Anda di halaman 1dari 38

Laporan Kasus Kematian

Disfungsi Otonom Pada Tetanus

Oleh:

dr. Andra Vernandi

Pembimbing:

dr. Mukhlisa Sp.N

dr. Andika Okparasta, Sp.S (K)

DEPARTEMEN NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA


RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus kematian yang berjudul ”Disfungsi Otonom Pada Tetanus”.
Laporan kasus ini bertujuan sebagai salah satu sarana pembelajaran dan salah
satu syarat untuk menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP DR. Moh. Hoesin
Palembang.

Penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. Mukhlisa Sp.N dan dr.
Andika Okparasta, Sp.S (K) selaku pembimbing yang telah memberikan
bimbingan selama penulisan dan penyusunan laporan kasus ini, serta semua
pihak yang telah membantu hingga selesainya laporan kasus ini.

Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan


kasus ini disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan demi perbaikan di
masa yang akan datang

Palembang, 5 April 2021

dr. Andra Vernandi

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................... 1

KATA PENGANTAR ..................................................................... 2

DAFTAR ISI .................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 4

BAB II LAPORAN KASUS ............................................................. 5

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ................................................... 25

BAB IV ANALISA KASUS ............................................................ 56

BAB V KESIMPULAN ................................................................... 58

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 59

3
4

BAB I

PENDAHULUAN

Tetanus adalah penyakit infeksi akut disebabkan eksotoksin yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani, ditandai dengan peningkatan kekakuan umum dan kejang- kejang otot
rangka. Clostridium tetani adalah kuman bentuk batang, bersifat anaerob obligat, dan
dapat membentuk spora. C. tetani dapat masuk ke tubuh manusia melalui tusukan luka,
robekan, kerusakan kulit, atau inokulasi dengan jarum suntik atau gigitan serangga yang
terinfeksi, prosedur pembedahan, suntikan intramuskular, fraktur multipel, infeksi gigi,
dan gigitan anjing. Spora dapat dorman di lingkungan tertentu dalam jangka waktu yang
lama sebelum berubah menjadi bentuk vegetatif yang memproduksi eksotoksin
tetanospasmin.1,2,3

Sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat signifikan
di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk, juga penatalaksanaan
tetanus modern membutuhkan fasilitas intensive care unit (ICU) yang jarang tersedia di
sebagian besar populasi penderita tetanus berat. Di negara berkembang, mortalitas tetanus
melebihi 50% dengan perkiraan jumlah kematian 800.000-1.000.000 orang per tahun,
sebagian besar pada neonatus. Kematian tetanus neonatus diperkirakan sebesar 248.000
kematian per tahun.1 Di bagian Neurologi RS Hasan Sadikin Bandung, dilaporkan 156
kasus tetanus pada tahun 1999-2000 dengan mortalitas 35,2%. Pada sebuah penelitian
retrospektif tahun 2003- Oktober 2004 di RS Sanglah didapatkan 54 kasus tetanus dengan
mortalitas 47%.4,5,6

Insiden tetanus neonatal menurun karena vaksinasi rutin di seluruh dunia, yang
dikombinasikan dengan vaksin lain, pertusis, dan difteri (DPT). Terjadinya tetanus pada
neonatus sebagian besar disebabkan oleh vaksinasi bayi yang tidak lengkap. Pada tahun
2013, sekitar 84% anak di bawah usia 12 bulan memiliki cakupan tetanus di seluruh
dunia. Di negara dengan sumber daya tinggi, seperti Amerika Serikat, kasus tetanus
terjadi pada orang yang tidak diimunisasi atau pada orang lanjut usia yang kekebalannya
menurun seiring waktu. Pengguna narkoba suntikan juga berisiko karena jarum suntik
5

atau obat-obatan yang terkontaminasi. 4,5,6 Angka kematian pada tetanus derajat berat
cukup tinggi, hal ini diakibatkan oleh disfungsi otonom, kematian mendadak dan komplikasi
akibat penyakit kritis yang berkepanjangan seperti infeksi nosocomial, tromboemboli dan
perdarahan gastrointestinal. Instabilitas otonom terjadi pada 100% pasien dengan tetanus dan 35%
berhubungan dengan periode asimtomatis, serangan jantung dan hipotensi dan berhubungan
dengan durasi dari periode onset yang terjadi. Aktifitas simpatis yang terus menerus dari sistem
simpatis atau pelepasan katekolamin yang terus menerus dapat menyebabkan kerusakan pada
pembuluh darah dan gangguan pada jantung sehingga menyebabkan bradikardi berat. Menurut
James MFM dan rekan, Cook TM dan rekan mengatakan bahwa stimulasi katekolamin yang terus
menerus serta kerusakan pada fungsi jantung bisa diakibatkan toksin tetanus yang menyebar yang
mengakibatkan serangan jantung mendadak pada pasien tetanus. Berikut ini penulis
menyajikan sebuah laporan kasus kematian seorang laki-laki yang mengalami tetanus
generalisata dengan derajat Phillips score derajat berat. Penderita dirawat di perawatan
isolasi Bagian Saraf Rumah Sakit Dr. Muhammad Hoesin Palembang.
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 Identifikasi
Nama : Tn. M
Usia : 32 tahun
Alamat : Palembang
Agama : Islam
MRS : 3 Januari 2021

2 . 2. Anamnesis

Penderita dirawat di bagian neurologi karena mengalami kesulitan untuk


membuka mulut
± Sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, penderita mengalami kesulitan
membuka mulut. Pada awalnya penderita merasa mulut dirasakan kaku sulit untuk
dibuka. Kesulitan membuka mulut tidak diikuti dengan gangguan menelan.
Penderita juga merasakan kaku pada seluruh tubuh disertai leher kaku. Kram perut
ada, nyeri dan kaku pada bagian punggung serta perut terasa keras seperti papan
yang dirasa semakin memberat saat pasieng disentuh. Demam tidak ada, BAB
dan BAK dalam batas normal. Sesak nafas dan dada berdebar tidak ada.
Riwayat luka di kaki 7 hari yang lalu ada terkena kaca, sudah dijahit di
puskesmas tapi tidak diinjeksi tetanus, Riwayat imunisasi tidak jelas semasa kecil
dan riwayat imunisasi tidak ada sebelumnya. Riwayat gigi berlubang tidak ada,
Riwayat infeksi di telinga hidung dan tenggorokan tidak ada, Riwayat benjolan
ditubuh tidak ada, riwayat sakit jantung tidak ada.
Penyakit ini diderita untuk pertama kalinya.

