Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Salah satu pembedahan yang sering dilakukan adalah Transurethral
Rectoplasty of the Prostate (TURP). Sindroma TURP adalah suatu keadaan klinik
yang ditandai dengan kumpulan gejala akibat gangguan neurologik,
kardiovaskuler, dan elektrolit yang disebabkan oleh diserapnya cairan irigasi
melalui vena-vena prostat atau cabangnya pada kapsul prostat yang terjadi selama
operasi. TURP masih merupakan salah satu terapi standar dari Hipertropi Prostat
Benigna (BPH) yang menimbulkan obstruksi uretra. Operasi ini sudah dikerjakan
mulai beberapa puluh tahun yang lalu di luar negeri dan berkembang terus dengan
makin majunya peralatan yang dipakai. Tapi di Indonesia ini relatif baru. Terapi
ini populer karena trauma operasi pada TURP jauh lebih rendah dibandingkan
dengan prostatektomi secara terbuka. Dalam TURP dilakukan reseksi jaringan
prostat dengan menggunakan kauter yang dilakukan secara visual. Dalam TURP
dilakukan irigasi untuk mengeluarkan sisa-sisa jaringan dan untuk menjaga
visualisasi yang bisa terhalang karena perdarahan. Karena seringnya tindakan ini
dilakuan maka komplikasi tindakan serta pencegahan komplikasi makin banyak
diketahui.
Komplikasi pasca TUR dapat dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu
komplikasi jangka pendek dan komplikasi jangka panjang. Komplikasi akut
adalah ruptur dari vesika urinaria, perforasi rectal, inkontinensia, insisi pada
orifisum uretra sehingga dapat terbentuk striktura, perdarahan, epididimitis, sepsis
dan TUR syndrome. Sementara itu komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi
antara lain adalah: ejakulasi retrograd, gangguan ereksi, inkontinensia, perlunya
operasi ulang.

1
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep dasar sindrom TURP?
2. Bagaimanakah konsep dasar asuhan keperawatan pada sindrom TURP?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui konsep dasar sindrom TURP
2. Untuk mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan sindrom TURP

1.4. Manfaat Penulisan


Untuk menambah wawasan dan memberikan informasi kepada mahasiswa
tentang konsep dasar penyakit dan konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien
dengan sindrom TURP

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Sindrom TURP


1. Anatomi Prostat
Prostat adalah sebuah organ fibromuskular sebesar kemiri yang berfungsi
sebagai kelenjar aksesori dan mengelilingai pars prostatika uretra. Kelenjar
prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak disebelah inferior buli-
buli dan membungkus uretra posterior. Berat normal pada orang dewasa > 20
gram. Prostat memiliki kapsul fibrosa yang padat dan diliputi oleh sarung prostat
jaringan ikat sebagai bagian fasia pelvis visceralis. Topografi prostat adalah
sebagai berikut.
a. Alasnya berhubungan dengan serviks vesicae
b. Puncaknya bersandar pada diafragma urogenital
c. Permukaan ventral prostat terpisah dari simfisis pubik oleh lemak
retroperitoneal dalam spatium retropubicum
d. Permukaan dorsal prostat berbatas pada ampulla recti
e. Permukaan laterokaudal berhubungan dngan musculus levator ani
f. Ductuli prostatici yang berjumlah 20-30 buah terutama bermuara ke dalam
sinus prostatica pada dinding dorsal pars prostatica urethra

Gambar 1. Anatomi Prostat

3
2. Definisi Sindrom TURP
Sindroma TURP adalah suatu keadaan klinik yang ditandai dengan
kumpulan gejala akibat gangguan neurologik, kardiovaskuler, dan elektrolit yang
disebabkan oleh diserapnya cairan irigasi melalui vena-vena prostat atau
cabangnya pada kapsul prostat yang terjadi selama operasi. Hiponatremia,
hipovolemia, dan kadang hiperamonemia mungkin terjadi (Eaton, 2003).
Menurut Purnomo (2011) TURP merupakan sebuah operasi reseksi
kelenjar prostat yang dilakukan transurethral dengan menggunakan cairan irigan
(pembilas) yang dimaksudkan menghilangkan hyperplasia prostat yang menekan
uretra. Operasi ini perlu dilakukan pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia,
karena dapat menyebabkan penekanan pada uretra yang dapat menyebabkan
penyumbatan yang pada akhirnya dapat menimbulkan hidronefrosis, dan gagal
ginjal (Purnomo, 2011).
Sedangkan menurut Srinami Dewi, dkk (2013) Transurethral Resection of
Prostate (TURP) merupakan prosedur baku dalam penatalaksanaan baku dalam
hyperplasia prostat yang disertai retensi urin akut berulang atau kronis. Prosedur
ini dilakukan dengan menggunakan alat resectoscope yang dimasukkan melalui
uretra untuk mencapai kelenjar prostat. Alat ini dapat memotong jaringan yang
menonjol ke dalam uretra prostatika dalam bentuk potongan-potongan kecil.
Potongan jaringan hasil reseksi kemudian di evakuasi dari kandung buli-buli
dengan menggunakan cairan irigasi.

3. Klasifikasi BPH
a. Early BPH

Bladder

Urethra

Enlargement of the
prostate starts to constrict
the uretra

b. Moderate BPH

4
Urethra
become
narrowed

c. Severe BPH

Urethra urethra almost


Completely obstructed

Thickened bladder wall due


to obstruction of urethra

4. Epidemiologi
Sindrom TURP adalah satu dari komplikasi tersering pembedahan
endoskopi urologi. Insiden sindrom TURP mencapai 20% dan membawa angka
mortalitas yang signifikan. Walaupun terdapat peningkatan di bidang anestesi
2,5%-20 % pasien yang mengalami TURP menunjukkan satu atau lebih gejala
sindrom TURP dan 0,5% - 5% diantaranya meninggal pada waktu perioperatif.
Angka mortalitas dari sindrom TURP ini sebesar 0,99%.

5. Etiologi
TUR Syndrome disebabkan oleh absorbsi masif dari cairan irigasi.
Absorbsi masif tergantung oleh: Proses TURP yang lama. Absorbsi meningkat
jika reseksi dilakukan lebih dari 90menit Tekanan intravaskuler meningkat karena
tinggi bagian irigasi lebih dari 60 cm di atas lokasi pembedahan. Banyak sinus

5
prostat yang terbuka. Semakin besar prostat yang direseksi, semakin banyak sinus
prostat yang terbukaJenis cairan irigan yang digunakan.
Diperkirakan 2% dari pasien yang dilakukan TURP mengalami Sindrom
TUR dari berbagai tingkat. Suatu penelitian yang dilakukan di Filipina
menunjukkan angka kekerapan sebesar 6%. Penelitian yang lain menunjukkan
frekuensi Sindoma TUR sampai 10%. Penelitian Marrero menunjukkan frekuensi
Sindrom TUR meningkat bila:
a. Prostat yang ukurannya lebih dari 45 gr.
b. Operasi yang berlangsung lebih dari 90 menit
c. Cairan irigasi 30 liter atau lebih
d. ketinggian cairan irigasi lebih dari 60 cm
Karena itu TURP hanya boleh dilakukan jika ahli bedah yakin bahwa
operasi pasti dapat diselesaikan tidak lebih dari 90 menit. Sebaliknya risiko
Sindrom TUR akan menurun bila:
a. Dipakai cairan irigasi yang tidak menimbulkan hemolisis (isotonik).
b. Tekanan cairan irigasi yang masuk (in flow) dijaga serendah mungkin.

