Anda di halaman 1dari 20

HADIS MENGENAI ZAKAT HARTA, ZAKAT HEWAN, DAN

ZAKAT FITRAH

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadist Ahkam

DISUSUN OLEH:
MUHAMMAD ZAINUDDIN MANGUNSONG (0201182)
MUHAMMAD IFDHOL (0201182081)
MEI SAKINAH RAMBE (0201182083)
Dosen Pengampu : Rusmini, Dra.,MA

JURUSAN AL-AKHWAL AL-SYAKHSIYYAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Assalamualikum Wr.Wb
Puji syukur senantiasa selalu kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan limpahan Rahmat,Taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini. Shalawat beserta salam tak lupa kita curahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah menunjukan jalan kebaikan dan kebenaran di dunia dan akhirat
kepada umat manusia.
Makalah ini kami susun dengan segala kemampuan kami dan semaksimal mungkin.
Namun, kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu tidaklah sempurna dan
masih banyak kesalahan serta kekurangan. Maka dari itu kami sebagai penyusun makalah ini
mohon kritik, saran dan pesan dari semua yang membaca makalah ini terutama Dosen Mata
Kuliah Hadis Ahkam yang kami harapkan sebagai bahan koreksi untuk kami.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Medan, 11 april 2020

Tim Penyusun Makalah


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................
A. Latar Belakang...................................................................................
B. Rumusan Masalah...............................................................................
C. Tujuan ................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................
A. Zakat Harta........................................................................................
B. Zakat Hewan Ternak.........................................................................
C. Zakat Fitrah.......................................................................................
BAB III PENUTUP..........................................................................................
A. Kesimpulan.........................................................................................
B. Saran...................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Zakat merupakan rukun Islam yang ke empat dan merupakan salah satu unsur pokok
bagi tegaknya syari’at agama Ism. Menurut Mutia dan Anzu (2009) zakat diyakini mampu
mengatasi masalah sosial yang terjadi di masyarakat, diantaranya mengentaskan kemiskinan
dan mengurangi kesenjangan pendapatan masyarakat. Zakat itu mempunyai dua fungsi,
pertama adalah untuk membersihkan harta benda dan jiwa manusia supaya senantiasa dalam
keadaan fitrah. Kedua, zakat itu juga berfungsi sebagai dana masyarakat yang dimanfaatkan
untuk kepentingan sosial guna mengurangi kemiskinan. Secara etimologis, zakat memiliki
arti kata berkembang (an-namaa), mensucikan (at-thaharatu), dan berkah (al-barakatu).
Sedangkan seecara terminologis, zakat mempunyai arti mengeluarkan sebagian harta
denganpersyaratan tertentu untuk diberikan kepada kelompok tertentu (mustahik) dengan
persyaratan tertentu pula.
Islam melarang menumpuk harta, menahannya dari peredaran dan pengembangan.
Sesuai dengan firman Allah SWT: Dan orang- orang yang menyimpan emas dan perak serta
tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah pada mereka (bahwa mereka
akan mendapat) siksa yang pedih. (.S At Taubah : 34). Pelaksanaan zakat erat hubungannya
dengan suatu ekonomi karena dapat mendorong kehidupan ekonomi hingga orang- orang
dapat menunaikan zakat. Dalam sistem perekonomian Islam, uang itu tidak akan mempunyai
kebaikan dan laba yang halal bila ia dibiarkan saja tanpa di operasikan, tetapi ia harus
terpotong oleh zakat manakala masih mencapai satu nisab dan khaulnya. Sedangkan Islam
mengharamkan riba karena itulah ekonomi Islam yang berlandaskan pada pengarahan zakat
akan memberi dorongan terhadap terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang pesat. Pada
umumnya harta yang wajib dizakatkan adalah mempunyai sifat berkembang atau sudah
menjadi harta simpanan, dan zakat dikeluarkan dari hasil pertumbuhannya, bukan dari
modalnya.
B. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah wajib membayar zakat harta?


2. Apakah wajib membayar zakat hewan ternak?
3. Apakah wajib membayar zakat fitrah?

C. TUJUAN

1. Untuk mengetahui kewajiban membayar zakat harta


2. Untuk mengetahui kewajiban membayar zakat hewan ternak
3. Untuk mengetahui kewajiban membayar zakat fitrah
BAB II
PEMBAHASAN

A. ZAKAT HARTA (MAL)

َ ‫ بَ َع‬- ‫س )لَّ َم‬


‫ث‬ َ - ‫ «أَنَّ النَّبِ َّي‬:- ‫ض ) َي هَّللا ُ َع ْن ُه َم))ا‬
َ ‫ص )لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي) ِه َو‬ ِ ‫ َر‬- ‫س‬ ٍ ‫عَنْ ا ْب ِن َعبَّا‬
‫ص)) َدقَةً فِي‬ َ ‫ض َعلَ ْي ِه ْم‬ َ ‫)ر‬ َ )َ‫ أَنَّ هَّللا َ قَ ) ْد ا ْفت‬:‫ َوفِي)) ِه‬- ‫يث‬
َ ‫ فَ)) َذ َك َر ا ْل َح)) ِد‬- ‫ُم َع))ا ًذا إلَى ا ْليَ َم ِن‬
ٌ َ‫ فَتُ َر َّد فِي فُقَ َرائِ ِه ْم» ُمتَّف‬،‫أَ ْم َوالِ ِه ْم تُ ْؤ َخ ُذ ِمنْ أَ ْغنِيَائِ ِه ْم‬
ِّ ‫ َواللَّ ْفظُ لِ ْلبُ َخا ِر‬،‫ق َعلَ ْي ِه‬
‫ي‬

