Oleh:
Pembimbing:
DEPARTEMEN NEUROLOGI
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus kematian yang berjudul ”Disfungsi Otonom Pada Tetanus”.
Laporan kasus ini bertujuan sebagai salah satu sarana pembelajaran dan salah
satu syarat untuk menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP DR. Moh. Hoesin
Palembang.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. Mukhlisa Sp.N dan dr.
Andika Okparasta, Sp.S (K) selaku pembimbing yang telah memberikan
bimbingan selama penulisan dan penyusunan laporan kasus ini, serta semua
pihak yang telah membantu hingga selesainya laporan kasus ini.
2
DAFTAR ISI
3
4
BAB I
PENDAHULUAN
Tetanus adalah penyakit infeksi akut disebabkan eksotoksin yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani, ditandai dengan peningkatan kekakuan umum dan kejang- kejang otot
rangka. Clostridium tetani adalah kuman bentuk batang, bersifat anaerob obligat, dan
dapat membentuk spora. C. tetani dapat masuk ke tubuh manusia melalui tusukan luka,
robekan, kerusakan kulit, atau inokulasi dengan jarum suntik atau gigitan serangga yang
terinfeksi, prosedur pembedahan, suntikan intramuskular, fraktur multipel, infeksi gigi,
dan gigitan anjing. Spora dapat dorman di lingkungan tertentu dalam jangka waktu yang
lama sebelum berubah menjadi bentuk vegetatif yang memproduksi eksotoksin
tetanospasmin.1,2,3
Sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat signifikan
di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk, juga penatalaksanaan
tetanus modern membutuhkan fasilitas intensive care unit (ICU) yang jarang tersedia di
sebagian besar populasi penderita tetanus berat. Di negara berkembang, mortalitas tetanus
melebihi 50% dengan perkiraan jumlah kematian 800.000-1.000.000 orang per tahun,
sebagian besar pada neonatus. Kematian tetanus neonatus diperkirakan sebesar 248.000
kematian per tahun.1 Di bagian Neurologi RS Hasan Sadikin Bandung, dilaporkan 156
kasus tetanus pada tahun 1999-2000 dengan mortalitas 35,2%. Pada sebuah penelitian
retrospektif tahun 2003- Oktober 2004 di RS Sanglah didapatkan 54 kasus tetanus dengan
mortalitas 47%.4,5,6
Insiden tetanus neonatal menurun karena vaksinasi rutin di seluruh dunia, yang
dikombinasikan dengan vaksin lain, pertusis, dan difteri (DPT). Terjadinya tetanus pada
neonatus sebagian besar disebabkan oleh vaksinasi bayi yang tidak lengkap. Pada tahun
2013, sekitar 84% anak di bawah usia 12 bulan memiliki cakupan tetanus di seluruh
dunia. Di negara dengan sumber daya tinggi, seperti Amerika Serikat, kasus tetanus
terjadi pada orang yang tidak diimunisasi atau pada orang lanjut usia yang kekebalannya
menurun seiring waktu. Pengguna narkoba suntikan juga berisiko karena jarum suntik
5
atau obat-obatan yang terkontaminasi. 4,5,6 Angka kematian pada tetanus derajat berat
cukup tinggi, hal ini diakibatkan oleh disfungsi otonom, kematian mendadak dan komplikasi
akibat penyakit kritis yang berkepanjangan seperti infeksi nosocomial, tromboemboli dan
perdarahan gastrointestinal. Instabilitas otonom terjadi pada 100% pasien dengan tetanus dan 35%
berhubungan dengan periode asimtomatis, serangan jantung dan hipotensi dan berhubungan
dengan durasi dari periode onset yang terjadi. Aktifitas simpatis yang terus menerus dari sistem
simpatis atau pelepasan katekolamin yang terus menerus dapat menyebabkan kerusakan pada
pembuluh darah dan gangguan pada jantung sehingga menyebabkan bradikardi berat. Menurut
James MFM dan rekan, Cook TM dan rekan mengatakan bahwa stimulasi katekolamin yang terus
menerus serta kerusakan pada fungsi jantung bisa diakibatkan toksin tetanus yang menyebar yang
mengakibatkan serangan jantung mendadak pada pasien tetanus. Berikut ini penulis
menyajikan sebuah laporan kasus kematian seorang laki-laki yang mengalami tetanus
generalisata dengan derajat Phillips score derajat berat. Penderita dirawat di perawatan
isolasi Bagian Saraf Rumah Sakit Dr. Muhammad Hoesin Palembang.
