombinasi aterosklerosis kedua tersering setelah aterosklerosis pembuluh darah koroner; dan
yang terserang pembuluh darah tungkai bawah. Kaki diabetik juga merupakan sebab
perawatan yangcterbesar bagi pasien DM di Indonesia. Di RSCM 80% perawatan DM
disebabkan karena persoalan tukak diabetik.
Menurut WHO pada tahun 2013, penderita diabetes di dunia berjumlah sekitar 382
juta jiwa dan diperkirakan akan meningkat menjadi 592 juta jiwa pada tahun 2035.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 prevalensi diabetes di
Indonesia yang terdiagnosis dokter mencapai 1,5% dan 2,1% jika ditambahkan dengan
pasien yang memiliki gejala diabetes (Istiqomah, Rusjanti, Amaliya. 2017). Berdasarkan
profil kesehatan Provinsi Bali tahun 2017 menunjukkan penyakit diabetes mellitus
menduduki 10 besar penyakit terbanyak yang ada di seluruh puskesmas di Indonesia dengan
jumlah 16.254 kasus (DINKES Prov Bali. 2017). Berdasarkan profil kesehatan Puskesmas I
Denpasar Selatan tahun 2019, penyakit DM juga termasuk kedalam 10 besar penyakit
terbanyak di Puskesmas I Denpasar Selatan. (Puskesmas I Denpasar Selatan, 2019).

Tingginya jumlah kasus DM dan risiko komplikasi yang dapat terjadi khusunya
terkait ulkus diabetikum, maka penderita DM diharapkan agar mampu dalam melakukan
PHBS secara mandiri untuk mengontrol kadar gula darah dan mencegah terjadinya
komplikasi. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) yang dapat dilakukan antara lain
menjaga kebersihan mulut dengan menggosok gigi, menggunakan alas kaki, mengontrol
status gizi agar tetap baik dengan melaksanakan pola diet DM dan melakukan aktivitas fisik
yang cukup.

Berdasarkan masalah diatas penulis berupaya untuk melaporkan salah satu kasus di
Puskesmas I Denpasar Selatan sebagai upaya utuk meningkatkan pengetahuan dan sikap
penderita DM terhadap PHBS sebagai pencegahan komplikasi khususnya ulkus diabetikum
di Puskesmas I Denpasar Selatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh
kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas atau gangguan
fungsi insulin (resistensi insulin ), diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya
sekresi insulin, namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon
insulin secara normal, keadaan ini lazim disebut sebagai resistensi insulin (Fatimah, 2015).

2.2 EPIDEMIOLOGI
Data jumlah dan prevalensi DM di luar negeri berdasarkan atas laporan International
Diabetes Federation) (IDF) Atlas Edisi ke-6 tahun 2013, tercatat bahwa pada tahun 2013
jumlah penderita DM di dunia 382 juta orang (umur 20-79 tahun). Atas dasar jumlah dan
prevalensi di setiap negara tercatat 10 urutan negara dengan jumlah DM terbesar di dunia.
Terbesar yaitu China dengan 98,4 juta orang atau 9,62%, sedangkan Indonesia berada di
urutan ke tujuh dengan penderita 8,5 juta orang atau 5,55% (Tjokroprawiro, 2015).
Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 orang diseluruh dunia
menderita Diabetes Mellitus, atau sekitar 2.8% dari total populasi, insidennya terus
meningkat dengan cepat dan diperkirakan tahun 2030 angka ini menjadi 366 juta jiwa atau
sekitar 4.4% dari populasi dunia, DM terdapat diseluruh dunia, 90% adalah jenis Diabetes
Mellitus Tipe 2 terjadi di negara berkembang, peningkatan prevalensi terbesar adalah di Asia
dan di Afrika , ini akibat tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup seperti pola makan yang
tidak sehat, di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riskesdas (2007) dari 24.417 responden
berusia > 15 tahun , 10,2% mengalami toleransi glukosa tergangggu (kadar glukosa 140-200
mgdl setelah puasa selama 4 jam diberikan beban glucosa sebanyak 75 gram), DM lebih
banyak ditemukan pada wanita dibanding dengan pria, lebih sering pada golongan tingkat
pendidikan dan status sosial yang rendah, daerah dengan angka penderita DM yang tertinggi
adalah Kalimantan Barat dan Maluku Utara, yaitu 11.1% sedangkan kelompok usia
terbanyak DM adalah 55-64 tahun yaitu 13.5%, beberapa hal yang dihubungkan dengan
faktor resiko DM adalah Obesitas, hipertensi, kurangnya aktivitas fisik dan rendahnya
komsumsi sayur dan buah (Riskesdas, 2007).