554. Dari Ibnu Abbas RA bahwasanya Nabi SAW mengutus Muadz ke Yaman –kemudian
beliau menyebutkan satu hadits yang dijelaskan di dalamnya- “Sesungguhnya Allah SWT
telah mewajibkan zakat atas harta benda mereka, yang diambil dari orang-orang kaya di
antara mereka untuk diberikan kepada orang-orang fakir di antara mereka.” (Muttafaq alaih,
ini lafazh Al Bukhari)

[Shahih: Al Bukhari 1395 dan Muslim 19]

Penjelasan Kalimat

Hadits ini terdapat dalam Shahih Al Bukhari dengan redaksi lengkap sebagai berikut:

‫ إنَّك‬:ُ‫ث ُم َع))ا ًذا إلَى ا ْليَ َم ِن قَ))ا َل لَ)ه‬ َ ‫ لَ َّما بَ َع‬- ‫س)لَّ َم‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي) ِه َوآلِ) ِه َو‬ َ - ُ‫س «أَنَّه‬ ٍ ‫عَنْ ا ْب ِن َعبَّا‬
َّ‫ب فَ ْليَ ُكنْ أَ َّو ُل َما تَ ْدعُو ُه ْم إلَ ْي ِه ِعبَ))ا َدةَ هَّللا ِ فَ)إ ِ َذا َع َرفُ))وا هَّللا َ فَ))أ َ ْخبِ ْر ُه ْم أَن‬
ٍ ‫تَ ْق ُد ُم َعلَى قَ ْو ٍم أَ ْه ِل ِكتَا‬
‫ض‬ َ ‫ت فِي يَ ْو ِم ِه ْم َولَ ْيلَتِ ِه ْم فَإ ِ َذا فَ َعلُوا فَ))أ َ ْخبِ ْر ُه ْم أَنَّ هَّللا َ قَ ) ْد فَ ) َر‬ٍ ‫صلَ َوا‬
َ ‫س‬ َ ‫ض َعلَ ْي ِه ْم َخ ْم‬ َ ‫هَّللا َ قَ ْد فَ َر‬
‫)ر ُّد ِفي فُقَ) َرائِ ِه ْم فَ)إ ِ َذا أَطَ))اعُوك فَ ُخ) ْذ ِم ْن ُه ْم‬ َ )ُ‫َعلَ ْي ِه ْم ال َّز َك))اةَ ِفي أَ ْم) َوالِ ِه ْم ت ُْؤ َخ) ُذ ِمنْ أَ ْغنِيَ))ائِ ِه ْم َوت‬
ِ ‫ق َك َرائِ َم أَ ْم َوا ِل النَّا‬
»‫س‬ َّ ‫َوت ََو‬

“Dari Ibnu Abbas, bahwasanya ketika Rasulullah SAW mengutus Muadz ke Yaman, beliau
bersabda kepadanya, “Sesungguhnya engkau mendatangi kaum dari golongan ahli kitab,
maka hendaklah yang pertama engkau serukan kepada mereka adalah beribadah kepada
Allah, jika mereka telah mengenal Allah, maka kabarkanlah kepada mereka bahwasanya
Allah SWT telah mewajibkan shalat lima kali dalam sehari semalam, dan jika mereka telah
melaksanakannya maka kabarkanlah kepada mereka bahwasanya Allah telah mewajibkan
zakat dari harta benda mereka, yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka untuk
dibagikan kepada orang-orang fakir di antara mereka, jika mereka menaati perintahmu
maka ambillah –zakat- dari mereka, dan hindarilah harta-harta mulia –kesayangan-
mereka.”

Dari sabda beliau, ‘yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka’, para ulama
menyimpulkan bahwa imam –pemimpin- atau pihak yang mewakilinya berhak mengambil
dan membagikan zakat. Jika ada yang tidak mau membayar zakat, maka ia berhak
mengambilnya secara paksa. Hal ini dipertegas dengan sikap Rasulullah SAW ketika beliau
mengutus para pengumpul zakat ke penjuru negeri.