BAB II
STATUS PASIEN
2.1 Identifikasi
Nama : Tn. M
Usia : 32 tahun
Alamat : Palembang
Agama : Islam
MRS : 3 Januari 2021
2 . 2. Anamnesis
6
7
OD OS
- N. V : motorik : membuka mulut sullit karena trismus
8
Philips Score
Faktor Resiko Skor
Masa Inkubasi
- <48 jam 5
4
- 2-5 hari
3
- 5-10 hari 2
- 10-14 hari 1
- >14 hari
Lokasi Infeksi
- Umbilikus dan internal 5
4
- Kepala, leher, dinding tubuh
3
- Perifer/ekstremitas proksimal 2
- Perifer/ekstremitas distal 1
- Tidak diketahui
Status proteksi/imunisasi
- Tidak ada 10
8
- Sebagian imunisasi waktu kehamilan
4
- >10 tahun 2
- <10 tahun 0
- Proteksi lengkap
Komplikasi/faktor yang memberatkan
- Luka atau kondisi mengancam 10
kehidupan
- Luka berat atau kondisi tidak 8
mengancam kehidupan
4
- Luka sedang atau kondisi tidak
mengancam kehidupan 2
- Luka kecil 1
- ASA grade 1
Total Philips score 17
Keterangan :
- Skor tetanus ringan : <9
- Skor tetanus sedang : 9-16
- Skor tetanus berat : >16
-
# Kriteria Pattel Joag :
Derajat 3 : kasus berat, adanya minimal 3 kriteria, biasanya inkubasi kurang dari 7
hari, onset kurang dari 2 hari, mortalitas 32%
II.4 Diagnosis
10
II.5 Penatalaksanaan
A. Non farmakologis
- Perawatan ruang gelap isolasi
- Inform consent
- Diet cair 5400 kkal via NGT
- Konsul bedah untuk debridement luka
- Cek darah rutin, darah kimia, elektrolit, rapid tes covid19
- Rencana EKG
- Rencana Ro Thorax
B. Farmakologis
- IVFD NaCl 0,9% gtt xx x/m
- Injeksi HTIG 3000 iu (i.m)
- Metronidazol 4x500 mg (i.v)
- Diazepam 8x10 mg (i.v)
- Paracetamol 3 x 1 gram (i.v)
- Ranitidin 2x 50 mg (i.v)
- Neurodex 1 x 1 (po)
Rontgen thorak
Kesan : normal
EKG
12
Status lokalis
2.6 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia
14
Follow Up
Tanggal Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Diagnosis Tatalaksana
3 januari S:- nyeri dan kaku pada seluruh tubuh Diagnosis Klinis: Non Farmakologis :
2021 -Sulit membuka mulut (trismus 1 jari) Trismus 1 jari Perawatan ruang isolasi
16.30 Rhisus sardonicus
O: Observasi
Opistotonus
St. Generalis Abdominal rigidity Diet cair 5400 kkal via NGT
Sens : E4M6V5 Kejang rangsang
TD: 110/70 mmHg O2 3l/m
Diagnosis Topik :
RR: 20 x/mnt Neuromuscular Junction
Nadi : 96 x/mnt
T: 36,8°C Farmakologis :
Diagnosis Etiologi
Saturasi 99 % Tetanus Generalisata - IVFD NaCL 0,9% gtt XX/menit
St. Neurologis: stqa - Metronidazol 4x500 mg (i.v)
- Diazepam 8x10 mg (i.v)
- Ranitidin 2 x 50 mg (i.v)
- Paracetamol 3 x 1 gram (i.v)
- Neurodex 1 x 1 (ngt)
4 januari S:- nyeri dan kaku pada seluruh tubuh Diagnosis Klinis: Non Farmakologis :
2021 -Sulit membuka mulut (trismus 1 jari) Trismus 1 jari Perawatan ruang isolasi
07.00 Rhisus sardonicus
O: Observasi
Opistotonus
St. Generalis Abdominal rigidity Diet cair 5400 kkal via NGT
Sens : E4M6V5 Kejang rangsang
TD: 120/80 mmHg O2 3l/m
Diagnosis Topik :
RR: 22 x/mnt Neuromuscular Junction