6
7

2.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
I. Pemeriksaan klinis umum
Kesadaran : E4M6V5 (15) BSS : 98mg/dl BB : 55 kg
Tekanan darah : 170/90 mmHg Nadi : 98x/menit TB : 160 cm
Pernafasan : 20x/menit Suhu : 36,8°C. NPRS: 3

Kepala : conjungtiva palpebra pucat -/- sklera ikterik -/- , leher


retraksi (-) tampak wajah risus sardonicus (+)
Thorak : Cor : HR : 130 x/menit, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikuler +/+ normal, ronkhi -/- , wheezing -/-
Abdomen :datar, keras seperti papan, nyeri (+), hepar dan lien sulit
dinilai, BU (+) normal
Anggota Gerak : dalam batas normal
Genitalia : tidak diperiksa
Edema pitting : tidak ada
Ekspresi muka : risus sardonicus

II. Pemeriksaan Klinis Neurologis


Nervi Kraniales:
- N. I : anosmia (-)
- N. II (Opticus) : Fundus tidak diperiksa
- N. III : pupil bulat, isokor, reflek cahaya +/+ ,
Ø 3 mm / 3 mm, ptosis -/-
- N.III, IV, VI : OD dan OS : tidak ada hambatan pergerakan

OD OS
- N. V : motorik : membuka mulut sullit karena trismus
8

, refleks menggigit sulit dinilai, refleks kornea +/+


Sensorik : sulit dinilai karena penderita nyeri
- N. VII :lipatan dahi simetris, lagopthalmus tidak ada, plica
nasolabialis belum dapat dinilai, sudut mulut belum
dapat dinilai.
- N. VIII : tinnitus (-), nistagmus (-)
- N. IX, X : tidak dapat diperiksa
- N. XI : tortikolis (-),
- N. XII : deviasi lidah tidak dapat diperiksa, disartria (-),
fasikulasi tidak dapat diperiksa, atrofi papil lidah
tidak dapat diperiksa
Fungsi motorik
Penilaian Lengan kanan Lengan kiri Tungkai Tungkai kiri
kanan
Gerakan C C C C
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat
Klonus - -
Refleks
Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat
fisiologis
Refleks
- - - -
patologis

Fungsi sensorik : tidak ada kelainan


Fungsi luhur : tidak ada kelainan
Fungsi vegetatif : tidak ada kelainan
GRM : kuduk kaku (+)
Gerakan abnormal : tidak ada
Gait dan keseimbangan : belum dapat dinilai
Status Lokalis : Trismus 1 jari
Rhisus sardonicus
Abdominal rigiditas
9

Philips Score
Faktor Resiko Skor
Masa Inkubasi
- <48 jam 5
4
- 2-5 hari
3
- 5-10 hari 2
- 10-14 hari 1
- >14 hari
Lokasi Infeksi
- Umbilikus dan internal 5
4
- Kepala, leher, dinding tubuh
3
- Perifer/ekstremitas proksimal 2
- Perifer/ekstremitas distal 1
- Tidak diketahui
Status proteksi/imunisasi
- Tidak ada 10
8
- Sebagian imunisasi waktu kehamilan
4
- >10 tahun 2
- <10 tahun 0
- Proteksi lengkap
Komplikasi/faktor yang memberatkan
- Luka atau kondisi mengancam 10
kehidupan
- Luka berat atau kondisi tidak 8
mengancam kehidupan
4
- Luka sedang atau kondisi tidak
mengancam kehidupan 2
- Luka kecil 1
- ASA grade 1
Total Philips score 17

Keterangan :
- Skor tetanus ringan : <9
- Skor tetanus sedang : 9-16
- Skor tetanus berat : >16
-
# Kriteria Pattel Joag :
Derajat 3 : kasus berat, adanya minimal 3 kriteria, biasanya inkubasi kurang dari 7
hari, onset kurang dari 2 hari, mortalitas 32%

II.4 Diagnosis
10

Diagnosis Klinik : - Trismus 1 jari


- Risus Sardonicus
- Opistotonus
- Abdominal rigidity
- Kejang rangsang
Diagnosis Topik : Neuro Muscular Junction
Diagnosis Etiologi : Tetanus generalisata derajat sedang berat
Diagnosis Tambahan : Vulnus laseratum regio pedis sinistra

II.5 Penatalaksanaan
A. Non farmakologis
- Perawatan ruang gelap isolasi
- Inform consent
- Diet cair 5400 kkal via NGT
- Konsul bedah untuk debridement luka
- Cek darah rutin, darah kimia, elektrolit, rapid tes covid19
- Rencana EKG
- Rencana Ro Thorax

B. Farmakologis
- IVFD NaCl 0,9% gtt xx x/m
- Injeksi HTIG 3000 iu (i.m)
- Metronidazol 4x500 mg (i.v)
- Diazepam 8x10 mg (i.v)
- Paracetamol 3 x 1 gram (i.v)
- Ranitidin 2x 50 mg (i.v)
- Neurodex 1 x 1 (po)

II.6 Hasil Pemeriksaan Penunjang


Hasil Laboratorium
Hemoglobin = 14,8 g/dL (11,7-15,5 g/dL)
11

Eritrosit = 4,64 / mm3 (4.20-4.87x106/mm3 )


Leukosit = 16.200/ mm3 (4.500-11.000/mm3)
Hematokrit = 44% (38-44%)
Trombosit = 323000 / mm3 (150.000-450.000 /µL)
Hitung jenis = 0 / 1/ 78 / 13 / 8
Na = 146
K = 4.3
Cl = 108

Rontgen thorak

Kesan : normal

EKG
12

Kesan : Sinus Takikardi

Status lokalis

Vulnus laseratum regio pedis sinistra


13

2.6 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia
14

Follow Up
Tanggal Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Diagnosis Tatalaksana
3 januari S:- nyeri dan kaku pada seluruh tubuh Diagnosis Klinis: Non Farmakologis :
2021 -Sulit membuka mulut (trismus 1 jari)  Trismus 1 jari  Perawatan ruang isolasi
16.30  Rhisus sardonicus
O:  Observasi
 Opistotonus
St. Generalis  Abdominal rigidity  Diet cair 5400 kkal via NGT
Sens : E4M6V5  Kejang rangsang
TD: 110/70 mmHg  O2 3l/m
Diagnosis Topik :
RR: 20 x/mnt Neuromuscular Junction
Nadi : 96 x/mnt
T: 36,8°C Farmakologis :
Diagnosis Etiologi
Saturasi 99 % Tetanus Generalisata - IVFD NaCL 0,9% gtt XX/menit
St. Neurologis: stqa - Metronidazol 4x500 mg (i.v)
- Diazepam 8x10 mg (i.v)
- Ranitidin 2 x 50 mg (i.v)
- Paracetamol 3 x 1 gram (i.v)
- Neurodex 1 x 1 (ngt)

4 januari S:- nyeri dan kaku pada seluruh tubuh Diagnosis Klinis: Non Farmakologis :
2021 -Sulit membuka mulut (trismus 1 jari)  Trismus 1 jari  Perawatan ruang isolasi
07.00  Rhisus sardonicus
O:  Observasi
 Opistotonus
St. Generalis  Abdominal rigidity  Diet cair 5400 kkal via NGT
Sens : E4M6V5  Kejang rangsang
TD: 120/80 mmHg  O2 3l/m
Diagnosis Topik :
RR: 22 x/mnt Neuromuscular Junction
Nadi : 96 x/mnt
T: 36,8°C Farmakologis :
Diagnosis Etiologi
Saturasi 99 % Tetanus Generalisata - IVFD NaCL 0,9% gtt XX/menit
St. Neurologis: stqa - Metronidazol 4x500 mg (i.v)
15

- Diazepam 10x10 mg (i.v)