Prevalensi nasional DM berdasarkan pemeriksaan gula darah pada penduduk usia >15
tahun diperkotaan 5,7%, prevalensi kurang makan buah dan sayur sebesar 93,6%, dan
prevalensi kurang aktifitas fisik pada penduduk >10 tahun sebesar 48,2% disebutkan pula
bahwa prevalensi merokok setiap hari pada penduduk >10 tahun sebesar 23,7% (Depkes,
2008).

2.3 PATOFISIOLOGI
terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu :
1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel B pancreas
Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena sel
sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal.Keadaan ini
lazim disebut sebagai “resistensi insulin”.Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari
obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta penuaan.Pada penderita diabetes melitus tipe 2
dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi
pengrusakan sel-sel B langerhans secara autoimun seperti diabetes melitus tipe 2. Defisiensi
fungsi insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut.
Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B menunjukan gangguan pada sekresi
insulin fase pertama,artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin.
Apabila tidak ditangani dengan baik,pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan
sel-sel B pankreas. Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali
akan menyebabkan defisiensi insulin,sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin
eksogen. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua faktor
tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.
2.4 KLASIFIKASI
Tabel Klasifikasi Etiologi DM (Konsensus PERKENI,2015)
Tipe 1 Destruksi sel beta,yang mengarah pada
defisiensi insulin absolut (Autoimun, dan
Idiopatik)
Tipe 2 Terdapat beberapa variasi yaitu: dominan
resistensi insulin dengan defisiensi
relative, hingga dominan defek sekresi
insulin dengan resistensi insulin.
Tipe Lain * Defek genetik fungsi sel beta
* Defek genetik kerja insulin
* Penyakit eksokrin pankreas
* Endokrinopati
* Efek samping obat atau zat kimia
* Infeksi
* Imunologi
* Sindrom genetik lain
Diabetes Melitus Gestasional

2.5 FAKTOR RISIKO


1. Riwayat keluarga
Faktor genetik berperan penting dalam pewarisan penyakit ini dimana seorang anak
merupakan keturunan pertama dari orang tua dengan DM. Risiko seorang anak mendapat
DM tipe 2 adalah 15% bila salah satu orang tuanya menderita DM dan kemungkinan 75%
bila kedua orang tuanya menderita DM. Pada umumnya apabila seorang menderita DM
maka saudara kandungnya mempunyai risiko DM sebanyak 10% (Kemenkes RI, 2008).
Pada suatu penelitian ditemukan beberapa kromosom yang berhubungan dengan
terjadinya DM yaitu kromosom 1q, 12q, 20q, dan 17q (Alberti et al., 2007) dan ditemukan
11 gen (TCF7L2, FTO, PPARG, KCNJ11, NOTCH2, WFS1, CDKAL1, IGF2BP2,
S1C30A8, JAZF1, dan HHEX) yang berhubungan dengan risiko terjadinya gangguan fungsi
sel β pankreas. Gen TCF7L2 merupakan gen risiko tertinggi dalam menimbulkan terjadinya
DM tipe 2 (Lyssenko et al., 2008).