Nadi : 96 x/mnt
T: 36,8°C Farmakologis :
Diagnosis Etiologi
Saturasi 99 % Tetanus Generalisata - IVFD NaCL 0,9% gtt XX/menit
St. Neurologis: stqa - Metronidazol 4x500 mg (i.v)
15
5 januari S:- nyeri dan kaku pada seluruh tubuh Diagnosis Klinis: Non Farmakologis :
2021 - penurunan kesadaran Obs penurunan kesadaran Perawatan ruang isolasi
07.00 -Sulit membuka mulut (trismus 1 jari) Trismus 1 jari
Observasi
Rhisus sardonicus
O: Opistotonus Diet cair 5400 kkal via NGT
St. Generalis Abdominal rigidity
Sens : E4M5V4 O2 12 l/m
Kejang rangsang
TD: 130/80 mmHg Diagnosis Topik : Konsul neuro infeksi
RR: 28 x/mnt Neuromuscular Junction
Nadi : 102 x/mnt
T: 36,9°C Diagnosis Etiologi Farmakologis :
Saturasi 96 % Tetanus Generalisata
- IVFD NaCL 0,9% gtt XX/menit
St. Neurologis: stqa
- Metronidazol 4x500 mg (i.v)
- Diazepam 10x10 mg (i.v)
- Ranitidin 2 x 50 mg (i.v)
- Paracetamol 3 x 1 gram (i.v)
- Neurodex 1 x 1 (ngt)
- N asetil sistein 3 x 200 mg
- Ketorolac 3 x 200 mg
- Propanolol 10mg
16
Neuroinfeksi
- Metronidazole 4 x 500 mg
dilanjutkan sampai 10 hari
- MgSO4 60 mg/KgBB drip dalam
RL/D5 100 cc titrasi selama 15-20
menit dilanjutkan maintenance 2,5
gr/ jam (drip dalam 500cc NaCl)
- Cek kalsium tiap hari
5 januar S:- nyeri dan kaku pada seluruh tubuh Diagnosis Klinis: Telah selesai pemberian MgSO4 dosis
i 2021 - penurunan kesadaran Obs penurunan kesadaran awal
12.00 -Sulit membuka mulut (trismus 1 jari) Trismus 1 jari Dilakukan pemberian dosis
Rhisus sardonicus maintenance
O: Opistotonus
17
St neurologis stqa
16.00 Pupil midriasis total, tensi tidak terukur, nadi tidak teraba
EKG Flat Penderita meninggal di hadapan keluarga dan perawat
18
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Definisi
3.2. Etiologi
3.3. Epidemiologi
3.4. Patogenesis
Faktor risiko lain yang dilaporkan termasuk usia tua, diabetes, luka kronis
(misalnya, ulkus kulit, abses, atau gangren), penyalahgunaan obat
parenteral, dan baru-baru ini pembedahan (4% dari kasus AS)
Selama 1998-2000, 12% pasien dengan tetanus di Amerika Serikat
menderita diabetes (dengan mortalitas, 31%), dibandingkan dengan 2%
selama 1995-1997; dari pasien ini, 69% mengalami cedera akut dan 25%
menderita gangren atau ulkus diabetes
Interval waktu rata-rata antara operasi dan onset tetanus adalah 7 hari
Tetanus dilaporkan setelah pencabutan gigi, terapi saluran akar, dan
trauma jaringan lunak intraoral
Tetanus umum adalah bentuk tetanus yang paling umum, terjadi pada
sekitar 80% kasus. Pasien datang dengan pola kejang otot menurun, pertama
datang dengan rahang terkunci, dan risus sardonicus (senyum kaku karena
kontraksi otot wajah yang berkelanjutan). Ini dapat berkembang menjadi leher
kaku, kesulitan menelan, dan otot dada dan betis kaku. Kejang ini dapat terjadi
hingga 4 minggu, dengan pemulihan penuh membutuhkan waktu berbulan-bulan.