Dan sabda beliau ‘... dibagikan kepada orang-orang fakir di antara mereka.’ Menjelaskan
bahwa zakat cukup dibagikan kepada satu golongan saja. Namun ada yang berpendapat,
pengkhususan orang-orang fakir dalam hadits ini hanya menunjukkan bahwa golongan inilah
yang mayoritas saat itu, sehingga tidak menunjukkan pengkhususan kepada satu golongan ini
saja. Atau bisa jadi hanya merekalah yang berhak mendapatkannya. Bagi yang mengatakan
bahwa kondisi orang miskin lebih parah daripada orang fakir, maka orang miskin masuk
dalam kategori ini. sedangkan yang berpendapat sebaliknya maka pendapat mereka jelas
berbeda.
‫‪B. ZAKAT HEWAN TERNAK‬‬

‫يض)ةُ َّ‬
‫الص) َدقَ ِة الَّتِي‬ ‫ض) َي هَّللا ُ َع ْن)هُ – َكت ََب لَ)هُ‪َ :‬ه) ِذ ِه فَ ِر َ‬ ‫ق – َر ِ‬ ‫س «أَنَّ أَبَا بَ ْك) ٍر ِّ‬
‫الص)دِّي َ‬ ‫َوعَنْ أَنَ ٍ‬
‫س)ولَهُ فِي‬ ‫س)لِ ِمينَ َواَلَّتِي أَ َم َ‬
‫)ر هَّللا ُ بِ َه)ا َر ُ‬ ‫سلَّ َم – َعلَى ا ْل ُم ْ‬‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َ‬
‫سو ُل هَّللا ِ – َ‬‫ض َها َر ُ‬‫فَ َر َ‬
‫ش ) ِرينَ‬
‫سا َو ِع ْ‬ ‫س شَاةٌ‪ ،‬فَإ ِ َذا بَلَ َغتْ َخ ْم ً‬ ‫ُك ِّل أَ ْربَ ٍع َو ِع ْ‬
‫ش ِرينَ ِمنْ اإْل ِ بِ ِل فَ َما دُونَ َها ا ْل َغنَ ُم‪ :‬فِي ُك ِّل َخ ْم ٍ‬
‫ض أُ ْنثَى‪ ،‬فَ)إِنْ لَ ْم تَ ُكنْ فَ))ابْنُ لَبُ))و ٍن َذ َك) ٌر‪ ،‬فَ)إ ِ َذا بَلَ َغتْ ِ‬
‫س)تًّا‬ ‫س َوثَاَل ثِينَ فَفِي َه))ا بِ ْنتُ َم َخ) ا ٍ‬ ‫إلَى َخ ْم ٍ‬
‫س )تِّينَ فَفِي َه))ا‬ ‫ستًّا َوأَ ْربَ ِعينَ إلَى ِ‬ ‫س َوأَ ْربَ ِعينَ فَفِي َها بِ ْنتُ لَبُو ٍن أُ ْنثَى‪ ،‬فَإ ِ َذا بَلَ َغتْ ِ‬
‫َوثَاَل ثِينَ إلَى َخ ْم ٍ‬
‫س) ْب ِعينَ فَفِي َه))ا َج َذ َع) ةٌ‪ ،‬فَ)إ ِ َذا بَلَ َغتْ‬ ‫س)تِّينَ إلَى َخ ْم ٍ‬
‫س َو َ‬ ‫ِحقَّةٌ طَ ُروقَةُ ا ْل َج َم ِل‪ ،‬فَإ ِ َذا بَلَ َغتْ َو ِ‬
‫اح َدةً َو ِ‬
‫س) ِعينَ إلَى ِع ْ‬
‫ش) ِرينَ َو ِمائَ) ٍة‬ ‫إح) دَى َوتِ ْ‬‫)ون‪ ،‬فَ)إ ِ َذا بَلَ َغتْ ْ‬
‫س) ِعينَ فَفِي َه))ا بِ ْنتَ))ا لَبُ) ٍ‬ ‫ستًّا َو َ‬
‫س ْب ِعينَ إلَى تِ ْ‬ ‫ِ‬
‫ش ِرينَ َو ِمائَ ٍة فَفِي ُك ِّل أَ ْربَ ِعينَ بِ ْنتُ لَبُو ٍن‪َ ،‬وفِي‬
‫ط ُروقَتَا ا ْل َج َم ِل‪ ،‬فَإ ِ َذا زَ ادَتْ َعلَى ِع ْ‬ ‫فَفِي َها ِحقَّتَا ِن َ‬