2. Usia
Usia merupakan salah satu karakteristik yang berhubungan pada penderita penyakit DM
yakni dengan tingkat paparan, sikap, pengetahuan dan perilaku (Syamiyah, 2014). Menurut
International Diabetes Federation, sebesar 90-95% orang dengan DM tipe 2 biasanya
berumur lebih dari 40 tahun (Fatmawati, 2010). Semakin bertambahnya usia akan
meningkatkan risiko terjadinya DM. Adanya proses penuaan pada umur 45 tahun keatas
menyebabkan berkurangnya kemampuan sel β pankreas untuk memproduksi insulin dan
orang cenderung kurang aktivitas fisik dalam usia tersebut berat badan akan bertambah dan
massa otot akan berkurang seingga menyebabkan resistensi insulin (Alberti, 2007; Sujaya,
2009). Kebanyakan kasus DM tipe 2 terjadi pada usia dewasa, lebih banyak sesudah umur
40 tahun.

3. Jenis kelamin

Distribusi penderita DM tipe 2 menurut jenis kelamin sangat bervariasi. Di Amerika,


penderita DM lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Di beberapa
negara lain mungkin laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan.

4. Berkurangnya aktivitas fisik


Aktivitas fisik sangat mempengarui seseorang cenderung mudah terkena DM. salah
satunya adalah olahraga yang membantu dalam mengontrol berat badan agar agar tidak
berlebih dan menurunkan risiko DM. Dengan berolahraga, massa otot dapat bertambah.
Sekitar 70-90% gula darah diserap di otot maka dengan berolahraga terkait dengan
pertumbuhan massa otot akan berakibat gula darah tidak meningkat (Alberti, 2007).
Olahraga atau aktivitas fisik juga membantu untuk mengontrol berat badan. Glukosa darah
dibakar menjadi energi, dan sel-sel tubuh menjadi lebih sensitif terhadap insulin. Peredaran
darah menjadi lebih baik, dan risiko terjadinya diabetes melitus tipe 2 akan turun sampai 50
persen (Fatmawati, 2010).

5. Obesitas
Obesitas dikaitkan dengan ketidakseimbangan antara tinggi badan dan berat badan,
oleh karena kelebihan lemak dalam tubuh, yang umumnya ditimbun dalam jaringan
subkutan (bawah kulit) (Alfiyah, 2011). Pada orang dengan obesitas akan lebih banyak
mengeluarkan gliserol, sitokin, non-esterified fatty acid, hal ini akan menyebabkan
terganggunya proses masuknya glukosa dari darah ke hati, otot maupun lemak dan
menyebabkan terjadinya resistensi insulin. Ketika resistensi insulin disertai dengan
kerusakan sel β pankreas, maka sekresi insulin akan terganggu dan menyebabkan gula darah
tidak terkontrol dan menyebabkan terjadinya DM tipe 2 (Hebebrand & Hinney, 2009).
6. Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik atau diastolik. Kejadian
hipertensi dikaitkan dengan terjadinya resistensi insulin. Pada hipertensi akan terjadi
penebalan pembuluh darah arteri yang menyebabkan diameter pembuluh darah menyempit.
Hal tersebut menyebabkan proses glikogenesis (proses pembentukan glikogen dari glukosa)
di hati, lemak dan otot tergganggu (Joseph, 2010). Penderita hipertensi akan mengalami
penebalan pada dinding pembuluh darah yang menyebabkan penyempitan diameter
pembuluh darah, hal tersebut akan menggangu proses pemasukan gula ke dalam sel,
sehingga terjadi peningkatan glukosa dalam darah.

7. Merokok
Merokok telah diidentifikasi sebagai faktor risiko yang menyebabkan terjadinya
resistensi insulin. Zat nikotin yang terkandung dalam rokok akan dapat meningkatkan kadar
gula dalam darah karena nikotin akan merusak sel β pankreas (Joseph, 2010; Shara &
Soedijono, 2012). Menurut penelitian Houston, didapatkan bahwa perokok aktif memiliki
risiko 76% lebih tinggi untuk menderita DM (Irawan & Dedi, 2010).