- Ranitidin 2 x 50 mg (i.v)
- Paracetamol 3 x 1 gram (i.v)
- Neurodex 1 x 1 (ngt)
- N asetil sistein 3 x 200 mg
- Ketorolac 3 x 200 mg

5 januari S:- nyeri dan kaku pada seluruh tubuh Diagnosis Klinis: Non Farmakologis :
2021 - penurunan kesadaran  Obs penurunan kesadaran  Perawatan ruang isolasi
07.00 -Sulit membuka mulut (trismus 1 jari)  Trismus 1 jari
 Observasi
 Rhisus sardonicus
O:  Opistotonus  Diet cair 5400 kkal via NGT
St. Generalis  Abdominal rigidity
Sens : E4M5V4  O2 12 l/m
 Kejang rangsang
TD: 130/80 mmHg Diagnosis Topik :  Konsul neuro infeksi
RR: 28 x/mnt Neuromuscular Junction
Nadi : 102 x/mnt
T: 36,9°C Diagnosis Etiologi Farmakologis :
Saturasi 96 % Tetanus Generalisata
- IVFD NaCL 0,9% gtt XX/menit
St. Neurologis: stqa
- Metronidazol 4x500 mg (i.v)
- Diazepam 10x10 mg (i.v)
- Ranitidin 2 x 50 mg (i.v)
- Paracetamol 3 x 1 gram (i.v)
- Neurodex 1 x 1 (ngt)
- N asetil sistein 3 x 200 mg
- Ketorolac 3 x 200 mg
- Propanolol 10mg
16

Neuroinfeksi
- Metronidazole 4 x 500 mg
dilanjutkan sampai 10 hari
- MgSO4 60 mg/KgBB drip dalam
RL/D5 100 cc titrasi selama 15-20
menit dilanjutkan maintenance 2,5
gr/ jam (drip dalam 500cc NaCl)
- Cek kalsium tiap hari

Pada pasien dosis awal


- BB pasien 65 kg
- MgSo4 40% setara 4 gram
- 10 cc MgSO4 diencerkan dalam RL
100cc
Pada pasien dosis maintenance
- 2,5 gr/jam dalam RL/D5 500 cc
- 50 cc MgSo4 40% dalam RL/D5
500cc habis dalam 8 jam

5 januar S:- nyeri dan kaku pada seluruh tubuh Diagnosis Klinis: Telah selesai pemberian MgSO4 dosis
i 2021 - penurunan kesadaran  Obs penurunan kesadaran awal
12.00 -Sulit membuka mulut (trismus 1 jari)  Trismus 1 jari Dilakukan pemberian dosis
 Rhisus sardonicus maintenance
O:  Opistotonus
17

St. Generalis  Abdominal rigidity


Sens : E4M5V4  Kejang rangsang
TD: 140/80 mmHg Diagnosis Topik :
RR: 32 x/mnt Neuromuscular Junction
Nadi : 112 x/mnt
T: 36,9°C Diagnosis Etiologi
Saturasi 96 % Tetanus Generalisata

St. Neurologis: stqa

15.45 S : Penurunan kesadaran A: RJP 5 siklus


Tetanus Epinefrin 1 ampul
O: Dengan gangguan disotonom Resusitasi tidak respon
E1M1V1 Cardiac Arrest
TD : tidak terukur
N : tidak teraba
R : apneu
Temp: 35,5

St neurologis stqa

16.00 Pupil midriasis total, tensi tidak terukur, nadi tidak teraba
EKG Flat Penderita meninggal di hadapan keluarga dan perawat
18

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi

Tetanus adalah penyakit infeksi akut disebabkan eksotoksin yang dihasilkan


oleh Clostridium tetani, ditandai dengan peningkatan kekakuan umum dan
kejang- kejang otot rangka.3 Tetanus dapat didefinisikan sebagai keadaan
hipertonia akut atau kontraksi otot yang mengakibatkan nyeri (biasanya pada
rahang bawah dan leher) dan spasme otot menyeluruh tanpa penyebab lain, serta
terdapat riwayat luka ataupun kecelakaan sebelumnya.

3.2. Etiologi

Clostridium tetani adalah kuman bentuk batang, bersifat anaerob obligat,


dan dapat membentuk spora. Organisme ini dapat ditemukan di feses manusia dan
hewan seperti kuda, kemudian mengkontaminasi tanah. C. tetani dapat masuk ke
tubuh manusia melalui tusukan luka, robekan, kerusakan kulit, atau inokulasi
dengan jarum suntik atau gigitan serangga yang terinfeksi. Sumber infeksi yang
paling umum adalah luka yang seringkali kecil dan mungkin tidak diketahui,
seperti luka kecil dari serpihan kayu atau logam atau duri. Populasi berisiko tinggi
termasuk mereka yang belum divaksinasi, pengguna narkoba suntikan, dan
mereka yang mengalami imunosupresi. Penyebab lain infeksi yang telah
ditemukan yaitu melalui prosedur pembedahan, suntikan intramuskular, fraktur
multipel, infeksi gigi, dan gigitan anjing, Spora dapat dorman selama beberapa
bulan atau tahun, namun ketika memasuki jaringan tubuh melalui luka, khususnya
jika terdapat benda asing atau bakteri purulent maka spora tersebut dapat berubah
menjadi bentuk vegetatif yang memproduksi eksotoksin tetanospasmin.1,2
19

3.3. Epidemiologi

Meskipun tetanus menyerang orang-orang dari segala usia, namun,


prevalensi tertinggi terlihat pada bayi baru lahir dan remaja. World Health
Organization (WHO) melaporkan peningkatan angka kematian akibat tetanus,
terkait dengan kampanye vaksinasi agresif dalam beberapa tahun terakhir. WHO
memperkirakan kematian tetanus di seluruh dunia pada tahun 1997 sekitar
275.000 dengan peningkatan angka pada tahun 2011 pada 14.132 kasus. Namun,
dari kasus ini, prevalensi tetanus masih jauh lebih tinggi (beberapa penelitian
menunjukkan 135 kali lebih tinggi) di negara berkembang dibandingkan di negara
maju, dengan tingkat kematian 20% hingga 45% dengan infeksi. Angka kematian
bervariasi berdasarkan ketersediaan sumber daya, terutama ventilasi mekanis,
pemantauan tekanan darah invasif, dan pengobatan dini.4,5,6

Insiden tetanus neonatal menurun karena vaksinasi rutin di seluruh dunia,


yang dikombinasikan dengan vaksin lain, pertusis, dan difteri (DPT). Terjadinya
tetanus pada neonatus sebagian besar disebabkan oleh vaksinasi bayi yang tidak
lengkap. Pada tahun 2013, sekitar 84% anak di bawah usia 12 bulan memiliki
cakupan tetanus di seluruh dunia. Di negara dengan sumber daya tinggi, seperti
Amerika Serikat, kasus tetanus terjadi pada orang yang tidak diimunisasi atau
pada orang lanjut usia yang kekebalannya menurun seiring waktu. Pengguna
narkoba suntikan juga berisiko karena jarum suntik atau obat-obatan yang
terkontaminasi.4,5,6