‫ص) َدقَةٌ إاَّل أَنْ يَ َ‬
‫ش)ا َء َر ُّب َه))ا‪.‬‬ ‫سينَ ِحقَّةٌ‪َ ،‬و َمنْ لَ ْم يَ ُكنْ َم َعهُ إاَّل أَ ْربَ ٌع ِمنْ اإْل ِ بِ ِل فَلَ ْي َ‬
‫س فِي َه))ا َ‬ ‫ُك ِّل َخ ْم ِ‬
‫ش ِرينَ َو ِمائَ ِة شَا ٍة شَاةٌ‪ ،‬فَإ ِ َذا َزادَتْ َعلَى‬ ‫سائِ َمتِ َها إ َذا َكانَتْ أَ ْربَ ِعينَ إلَى ِع ْ‬ ‫ص َدقَ ِة ا ْل َغنَ ِم فِي َ‬‫َوفِي َ‬
‫َان‪ ،‬فَ)إ ِ َذا زَ ادَتْ َعلَى ِم))ائَتَ ْي ِن إلَى ثَاَل ثِ ِمائَ) ٍة فَفِي َه))ا ثَاَل ُ‬
‫ث‬ ‫ش ِرينَ َو ِمائَ ٍة إلَى ِم))ائَتَ ْي ِن فَفِي َه))ا َ‬
‫ش)ات ِ‬ ‫ِع ْ‬
‫س)ائِ َمةُ ال َّر ُج) ِل نَاقِ َ‬
‫ص)ةً ِمنْ‬ ‫ش)اةٌ‪ ،‬فَ)إ ِ َذا َك)انَتْ َ‬‫ش)يَا ٍه‪ ،‬فَ)إ ِ َذا َزادَتْ َعلَى ثَاَل ثِ ِمائَ) ٍة فَفِي ُك) ِّل ِمائَ) ٍة َ‬
‫ِ‬
‫ق َواَل‬ ‫ش)ا َء َربُّ َه))ا‪َ ،‬واَل يُ ْج َم) ُع بَيْنَ ُمتَفَ) ِّر ٍ‬ ‫ص) َدقَةٌ‪ ،‬إاَّل أَنْ يَ َ‬
‫س فِي َه))ا َ‬ ‫أَ ْربَ ِعينَ شَا ٍة شَاةً َو ِ‬
‫اح) َدةً فَلَ ْي َ‬
‫ص َدقَ ِة‪َ ،‬و َما َكانَ ِمنْ َخلِيطَ ْي ِن فَإِنَّ ُه َم))ا يَتَ َر َ‬
‫اج َع))ا ِن بَ ْينَ ُه َم))ا بِ َّ‬
‫الس ) ِويَّ ِة‪)،‬‬ ‫شيَةَ ال َّ‬ ‫يُفَ َّر ُ‬
‫ق بَيْنَ ُم ْجتَ ِم ٍع َخ ْ‬
‫الرقَ) ِة‪:‬‬
‫ص) ِّدقُ‪َ ،‬وفِي ِّ‬ ‫س إاَّل أَنْ يَ َ‬
‫ش)ا َء ا ْل ُم َّ‬ ‫)وا ٍر‪َ ،‬واَل تَ ْي ٌ‬ ‫ص َدقَ ِة َه ِر َمةٌ‪َ ،‬واَل َذاتُ َع) َ‬ ‫َواَل يُ ْخ َر ُج فِي ال َّ‬
‫ش)ا َء‬‫ص) َدقَةٌ إاَّل أَنْ يَ َ‬
‫س فِي َه)ا َ‬ ‫س) ِعينَ َو ِمائَ) ٍة فَلَ ْي َ‬ ‫ش) ِر‪ ،‬فَ)إِنْ لَ ْم تَ ُكنْ إاَّل تِ ْ‬
‫فِي ِمائَت َْي ِد ْره ٍَم ُربُ ُع ا ْل ُع ْ‬
‫ستْ ِع ْن َدهُ َج َذ َعةٌ َو ِع ْن َدهُ ِحقَّةٌ‪ ،‬فَإِنَّ َها تُ ْقبَ) ُل‬‫ص َدقَةُ ا ْل َج َذ َع ِة َولَ ْي َ‬‫َربُّ َها‪َ ،‬و َمنْ بَلَ َغتْ ِع ْن َدهُ ِمنْ اإْل ِ بِ ِل َ‬
‫ص) َدقَةُ‬ ‫ش) ِرينَ ِد ْر َه ًم))ا‪َ ،‬و َمنْ بَلَ َغتْ ِع ْن) َدهُ َ‬ ‫س) َرتَا لَ)هُ‪ ،‬أَ ْو ِع ْ‬ ‫ستَ ْي َ‬
‫ش)اتَ ْي ِن إنْ ا ْ‬ ‫ِم ْنهُ‪َ ،‬ويَ ْج َع) ُل َم َع َه))ا َ‬
‫ق‬ ‫س)تْ ِع ْن) َدهُ ا ْل ِحقَّةُ‪َ ،‬و ِع ْن) َدهُ ا ْل َج َذ َع) ةُ‪ ،‬فَإِنَّ َه))ا تُ ْقبَ) ُل ِم ْن)هُ ا ْل َج َذ َع) ةُ‪َ ،‬ويُ ْع ِطي) ِه ا ْل ُم َّ‬
‫ص) ِّد ُ‬ ‫ا ْل ِحقَّ ِة َولَ ْي َ‬
‫ي‬ ‫ش ِرينَ ِد ْر َه ًما أَ ْو شَاتَ ْي ِن» َر َواهُ ا ْلبُ َخا ِر ُّ‬ ‫ِع ْ‬