8. Kebiasaan makan
Diet yang sehat berkaitan dengan diabetes mellitus adalah konsumsi sayur dan buah
sebagai asupan serat untuk membantu metabolisme. Sedangkan konsumsi gula atau
makanan yang terlalu manis dengan jumlah yang sangat banyak mengakibatkan
keseimbangan fungsi pankreas sebagai penghasil insulin akan terganggu. Pada pasien DM
tipe 2, kebiasaan makan yang buruk dalam waktu jangka panjang disertai dengan peningktan
berat badan dan ketidak seimbangan metabolisme tubuh menjadi faktor utama (Syamiyah,
2014).
Diet merupakan salah satu upaya mengontrol kadar gula darah dengan pengaturan
makan, baik dari segi waktu maupun kandungan makanan yang dimakan. Frekuensi makan
dibagi dalam 3 makan utama dan 2-3 makan selingan dengan interval tetap 3 jam
(Tjokoprawiro, 2012).

2.6 GEJALA KLINIS


Gejala klinis diabetes mellitus dibagi menjadi dua yaitu gejala klinis akut dan kronis.
Gejala akut diabetes mellitus adalah polifagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum),
poliuria (banyak kencing) dan nafsu makan bertambah, namun berat badan menurun.
Sedangkan gejala kronik diabetes melitus yaitu kesemutan, kulit terasa panas, kram,
kelelahan, mudah mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas,
kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada ibu hamil sering
terjadi keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih
dari 4 kg (Fatimah, 2015).

2.7 DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis DM berdasarkan kadar glukosa dalam darah yang dianjurkan
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena.Pemantauan
pengobatan dapat dilakukan melalui pemeriksaan glukosa darah kapiler menggunakan
glucometer. (Konsensus PERKENI, 2015)
Keluhan yang dapat dicurigai sebagai DM: (Konsensus PERKENI, 2015)
o Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya.
o Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria,
serta pruritus vulva pada wanita.
Tabel Kriteria Diagnosis DM (Konsensus PERKENI, 2015)
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan
kalori minimal 8 jam
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% .

Tabel Kadar Tes Laboratorium Darah Diagnosis DM dan Pre-DM (Konsensus PERKENI,
2015)
HbA1C Glukosa Darah Glukosa Plasma 2 jam Setelah
(%) Puasa TTGO
Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 mg/dL ≥200 mg/Dl
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
Normal <5,7 <100 <140

Tabel Klasifikasi Diabetic Foot menurut Wagner

2.8 PENCEGAHAN
Pencegahan penyakit diabetes melitus dibagi menjadi empat bagian yaitu:

1. Pencegahan Premordial
Pencegahan premodial adalah upaya untuk memberikan kondisi pada masyarakat
yang memungkinkan penyakit tidak mendapat dukungan dari kebiasaan, gaya hidup dan
faktor risiko lainnya. Prakondisi ini harus diciptakan dengan multimitra. Pencegahan
premodial pada penyakit DM misalnya adalah menciptakan prakondisi sehingga masyarakat
merasa bahwa konsumsi makan kebarat-baratan adalah suatu pola makan yang kurang baik,
pola hidup santai atau kurang aktivitas, dan obesitas adalah kurang baik bagi kesehatan.

2. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang termasuk
kelompok risiko tinggi, yaitu mereka yang belum menderita DM, tetapi berpotensi untuk
menderita DM diantaranya :
a. Kelompok usia tua (>45tahun)
b. Kegemukan (BB(kg)>120% BB ideal atau IMT>27 (kglm2))
c. Tekanan darah tinggi (>140/90mmHg)
d. Riwayat keluarga DM
e. Riwayat kehamilan dengan BB bayi lahir > 4000 gr.
f. Dislipidemia (HvL250mg/dl).
g. Pernah TGT atau glukosa darah puasa tergangu (GDPT).