6. Pathway
(Terlampir)

7. Patofisiologi
Sindrom TURP ini muncul intraoperatif maupun postoperatif dengan
gejala sakit kepala, kelelahan terus menerus, confusion, sianosis, dispnea, aritmia,
hipotensi dan seizure. Selain itu bisa berakibat lebih parah yaitu bisa
bermanifestasi overload sirkulasi cairan, toksisitas dari cairan yang digunakan
sebagai cairan irigasi. Sindrom TURP bisa terjadi setiap saat dan telah diobservasi
awal setelah pembedahan dimulai dan beberapa jam setelah pembedahan selesai
Jumlah cairan yang dapat memasuki daerah vaskularisasi dipengaruhi
beberapa factor, yaitu: tekanan hidrostatik dari cairan irigasi, jumlah venous sinus
yang terbuka, lama reseksi / paparan dan perdarahan vena yang terjadi. Tekanan
hidrostatis cairan irigasi yang rendah, semakin banyaknya vena yang terbuka saat

6
reseksi dan semakin lama waktu reseksi meningkatkan absorbsi air ke dalam
sistem sirkulasi.
a. Circulatory Overload (Overload Sirkulasi)
Uptake dari sejumlah kecil cairan irigasi dapat ditunjukkan pada
setiap operasi TURP melalui venous netwok of prostatic bed. Absorbsi
cairan diteliti dengan cara memeriksa udara ekspirasi dari etanol setelah
penambahan etanol sampai dengan konsentrasi lebih dari 1% ke dalam
cairan irigasi. Uptake dari 1 liter cairan dalam satu jam yang berkaitan
dengan penurunan akut dari konsentrasi natrium serum 5-8 mmol/liter
adalah jumlah volume yang secara statistic meningkatkan resiko gejala
terkait absorpsi (absorption related symptoms).
Reseksi biasanya berlangsung 45-60 menit dan rata-rata 20
mL/menit dari cairan irigasi diserap atau diabsorbsi selama operasi TURP.
Karena volume sirkulasi yang meningkat, volume darah akan meningkat,
tekanan sistolik dan diastolik meningkat dan dapat menyebabkan gagal
jantung. Absorbsi cairan mendilusi protein serum dan menurunkan
tekanan onkotik darah. Hal ini bersamaan dengan peningkatan tekanan
darah mendorong cairan dari vaskular menuju ke kompartmen interstisial,
menyebabkan edema paru dan serebri. Ditemukan pada absorbsi langsung
ke dalam sirkulasi, hampir lebih dari 70% cairan irigasi terakumulasi
dalam ruang interstisiil (periprostatik, retroperitoneal). Untuk setiap 100
ml cairan yang memasuki ruangan interstisial 10-15 mEq Na ikut masuk
ke dalamnya.
Durasi operasi berpengaruh pada jumlah absorbsi dan overload
sirkulasi. Morbiditas dan mortalitas ditemukan lebih tinggi pada operasi
dengan waktu lebih dari 90 menit. Absorbsi intravaskular dipengaruhi
ukuran prostat sedangkan absorbsi interstisial dipengaruhi integritas
kapsul prostat. Overload sirkulasi terjadi apabila berat dari prostat lebih
dari 45 gr. Faktor penting lainnya adalah tekanan hidrostatik dari prostatic
bed. Tekanan ini dipengaruhi ketinggian kolom cairan irigasi dan tekanan
dalam kandung kemih saat pembedahan. Tinggi yang ideal dari cairan

7
adalah 60 cm sehingga kira-kira 300 ml cairan dapat dihasilkan permenit
untuk mendapatkan penglihatan yang baik.
b. Water Intoxication (Keracunan Air)
Beberapa pasien dengan sindrom TURP menunjukkan gejala
intoksikasi air dan kelainan neurologis disebabkan karena peningkatan
jumlah air dalam otaknya. Pasien awalnya menjadi somnolen, inkoheren
dan gelisah. Kejang dapat berkembang menjadi koma dalam posisi
deserebrasi. Terdapat klonus dan respon Babinski positif. Papiledema,
yaitu pupil yang terdilatasi dan bereaksi lambat dapat terjadi. EEG
menunjukkan tegangan rendah bilateral. Gejala ini muncul apabila level
Natrium turun sampai di bawah 15-20 mEq/liter di bawah level normal.
c. Hyponatremia-Hiperosmolaritas
Kehilangan natrium klorida dari cairan ekstraseluler atau
penambahan air yang berlebihan pada cairan ekstraseluler akan
menyebabkan penurunan konsentrasi natrium plasma. Kehilangan natrium
klorida primer biasanya terjadi pada dehidrasi hipoosmotik dan
berhubungan dengan volume cairan ekstraseluler.
Natrium penting dalam fungsinya untuk eksitasi sel, terutama pada
jantung dan otak. Hiponatremia dapat terjadi pasien yang mengalami
TURP melalui berbagai mekanisme:
1) Dilusi serum Na akibat kelebihan absorbsi cairan irigasi
2) Hilangnya Na menuju aliran cairan irigasi pada tempat reseksi prostat
3) Hilangnya Na menuju ruangan interstisial pada periprostat dan
retroperitoneal
4) Jumlah besar glisin menstimulasi pelepasan atrial natriuretik peptida
pada kelebihan volume cairan menyebabkan natriuresis.
Gejala hiponatremia adalah gelisah, kebingungan, inkoheren, koma
dan kejang. Ketika Na serum turun sampai di bawah 120 mEq/liter,
hipotensi dan penurunan kontraktilitas miokardial terjadi. Dibawah 115
mEq/liter, bradikardi dan perluasan dari kompleks QRS pada EKG dapat
terjadi, ektopik ventrikuler dan inversi gelombang T dapat terjadi. Di
bawah 100 mEq / liter maka kejang umum, koma, henti nafas, Ventricular