Di negara berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50% dengan perkiraan


jumlah kematian 800.000-1.000.000 orang per tahun, sebagian besar pada
neonatus. Kematian tetanus neonatus diperkirakan sebesar 248.000 kematian per
tahun. Di Indonesia, insidensi berkisar 0.2/100.000 populasi. Di bagian Neurologi
RS Hasan Sadikin Bandung, dilaporkan 156 kasus tetanus pada tahun 1999-2000
dengan mortalitas 35,2%. Pada sebuah penelitian retrospektif tahun 2003-
Oktober 2004 di RS Sanglah didapatkan 54 kasus tetanus dengan mortalitas
47%.6,7
20

3.4. Patogenesis

Toksin tetanus merupakan protease dependen seng, yang bekerja dengan


memblokade pelepasan neurotransmitter pada vesikel sinaps di protein permukaan
sel, sehingga menghambat ekositosis neurotransmitter normal. Toksin
mengganggu fungsi arkus refleks dengan memblokade neurotransmitter inhibitori,
terutama GABA, pada situs presinaps pada medulla spinalis dan batang otak. Sel
yang terutama terkena adalah sel Renshaw, sumber neuron inhibitori rekuren
spinal dan batang otak. Hal ini menyebabkan peningkatan aktivasi neuron yang
menginervasi otot maseter (trismus / lockjaw). Otot maseter tampaknya paling
sensitif terhadap toksin dimana menyebabkan terjadinya kontraksi agonis dan
antagonis bersamaan yang menimbulkan karakteristik spasme otot tetanus. Toksin
juga menyebabkan efek generalisata pada neuron motorik pada medulla spinalis
dan batang otak dimana toksin bekerja secara langsung terhadap otot skeletal pada
bagian akson yang membentuk endplate (menyebabkan efek tetanus lokalisata)
dan juga korteks serebral serta sistem saraf simpatik pada hipotalamus.3,8

3.5. Faktor Resiko

Selama 1998-2000, hanya 6% dari semua pasien dengan tetanus yang


diketahui saat ini dengan imunisasi tetanus, dengan tidak ada kasus fatal yang
dilaporkan di antara kelompok ini. Data surveilans menunjukkan hal-hal
berikut:3,4,7
 Pada 73% pasien dengan tetanus di Amerika Serikat, tetanus terjadi
setelah cedera akut, termasuk luka tusukan (50%), laserasi (33%), dan
lecet (9%)
 Menginjak paku menyumbang 32% dari luka tusuk
 Tetanus ditemukan terjadi pada korban luka bakar; pada pasien yang
menerima suntikan intramuskular; pada orang yang mendapatkan tato;
dan pada orang dengan frostbite, infeksi gigi (misalnya, abses
periodontal), luka tembus mata, dan infeksi tali pusat
21

 Faktor risiko lain yang dilaporkan termasuk usia tua, diabetes, luka kronis
(misalnya, ulkus kulit, abses, atau gangren), penyalahgunaan obat
parenteral, dan baru-baru ini pembedahan (4% dari kasus AS)
 Selama 1998-2000, 12% pasien dengan tetanus di Amerika Serikat
menderita diabetes (dengan mortalitas, 31%), dibandingkan dengan 2%
selama 1995-1997; dari pasien ini, 69% mengalami cedera akut dan 25%
menderita gangren atau ulkus diabetes
 Interval waktu rata-rata antara operasi dan onset tetanus adalah 7 hari
 Tetanus dilaporkan setelah pencabutan gigi, terapi saluran akar, dan
trauma jaringan lunak intraoral

Faktor risiko untuk tetanus neonatal meliputi yang berikut ini:4,5


1. Ibu yang tidak divaksinasi
2. Persalinan di rumah
3. Pemotongan septik tali pusar
4. Neonatal tetanus pada anak sebelumnya
5. Zat infeksi yang dioleskan pada pusar, seperti kotoran hewan, lumpur atau
bahan sejenis lainnya.

3.6. Gejala Klinis

3.6.1. Tetanus Umum

Tetanus umum adalah bentuk tetanus yang paling umum, terjadi pada
sekitar 80% kasus. Pasien datang dengan pola kejang otot menurun, pertama
datang dengan rahang terkunci, dan risus sardonicus (senyum kaku karena
kontraksi otot wajah yang berkelanjutan). Ini dapat berkembang menjadi leher
kaku, kesulitan menelan, dan otot dada dan betis kaku. Kejang ini dapat terjadi
hingga 4 minggu, dengan pemulihan penuh membutuhkan waktu berbulan-bulan.
Trismus adalah gejala yang muncul pada 75% kasus. Gambaran awal lainnya
termasuk mudah tersinggung, gelisah, diaphoresis, dan disfagia dengan
22

hidrofobia, air liur, dan kejang otot punggung. Manifestasi awal ini
mencerminkan keterlibatan otot bulbar dan paraspinal, kemungkinan karena
struktur ini dipersarafi oleh akson terpendek. Ketidakstabilan otonom juga dapat
terjadi pada pasien dengan demam, disritmia, tekanan darah dan detak jantung
yang tidak stabil, kesulitan bernapas, ekskresi katekolamin, dan bahkan kematian
dini.3,4

3.6.2. Tetanus Lokal

Tetanus terlokalisasi adalah manifestasi klinis tetanus yang jarang ditemui.


Tetanus terlokalisasi biasanya berupa kontraksi otot yang terus-menerus di lokasi
cedera yang dapat berlangsung selama berminggu-minggu dengan derajat
keparahan yang sangat bervariasi. Jenis ini jarang fatal, namun dapat berkembang
menjadi bentuk tetanus generalisata, yang lebih mengancam nyawa.3,4

3.6.3. Cephalic Tetanus

Tetanus cephalic atau cerebral adalah tetanus dengan manifestasi terbatas


pada otot dan saraf kepala. Tetanus cephalic terjadi paling sering setelah trauma
kepala seperti patah tulang tengkorak, laserasi kepala, cedera mata, prosedur gigi,
otitis media, atau dari tempat cedera lain. Biasanya timbul dengan kekakuan leher,
disfagia, trismus, kelopak mata tertarik, pandangan menyimpang, dan risus
sardonicus. Gejala terdiri dari disfungsi terisolasi atau gabungan dari saraf
motorik kranial (paling sering CN VII). Tetanus cephalic mungkin tetap
terlokalisasi atau dapat berkembang menjadi tetanus umum. Ini adalah bentuk
tetanus yang tidak biasa dengan masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis untuk bertahan
hidup biasanya buruk. Tipe ini dapat menyebabkan komplikasi lebih lanjut seperti
aspirasi bronkus, kelumpuhan otot pernapasan dan laring, serta gagal napas. Jenis
ini juga dapat berkembang menjadi tetanus generalisata.3,4
23

3.6.4. Tetanus Neonatus

Tetanus neonatal adalah bentuk umum tetanus yang terjadi pada bayi baru
lahir dari ibu yang tidak diimunisasi atau dari infeksi melalui alat yang
terkontaminasi saat memotong tali pusat. Bayi dari ibu yang diimunisasi
umumnya tidak terkena tetanus akibat imunitas pasif dari ibunya. Mereka yang
terinfeksi, menunjukkan sifat lekas marah, makan yang buruk, wajah meringis,
kaku, dan kontraksi kejang parah yang dipicu oleh sentuhan. Ada laporan kasus
tentang konsekuensi jangka panjang pada orang yang selamat dari gangguan
perkembangan saraf, masalah perilaku, dan defisit dalam perkembangan motorik
kasar dan bicara serta bahasa.3,4