‫‪555. Dari Anas RA, bahwasanya Abu Bakar RA mengirim tulisan kepadanya, “Inilah‬‬
‫‪kewajiban sedekah –zakat- yang telah diwajibkan Rasulullah SAW kepada umat Islam‬‬
‫‪berdasarkan perintah Allah kepada Rasul-Nya –Muhammad SAW-, “Pada setiap 24 ekor‬‬
unta atau yang kurang darinya maka zakatnya satu ekor kambing; [yaitu dengan perincian]
pada setiap lima ekor unta dikeluarkan satu ekor ka,bing, jika jumlah unta tersebut telah
mencapi 25 hingga 35 ekor, maka zakatnya seekor bintu makhadh [anak unta betina yang
telah berumur 1 tahun], jika tidak ada maka seekor Ibnu labuun [anak unta jantan berumur
2 tahun], jika jumlahnya mencapai 36 hingga 45 ekor, maka zakatnya seekor bintu labuun
[anak unta betina berumur 2 tahun], jika jumlahnya mencapai 46 hingga 60 maka zakatnya
seekor hiqqah [unta betina berumur 3 tahun], jika jumlahnya mencapai 61 hingga 75 ekor,
maka zakatnya seekor jadza’ah [unta betina berumur 4 tahun], jika jumlahnya mencapai 76
hingga 90 maka zakatnya dua ekor bintu labuun, jika jumlahnya mencapai 91 hingga 120
maka zakatnya dua ekor hiqqah, jika jumlahnya lebih dari 120 ekor, maka pada setiap 40
ekor zakatnya seekor bintu labuun, dan pada setiap 50 ekor zakatnya seekor hiqqah,
sedangkan orang yang tidak memiliki kecuali 4 ekor unta maka ia tidak wajib mengeluarkan
zakat kecuali jika ia menghendakinya.

Sedangkan untuk kambing yang dipelihara secara liar, maka jika jumlahnya telah mencapai
40 hingga 120 ekor maka zakatnya satu ekor kambing, jika jumlahnya lebih dari 120 hingga
200 ekor maka zakatnya dua ekor kambing, jika jumlahnya lebih dari 200 jingga 300 maka
zakatnya tiga ekor kambing, jika jumlahnya melebihi 300 ekor maka pada setiap 100 ekor
kambing dikeluarkan seekor kambing, namun jika jumlah kambing liar seseorang 40 ekor
kurang satu, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakat, kecuali jika ia menghendakinya.

Dan tidak boleh digabungkan antara (hewan-hewan) yang terpisah atau memisahkan yang
tergabung karena takut untuk mengeluarkan zakat, dan jika hewan itu milik dua orang maka
kewajibannya ditanggung bersama-sama secara proporsional, dan hendaklah tidak
memberikan zakat berupa hewan yang telah tua renta, tidak juga yang buta sebelah
matanya, tidak pula kambing pejantan kecuali jika pemiliknya menghendakinya.

Sedangkan perak, maka zakatnya 2,5%, namun jika jumlahnya hanya 190 dirham maka
pemiliknya tidak wajib mengeluarkan zakat kecuali jika pemiliknya menghendakinya.

Jika seseorang harus mengeluarkan unta berumur 4 tahun namun ia tidak memilikinya dan
hanya memiliki hiqqah, maka ia mengeluarkan hiqqah tersebut ditambah dua ekor kambing
jika mungkin, atau 20 dirham, sedangkan jika seseorang harus mengeluarkan hiqqah namun
ia tidak memilikinya dan hanya memiliki Jadza’ah, maka ia mengeluarkan Jadza’ah tersebut
lalu petugas pengumpul zakat mengembalikan 20 dirham atau dua ekor kambing.” (HR. Al
Bukhari)

Penjelasan Kalimat

Dari Anas RA, bahwasanya Abu Bakar RA mengirim tulisan kepadanya, (tulisan ini
dikirimkan oleh Abu Bakar kepada Anas ketika beliau menugaskannya sebagai amil –
pegawai- ke Bahrain) “Inilah kewajiban sedekah (hal ini menunjukkan bahwa kata sedekah
bisa berarti zakat; di dalam Al Bukhari naskah ini dimulai dengan basmalah) yang telah
diwajibkan Rasulullah SAW kepada umat Islam (yang telah ditentukan ukurannya oleh
Rasulullah SAW. Teks ini menegaskan bahwa hadits ini adalah hadits marfu’. Yang
dimaksud dengan ‘diwajibkan’ adalah ditentukan, sebab dasar penetapannya telah disebutkan
di dalam Al Qur’an) berdasarkan perintah Allah kepada Rasul-Nya –Muhammad SAW-,
(bahwa Allah telah memerintahkan kepadanya untuk menjelaskan secara detail yang meliputi
macam, jenis dan jumlah yang harus dikeluarkan)