8
Tachycardia (VT), Ventricular Fibrillation (VF) dan henti jantung terjadi.
Kebutuhan Na dihitung berdasarkan formula:

Sodium Deficit = Normal serum Na - Estimated serum Na x Volume of


body water

Namun gangguan fisiologis yang menyebabkan gangguan system


saraf pusat bukanlah hiponatremia tersebut melainkan hipoosmolalitas
yang terjadi. Seperti yang kita tahu bahwa sawar darah otak bersifat
impermeabel terhadap natrium namun permeabel terhadap air. Edema
serebri terjadi akibat hipoosmolalitas akut yang terjadi meningkatkan
tekanan intrakranial, menyebabkan bradikardi dan hipertensi (Cushing
reflex).
d. Glycine Toxicity (Keracunan Glisin)
Kelebihan glisin yang diabsobrsi ke sirkulasi bersifat toksik pada
jantung dan retina dan dapat menyebabkan hiperammonia. Pada pasien
glisin 1,5% berhubungan efek subakut dari miokardium, muncul sebagai
depressi atai inverse gelombang T pada EKG 24 jam setelah pembedahan.
Absorbsi lebih dari 500 ml menunjukkan dua laki resiko jangka panjang
acute myocardial infarction. ini yang menyebabkan jumlah mortalitas yang
lebih tinggi antara operasi transuretra dengan open prostatectomy masih
diperdebatkan oleh urologis hingga saat ini. Dilutional hypocalcemia juga
dapat menjadi penyebab gangguan kardiovaskular ketika glisin di
absorbsi. Namun, kalsium dijaga tetap normal secara cepat dengan
mobilisasi kalsium dari tulang.
Glisin adalah asam amino yang berperan sebagai neurotransmitter
utama pada system saraf pusat. Tempat kerja glisin adalah terutama pada
batang otak dan medulla spinalis berbeda dengan neurotransmitter lainnya
yaitu GABA yang bekerja pada area subkortikal dan kortikal area. .
Mekanisme kerjanya diakibatkan dari hiperpolarisasi dari membran
postsinaps dengan meningkatkan hantaran klorida. Pada konsentrasi tinggi
menyebabkan efek pada sistem saraf pusat dan gangguan penglihatan.
Glycolic acid, formal dan formaldehyde adalah metabolit lain dari glisin

9
yang juga menyebabkan gangguan penglihatan. Tanda seseorang
mengalami toksisitas glisin adalah mual, muntah, respirasi lambat, kejang,
spell apnoea dan sianosis, hipotensi, oligouria, anuria dan kematian.
Nilai normal glisin pada pria adalah 13-17 mg/liter. Glycine
toxicity jarang pada pasien TURP mungkin karena hampir seluruh glisin
yang diabsorbsi ditahan pada ruang periprostatik dan retroperitoneal yang
tidak memiliki efek sistemik.
e. Ammonia Toxicity (Keracunan Amonia)
Ammonia adalah produk mayor dari metabolisme glisin.
Konsentrasi ammonia yang tinggi menekan pelepasan norepinefrin dan
dopamine dalam otak. Hal ini menyebabkan encephalopati TURP
syndrome. Namun hal ini jarang terjadi pada manusia. Karakteristik
toksisitas yang terjadi adalah satu jam setelah pembedahan. Pasien tiba-
tiba mual dan muntah dan menjadi koma. Ammonia darah meningkat
menjadi 500 mikromol/liter (nilai normal: 11-35 mikromol/liter).
Hyperammonemia dapat bertahan sampai lebih dari 10 jam paska operasi
karena glisin secara kontinu diabsorbsi dari ruang periprostat.
Mekanisme mengapa hiperammonia tidak diderita oleh semua
pasien yang mengalami TURP masih belum jelas. Hiperamonia
mengimplikasikan bahwa tubuh tidak dapat memetabolisme glisin secara
sempurna melalui glisin cleavage system, citric acid cycle dan konversi
glycolic dan glioxylic acid.
Makanisme lain yang dapat menjelaskan adalah defisiensi arginin.
Amonia normalnya diubah menjdi urea dalam hati melalui ornithine cycle.
Arginin adalah produk intermediet dari siklus ini. Defisiensinya
menandakan bahwa ornithine cycle tidak berlangsung sempurna dan
terjadi akumulasi amonia.
f. Hipovolemi, Hipotensi
Tanda hemodinamika klasik dari Sindrom TURP, ketika glisin
digunakan sebagai cairan irigasi, terdiri dari transient arterial hipertension,
yang bisa tidak muncul jika pendarahan berlebihan, diikuti dengan
perpanjangan hipertensi. Pelepasan substansi jaringan prostatik dan

10
endotoksin menuju sirkulasi dan asidosis mtabolik yang bisa berkontribusi
terhadap hipotensi. Kehilangan darah saat Sindrom TURP akan
menimbulkan hipovolemia, menyebabkan kehilangan kemampuan
mengangkut oksigen secara signifikan sehingga bisa menuju iskemia
myokardial dan infark miokard. Kehilangan darah berkorelasi dengan
ukuran kalenjar prostat yang direseksi, lamanya pembedahan dan skill dari
operator. Rata-rata kehilangan darah saat TURP adalah 10ml/gram dari
reseksi prostat.
g. Gangguan Penglihatan
Salah satu komplikasi dari Sindrom TURP adalah kebutaan
sementara, pandangan berkabut, dan melihat lingkaran disekitar objek.
Pupil menjadi dilatasi dan tidak merespons. Lensa mata normal. Gejala
bisa muncul bersamaan dengan gejala lain dari Sindom TURP atau bisa
juga menjadi gejala yang tersembunyi. Penglihatan kembali normal 8-48
jam setelah pembedahan. Kebutaan TURP disebabkan oleh disfungsi
retina yang kemungkinan karena keracunan glisin. Karena itu persepsi dari
cahaya dan refleks mengedipkan mata dipertahankan dan respon pupil
terhdap cahaya dan akomodasi hilang pada kebutaan TURP, tidak seperti
kebutaan yang disebabkan karena disfungsi kortikal serebri.
h. Perforasi
Perforasi dari kandung kemih bisa terjadi saat TURP berkaitan
dengan instrumen pembedahan, pada reseksi yang sukar, distensi
berlebihan dari kantung kemih dan letusan didalam kantung kemih.
Perforasi instrumen dari kapsul prostatik telah diestimasi terjadi pada 1%
dari pasien yang melakukan TURP. Tanda awal dari perforasi, yang sering
tidak diperhatikan adalah penurunan kembalinya cairan irigasi dari
kantung kemih dan diikuti oleh nyeri abdomen, distensi dan nausea.
Bradikardi dan hipotensi arterial juga ditemukan. Selain itu juga ada resiko
tinggi kesalahan diurese spontan. Pada perforasi intraperitoneal, gejalanya
berkembang lebih cepat. Nyeri alih bahu yang berkaitan dengan iritasi
pada diafragma merupakan gejala khas Pallor, diaphoresis, rigiditas
abdomen, nausea, muntah dan hipotensi bisa terjadi. Perforasi