Trismus adalah gejala yang muncul pada 75% kasus. Gambaran awal lainnya
termasuk mudah tersinggung, gelisah, diaphoresis, dan disfagia dengan
22
hidrofobia, air liur, dan kejang otot punggung. Manifestasi awal ini
mencerminkan keterlibatan otot bulbar dan paraspinal, kemungkinan karena
struktur ini dipersarafi oleh akson terpendek. Ketidakstabilan otonom juga dapat
terjadi pada pasien dengan demam, disritmia, tekanan darah dan detak jantung
yang tidak stabil, kesulitan bernapas, ekskresi katekolamin, dan bahkan kematian
dini.3,4
Tetanus neonatal adalah bentuk umum tetanus yang terjadi pada bayi baru
lahir dari ibu yang tidak diimunisasi atau dari infeksi melalui alat yang
terkontaminasi saat memotong tali pusat. Bayi dari ibu yang diimunisasi
umumnya tidak terkena tetanus akibat imunitas pasif dari ibunya. Mereka yang
terinfeksi, menunjukkan sifat lekas marah, makan yang buruk, wajah meringis,
kaku, dan kontraksi kejang parah yang dipicu oleh sentuhan. Ada laporan kasus
tentang konsekuensi jangka panjang pada orang yang selamat dari gangguan
perkembangan saraf, masalah perilaku, dan defisit dalam perkembangan motorik
kasar dan bicara serta bahasa.3,4
3.7. Komplikasi
Komplikasi yang mengancam jiwa dari tetanus dapat terjadi dan termasuk
pneumonia sekunder akibat aspirasi dan laringospasme, rhabdomyolysis,
perdarahan saluran cerna bagian atas, ketidakstabilan kardiovaskular seperti
serangan jantung sementara, takikardia atau bradikardia, aritmia, dan hipertensi,
gagal ginjal akut, dan infeksi luka sekunder. Kematian akibat infeksi terjadi akibat
gagal napas dan kolaps kardiovaskular, terkait dengan disfungsi otonom.3,9
Skor ablett merupakan sistem penilaian tetanus yang diusulkan oleh Ablett
dan merupakan sistem skoring yang paling sering digunakan. 6,10
Selain philip score, Dakar score juga merupakan sistem skoring yang
digunakan untuk menilai prognosis tetanus. Pada sistem skoring ini memasukkan
kriteria periode inkubasi dan periode onset, manifestasi neurologis dan kardiak.
Interpretasi dari Dakar score adalah 0-1 merupakan severitas ringan dengan
mortalitas10%; 2-3 merupakan severitas sedang dengan mortalitas10-20%; 4
merupakan severitas berat dengan mortalitas 20-40%; dan 5-6 merupakan
severitas sangat berat dengan mortalitas >50%. Dakar score memiliki spesifisitas
baik mencapai 98%, namun kurang sensitif (13%).6,7,10
selama hari pertama di RS, suhu tertinggi selama hari pertamadi RS. Risiko
mortalitas pada TSS menggunakan batas ≥8 untuk risiko tinggi (53%) dan <8
untuk risiko rendah (6,3%).7,10,11
TSS memiliki sensitivitas 77% dan spesifisitas 82%. Thwaites CL, et al,
mengungkapkan bahwa sistem skoring prognosis TSS lebih unggul dibandingkan
dua sistem skoring lainnya, karena menggunakan metode statistik yang lebih
baik.11 Skoring TSS membutuhkan data tanda vital pada 24 jam pertama yang
cukup merepotkan, namun dapat diaplikasikan dengan mudah dan murah di pusat
layanan kesehatan dengan keterbatasan sumber daya. Tetanus Severity Score
terlihat setara dengan dua sistem skoring lainnya dalam menentukan
prognosis.6,7,10
3.9. Tatalaksana
2.10. Prognosis
Prognosis setelah tetanus bergantung pada waktu dari gejala pertama hingga
kejang pertama. Secara umum, dengan waktu yang singkat untuk manifestasi
gejala, prognosisnya buruk. Pemulihan setelah tetanus lambat dan bisa memakan
waktu berbulan-bulan. Jika tidak diobati, mortalitasnya lebih dari 60% dan lebih
tinggi pada neonatus. Di fasilitas yang baik, angka mortalitasnya 13% sampai
25%. Baik tetanus neonatal maupun cephalic memiliki prognosis yang buruk.