Untuk pencegahan primer harus dikenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap


timbulnya DM dan upaya untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut. Oleh karena sangat
penting dalam pencegahan ini. Sejak dini hendaknya telah ditanamkan pengertian tentang
pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat menjaga badan agar
tidak terlalu gemuk:, dan risiko merokok bagi kesehatan.

3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit dengan
tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal penyakit. Dalam pengelolaan
pasien DM, sejak awal sudah harus diwaspadai dan sedapat mungkin dicegah kemungkinan
terjadinya penyulit menahun.
Pilar utama pengelolaan DM meliputi:
a. penyuluhan
b. perencanaan makanan
c. latihan jasmani

2.9 KOMPLIKASI
1. Komplikasi akut

Hiperglikemia, hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tiba
tiba, dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain
ketoasidosis diabetik, Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan kemolakto
asidosis.(Fatimah,2015)
2. Komplikasi kronis

Komplikasi makrovaskuler, komplikasi makrovaskuler yang umum berkembang


pada penderita DM adalah trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak),
mengalami penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan stroke (Fatimah,
2015).

2.10 PENATALAKSANAAN

Prinsip penatalaksanaan diabates melitus secara umum ada empat sesuai dengan
Konsensus Pengelolaan DM di Indonesia tahun 2006 adalah untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien DM (Fatimah, 2015).

1. Diet

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama
pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Standar yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat 60-
70%, lemak 20-25% dan protein 10-15% (Fatimah, 2015).

2. Exercise (latihan fisik/olahraga)

Latihan fisik dianjurkan untuk dilakukan secara teratur (3-4 kali seminggu) selama 30
menit (Fatimah, 2015). Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan
tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan fisik selain untuk menjaga kebugaran juga
dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan fisik yang dianjurkan berupa latihan jasmani
yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang
(PERKENI, 2011).
3. Pendidikan Kesehatan

Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan diabetes mellitus. Pendidikan


kesehatan pencegahan primer diberikan kepada kelompok masyarakat risiko tinggi.
Pendidikan kesehatan sekunder diberikan kepada kelompok pasien DM dan pendidikan
kesehatan untuk pencegahan tersier diberikan kepada pasien yang sudah mengidap DM
dengan penyulit menahun (Fatimah, 2015).

4. Farmakoterapi

a. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

Obat OHO terdiri dari obat yang memicu sekresi insulin seperti sulfunilurea dan
glinid, obat yang berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas terhadap insulin seperti
metformin dan thiazolidindion, obat penghambat glukoneogenesis seperti metformin, serta
obat yang berfungsi untuk menghambat absorbsi glukosa seperti acarbose. Sulfunilurea
bekerja dalam merangsang sel β pankreas untuk melepaskan insulin dan dosis yang
diberikan biasanya dosis rendah, karena untuk mencegah terjadinya hipoglikemia (Yusra,
2010).

Metformin merupakan obat pilihan pertama untuk pasien diabetes mellitus tipe 2,
sedangkan kombinasi sulfunilurea seperti glibenklamid dan metformin digunakan pada
pasien dengan keparahan penyakit yang ringan-sedang (Arifin et al., 2007).

b. Insulin

Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5.808 pada manusia. Insulin
mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua rantai yang dihubungkan dengan
jembatan disulfide, terdapat perbedaan asam amino kedua rantai tersebut (Fatimah, 2015).
Jenis-jenis insulin yang berdasarkan kecepatan aksi atau kerja yang digunakan untuk
penderita diabetes yaitu
insulin kerja cepat (Rapid acting insulin), insulin kerja pendek (short acting insulin), insulin
kerja menengah (Intermediate acting insulin), insulin kerjan panjang (long acting insulin),
serta insulin campuran (premixed insulin) (Wulandari &amp; Martini, 2013).