11
ekstraperitonial, pergerakan refleks dari ekstemitas bawah bisa terjadi.
Letusan didalam kantung kemih jarang terjadi. Kauter dari jaringan prostat
dipercaya bisa membebaskan gas yang mudah terbakar. Secara normal,
tidak cukup oksigen yang terdapat didalam kantung kemih agar bisa terjadi
letusan. Tetapi jika udara masuk bersama dengan cairan irigasi akan bisa
berakibat timbulnya ledakan.
i. Koagulopati
DIC (Disseminated Intravasculer Coagulation) bisa terjadi
berkaitan dengan pelepasan partikel prostat yang kaya akan jaringan
thrombopalstin menuju sirkulasi yang menyebabkan fibrinolisis sekunder.
Dilutional trombositopenia bisa memperbusuk situasi. DIC bisa dideteksi
pada darah dengan timbulnya penurunan jumlah platelet, FDP (Fibrin
Degradation Products) yang tinggi (FDP > 150 mg/dl) dan plasma
fibrinogen yang rendah (400 mg/dl).
j. Bakteremia, Septisemia dan Toksemia
Sekitar 30% dari semua pasien TURP memiliki urin yang terinfeksi
saat preoperatif. Ketika prostat sinus vena terbuka dan digunakan irigasi
dengan tekanan tinggi, maka bakteri akan masuk menuju sirkualsi. Pada
6% pasien, bakteremia menjadi septisemia. Absorbsi dari endotoksin
bakteri dan produksi toksin dari koagulasi jaringan akan berakibat keadaan
toksik pada pasien postoperatif. Gemetar yang parah, demam, dilatasi
kapiler dan hipertensi bisa terjadi secara temporer pada pasien ini.
k. Hipotermia
Hipotermia merupakan observasi yang selalu dilakukan pada
pasien yang akan dilakukan TURP. Penurunan dari suhu tubuh akan
mengubah situasi hemodinamika, yang mengakibatkan pasien menggigil
dan peningkatan konsumsi oksigen. Irigasi kandung kemih merupakan
sumber utama dari hilangnya panas dan penggunaan cairan irigasi pada
suhu ruangan menghasilkan penurunan suhu tubuh sekitar 1-2oC. Ini
diperburuk oleh keadaan ruangan operasi yang bersuhu dingin. Pasien
geriatri diduga akan mengalami hipotermia karena disfungsi otonom.
Vasokonstriksi dan asidosis bisa berefek pada jantung dan berkontribusi

12
terhadap manifestasi sistem saraf pusat. Menggigil juga bisa diperparah
oleh pendarahan dari tempat reseksi.

8. Manifestasi Klinis
Sindrom TUR dapat terjadi kapanpun dalam fase perioperatif dan dapat
terjadi beberapa menit setelah pembedahan berlangsung sampai beberapa jam
setelah selesai pembedahan. Penderita dengan anestesi regional menunjukkan
keluhan-keluhan sebagai berikut:
a. Pusing
b. Sakit kepala
c. Mual
d. Rasa tertekan di dada dan tenggorokan
e. Napas pendek
f. Gelisah
g. Bingung
h. Nyeri perut
Tekanan sistolik dan diastolik meningkat, nadi menurun. Bila penderita
tidak segera di terapi maka penderita menjadi sianotik, hipotensif dan dapat terjadi
cardiac arrest. Beberapa pasien dapat menunjukkan gejala neurologis. Mula-mula
mengalami letargi dan kemudian tidak sadar, pupil mengalami dilatasi. Dapat
terjadi kejang tonik klonik dan dapat berakhir dengan koma. Bila pasien
mengalami anestesi umum, maka diagnosa dari sindrom TURP menjadi sulit dan
sering terlambat. Salah satu tanda adalah kenaikan dan penurunan tekanan darah
yang tidak dapat diterangkan sebabnya. Perubahan ECG dapat berupa irama
nodal, perubahan segmen ST, munculnya gelombang U, dan komplek QRS yang
melebar. Pada pasien yang mengalami sindrom TURP, pulihnya kembali
kesadaran karena anestesi dan khasiat muscle relaxant dapat terlambat.

Anestesia Umum dan Anestesia Regional Pada TURP


Diagnosis TURP syndrome didasarkan atas gejala klinis. Dibawah
pengaruh anastesi umum, diagnosis Sindrom TURP sukar dan sering ditunda.
Tanda umum adalah peningkatan yang tidak bisa dijelaskan, kemudian tekanan

13
darah menurun dan terjadi bradikardia refrakter. Perubahan dalam EKG seperti
ritme nodal, perubahan ST, gelombang U dan pelebaran kompleks QRS dapat
diobservasi. Pengembalian dari anestesi umum dan penggunaan pelemas otot bisa
tertunda.
TURP dengan menggunakan anestesia regional tanpa sedasi (Awake
TURP) lebih dipilih daripada anestesia umum karena hal berikut:
a. Manifestasi awal dari Sindrom TURP lebih bisa dideteksi pada pasien
yang sadar.
b. Vasodilatasi periferal berfungsi untuk membantu meminimalisir overload
sirkulasi.
c. Memberikan lebih banyak tingkat analgesia postoperatif.
d. Kehilangan darah akan lebih sedikit.
Ketika dalam pengaruh anastesi regional, maka satu dari empat tanda
mayor ini dapat muncul: peningkatan tekanan darah sistolik dengan sedikit
peningkatan pada tekanan darah diastolik, denyut yang lambat, perubahan
aktivitas saraf pusat (seperti kebingungan, semicoma, gelisah, nyeri kepala, mual,
muntah).
Kongestif paru dengan tanda dyspnea, sianosis dan wheezing. Denyut
jantung menurun. Jika tidak diterapi secara cepat, maka pasien bisa mengalami
sianotik dan hipotensi dan menjadi henti jantung. Beberapa pasien muncul dengan
gejala neurologikal. Pasien menjadi lemah kemudian tidak sadar. Pupil dilatasi
dan lambat beraksi terhadap cahaya. Ini bisa diikuti dengan episode singkat dari
kejang tonik - klonik sebagai awal dari keadaan koma. Tetapi kemungkinan
fluktuasi hemodinamis yang tiba-tiba dari anestesia spinal atau epidural sebaiknya
dipertimbangkan sebelum melakukan anastesi regional.
Selama anestesia umum berbagai tanda hipovolemia terjadi pada pasien.
Gejala sistem saraf pusat tidak ditemukan sampai pasien dibwawa ke ruang
pemulihan. Tanda respirasi tidak terlihat akibat ventilasi kendali atau assisted sera
konsentrasi tinggi O2 yang digunakan dalam anestesia. Namun, ketika pasien
tersadar dari pengaruh anestesia ia akan merasa sangat mengantuk, bingung, koma
karena intoksikasi air dalam otak atau peningkatan amonia dari metabolisme
glisin.

14
9. Pemeriksaan Diagnosis
a. Urinalisa: warna kuning, coklat gelap, merah gelap atau terang (berdarah;
penampilan keruh; pH 7 atau lebih besar (menunjukkan infeksi).
b. Kultur urine: dapat menunjukkan Staphylococcus aureus, Proteus,
Klebsiella, Pseudomonas atau E. Coli.
c. ECG: Perubahan ECG dapat berupa irama nodal, perubahan segmen ST,
munculnya gelombang U, dan komplek QRS yang melebar.
d. Pemeriksaan serum elektrolit: Bila kadar Na di bawah 120 meq/liter,
terjadi hipotensi dan penurunan kontraktilitas otot jantung. Bila kadar Na
di bawah 115 meq/liter, terjadi bradikardi dan kompleks QRS yang
melebar, gelombang ektopik ventrikuler dan gelombang T yang terbalik.
Di bawah 100 meq/liter terjadi kejang-kejang, koma, gagal napas,
takikardi ventrikel, fibrilasi ventrikel, dan cardiac arrest.
e. ABG menunjukan asidosis respiratori karena gangguan pertukaran gas
pada alveoly yang disebabkan oleh alveoli terisi oleh cairan. Biasanya
PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau meningkat.