Beberapa pasien mengalami hipotonia dan disfungsi otonom yang berlangsung
selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Bahkan mereka yang bertahan hidup,
membutuhkan toksoid tetanus karena infeksinya tidak memberikan kekebalan.
Biasanya pasien dapat bertahan hidup dari penyakit ini meskipun pemulihannya
lambat. Seringnya pasien dapat sembuh sempurna, namun beberapa pasien
mungkin tetap hipotonik.4,12
30
BAB IV
ANALISA KASUS
tepi yang tidak rata disertai luka yang kotor dan tidak terawat. Luka hanya diberi
betadin dan tidak dibersihkan. Penderita tidak berobat atau minum obat-obatan.
Luka penderita berpotensi terjadinya infeksi. Riwayat imunisasi yang tidak jelas.
Tidak ada riwayat darah tinggi, riwayat kencing manis, riwayat sakit jantung dan
sesak nafas. Riwayat infeksi telinga dan gigi tidak ada. Seperti yang kita ketahui
bahwa kuman penyebab tetanus yaitu clostridium tetani yang banyak ditemukan
didalam tanah, pada kotoran binatang dan sangat menyukai lingkungan yang
lembab. Kuman ini dapat pula ditemukan pada tanah yang kering, debu, kotoran
kuda, sapi, babi, domba, kambing, anjing, tikus, ayam dan manusia. Kuman ini
biasanya langsung masuk kejaringan inang (manusia) melalui luka trauma,
jaringan nekrosis dan jaringan yang kurang vaskularisasi. Dari luka penderita
yang sudah nekrosis dan terbuka maka kemungkinan untuk terjadinya tetanus
pada pasien ini sangat besar.
Derajat keparahan dari penderita ini menggunakan Philips Score,
didapatkan dari masa inkubasi >14 hari nilainya 1, lokasi infeksi nilainya 3,
imunisasi tidak ada nilainya 10, komplikasi -Luka berat atau kondisi tidak
mengancam kehidupan, nilainya 8. Score pada pasien ini adalah 22 yaitu derajat
berat. Bedasarkan kriteria Pattel Joag : kasus berat, adanya minimal 3 kriteria,
biasanya inkubasi kurang dari 7 hari, onset kurang dari 2 hari, mortalitas 32%.
Untuk terapi pada pasien ini mendapatkan HTIG 1x3000 unit. HTIG
merupakan serum yang akan memperpendek perjalanan penyakit tetanus dan
meningkatkan angka keselamatan (survival rate). Menurut El Haddad dan rekan
dosisi yang dianjurkan yaitu 500 unit HTIG yang diberikan secara intramuskular
segera setelah diagnosis tetanus ditegakkan. Sedangkan menurut Cook dan rekan
menyarankan untuk pemberian dengan dosis 500-6000 unit secara intramuskular.
Berdasarkan penelitian Wijaya pada tahun 2007 mengatakan bahwa efektifitas
antara ATS dan HTIG sama baiknya meskipun pada penggunaannya, HTIG
menunjukan tendensi angka kematian lebih rendah. Pada pasien diberikan terapi
lainnya yaitu diazepam 8x10mg intravena. Seperti yang kita ketahui bahwa
diazepam merupakan obat golongan benzodiazepine yang memperbesar GABA
agonis dengan cara menghambat inhibitor endogen direseptor GABA. Diazepam
32
dilaporkan memiliki efektifitas yang baik dengan efek depresi nafas yang lebih
rendah dibanding golongan barbiturat. Dosis yang dianjurkan untuk dewasa yaitu
0,5-10 mg/kg atau bisa dibagi sebagai berikut : spasme ringan 5-20 mg / 8 jam
peroral ; spasme sedang 5-10 mg intravena, tidak melebihi dosis 80-120 mg dalam
24 jam atau dalam bentuk drip ; spasme berat 50-100 ml destrose 5% dan
diinfuskan dalam kecepatan 10-15 mg/jam dalam 24 jam. Bedasarkan jurnal
Taylor AM. Tetanus continuing education in anesthesia. Critical Care Pain. 2006
pengobatan awal dari spasme otot dan ventilasi melibatkan sedasi dan ruangan
yang gelap. Benzodiazepin merupakan obat yang paling baik untuk sedasi dan
relaksasi otot, dan dijelaskan juga untuk mengurangi spasme. Diazepam dengan
dosis 120 mg per hari dapat diberikan dalam dosis terbagi jika ventilator tersedia.