Indikasi pemberian insulin pada pasien DM adalah pasien dengan penurunan berat
badan yang cepat, hiperglikemia yang berat, ketoasidosis diabetic, gagal dengan kombinasi
OHO dosis optimal, hiperglikemia dengan asidosis laktat, hiperglikemia hiperosmolar non
ketotik, gestasional DM, stress berat, alergi terhadap OHO dan gangguan fungsi hati atau
ginjal (PERKENI, 2011).

Berikut ini adalah jenis-jenis dan penggunaan insulin (Thair, 2008).

Tabel 2. Jenis-jenis dan penggunaan insulin

No Jenis Insulin Waktu Aturan Penggunaan

1. Rapid-acting Onset : 15-30 Digunakan


menit bersamaan dengan
Peak : 30-90 saat makan.
menit
Durasi : 1-5
jam

2. Short-acting Onset : 0,5-1 Digunakan untuk


jam mencukupi
Peak : 2-5 jam kebutuhan insulin
Durasi : 2-8 stelah makan 30-60
jam menit.

3. Intermediate- Onset : 1-2,5 Digunakan untuk


acting jam memenuhi
Peak : 3-12 jam kebutuhan insulin
Durasi : 18-24 setengah hari atau 1
jam hari, biasanya
dikombinasi dengan
rapid-acting atau
short-acting.

4. Long-acting Onset : 0,5-3 Digunakan untuk


jam memenuhi
Peak : 6-20 jam kebutuhan insulin
Durasi : 20-36 seharian, biasanya
jam dikombinasi dengan
rapid-acting atau
short-acting.

5. Pre-Mixed Onset : 10-30 Digunakan 2 x sehari


menit sebelum makan,
Peak : 0,5-12 insulin pre-mixed
jam merupakankombinasi
Durasi : 14-24 antara insulin
jam intermediate-
acting dan insulin
short-acting.

(Thair, 2008).