10. Penatalaksanaan
a. Menilai Airway, Breathing dan Circulation. Pertimbangkan pemasangan
intubasi jika terjadi odema paru, menilai arteri dan vena central dan
evaluasi hemodinamic dan terapi cairan.
b. Jika dideteksi saat intra operatif terjadi syndrome TUR maka tindakan
operasi harus di hentikan.
c. Jika pasien gelisah atau berontak berikan benzodiazepan atau barbiturate.
d. Kirim sample darah untuk mengetahui elektrolit, ABG, dan kougulasi.
e. Pada kasus syndrome TUR biasanya Na < 120 mEq/L
f. Jika Na < 120 mEq/L berikan terapi hipertonic salin, cairan salin 3% tidak
lebih dari 100 ml/jam diberikan kontinyu sampai sodium serum > 120
mEq/L. Sodium serum tidak akan meningkat lebih dari 12 mEq/L dalam
24 jam.
g. Jika Na > 120 mEq/L berikan furosemid dan cairan infus dihentikan.
h. Selanjutnya observasi perubahan sistemic dan frequensi darah yang keluar

15
Terapi Sindrom TURP meliputi koreksi berbagai mekanisme
patofisiologikal yang bekerja pada homeostasis tubuh. Idealnya terapi
tersebut harus dimulai sebelum tejadi komplikasi sistem saraf pusat dan
jantung yang serius. Ketika Sindrom TURP didiagnosa, prosedur
pembedahan sebaiknya diakhiri secepatnya. Kebanyakan pasien bisa
dimanajemen dengan restriksi cairan dan diuretic loop .
Identifikasi gejala awal sindrom TURP dan pencegahan, penting
untuk mencegah efek yang fatal bagi pasien yang mengalami pembedahan
endoskopik. Hiponatremia yang terjadi sebelum operasi harus dikoreksi
terutama pada pasien yang menggunakan obat-obatan diuretic dan diet rendah
garam. Antibiotic profilaksis memiliki peran dalam pensegahan bakterimia
dan septisemia. Central Venous Pressure (CVP) monitoring atau kateterisasi
arteri pulmonalis diperlukan untuk pasien dengan penyakit jantung. Tinggi
ideal cairan irigasi adalah 60 cm. Untuk mengurangi timbulnya sindroma
TURP operator harus membatasi diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari
1 jam. Di samping itu beberapa operator memasang sistotomi suprapubik
terlebih dahulu sebelum reseksi diharapkan dapat mengurangi penyerapan air
ke sistemik. Untuk kasus dengan operasi lebih dari satu jam staging TURP
harus dilakukan. Kapsul prostat harus dijaga dan distensi kandung kemih
harus dicegah. Caranya dengan sering mengosongkan kandung kemih.
Koreksi hiponatremia sebaiknya dilakukan dengan diuresis dan
pemberian salin hipertonis 3-5% secara lambat dan tidak lebih dari 0,5
meq/per 1 jam atau tidak lebih cepat dari 100 ml/jam. Tepatnya 200 ml salin
hipertonis diperlukan untuk mengkoreksi hiponatremia. Pemberian secara
cepat dari salin akan mengakibatkan edema paru dan central pontine
myelinolysis. Dua pertiga dari salin hipertonis mengembalikan serum sodium
dan osmolaritas, sedangkan 1/3 meredistribusi air dari sel menuju ruang
ekstraseluler, dimana akan diterapi dengan terapi diuretik menggunakan
furosemide.
Furosemide sebaiknya diberikan dengan dosis 1 mg/kg bb secara
intravena. Tetapi, penggunaan furosemide dalam terapi Sindrom TURP
dipertanyakan karena meningkatkan ekskresi natrium. Oleh sebab itu 15%

16
manitol disarankan sebagai pilihan, dalam kaitan dengan kerjanya yang bebas
dari ekskresi natrium dan kecenderungan untuk meningkatkan osmolaritas
ekstraseluler. Oksigen harus diberikan dengan penggunaan nasal kanul.
Edema paru sebaiknya dimanajemen dengan intubasi dan ventilasi dengan
penggunaan 100% oksigen. Gas darah, hemoglobin dan serum sodium dinilai.
Kalsium intravena bisa digunakan untuk merawat gangguan gangguan
jantung akut saat pembedahan. Kejang sebaiknya diterapi dengan diazepam /
midazolam / barbiturat / dilantin aau penggunaan pelemas otot tergantung
dari tingkat keparahannya. Gejala hiponatremia yang bisa berakibat seizure
bisa dihubungkan dengan dosis kecil dari midazolam (2-4 mg), diazepam (3-5
mg), thiopental (50-100 mg). Kehilangan darah diterapi dengan transfusi
PRC. Pada kasus dengan DIC, maka fibrinogen 3-4 gram sebaiknya diberikan
secara intravena diikuti dengan infus heparin 2000 unit secara bolus ( dan
kemudian diberikan 500 unit tiap jam). Fresh Frozen Plasma (FFP) dan
platelet juga bisa digunakan tergantung dari jenis koagulasinya.
Drainase pembedahan dari cairan retroperitoneal pada kasus perforasi
bisa menurunkan morbiditas dan mortalitas secara signifikan. Arginin dapat
diberikan sebagai tambahan infus glisin untuk menurunkan efek toksik dari
glisin pada jantung. Mekanisme bagaimana arginin memproteksi jantung
belum diketahui. Phenytoin yang diberikan secara intravena (10-20 mg/kg)
juga harus dipertimbangkan untuk memperoleh aktivitas antikonvulsan.
Intubasi endotrakeal secara umum disarankan untuk mencegah aspirasi
sampai status mental pasien menjadi normal. Jumlah dan kadar salin
hipertonik (3-5 %) diperlukan untuk mengkoreksi hiponatremia menjadi batas
/ level yang aman, yang didasarkan konsentrasi serum sodium pasien. Solusi
salin hipertonis harus tidak diberikan dengan kecepatan tidak lebih dari 100
ml/jam sehingga tidak menimbulkan eksaserbasi overload dari cairan
sirkulasi. Hipotermi dapat dihindari dengan meningkatkan suhu ruang
operasi, penggunaan selimut hangat dan menggunakan cairan irigasi dan
intravena yang telah dihangatkan sampai suhu 37oC. Manajemen pasien yang
mengalami koma harus meliputi oksigenasi, sirkulasi yang memadai,
penurunan tekanan intrakranial, penghentian kejang, terapi infeksi, menjaga

17
keseimbangan asam basa dan elektrolit dan suhu tubuh. Pemantauan yang
dilakukan glukosa, elektrolit (Na, K, Ca,. Cl, CO3, PO4), urea kreatinin,
osmolaritas, glisin, dan amonia. Pemeriksaan gas darah dapat melihat pH,
PO2, PCO2, dan karbonat. Perlu juga dilakukan EKG untuk memonitor fungsi
kardiovaskular.