“Pada setiap 24 ekor unta atau yang kurang darinya maka zakatnya satu ekor kambing; [yaitu
dengan perincian] pada setiap lima ekor unta dikeluarkan satu ekor kambing, (menurut imam
Malik dan imam Ahmad, pemilik tersebut hanya boleh mengeluarkan zakat berupa kambing,
jika ia memaksa mengeluarkan zakat berupa unta maka zakatnya tidak sah. Sedangkan
menurut Jumhur ulama hal itu dianggap sah dengan argumen bahwa hukum asalnya ialah
zakat yang dikeluarkan hendaklah dari jenis barang yang harus dizakati, kemudian agama
menggantinya dengan kambing sebagai bentuk kasih sayang kepada pemilik harta, dengan
demikian jika pemilik harta berkehendak untuk menggunakan hukum aslinya maka hal itu
diperbolehkan, namun jika harga unta tersebut kurang dari harga 4 ekor kambing, maka para
ulama mazhab syafiiyah dan yang lainnya berbeda pendapat. Dan jika ditilik dari sisi
analoginya, maka tentulah zakat tersebut tidak sah, demikian penjelasan Ibnu Hajar di dalam
Al Fath) jika jumlah unta tersebut telah mencapai 25 hingga 35 ekor, maka zakatnya seekor
bintu makhadh [anak unta betina yang telah berumur 1 tahun], (memasuki umur dua tahun
hingga dua tahun penuh, berdasarkan hal ini jumhur ulama mengatakan bahwa setelah
mencapai jumlah 25 sampai 35 maka harus dikeluarkan zakat berapa bintu makhadh;
Diriwayatkan dari Ali RA, bahwa beliau berpendapat pada jumlah 25 ekor unta dikeluarkan 5
ekor kambing, hal ini berdasarkan satu hadits marfu’ dan satu hadits mauquf dari Ali RA.
Namun ternyata hadits marfu tersebut dhaif, sedangkan hadits mauquf tidak bisa digunakan
sebagai dasar hukum. Oleh karena itu, jumhur ulama tidak menghiraukannya) jika tidak ada
maka seekor Ibnu labuun [anak unta jantan berumur 2 tahun] (memasuki umur 3 tahun
sampai 3 tahun penuh), jika jumlahnya mencapai 36 hingga 45 ekor, maka zakatnya seekor
bintu labuun [anak unta betina berumur 2 tahun], jika jumlahnya mencapai 46 hingga 60
maka zakatnya seekor hiqqah [unta betina berumur 3 tahun], (memasuki umur empat tahun
hingga genap 4 tahun) jika jumlahnya mencapai 61 hingga 75 ekor, maka zakatnya seekor
jadza’ah [unta betina berumur 4 tahun], (memasuki umur 5 tahun); jika jumlahnya mencapai
76 hingga 90 maka zakatnya dua ekor bintu labuun, jika jumlahnya mencapai 91 hingga 120
maka zakatnya dua ekor hiqqah, jika jumlahnya lebih dari 120 ekor, (walau hanya lebih satu,
demikian pendapat jumhur –pendapat ini diperkuat oleh tulisan Umar RA, jika jumlahnya
121 hingga 129 maka zakatnya tiga ekor bintu labuun. Berdasarkan pendapat jumhur ini,
maka jika jumlahnya lebih dari 120 zakatnya seekor unta. Dan setiap penambahan jumlah
sebelum mencapai jumlah 130 tidak ada zakat, tetapi setelah mencapai jumlah tersebut maka
dikeluarkan dua ekor bintu labuun dan seekor hiqqah, dan pada jumlah 140 dikeluarkan dua
ekor bintu labuun dan dua ekor hiqqah.

Sedangkan menurut imam Hanafi, jika jumlahnya melebihi 120, maka setiap penambahan
zakatnya dikeluarkan berupa kambing, kembali ke hukum awal, dengan demikian jika
jumlahnya mencapai 125, maka dikeluarkan tiga ekor bintu labun dan seekor kambing.

Menurut saya lafazh hadits ini hanya menjelaskan apa yang harus dilakukan setiap 40 dan 50
ekor, maka jika jumlahnya telah mencapai 121 harus dikeluarkan 3 ekor bintu labun, karena
setiap 40 ekor dikeluarkan seekor bintu labuun, dan hadits ini tidak menjelaskan apa yang
harus dilakukan pada jumlah 125, mungkin pendapat Abu Hanifah yang berlaku di sini, atau
bisa jadi ia adalah bentuk keringanan hingga jumlahnya mencapai 130, Wallahu a’lam)

maka pada setiap 40 ekor zakatnya seekor bintu labuun, dan pada setiap 50 ekor zakatnya
seekor hiqqah, sedangkan orang yang tidak memiliki kecuali 4 ekor unta maka ia tidak wajib
mengeluarkan zakat kecuali jika ia menghendakinya. (ia mengeluarkan zakat sebagai amal
baik, hal ini dijelaskan agar tidak dipahami secara salah bahwa orang tersebut tidak boleh
mengeluarkan zakat. Demikian penjelasan zakat unta)

Sedangkan untuk kambing yang dipelihara secara liar, (menurut jumhur ulama,
pemeliharaan secara liar merupakan syarat wajibnya zakat, sedangkan menurut imam Malik
dan Rabi’ah, hal itu tidak menjadi syarat. Menurut saya pemeliharaan secara liar juga
merupakan syarat wajib pada unta berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan
An Nasa’i dari Bahz bin Hakim:

َ ‫«فِي ُك ِّل‬
»‫سائِ َم ٍة إبِ ٌل‬

‘Pada setiap unta yang dipelihara secara liar...” [Hasan: Abu Daud 1575. Ebook editor]

Demikian juga dengan sapi, walapun dalam haditsnya tidak dijelaskan adanya pemeliharaan
secara liar, kemudian para ulama menganalogikan kepada unta dan kambing) maka jika
jumlahnya telah mencapai 40 hingga 120 ekor maka zakatnya satu ekor kambing, (kambing
di sini meliputi kambing jantan maupun betina, baik domba maupun kambing biasa) jika
jumlahnya lebih dari 120 hingga 200 ekor maka zakatnya dua ekor kambing, jika jumlahnya
lebih dari 200 jingga 300 maka zakatnya tiga ekor kambing, jika jumlahnya melebihi 300
ekor maka pada setiap 100 ekor kambing dikeluarkan seekor kambing, (dengan demikian
sebelum mencapai 400 tidak wajib mengeluarkan 4 ekor kambing, menurut jumhur ulama.
Diriwayatkan dari imam Ahmad dan sebagian ulama Kufah, bahwa jika jumlahnya 300 plus
1, maka wajib dikeluarkan 4 ekor kambing) namun jika jumlah kambing liar seseorang 40
ekor kurang satu, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakat, kecuali jika ia menghendakinya.
(sebagai amal baik baginya)

Dan tidak boleh digabungkan antara (hewan-hewan) yang terpisah (sebagai contoh, jika tiga
orang masing-masing memiliki 40 ekor kambing, sehingga setiap orang harus mengeluarkan
seekor kambing, lalu mereka menyatukan semua milik mereka hingga jumlahnya 120 ekor,
dan tentunya hanya wajib mengeluarkan seekor kambing untuk mereka bertiga) atau
memisahkan yang tergabung karena takut untuk mengeluarkan zakat, (sebagai contoh, jika
dua orang memiliki beberapa ekor kambing yang dipelihara secara bersama, dan masing-
masing memiliki 101 ekor, dengan demikian keseluruhannya ialah 202 ekor dan wajib
mengeluarkan 3 ekor kambing, kemudian mereka memisahkan milik masing-masing
sehingga mereka hanya mengeluarkan seekor kambing setiap orangnya. Ibnu Al Atsir
berkata, “Inilah yang saya dengar dalam masalah ini.” Al Khaththabi berkata, ‘Imam Asy-
Syafi’i berkata ‘Perkataan ini ditujukan kepada petugas pengumpul dan pemilik harta, yang
mana petugas khawatir jika zakat yang ia kumpulkan menjadi sedikit sedangkan pemilik
harta khawatir jika hartanya berkurang’.” Kesimpulannya, hendaklah keduanya tidak
mengubah-ubah kondisi harta tersebut baik mengumpulkan atau memisahkan karena adanya
kekhawatiran tersebut) dan jika hewan itu milik dua orang maka kewajibannya ditanggung
bersama-sama secara proporsional, (sebagai contoh, jika dua orang memiliki beberapa ekor
sapi yang dipelihara bersama, salah seorang dari keduanya memiliki 40 ekor, maka ia harus
mengeluarkan seekor musinnah, dan yang lain memiliki 30 ekor sehingga ia harus
mengeluarkan seekor tabii’, kemudian orang yang mengeluarkan musinnah meminta 3/7 nilai
musinnah dari rekannya sedangkan orang yang mengeluarkan tabii meminta 4/7 nilai tabii
dari rekannya, hal ini karena kewajiban tersebut jatuh pada mereka secara bersama-sama
seakan-akan harta tersebut milik satu orang) dan hendaklah tidak memberikan zakat berupa
hewan yang telah tua renta, (yaitu hewan yang gigi-giginya sudah tanggal) tidak juga yang
buta sebelah matanya, (termasuk dalam hal ini segala penyakit, hal ini senada dengan hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Daud,

َ ‫الش) َرطَ اللَّئِي َم) ةَ َولَ ِكنْ ِمنْ َو‬


‫س) ِط‬ َّ ‫يض)ةَ َواَل‬
َ ‫«واَل يُ ْع ِطي ا ْل َه ِر َمةَ َواَل ال َّد ِرنَ)ةَ َواَل ا ْل َم ِر‬ َ
»‫سأ َ ْل ُك ْم َخ ْي َرهُ َواَل أَ َم َر ُك ْم بِش َِّر ِه‬
ْ َ‫أَ ْم َوالِ ُك ْم فَإِنَّ هَّللا َ لَ ْم ي‬

“Dan hendaklah tidak diserahkan sebagai zakat hewan yang tua renta, yang kudisan, yang
sedang sakit, dan yang tidak berharga, tetapi hendaklah diambil dari yang kondisinya
sedang-sedang saja, karena sesungguhnya Allah tidak meminta harta terbaik kalian dan
tidak memerintahkan dengan harta yang paling buruk dari kalian” [shahih: Abu Daud
1582. Ebook editor])

tidak pula kambing pejantan kecuali jika pemiliknya menghendakinya. (yaitu jika kambing
jantan tersebut bukan sebagai pejantan, maka pemiliknya boleh mengeluarkannya sebagai
zakat karena ia punya hak untuk mengeluarkan yang terbaik; Namun ada yang memahami
teks ‘kecuali jika pemiliknya menghendakinya’, yakni menghendaki untuk mengeluarkan
hewan yang tua renta atau cacat namun harganya lebih tinggi dari hewan yang sedang-sedang
saja maka ia boleh melakukannya.