3.7. Komplikasi

Komplikasi yang mengancam jiwa dari tetanus dapat terjadi dan termasuk
pneumonia sekunder akibat aspirasi dan laringospasme, rhabdomyolysis,
perdarahan saluran cerna bagian atas, ketidakstabilan kardiovaskular seperti
serangan jantung sementara, takikardia atau bradikardia, aritmia, dan hipertensi,
gagal ginjal akut, dan infeksi luka sekunder. Kematian akibat infeksi terjadi akibat
gagal napas dan kolaps kardiovaskular, terkait dengan disfungsi otonom.3,9

3.8. Skoring pada Tetanus

3.8.1. Philip Score

Philip score merupakan sistem skoring yang digunakan untuk menilai


prognosis tetanus. Pada sistem skoring ini memasukkan kriteria periode inkubasi
dan periode onset, manifestasi neurologis dan kardiak, dan status imunisasi
pasien. Interpretasi dari Philip score adalah <9 adalah severitas ringan; 9-18
adalah severitas sedang; dan >18 adalah severitas berat. Phillips score memiliki
sensitivitas tinggi (89%), namun spesifisitas rendah (20%).6,7,10
24

Tabel 1. Philip Score10

3.8.2. Ablett Score

Skor ablett merupakan sistem penilaian tetanus yang diusulkan oleh Ablett
dan merupakan sistem skoring yang paling sering digunakan. 6,10

Tabel 2. Ablett Score10


25

3.8.3. Dakar Score

Selain philip score, Dakar score juga merupakan sistem skoring yang
digunakan untuk menilai prognosis tetanus. Pada sistem skoring ini memasukkan
kriteria periode inkubasi dan periode onset, manifestasi neurologis dan kardiak.
Interpretasi dari Dakar score adalah 0-1 merupakan severitas ringan dengan
mortalitas10%; 2-3 merupakan severitas sedang dengan mortalitas10-20%; 4
merupakan severitas berat dengan mortalitas 20-40%; dan 5-6 merupakan
severitas sangat berat dengan mortalitas >50%. Dakar score memiliki spesifisitas
baik mencapai 98%, namun kurang sensitif (13%).6,7,10

Tabel 3. Dakar Score10

3.8.4. Tetanus Severity Score (TSS)

Tetanus Severity Score (TSS) merupakan sistem skoring untuk menentukan


prognosis pasien tetanus yang dikembangkan berdasarkan penelitian di Ho Chi
Minh City dengan menggunakan beberapa parameter meliputi usia, saat awal
gejala hingga masuk rumah sakit, kesulitan napas saat masuk, kondisi penyakit
lain, lokasi luka/masuk, tekanan darah sistolik tertinggi selama hari pertama di
RS, denyut nadi tertinggi selama hari pertama di RS, denyut jantung terendah
26

selama hari pertama di RS, suhu tertinggi selama hari pertamadi RS. Risiko
mortalitas pada TSS menggunakan batas ≥8 untuk risiko tinggi (53%) dan <8
untuk risiko rendah (6,3%).7,10,11

TSS memiliki sensitivitas 77% dan spesifisitas 82%. Thwaites CL, et al,
mengungkapkan bahwa sistem skoring prognosis TSS lebih unggul dibandingkan
dua sistem skoring lainnya, karena menggunakan metode statistik yang lebih
baik.11 Skoring TSS membutuhkan data tanda vital pada 24 jam pertama yang
cukup merepotkan, namun dapat diaplikasikan dengan mudah dan murah di pusat
layanan kesehatan dengan keterbatasan sumber daya. Tetanus Severity Score
terlihat setara dengan dua sistem skoring lainnya dalam menentukan
prognosis.6,7,10

Tabel 4. Tetanus Severity Score (TSS)10


27

3.9. Tatalaksana

Pengobatan tetanus didasarkan pada tingkat keparahan penyakit. Namun,


semua pasien harus memiliki tujuan pengobatan sebagai berikut:3,6

1. Debridemen luka dini


2. Penatalaksanaan suportif
3. Terapi antibiotik
4. Pemberian human tetanus immunoglobulin (HTIG) intramuskular dini
5. Blokade neuromuskuler
6. Mengendalikan berbagai manifestasi klinis
7. Mengelola komplikasi

Pengobatan lini pertama termasuk HTIG, yang menghilangkan


tetanospasmin yang dilepaskan toksin; Namun, itu tidak mempengaruhi toksin
yang sudah terikat ke sistem saraf pusat. HTIG juga memperpendek perjalanan
penyakit dan dapat membantu mengurangi keparahan penyakit. Dosis 500 U, baik
intramuskular atau intravena, sama efektifnya dengan dosis yang lebih besar.
HTIG disuntikkan secara intratekal, terutama pada kasus tetanus serebral. Dalam
kasus tetanus umum, dosis terapeutik (3000-6000 U) juga direkomendasikan.
Debridemen luka akan mengontrol sumber produksi toksin.6,12

Meskipun racun adalah penyebab utama penyakit, metronidazol telah


terbukti memperlambat perkembangan penyakit. Metronidazol juga terbukti
menurunkan mortalitas. Penisilin, yang digunakan di masa lalu untuk pengobatan,
tidak lagi direkomendasikan setelah menemukan bahwa penisilin mungkin
memiliki efek sinergis dengan tetanospasmin. Antispasmodik seperti
benzodiazepin, baclofen, vecuronium, pancuronium, dan propofol telah digunakan
berdasarkan skenario klinis. Baclofen juga dapat diberikan secara intratekal dan
terbukti efektif dalam mengontrol kekakuan otot.6,13
28

Untuk tetanus yang lebih parah, pasien kemungkinan dirawat di unit


perawatan intensif (ICU) dengan sedasi dan ventilasi mekanis, yang dapat
mempengaruhi kematian dan gejala sisa jangka panjang. Trakeostomi lebih
disukai karena tabung endotrakeal dapat menjadi rangsangan untuk kejang otot.
Trakeostomi juga diindikasikan pada kasus dimana intubasi diperlukan lebih dari
10 hari.9,12,13

Benzodiazepin dianggap sebagai terapi landasan untuk manifestasi tetanus,


dan diazepam adalah obat yang paling sering dipelajari dan digunakan dalam hal
ini. Ini tidak hanya mengurangi kecemasan tetapi juga menyebabkan sedasi dan
melemaskan otot, sehingga mencegah komplikasi pernapasan yang mematikan.
Magnesium intravena telah terbukti mencegah kejang otot. Diazepam atau
midazolam, GABA-agonis benzodiazepine, diberikan sebagai infus kontinyu
untuk mencegah komplikasi pernapasan atau kardiovaskular. Untuk mencegah
kejang yang berlangsung lebih dari 5-10 detik, diazepam harus diberikan IV, 10-
40 mg setiap 1-8 jam. Dosis midazolam adalah 5-15 mg / jam IV.9,13