11. Pencegahan
Identifikasi gejala-gejala awal sindrom TUR diperlukan untuk mencegah
manifestasi berat dan fatal pada pasien-pasien dengan pembedahan urologi
endoskopik. Bila diketahui adanya hiponatremi yang terjadi sebelum operasi
terutama pada pasien-pasien yang mendapat diuretik dan diet rendah garam harus
segera dikoreksi. Karena itu pemeriksaan natrium sebelum operasi TUR perlu
dilakukan. Pemberian antibiotik profilaktik mungkin mempunyai peran penting
dalam pencegahan bakteremia dan septicemia. Untuk penderita-penderita dengan
penyakit jantung, perlu dilakukan monitoring CVP atau kateterisasi arteri
pulmonalis.
Tinggi cairan irigasi yang ideal adalah 60 cm dari pasien. Lamanya operasi
TURP tidak boleh lebih dari 1 jam. Bila diperlukan waktu lebih dari 1 jam, maka
TURP sebaiknya dilakukan bertahap. Pemeriksaan natrium serum sebaiknya
dilakukan tiap 30 menit dan perlu dilakukan koreksi sesuai dengan hasil serum
natrium. Perlu dilakukan pemberian furosemid profilaksis untuk mencegah
overload cairan. Bila perlu dilakukan transfusi darah, sebaiknya dilakukan dengan
PRC bukan dengan whole blood. Perlu dilakukan pencegahan hipotermi misalnya
dengan menghangatkan cairan irigasi sampai 37oC.

12. Komplikasi
a. Komplikasi Jangka Pendek
1) Perdarahan
Komplikasi tersering pasca TURP adalah perdarahan. Perdarahan dapat
disebabkan oleh spasme prostat ataupun pergerakan. Teknik hemostasis saat
pembedahan yang baik dan pemasangan kateter dan inflasi balon yang cukup
dapat mengontrol perdarahan yang terjadi. Sumber perdarahan umumnya berasal

18
dari pembuluh darah vena. Tindakan yang dapat dilakukan pada pasien dengan
komplikasi ini adalah: pemeriksaan tanda vital tiap 4 jam, observasi jumlah dan
warna urin tiap 2 jam, tingkatkan irigasi dari kandung kemih untuk mencegah
terjadinya obstruksi.
Pasien dapat diminta untuk tetap berbaring atau separuh duduk. Hal ini
dikarenakan posisi duduk dapat mengakibatkan peningkatan aliran balik dan
tekanan kandung kemih sehingga mengakibatkan terjadinya perdarahan.
Tatalaksana yang dilakukan adalah penggantian darah yang terbuang, dapat
dengan tranfusi atau cairan intra vena lainnya. Hal ini ditujukan untuk mencegah
terjadinya syok hipovolemik.
Perdarahan dapat pula terjadi setelang selang beberapa hari hingga minggu
pasca operasi. Hal ini dapat terjadi akibat aktivitas fisik yang berat atau kontraksi
dari vasika urinaria. Untuk mencegahnya, pasien diinstruksikan untuk meminum
air minimal 12 gelas per hari dan menghindari konsumsi alkohol, kafein dan
makanan pedas yang dapat menstimulasi kandung kencing. Pasein hendaknya
tidak melakukan aktivitas yang berat selama paling tidak 2 minggu. Juga pasien
hendaknya diminta untuk kembali ke dokter apabila perdarahan yang terjadi tidak
berhenti dalam 1 jam setelah penghentian aktivitas maupun peningkatan frekuensi
minum.
2) Infeksi-Bakteremia
Bakteri yang berada di saluran kencing dapat memasuki sirkulasi sistemik
melalui pembuluh darah prostat yang terbuka saat pembedahan. Pasien-pasien
berkateter memilki resiko 50% lebih tinggi. Semakin lama kateter terpasang,
semakin besar pula resiko terjadinya infeksi. Dilaporkan bahwa terdapat bakteri
pada urin pasien yang telah 10 hari dipasangi kateter. Kejadian infeksi saluran
kemih bisanya terjadi pada saat 2 minggu pasca operasi. Bila pemasangan kateter
jangka panjang diperlukan pasca TURP, maka perlu dilakukan perawatan yang
seksama dan hati-hati. Komplikasi terberat adalah berupa syok septik yang terjadi
pada saat bakteri berhasil memasuki sirkulasi sistemik. Bakteremia dapat diatasi
dengan pemberian antibiotik aminoglikosida sebelum pembedahan. Irigasi dari
kateter harus selalu menjadi perhatian. Tanda-tanda dari syok septik yang perlu

19
diwaspadai antara alin adalah: mengigil, hipotensi yang mendadak, takikardi dan
hipertermia.
3) Obstruksi Kateter
Kateter urin dapat tersumbat oleh bekuan darah atau sisa sisa jaringan.
Untuk mengatasinya dapat dilakukan irigasi untuk membuang bekuan dan debris.
Pembersihan bekuan juga dapat dilakukan dengan memindah-mindahkan posisi
berbaring pasien. Irigasi dapat dilakukan secara berkala (intermitten blader
irigation) atau terus menerus (continous blader irrigation). Cairan yang
digunakan adalah normal salin. Irigasi dilakukan hingga didapatkan cairan yang
keluar berwarna jernih atau merah terang.

b. Komplikasi Jangka Panjang


Sebagian besar pasien tidak mengalami masalah jangka panjang setelah
menjalani TURP. Namun beberapa efek jangka panjang yang dapat dialami
setelaha menjalani TURP antara lain adalah:
1) Ejakulasi retrograde
Salah satu komplikasi pasca operasi TURP adalah “dry orgasm” atau
ejakulsai retrograd. Kondisi ini terjadi pada 65% pasien. Saat ejakulasi terjadi,
semen yang diproduksi justru dikeluarkan ke arah kandung kemih, bukannya ke
arah penis seperti sebagaimana mestinya. Kondisi ini tidak berbahaya. Semen
akan dikeluarkan saat pasien buang air kecil. Gairah seksual dan pencapaian
orgasme tidak terganggu.
2) Disfungsi ereksi
Nervus yang mengendalikan ereksi secara anatomis terletak di dekat
kelenjar prostat. Nervus ini bisa saja rusak saat operasi dilakukan. Namun banyak
penelitian menyatakan bahwa TURP tidak mengakibatkan gangguan ereksi.
Beberapa trial justru menyatakan bahwa fungsi ereksi justru membaik pasca
dilakukannya TURP.
3) Kelenjar prostat yang membesar lagi
Komplikasi lainnya adalah terbentuknya jaringan fibrotik. Hal ini dapat
mengakibatkan terjadinya striktur uretra atau kontraksi dari leher kandung
kemih.kurang dari 7% pasien yang mengalami komplikasi ini. Intervensi bedah

20
diperlukan untuk mengatasi komplikasi ini. Selain itu, kelenjar prostat juga dapat
mengalami pembesaran kembali setelah dilakukannya operasi. Hal ini terjadi pada
5% pasien yang menjalani TURP. Hal ini dapat mengakibatkan seorang pasien
dapat menjalani TURP lebih dari satu kali. Dari hasil penelitian didapatkan hanya
15% pasien yang memerlukan pembedahan lagi pasca ditangani dengan TURP.
4) Inkontinensia
1 dari 50 pasien yang menjalani TURP mengalami inkontinensia.
Inkontinensia dapat terjadi bila otot sphincter di leher kandung kemih rusak saat
operasi dilakukan.