Selain harga yang murah dan mudah didapatkan, diazepam merupakan terapi
standar yang biasa digunakan untuk pasien tetanus. Untuk antibiotik, pasien ini
mendapatakn metronidazole 4x500 mg. Bedasarkan Adams and Victor’s
Principles of Neurology dalam tatalaksana tetanus penisilin selama 10 hari (1.2
juta U penisilin prokain per hari), metronidazole (500 mg setiap 6 jam, diberikan
secara intravena atau 400 mg per rektal), atau tetrasiklin (2 gr per hari). Pada RCT
yang dilakukan oleh Yen dan rekan terhadap 1059 pasien tetanus tidak didapatkan
perbedaan signifikan antara penggunaan penisilin dengan metronidazole.
Pemberian bisa 7-14 hari atau sampai tanda tanda infeksi lokal yang aktif
menghilang. Pada pasien ini tidak diberikan terapi untuk kontrol disfungsi otonom
yang dicurigai sebagai penyebab langsung dari kematian pasien. Bedasarkan
jurnal Roper MH, Vandelaer JH, Gasse FL. Maternal and neonatal tetanus, 2007
dan Gibson, Kara., et al, Tetanus in Developing Countries 2009 dalam mengatasi
gangguan hemodinamik dan mencapai stabilitas kardiovaskular diberikan
propanolol yang diasosiasikan dengan edema pulmonal dan kematian mendadak
dan atropin digunakan dengan dosis yang sangat tinggi tanpa komplikasi. Agonis
alfa-2 berupa clonidine telah digunakan dengan kesuksesan yang bervariasi untuk
mengurangi efek simpatis. Pada pengobatan pasien ini penderita diberikan
propanolol, atropin dan Agonis alfa-2 (clonidine). Propranolol digunakan untuk
mengontrol hipertensi episodic dan takikardia, namun dapat menyebabkan
33
berat mencapai 50% pada negara berkembang yang tidak memiliki fasilitas ICU
dan ventilator yang memadai. Keadaan ini diakibatkan karena adanya obstruksi
nafas, kegagalan nafas dan gagal ginjal. Menurut Trujilo dan rekan pada pasien
tetanus berat yang telah mendapatkan perawatan ICU, kematian yang akibatkan
kelainan otonom masih mencapai 40% akibat serangan jantug mendadak dan 15%
akibat komplikasi gangguan nafas. Pada pasien ini tidak mendapatkan perawatan
ICU yang adekuat ditambah dengan gangguan otonom yang berat dipikirkan
sebagai penyebab kematian tiba tiba pada pasien. Perawatan di ICU tidak
dilakukan pada pasien ini dikarenakan saat pasien ini dirawat ICU dalam kondisi
penuh. Pasien ini diassesment di UGD dan dipindahkan di ruang isolasi di
bangsal, kemudian meninggal mendadak di bangsal paska 1 jam transfer dari
UGD.
Penyebab kematian pada pasien ini bisa diakibatkan karena adanya
gangguan disotonom dengan belum bisa menyingkirakn kemungkinan sepsis pada
pasien ini ataupun pneumonia aspirasi. Untuk menilai resiko kematian akibat
sepsis pada pasien digunakan skore SOFA yang didapatkan pada pasien ini 2.