Dokter juga harus memberikan perawatan suportif, terutama untuk pasien


dengan ketidakstabilan otonom (tekanan darah labil, hiperpireksia, hipotermia).
Magnesium sering digunakan dalam kombinasi dengan benzodiazepin untuk
menangani komplikasi ini. Terapi diberikan melalui IV dalam bentuk bolus 5g
diikuti dengan infus terus menerus dengan kecepatan 2-3 g / jam sampai kontrol
kejang tercapai. Selama infus magnesium, refleks patela perlu dipantau; jika
arefleksia berkembang, dosis harus dikurangi. Morfin sering digunakan untuk
mengatur tekanan darah tinggi. Beta-blocker dapat menyebabkan hipotensi dan
kematian. Esmolol dalam dosis kecil dapat digunakan di bawah pengawasan
ketat.6,9,13

Penatalaksanaan status pernapasan, komplikasi kardiovaskular, dan


disfungsi otonom penting untuk kelangsungan hidup. Selain itu, semua pasien
memerlukan imunisasi tetanus toksoid penuh saat pemulihan; mengalami infeksi
tidak memberikan kekebalan di masa depan. Diet berkalori tinggi sangat penting
29

untuk mengimbangi peningkatan penggunaan metabolik dari kontraksi otot juga


penting.9,13

2.10. Prognosis

Prognosis setelah tetanus bergantung pada waktu dari gejala pertama hingga
kejang pertama. Secara umum, dengan waktu yang singkat untuk manifestasi
gejala, prognosisnya buruk. Pemulihan setelah tetanus lambat dan bisa memakan
waktu berbulan-bulan. Jika tidak diobati, mortalitasnya lebih dari 60% dan lebih
tinggi pada neonatus. Di fasilitas yang baik, angka mortalitasnya 13% sampai
25%. Baik tetanus neonatal maupun cephalic memiliki prognosis yang buruk.
Beberapa pasien mengalami hipotonia dan disfungsi otonom yang berlangsung
selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Bahkan mereka yang bertahan hidup,
membutuhkan toksoid tetanus karena infeksinya tidak memberikan kekebalan.
Biasanya pasien dapat bertahan hidup dari penyakit ini meskipun pemulihannya
lambat. Seringnya pasien dapat sembuh sempurna, namun beberapa pasien
mungkin tetap hipotonik.4,12
30

BAB IV
ANALISA KASUS

Seorang laki-laki berusia 32 tahun dibawa keluarganya karena mengalami


kesulitan membuka mulut sejak 1 hari lalu. Mulut dirasakan kaku dan sulit untuk
dibuka. Pada pemeriksaan didapatkan keadaan umum sakit berat tekanan darah
130/90 mmHg, nadi 86 kali, pernafasan 33 kali, suhu 37,6o C.
Pada pemeriksaan neurologis didapatkan sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit, penderita mengalami kesulitan membuka mulut diikuti dengan
gangguan menelan sehingga pasien sering tersedak saat makan atau minum.
Penderita juga merasakan kaku pada seluruh tubuh disertai leher kaku. Kram perut
ada, terasa keras seperti papan yang dirasa semakin memberat saat pasien disentuh
atau terkena angin. Demam ada, BAB dan BAK dalam batas normal. Pada
pemeriksaan klinis neurologis, pada pasien ini didapatkan trismus (lockjaw)
sehingga pasien mengalami kesulitan membuka mulut. Trismus ini terjadi pada
pasien tetanus diakibatkan karena spasme pada otot maseter. Trismus ini biasanya
terjadi lebih dulu dikarenakan pendeknya axonal pathways pada otot ini. Selain
itu otot diwajah juga terjadi pertama kali sehingga mengakibatkan terjadinya risus
sardonikus pada pasien ini. Pada pasien ini juga terjadi defans muscular yang
diakibatkan dari kontraksinya otot abdomen dan opistotonus yang diakibatkan
truncal rigidity yang terjadi. Klinis yang terjadi pada pasien ini diakibatkan
karena arus inhibisi yang tidak terkontrol dari saraf motorik aferen di medula
spinalis dan batang otak menyebabkan rigiditas dan spasme yang menyerupai
kejang. Reflex inhibisi dari kelompok otot agonis mejadi hilang dan kelompok
otot agonis serta antagonis berkontraksi secara simultan. Klinis yang terdapat pada
pasien disertai adanya port d’entry berupa luka terbuka yang kotor membantu
diagnosis tetanus dan menyingkirkan diagnose banding lainnya seperti meningitis,
rabies, gangguan elektrolit.
Dari riwayat sebelumnya didapatkan bahwa pasien memiliki tumor pada
daerah siku kanan yang telah dilakukan biopsi dengan hasil malignancy soft
tissue tumor. Tumor yang ada pada pasien berbentuk seperti bunga kol dengan
31

tepi yang tidak rata disertai luka yang kotor dan tidak terawat. Luka hanya diberi
betadin dan tidak dibersihkan. Penderita tidak berobat atau minum obat-obatan.
Luka penderita berpotensi terjadinya infeksi. Riwayat imunisasi yang tidak jelas.
Tidak ada riwayat darah tinggi, riwayat kencing manis, riwayat sakit jantung dan
sesak nafas. Riwayat infeksi telinga dan gigi tidak ada. Seperti yang kita ketahui
bahwa kuman penyebab tetanus yaitu clostridium tetani yang banyak ditemukan
didalam tanah, pada kotoran binatang dan sangat menyukai lingkungan yang
lembab. Kuman ini dapat pula ditemukan pada tanah yang kering, debu, kotoran
kuda, sapi, babi, domba, kambing, anjing, tikus, ayam dan manusia. Kuman ini
biasanya langsung masuk kejaringan inang (manusia) melalui luka trauma,
jaringan nekrosis dan jaringan yang kurang vaskularisasi. Dari luka penderita
yang sudah nekrosis dan terbuka maka kemungkinan untuk terjadinya tetanus
pada pasien ini sangat besar.
Derajat keparahan dari penderita ini menggunakan Philips Score,
didapatkan dari masa inkubasi >14 hari nilainya 1, lokasi infeksi nilainya 3,
imunisasi tidak ada nilainya 10, komplikasi -Luka berat atau kondisi tidak
mengancam kehidupan, nilainya 8. Score pada pasien ini adalah 22 yaitu derajat
berat. Bedasarkan kriteria Pattel Joag : kasus berat, adanya minimal 3 kriteria,
biasanya inkubasi kurang dari 7 hari, onset kurang dari 2 hari, mortalitas 32%.
Untuk terapi pada pasien ini mendapatkan HTIG 1x3000 unit. HTIG
merupakan serum yang akan memperpendek perjalanan penyakit tetanus dan
meningkatkan angka keselamatan (survival rate). Menurut El Haddad dan rekan
dosisi yang dianjurkan yaitu 500 unit HTIG yang diberikan secara intramuskular
segera setelah diagnosis tetanus ditegakkan. Sedangkan menurut Cook dan rekan
menyarankan untuk pemberian dengan dosis 500-6000 unit secara intramuskular.
Berdasarkan penelitian Wijaya pada tahun 2007 mengatakan bahwa efektifitas
antara ATS dan HTIG sama baiknya meskipun pada penggunaannya, HTIG
menunjukan tendensi angka kematian lebih rendah. Pada pasien diberikan terapi
lainnya yaitu diazepam 8x10mg intravena. Seperti yang kita ketahui bahwa
diazepam merupakan obat golongan benzodiazepine yang memperbesar GABA
agonis dengan cara menghambat inhibitor endogen direseptor GABA. Diazepam
32