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Sindrom TURP


1. Pengkajian
a. Primary Survey
1) Airway
Pada pasien dengan syndrome TUR pada jalan nafas biasanya tidak
ada gangguan.
2) Breathing
Pada pengkajian breathing pada pasien dengan syndrome TUR
biasanya mengalami retraksi otot bantu pernapasan, pernapsan pendek
dan dangkal serta hipoksia.
3) Circulation
Pada pasien yang mengalami syndrome TUR akan mengalami tekanan
darah meningkat, bradikardi, sianosis, konjungtiva anemis dan aritmia
jantung.
4) Disability
Beberapa pasien dengan sindrom TUR menunjukkan gejala dari
keracunan air karena meningkatnya kadar air dalam otak. Penderita
menjadi somnolen, inkoheren dan gelisah. Dapat terjadi kejang-kejang
dan koma.

21
Tindakan awal pada syndrome TURP :
1) Menilai Airway, Breathing dan Circulation. Pertimbangkan
pemasangan intubasi jika terjadi odema paru, menilai arteri dan vena
central dan evaluasi hemodinamic dan terapi cairan.
2) Jika dideteksi saat intra operatif terjadi syndrome TUR maka 
tindakan operasi harus di hentikan
3) Jika pasien gelisah atau berontak berikan benzodiazepan atau
barbiturat
4) Kirim sample darah untuk mengetahui electrolit, ABG, dan kougulasi
5) Pada kasus syndrome TUR biasanya Na < 120 mEq/L
6) Jika Na < 120 mEq/L berikan terapi hipertonic salin, cairan salin 3%
tidak lebih dari 100 ml/jam diberikan kontinyu sampai sodium serum
> 120 mEq/L. Sodium serum tidak akan meningkat lebih dari 12
mEq/L dalam 24 jam.
7) Jika Na > 120 mEq/L berikan furosemid dan Cairan infus dihentikan.
8) Selanjutnya observasi perubahan sistemic dan frequensi darah yang
keluar

b. Secondary Survey
1) Identitas
Nama, jenis kelamin laki-laki >60 thn, +80% laki-laki usia 80 thn,
suku bangsa / latar belakang kebudayaan, agama, status sipil,
pendidikan, pekerjaan dan alamat
2) Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama
Pada sindrome TUR biasanya pasien mengeluh sesak napas dan
kesadaran menurun.
b) Riwayat kesehatan sekarang
Sindrome TUR biasanya terjadi pada pasien BPH dengan post
operasi TURP kemudian mengeluh sesak nafas, kesadaran menurun
dan gangguan keseimbangan cairan tubuh serta gangguan
cardiopulmunal.

22
c) Riwayat kesehatan dahulu
Pernah mengalami BPH kemudian dilakukan operasi TURP.
d) Riwayat kesehatan keluarga
Pada keluarga biasanya ada anggota keluarga yang pernah
mengidap BPH.
3) Data Dasar Pengkajian Paisen
a) Sirkulasi
Tanda: peninggian tekanan darah
b) Eliminasi
Gejala: penurunan kekuatan/dorongan aliran urine; tetesan, keragu-
raguan pada berkemih awal, ketidakmampuan untuk
mengosongkan kandung kemih dengan lengkap; dorongan
dan frekuensi berkemih, nokturia, dysuria, hematuria,
duduk untuk berkemih, ISK berulang, riwayat batu (statis
urinaria), konstipasi (protrusi prostat kedalam rektum).
Tanda: masa padat dibawah abdomen bawah (distensi kandung
kemih), nyeri tekan kandung kemih. Hernia inguinalis,
hemoroid (mengakibatkan peningkatan tekanan abdominal
yang memerlukan pengosongan kandung kemih mengatasi
tahanan).
c) Makanan/cairan
Gejala: anoreksia, mual, muntah. Penurunan berat badan.

d) Nyeri/keamanan
Gejala: nyeri suprapubis, panggul atau punggung, tajam, kuat
(pada prostatitis akut). Nyeri punggung bawah.
e) Keamanan
Gejala: demam
f) Seksualitas
Gejala: masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan
seksual. Takut inkontinensia/menetes selama hubungan
intim. Penurunan kekuatan kontraksi ejakulasi.

23
Tanda: pembesaran, nyeri tekan prostat
g) Penyuluhan/pembelajran
Gejala: riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal.
Penggunaan antihipertensif atau antidepresan, antibiotik urinaria
atau agen antibiotic, obat yang dijual bebas untuk flu/alergi obat
mengandung simpatomimetik.
4) Pemeriksaan Fisik
a) B1 breath: distress napas, odem paru, hipoksia, sianosis
b) B2 blood: hipertensi, aritmia.
c) B3 brain: penurunan kesadaran, TIK↑, konfusi sampai koma.
d) B4 bladder: gagal ginjal akut.
e) B5 bowel: mual, muntah.
f) B6 bone: kelemahan pada otot dan tulang.
5) Pemeriksaan Penunjang
a) Urinalisa: warna kuning, coklat gelap, merah gelap atau terang
(berdarah; penampilan keruh; pH 7 atau lebih besar (menunjukkan
infeksi).
b) Kultur urine: dapat menunjukkan Staphylococcus aureus, Proteus,
Klebsiella, Pseudomonas atau E. Coli.
c) ECG: Perubahan ECG dapat berupa irama nodal, perubahan
segmen ST, munculnya gelombang U, dan komplek QRS yang
melebar.
d) Pemeriksaan serum elektrolit: Bila kadar Na di bawah 120
meq/liter, terjadi hipotensi dan penurunan kontraktilitas otot
jantung. Bila kadar Na di bawah 115 meq/liter, terjadi bradikardi
dan kompleks QRS yang melebar, gelombang ektopik ventrikuler
dan gelombang T yang terbalik. Di bawah 100 meq/liter terjadi
kejang-kejang, koma, gagal napas, takikardi ventrikel, fibrilasi
ventrikel, dan cardiac arrest.
e) ABG menunjukan asidosis respiratori karena gangguan pertukaran
gas pada alveoly yang disebabkan oleh alveoli terisi oleh cairan.
Biasanya PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau meningkat.

24
2. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi
sekunder pada TUR-P.
2) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penyerapan cairan berlebih.
3) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan
peningkatan tekanan intracranial.
4) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
5) Resiko cidera berhubungan dengan tindakan pembedahan.

3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa NOC NIC
1. Nyeri akut Pain Management
berhubungan 1. Lakukan pengkajian nyeri
1. Pain Level
dengan spasmus secara komprehensif termasuk
2. Pain Control
kandung kemih dan lokasi, karakteristik, durasi,
3. Comfort Level
insisi sekunder frekuensi, kualitas dan faktor
Kriteria hasil:
pada TUR-P presipitasi
a. Mampu mengontrol
2. Observasi reaksi nonverbal
nyeri (tahu penyebab
dari ketidaknyamanan
nyeri, mampu
3. Gunakan tehnik komunikasi
menggunakan tehnik
terapeutik untuk mengetahui
nonfarmakologi untuk
pengalaman nyeri pasien
menguragi nyeri,
4. Bantu pasien dan keluarga
mencari bantuan)
untuk mencari dan
b. Melaporkan bahwa nyeri
menemukan dukungan.
berkurang dengan
5. Kurangi faktor presipitasi
menggunakan
nyeri
manajemen nyeri
6. Pilih dan lakukan penaganan
c. Mampu mengenai nyeri
nyeri (farmakologi, non
(skala, intensitas,
farmakologi dan
frekuensi dan tanda