BAB III
LAPORAN KASUS

Seorang laki-laki dengan inisial KGW, usia 67 tahun, berperawakan sedang dengan tinggi
kurang lebih 165 cm dan berat 58 kg datang ke Puskesmas I Denpasar Selatan dengan
keadaan umum sakit sedang dan kesadaran compos mentis (E4V5M6). Pasien datang
dengan keluhan utama untuk kontrol luka. Luka muncul pada punggung kaki kanan dan ibu
jari kaki kiri sejak kurang lebih 2 bulan yang lalu dan tidak kunjung sembuh. Luka berwarna
kekuningan, berbau, disertai pus dan mengeluarkan cairan bening. Keluhan lain yang
dirasakan oleh pasien adalah badan lemas dan seluruh badan terasa keram.
Pasien didiagnosis diabetes mellitus sejak kurang lebih 2 tahun yang lalu dan pasien
rutin mengontrol diri ke poli. Pasien juga rutin menggunakan obat anti diabetes. Riwayat
penyakit kronis lainnya seperti hipertensi, stroke, gagal jantung, dan gagal ginjal disangkal.
Pada keluarga tidak ada yang mengeluhkan hal yang sama seperti pasien. Keseharian pasien
hanya diam dirumah dan sudah tidak bekerja lagi. Pasien tinggal bersama istri dan anak-
anaknya. Pasien mempunyai riwayat minum kopi dan merokok sejak usia 18 tahun.
Sedangkan riwayat minum alcohol disangkal. Pasien juga menyukai makan dan minuman
manis seperti permen, dan kue. Riwayat alergi obat disangkal.
Pada saat melakukan pemeriksaan fisik pada pasien, ada vital sign didapatkan tekanan
darah 110/70mmHg, nadi 80x/menit, respirasi 20x/menit, dan suhu aksila 36,7 derajat
celcius. Pemeriksaan status general yaitu kepala dalam batas normal. Pada mata konjungtiva
tidak pucat, tidak ada ikterus dan refleks pupil isokor. Pada bibir tidak ditemukan adanya
stomatitis, atrofil papil lidah, sianosis mukosa bibir. Kelenjar getah bening dan tiroid tampak
tidak ada pembesaran. Pada pemeriksaan dada inspeksi tampak simetris antara kanan dan
kiri saat inspirasi dan ekspirasi, vokal fremitus normal pada pada dada kanan dan kiri, iktus
cordis tidak teraba. Perkusi tidak ditemukan sonor/sonor, batas jantung kiri atas di
parasternal line ICS 2 dan batas jantung kiri bawah di midcalavicula line ICS 5 sinistra,
batas jantung kanan atas di parasternal line ICS 2 sinistra, dan batas bawah jantung kanan
pada parasternal line ICS 3 dekstra. Pada auskultasi paru ditemukan suara nafas vesikuler,
tidak adanya ronkhi maupun wheezing. Pada auskultasi jantug ditemukan suara jantung 1
dan suara jantung 2 tunggal, reguler, dan tidak didapatkan adanya murmur. Pada
pemeriksaan abdomen tidak ditemukan adanya distensi, bising usus normal, tidak ada
ascites, serta tidak ada nyeri tekan. Hepar dan lien tidak teraba. Tidak didapatkan nyeri
ketok pada CVA. Pada ekstremitas atas kanan didapatkan luka pada siku yang ditutupi pus,
sedangkan pada ekstremitas bawah didapatkan luka pada tungkai kanan dibagian maleous
lateral dan tungkai kiri terdapat luka di maleous lateral serta ibu jari kaki kiri yang kukunya
telah hilang. Pada kuku lainnya tidak ditemukan adanya kuku sendok (koilonikia).
Pada pemeriksaan laboratorium 3 september 2020 didapatkan hasil pemeriksaan gula
darah puasa 150 mg/dL
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien menderita DM tipe II dengan
Diabetic Foot Wagner diterapi dengan metformin 3x500mg, memberikan edukasi mengenai
pembatasan komsumsi makanan yang mengandung glukosa tinggi seperti permen dan kue.
Melakukan perawatan luka dan edukasi mengenai cara menjaga kebersihan kaki serta
monitoring keluhan dan vital sign dan gula darah puasa.
BAB IV
PEMBAHASAN