dilaporkan memiliki efektifitas yang baik dengan efek depresi nafas yang lebih
rendah dibanding golongan barbiturat. Dosis yang dianjurkan untuk dewasa yaitu
0,5-10 mg/kg atau bisa dibagi sebagai berikut : spasme ringan 5-20 mg / 8 jam
peroral ; spasme sedang 5-10 mg intravena, tidak melebihi dosis 80-120 mg dalam
24 jam atau dalam bentuk drip ; spasme berat 50-100 ml destrose 5% dan
diinfuskan dalam kecepatan 10-15 mg/jam dalam 24 jam. Bedasarkan jurnal
Taylor AM. Tetanus continuing education in anesthesia. Critical Care Pain. 2006
pengobatan awal dari spasme otot dan ventilasi melibatkan sedasi dan ruangan
yang gelap. Benzodiazepin merupakan obat yang paling baik untuk sedasi dan
relaksasi otot, dan dijelaskan juga untuk mengurangi spasme. Diazepam dengan
dosis 120 mg per hari dapat diberikan dalam dosis terbagi jika ventilator tersedia.
Selain harga yang murah dan mudah didapatkan, diazepam merupakan terapi
standar yang biasa digunakan untuk pasien tetanus. Untuk antibiotik, pasien ini
mendapatakn metronidazole 4x500 mg. Bedasarkan Adams and Victor’s
Principles of Neurology dalam tatalaksana tetanus penisilin selama 10 hari (1.2
juta U penisilin prokain per hari), metronidazole (500 mg setiap 6 jam, diberikan
secara intravena atau 400 mg per rektal), atau tetrasiklin (2 gr per hari). Pada RCT
yang dilakukan oleh Yen dan rekan terhadap 1059 pasien tetanus tidak didapatkan
perbedaan signifikan antara penggunaan penisilin dengan metronidazole.
Pemberian bisa 7-14 hari atau sampai tanda tanda infeksi lokal yang aktif
menghilang. Pada pasien ini tidak diberikan terapi untuk kontrol disfungsi otonom
yang dicurigai sebagai penyebab langsung dari kematian pasien. Bedasarkan
jurnal Roper MH, Vandelaer JH, Gasse FL. Maternal and neonatal tetanus, 2007
dan Gibson, Kara., et al, Tetanus in Developing Countries 2009 dalam mengatasi
gangguan hemodinamik dan mencapai stabilitas kardiovaskular diberikan
propanolol yang diasosiasikan dengan edema pulmonal dan kematian mendadak
dan atropin digunakan dengan dosis yang sangat tinggi tanpa komplikasi. Agonis
alfa-2 berupa clonidine telah digunakan dengan kesuksesan yang bervariasi untuk
mengurangi efek simpatis. Pada pengobatan pasien ini penderita diberikan
propanolol, atropin dan Agonis alfa-2 (clonidine). Propranolol digunakan untuk
mengontrol hipertensi episodic dan takikardia, namun dapat menyebabkan
33

hipotensi, edema paru berat dan kematian mendadak. Dosis propranolol


digunakan 5-10mg, dapat dinaikkan hingga 40mg tiga kali sehari. Gangguan
otonom pada pasien tetanus bukan merupakan suatu komplikasi tapi merupakan
gambran beratnya penyakit yang terjadi pada pasien tersebut. Gangguan otonom
yang terjadi pada pasien tetanus diakibatkan adanya gangguan kontrol otonom
dengan overaktifitas dari saraf simpatis dan jumlah plasma katekolamin yang
banyak. Menurut T.M.Cook danrekan dalam “tetanus : a review of the literature”
menyebutkan bahwa hal yang dapat menyebabkan kematian pada pasien tetanus
bisa diakibatkan karena perubahan fisiologi kardiovaskualr, perubahan fisiologis
nafas dan perubahan fisiologis dari ginjal. Pada tetanus derajat berat terjadi
keadaan hiperkinetik yang bertambah sehingga relaksasi otot menurun dan
aktifitas spasme meningkat, keadaan ini membuat abnormalitas hemodinamik
menjadi sulit diketahui. Meskipun mekanisme yang pasti belum diketahui, tetapi
adanya toksin pada jantung menyebabkan terjadinya perubahan pada aktifitas dan
fisiologis jantung sehingga bisa menyebabkan kematian mendadak pada pasien
ini. seperti yang kita ketahui , bahwa toksin tetanus pada bagian otot yang
terinfeksi akan naik dari akson perifer menuju sel kornu anterior, kemudian
mencapai dan bersirkulasi dalam aliran darah. Kemudian toksin berikatan dengan
receptor disaraf terminal seluruh otot tubuh untuk mencapai badan sel alfa motor
neuron kemudian ke inti intermediolateral dimedula spinalis yang mengurus saraf
simpatis. Dari sini toksin menghambat pelepasan neurotransmitter inhibisi
terutama pada saraf motorik dan otonom. Bedasarkan jurnal dari Gibson, Kara., et
al, Tetanus in Developing Countries 2009, mengatakan gangguan otonom
merupakan salah satu komponen yang menantang dalam tatalaksana tetanus dan
merupakan penyebab kematian yang paling umum terjadi pada tahap lanjut.
Gangguan otonom tersebut meliputi hipertensi yang ekstrim, takikardi dan
umumnya terjadi tanpa pemicu. Perubahan hemodinamik ini merupakan akibat
dari fluktuasi masif dari indeks resistensi vaskular sistemik (syetem vascular
resistance indek/ SVRI).
Perawatan ICU pada tetanus derajat berat sangat dibutuhkan. Berdasarkan
T.M. Cook dan rekan mengatakan bahwa, jumlah kematian pada pasien tetanus
34