25
nyeri) interpersonal)
d. Menyatakan rasa 7. Ajarkan teknik non
nyaman setelah nyeri farmakologi
berkurang 8. Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
9. Evaluasi keefektifan kontrol
nyeri
10. Tingkatkan istirahat

2. Kelebihan volume Fluid Management


cairan berhubungan 1. Pertahankan catatan intake
1. Electrolit and acit base
dengan penyerapan dan output yang adekuat
balance
cairan berlebih 2. Monitor hasil Hb yang sesuai
2. Fluid balance
dengan retensi cairan (BUN,
3. Hydration
Hmt, osmolalitas)
Kriteria hasil:
3. Monitor vital sign (BP, HR
a. Terbebas dari edema,
dan RR)
efusi, anaskara
4. Monitor indikasi retensi /
b. Bunyi nafas bersih, tidak
kelebihan cairan (cracles,
ada dyspnea/ortopneu
CVP, edema, distensi vena
c. Terbebas dari distensi
leher, asites)
vena jugularis, reflek
5. Monitor status nutrisi
hepatojugularis (+)
6. Batasi masukan cairan pada
d. Memelihara tekanan
keadaan hiponatremi dilusi
vena sentral, tekanan
dengan serum Na < 130 mEq/l
kapiler paru, output
7. Kolaborasi pemberian diuretic
jantung dan vital sign
sesuai intruksi
dalam batas normal
Fluid Monitoring

26
1. Tentukan riwayat jumlah dan
tipe intake cairan dan
eliminasi
2. Tentukan kemungkinan faktor
risiko dan ketidakseimbangan
cairan (hipertermia, terapi
diuretic, kelainan renal, gagal
jantung, diaprosis, disfungsi
hati, dan lain-lain)
3. Monitor tanda dan gejala
odema

3. Risiko 1. Circulation status Peripheal Sensation


ketidakefektifan 2. Tissue Prefusion: Management
perfusi jaringan cerebral 1. Monitor adanya daerah
otak berhubungan Kriteria hasil: tertentu yang hanya peka
dengan a. Tekanan sistol dan terhadap panas / dingin / tajam
peningkatan diastol dalam rentang / tumpul
tekanan normal (120/80 mmHg) 2. Monitor adanya paratese
intrakranial b. Tidak ada 3. Batasi gerakan pada kepala,
ortostatikhipertensi leher dan punggung
c. Tidak ada tanda-tanda 4. Monitor kemampuan BAB
peningkatan intrakranial 5. Monitor adanya
(tidak lebih dari 15 tromboplebitis
mmHg) 6. Kolaborasi pemberian
d. Menunjukkan fungsi analgetik
sensori motori kranial
yang utuh: tingkat
kesadaran membaik,
tidak ada gerakan
involunter

27
4. Resiko infeksi Infection Control
berhubungan 1. Bersihkan lingkungan setelah
1. Immune status
dengan prosedur dipakai pasien lain
2. Knowladge : Infekction
invasif: alat selama 2. Gunakan sabun antimikroba
control
pembedahan, untuk cuci tangan
3. Risk control
kateter, irigasi 3. Cuci tangan sebelum da
Kriteria hasil :
kandung kemih sesudah tindaka keperawatan
a. Klien bebas dari tanda
sering 4. Berikan terapi antibiotik bila
dan gejala infeksi
perlu
b. Mendeskripsikan proses
Infection Protection
penularan penyakit,
1. Monitor tanda dan gejala
faktor yang
infeksi
mempengauhi penularan
2. Monitor kerentannan terhadap
serta
infeksi
penatalaksanaannya
3. Pertahankan tehnik aseptik
c. Menunjukkan
pada pasien
kemampuan untuk
4. Inspeksi kondisi luka
mencegah timbulnya
5. Dorong masukan nutrisi yang
infeksi
cukup
6. Dorong masukan cairan
7. Dorong istirahat
8. Ajarkan pasien dan keluarga
tentang tanda dan gejala
infeksi
9. Ajarkan cara menghindari
infeksi

5. Resiko cidera Environment Management


berhubungan 1. Sediakan lingkungan yang
1. Risk control
dengan tindakan aman untuk pasien
Kriteria hasil:
pembedahan. 2. Memasang side rail tempat
tidur

28
3. Mengontrol lingkungan dari
kebisingan
a. Pasien terbebas dari
4. Memindahkan barang-barang
cedera
yang dapat membahayakan
b. Pasien mampu
5. Menganjurkan keluarga untuk
menjelaskan
menemani pasien
cara/metode untuk
6. Berikan penjelasan pada
mencegah injur/cedera
pasien dan keluarga atau
c. Pasien mampu
pengunjung adanya perubahan
menjelaskan faktor
status kesehatan dan penyebab
risiko dari
penyakit
lingkungan/perilaku
personal
d. Mampu memodifikasi
gaya hidup untuk
mencegah injuri
e. Menggunakan fasilitas
kesehatan yang ada
f. Mampu mengenali
perubahan status
kesehatan

4. Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah dibuat.

5. Evaluasi
Evaluasi dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya
dalam perencanaan, membandingkan hsil tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dan menilai
efektivitas proses keperawatan mulai dari pengkajian, perencanaan, dan
pelaksanaan.

29
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Sindroma TUR adalah kumpulan tanda dan gejala yang terjadi pada
penderita yang menjalani operasi TURP yang disebabkan karena penyerapan
cairan irigasi dalam jumlah besar. Dalam penanganan sindroma TUR, yang paling
penting adalah diagnosa dini yang memerlukan kerja sama yang baik antara ahli
bedah dan ahli anestesi. Diagnosa dini dari sindrom TUR dan penanganan yang
tepat banyak menurunkan angka kematian sindroma TUR ini.

3.2 Saran
Diharapkan kepada mahasiswa dapat memahami dan mengetahui tentang
konsep dasar penyakit dan konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien dengan
sindrom TURP sehingga mampu memberikan asuhan keperawatan
kegawatdaruratan sistem perkemihan yang cepat dan tepat dengan masalah yang
dialami pasien.

30
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, S., dkk. 2013. Jurnal Medicine: Perbedaan osmolalitas dan pH darah pada
tindakan Transurethral resection of prostat (TURP) yang diberikan
natrium laktat hipertonik ml/KgBB dengan natrium klorida 0,9% 3
ml/KgBB.

Huda. N, Kusuma, H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosis Medis & NANDA NIC–NOC. Jogjakarta: MediAction.

Pitna, N., Homy, F., Lestari, F. A. 2016. Transurethral Resection of Prostate


(TURP) Syndrome. Makasar: Universitas Patria Artha.

Prabowo, E. dan Pranata, A. E. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem


Perkemihan: Pendekatan NANDA NIC dan NOC. Yogjakarta: Numed.

Purnomo, B. 2011. Dasar-Dasar Urologi Edisi Ketiga. Jakarta: Sagung Seto.

Tanagho, E. A., Mc Anninch, JW. 2008. Chapter 10 Retrograde Instrumenstation


in Urinary Tracts in Smith’s General Urology 17th Edition. New York:
Mc Graw Hill.

31
32

Anda mungkin juga menyukai