Diabetes Melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya. Dari berbagai penelitian epidemiologis, seiring dengan perubahan pola hidup
didapatkan bahwa prevalensi DM meningkat terutama di kota besar. Ulkus diabetic
adalah kaki pada pasien diabetes mellitus yang mengalami perubahan patologis akibat
infeksi, ulserasi yang berhubungan dengan abnormalitas neurologis, penyakit vascular
perifer dengan derajat bervariasi dan atau komplikasi metabolic dari diabetes pada
ekstremitas bawah.
Pada kasus ini pasien didiagnosis dengan ulkus diabetikum region pedis sinistra et
dextra + DM type II berdasarkan keluhan saat datang ke puskesmas . luka di bagian
punggung kaki kanan dan ibu jari kaki kiri yang dialami ± 2 bulan yang lalu yang tidak
sembuh dan bertambah berat serta adanya riwayat DM sejak 2 tahun yang lalu dengan
pengobatan antidiabetik oral. Berdasarkan klasifikasi wagner penderita ini digolongkan
dalam derajat I dimana didapatkan kedalaman ulkus hanya sebatas superficial dan belum
meluas ke ligament, tendon, kapsul sendi atau fascia .
Pemeriksaan fisik pada kaki biasanya digunakan untuk menilai persepsi nyeri
superfisial, sensasi temperature dan sensasi sentuhan lembut, dan tekanan.Pada pasien ini
didapatkan pada status lokalis regio dorsum pedis sinistra terdapat luka ukuran
3cmx2cmx0,1cm dan digiti pedis I sinistra luka ukuran 2cmx1cmx0,1cm,pus (+).
Etiologi pada kasus ini dicurigai neuropati diabetic berdasarkan hasil
pemeriksaan neurologis ditemukan adanya penurunan sensasi sentuhan ringan dan nyeri
pada kaki. Diperlukan juga evaluasi rutin untuk menilai keadaan vascular pada
ekstrimitas bawah.. Pemeriksaan rutin yang harus dilakukan adalah palpasi denyut secara
bilateral dari arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior, arteri popliteal, dan arteri
femoral penting untuk menilai sirkulasi darah pada ekstrimitas bawah.
Pada pasien ini ditemukan adanya ulkus yang berbau disertai adanya pus yang
dicurigai mengalami infeksi.Infeksi pada ulkus diabetic harus dievaluasi dan di diagnosis
secara klinis berdasarkan tanda dan gejala inflamasi local. Pemeriksaan laboratorium
dapat dilakukan seperti pemeriksaan kultur darah pada luka untuk mencari etiologi
kuman penyebab infeksi dan pemilihan antibiotic yang sesuai.
Pada pasien ini hanya dilakukan pemeriksaan gula darah puasa dimana di
dapatkan peningkatan dari gula darah puasa yaitu 150 mg/dL dimana merupakan penanda
adanya regulasi gula darah yang kurang baik/
Tatalaksana pada ulkus diabetic berdasarkan atas prinsip debridement luka,
identifikasi dan penanganan infeksi, penggunaan dressing untuk mempertahankan
kelembaban penyembuhan luka, offloading/redistribusi tekanan dari luka.Pada kasus ini
pasien direncanakan untuk dilakukan debridement di ruang tindakan yang terdapat di
puskesmas.
Tindakan debridement dilakukan untuk membuang jaringan yang mati serta
mempercepat penyembuhan luka.
Debridement dapat dilakukan secara surgical, enzimatik, mekanik, biologis, atau
autolysis. Jenis debridement yang dilakukan pada pasien ini adalah surgical debridement,
dimana merupakan gold standard untuk penatalaksanaan luka kronis seperti ulkus
diabetic. Keuntungannya adalah dapat membuang jaringan nekrotik dan kalus,
menurunkan tekanan, dapat melakukan inspeksi secara luas pada ulkus, membantu
drainase dan sekresi pus, membantu optimalisasi efektifitas terapi topical serta
menstimulasi penyembuhan. Surgical debridement diperlukan untuk membuang jaringan
hyperkeratosis pada kaki diabetic untuk mengurangi tahanan pada luka sehingga dapat
mencegah kerusakan lebih lanjut dan harus dilakukan secara teliti untuk melindungi
jaringan yang sehat.
Untuk luka terinfeksi dan banyak eksudat, pemantauan luka dan pergantian
dressing luka harus dilakukan tiap 2-3 hari hingga infeksi stabil. Pada kasus ini luka telah
dibersihkan hingga jaringan sehat dan terdapat sedikit eksudat luka.
Pada pasien dengan lesi pada telapak kaki, diperlukan offloading melalui
beberapa metode atau alat untuk menggeser titik tumpuh berat badan menjauhi sisi
ulkus.Tujuan dari offloading ini adalah untuk mencegah trauma jaringan dan
menfasilitasi penyembuhan luka. Beberapa metode yang dapat dilakukan adalah meliputi
tirah baring,penggunaan kursi roda, alat bantu jalan.
Penilaian tatalaksana jangka panjang yang dilakukan meliputi debridement secara
regular dari kalus atau jaringan nekrotik untuk mengurangi tekanan dan resiko ulkus.
Kontrol gula yang ketat, pemantauan status vascular, dan neurologi, serta penggunaan
alas kaki yang sesuai akan menurunkan resiko kelanjutan ulkus pada pasien beresiko
tinggi.

Anda mungkin juga menyukai