berat mencapai 50% pada negara berkembang yang tidak memiliki fasilitas ICU
dan ventilator yang memadai. Keadaan ini diakibatkan karena adanya obstruksi
nafas, kegagalan nafas dan gagal ginjal. Menurut Trujilo dan rekan pada pasien
tetanus berat yang telah mendapatkan perawatan ICU, kematian yang akibatkan
kelainan otonom masih mencapai 40% akibat serangan jantug mendadak dan 15%
akibat komplikasi gangguan nafas. Pada pasien ini tidak mendapatkan perawatan
ICU yang adekuat ditambah dengan gangguan otonom yang berat dipikirkan
sebagai penyebab kematian tiba tiba pada pasien. Perawatan di ICU tidak
dilakukan pada pasien ini dikarenakan saat pasien ini dirawat ICU dalam kondisi
penuh. Pasien ini diassesment di UGD dan dipindahkan di ruang isolasi di
bangsal, kemudian meninggal mendadak di bangsal paska 1 jam transfer dari
UGD.
Penyebab kematian pada pasien ini bisa diakibatkan karena adanya
gangguan disotonom dengan belum bisa menyingkirakn kemungkinan sepsis pada
pasien ini ataupun pneumonia aspirasi. Untuk menilai resiko kematian akibat
sepsis pada pasien digunakan skore SOFA yang didapatkan pada pasien ini 2.
Skor 2 atau lebih dari 2 memiliki resiko tinggi untuk terjadinya sepsis. Kriteria
diagnosis pada sepsis yaitu demam >38,3oC atau hipotermia <36oC, denyut
jantung >90, takipneu, perubahan kesadaran, leukositosis >12.000 atau lekopeni
<4000. Pada pasien ini terdapat suhu 37,6 dengan pernafasan dan nadi yang
normal, jadi kemungkinan terjadinya sepsis pada pasien ini masih bisa
disingkirkan.
Komplikasi yang mungkin dapat mengakibatkan kematian pada pasien ini
adalah komplikasi respirasi dan komplikasi kardiovaskluar akibat disfungsi
otonom. Hipoksia dan gagal nafas sering terjadi pada tetanus berat. Rigiditas otot
dan spasme dinding dada, diafragma, dan perut menyebabkan restriksi nafas.
Penurunan kemampuan batuk akibat rigiditas, spasme dan sedasi menyebabkan
atelektasis dan resiko pneumonia meningkat. Ketidakmampuan menelan saliva,
sekresi saliva yang masif, spasme faring, peningkatan tekanan intraabdomen dan
statis gaster secara keseluruhan menyebabkan resiko aspirasi, Ketidaksesuaian
antara ventilasi dengan perfusi bisa terjadi, akibatnya hipoksia sering ditemukan
35

pada pasien tetanus berat dan sedang, walaupun rontgen thorak dalam batas
normal. Pada pasien ini sudah terpasang NGT (pipa nasogastrik) sejak di awal
masuk UGD tujuan dari pemasangan NGT ini selain untuk mencegah aspirasi
dapat juga untuk memberikan nutrisi adekuat yang tidak dapat diberikan melalui
oral. Walaupun pemasangan NGT sudah dilakukan masih ada kemungkinan
terjadi aspirasi yaitu akibat produksi saliva yang berlebihan. Kondisi pasien yang
memburuk secara tiba-tiba setelah perawatan di bangsal selama 30 menit yaitu
berupa sesak nafas hebat, saturasi yang menurun, nadi yang cepat (takikardia)
diikuti penurunan tensi dan bradikardia merupakan komplikasi respirasi akibat
gangguan disotonom yang akhirnya dapat mengakibatkan acute respiratory
distress syndrome yaitu berupa gagal nafas dan asistole.
Kematian akibat disotonom kardiovaskular perlu juga dipikirkan pada
pasien ini. Kematian jantung mendadak merupakan bagian dari tetanus berat yang
penyebabnya masih belum jelas sampai sekarang tapi penjelasan yang masuk akal
termasuk hilangnya kerja simpatetik secara tiba tiba, katekolamin yang
menyebabkan rusaknya fungsi jantung dan peningkatan tonus parasimpatis. Pada
pasien ini didapatkan keadaan pasien berfluktuasi dari hipertensi dan takikardi
mengalami penurunan menjadi hipotensi dan bradikardi yang merupakan gejala
disotonom pada kardiovaskular.
BAB V
KESIMPULAN

1. Tetanus adalah penyakit neuromuskular yang disebabkan oleh clostridium


tetani
2. Exotoxin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh clostridium tetani
menyebabkan terjadinya kejang otot dan melumpuhkan inangnya.
3. Tetanus derajat berat merupakan suatu kegawatan daruratan medis yang
membutuhkan penanganan secara komprehensif
4. Tatalaksana tetanus berguna untuk untuk mengontrol hemodinamik,
spasme dan disfungsi otonom.
5. Pemberian antitoksin dan atibiotik pada pasien diharapkan dapat
mengurangi produksi dan penyebaran dari toksin tetanus.
6. Tindakan pada luka (eksisi atau debridement) sangat penting bertujuan
agak infiltrasi antitoksin pada jaringan di sekitar luka dapat dikurangi
7. Disfungsi otonom merupakan komplikasi yang sangat berbahaya dandapat
menyebabkan kematian mendadak

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Dong M, Masuyer G, Stenmark P. Botulinum and Tetanus Neurotoxins.


Annu Rev Biochem. 2019;88(1):811-837. doi:10.1146/annurev-biochem-
013118-111654

2. Berkowitz AL. Tetanus, Botulism, and Diphtheria. Continuum (Minneap


Minn). 2018;24 (5, Neuroinfectious Disease) : 1459-1488.
doi:10.1212/CON.0000000000000651

3. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP. Disorders Caused By Bacterial


Toxins. In: Adams and Victor’s Principles of Neurology. 10th ed. New
York: Mc Graw Hill; 2014.

4. Bae C, Bourget D. Tetanus. Treasure Island: StatPearls Publishing; 2020.

5. Blencowe H, Cousens S, Mullany LC, et al. Clean birth and postnatal care
practices to reduce neonatal deaths from sepsis and tetanus: A sistematic
review and Delphi estimation of mortality effect. BMC Public Health.
2011;11(SUPPL. 3):S11. doi:10.1186/1471-2458-11-S3-S11

6. Komang N, Laksmi S. Penatalaksanaan Tetanus. Contin Prof Dev.


2014;41(11):823-827.

7. Clarissa Tertia, I Ketut Sumada, Ni Ketut Candra Wiratmi. Laporan Kasus:


Tetanus Tipe General pada Usia Tua Tanpa Vaksinasi. Callosum Neurol.
2019;2(3):9-10. doi:10.29342/cnj.v2i3.82

8. Cardinal PR, Henry SM, Joshi MG, Lauerman MH, Park HS. Fatal
Necrotizing Soft-Tissue Infection Caused by Clostridium tetani in an
Injecting Drug User: A Case Report. Surg Infect (Larchmt).
2020;21(5):457-460. doi:10.1089/sur.2019.244

9. Somia IKA. Management of tetanus complication. IOP Conf Ser Earth


Environ Sci. 2018;125(1). doi:10.1088/1755-1315/125/1/012086

10. Surya R. Skoring Prognosis Tetanus Generalisata pada Pasien Dewasa.


Cermin Dunia Kedokt. 2016;43(3):199-203.
http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/view/34.

11. Thwaites CL, Yen LM, Glover C, et al. Predicting the clinical outcome of
tetanus: The tetanus severity score. Trop Med Int Heal. 2006;11(3):279-

37
287. doi:10.1111/j.1365-3156.2006.01562.x

12. Center of Disease Control and Prevention (CDC). Tetanus. 2014.


http://198.246.98.21/vaccines/pubs/pinkbook/pink-chapters.htm.

13. Lisboa T, Ho Y-L, Henriques Filho GT, et al. Guidelines for the
management of accidental tetanus in adult patients. Rev Bras Ter intensiva.
2011;23(4):394-409. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23949453.

38

Anda mungkin juga menyukai