Skor 2 atau lebih dari 2 memiliki resiko tinggi untuk terjadinya sepsis. Kriteria
diagnosis pada sepsis yaitu demam >38,3oC atau hipotermia <36oC, denyut
jantung >90, takipneu, perubahan kesadaran, leukositosis >12.000 atau lekopeni
<4000. Pada pasien ini terdapat suhu 37,6 dengan pernafasan dan nadi yang
normal, jadi kemungkinan terjadinya sepsis pada pasien ini masih bisa
disingkirkan.
Komplikasi yang mungkin dapat mengakibatkan kematian pada pasien ini
adalah komplikasi respirasi dan komplikasi kardiovaskluar akibat disfungsi
otonom. Hipoksia dan gagal nafas sering terjadi pada tetanus berat. Rigiditas otot
dan spasme dinding dada, diafragma, dan perut menyebabkan restriksi nafas.
Penurunan kemampuan batuk akibat rigiditas, spasme dan sedasi menyebabkan
atelektasis dan resiko pneumonia meningkat. Ketidakmampuan menelan saliva,
sekresi saliva yang masif, spasme faring, peningkatan tekanan intraabdomen dan
statis gaster secara keseluruhan menyebabkan resiko aspirasi, Ketidaksesuaian
antara ventilasi dengan perfusi bisa terjadi, akibatnya hipoksia sering ditemukan
35
pada pasien tetanus berat dan sedang, walaupun rontgen thorak dalam batas
normal. Pada pasien ini sudah terpasang NGT (pipa nasogastrik) sejak di awal
masuk UGD tujuan dari pemasangan NGT ini selain untuk mencegah aspirasi
dapat juga untuk memberikan nutrisi adekuat yang tidak dapat diberikan melalui
oral. Walaupun pemasangan NGT sudah dilakukan masih ada kemungkinan
terjadi aspirasi yaitu akibat produksi saliva yang berlebihan. Kondisi pasien yang
memburuk secara tiba-tiba setelah perawatan di bangsal selama 30 menit yaitu
berupa sesak nafas hebat, saturasi yang menurun, nadi yang cepat (takikardia)
diikuti penurunan tensi dan bradikardia merupakan komplikasi respirasi akibat
gangguan disotonom yang akhirnya dapat mengakibatkan acute respiratory
distress syndrome yaitu berupa gagal nafas dan asistole.
Kematian akibat disotonom kardiovaskular perlu juga dipikirkan pada
pasien ini. Kematian jantung mendadak merupakan bagian dari tetanus berat yang
penyebabnya masih belum jelas sampai sekarang tapi penjelasan yang masuk akal
termasuk hilangnya kerja simpatetik secara tiba tiba, katekolamin yang
menyebabkan rusaknya fungsi jantung dan peningkatan tonus parasimpatis. Pada
pasien ini didapatkan keadaan pasien berfluktuasi dari hipertensi dan takikardi
mengalami penurunan menjadi hipotensi dan bradikardi yang merupakan gejala
disotonom pada kardiovaskular.
BAB V
KESIMPULAN
36
DAFTAR PUSTAKA
5. Blencowe H, Cousens S, Mullany LC, et al. Clean birth and postnatal care
practices to reduce neonatal deaths from sepsis and tetanus: A sistematic
review and Delphi estimation of mortality effect. BMC Public Health.
2011;11(SUPPL. 3):S11. doi:10.1186/1471-2458-11-S3-S11
8. Cardinal PR, Henry SM, Joshi MG, Lauerman MH, Park HS. Fatal
Necrotizing Soft-Tissue Infection Caused by Clostridium tetani in an
Injecting Drug User: A Case Report. Surg Infect (Larchmt).
2020;21(5):457-460. doi:10.1089/sur.2019.244
11. Thwaites CL, Yen LM, Glover C, et al. Predicting the clinical outcome of
tetanus: The tetanus severity score. Trop Med Int Heal. 2006;11(3):279-
37
287. doi:10.1111/j.1365-3156.2006.01562.x
13. Lisboa T, Ho Y-L, Henriques Filho GT, et al. Guidelines for the
management of accidental tetanus in adult patients. Rev Bras Ter intensiva.
2011;23(4):394-409. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23949453.
38