Juga ada yang memahami bahwa kata-kata pemilik di sini berarti petugas zakat,
sesungguhnya begitu teks di atas maksudnya ia mempunyai hak untuk mempertimbangkan
hal yang dianggap paling baik untuk para fakir, sehingga ia diperbolehkan menyalahi aturan
di atas.
Hal di atas berlaku jika kambing-kambing tersebut dalam kondisi yang berbeda-beda, lain
halnya jika semua kambing tersebut cacat atau pejantan semua, maka diperbolehkan
mengeluarkan zakat dari salah satu yang ada. Akan tetapi, imam Malik mengharuskan
pemilik kambing tersebut untuk membeli kambing yang memenuhi syarat sebagai zakat, ia
berargumen dengan hadits di atas)

Sedangkan perak, maka zakatnya 2,5%, namun jika jumlahnya hanya 190 dirham maka
pemiliknya tidak wajib mengeluarkan zakat kecuali jika pemiliknya menghendakinya.
(mungkin ada yang memahami bahwa jika jumlahnya 191 maka ia harus dizakati walaupun
beliau sampai 200 dirham. Bukan begitu maksudnya, penyebutan angka 90 di sini karena
angka tersebut adalah angka puluhan sebelum ratusan, hal ini berdasarkan kebiasaan bahwa
jika hitungan telah melebihi satuan maka hitungannya akan berubah menjadi puluhan lalu
ratusan lalu ribuan dan seterusnya)

Jika seseorang harus mengeluarkan unta berumur 4 tahun namun ia tidak memilikinya dan
hanya memiliki hiqqah, maka ia mengeluarkan hiqqah tersebut ditambah dua ekor kambing
jika mungkin, atau 20 dirham, (jika tidak mungkin mengeluarkan 2 ekor kambing)
sedangkan jika seseorang harus mengeluarkan hiqqah namun ia tidak memilikinya dan
hanya memiliki Jadza’ah, (walaupun lebih mahal dari yang seharusnya ia keluarkan, namun
tidak boleh membebani seseorang dengan sesuatu yang sulit ia lakukan) maka ia
mengeluarkan Jadza’ah tersebut lalu petugas pengumpul zakat mengembalikan (kelebihan
nilai tersebut) 20 dirham atau dua ekor kambing.”

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batasan perbedaan umur hewan tersebut.
Asy-Syafi’i berpendapat bahwa perbedaan yang dimaksud ialah perbedaan antara dua umur
sebagaimana yang disebutkan di atas. Sedangkan Al Hadawiyah menjelaskan bahwa yang
wajib dilakukan ialah menambahkan tambahan dari pemilik harta atau mengembalikan
kelebihan dari pihak petugas zakat, hal ini kembali kepada taksiran harga. Mereka
mengatakan bahwa hal ini berdasarkan riwayat yang berbunyi, “sepuluh dirham atau satu
kambing”. Hal ini tidak menunjukkan kecuali kepada satu hal yaitu perbedaan harga yang
berlaku berdasarkan tempat dan waktu, maka dalam hal ini harus dikembalikan kepada harga.

Dalam masalah ini Al Bukhari meriwayatkan hadits Abu Bakar RA dalam ‘Bab Pengambilan
Zakat Barang Dagangan’, lalu beliau menyebutkan ucapan Muadz kepada Penduduk Yaman.
‫الذ َر ِة أَه َْونُ َعلَ ْي ُك ْم َو َخ ْي ٌر؛‬
ُّ ‫ص َدقَ ِة َم َكانَ الش َِّعي ِر َو‬َّ ‫س فِي ال‬ ٍ ‫ص أَ ْو لَبِي‬ ٍ ‫ض ثِيَابِ ُك ْم َخ ِمي‬
ِ ‫ا ْئتُونِي بِ َع ْر‬
‫سلَّ َم – بِا ْل َم ِدينَ ِ)ة‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ – ‫ب ُم َح َّم ٍد‬ ْ َ ‫أِل‬
ِ ‫ص َحا‬

“Berikan kepadaku dari dagangan pakaian kalian, baik berupa khamish atau pakaian yang
telah dipakai untuk sedekah, sebagai ganti gandum dan jagung, karena hal itu lebih mudah
untuk kalian dan baik untuk shahabat-shahabat Muhammad SAW di Madinah.” Dan masalah
ini akan diperjelas pada saatnya nanti.

C. ZAKAT FITRAH

‫سلَّ َم‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ - ِ ‫سو ُل هَّللا‬ ُ ‫ض َر‬ َ ‫ «فَ َر‬:‫ قَا َل‬- ‫ض َي هَّللا ُ َع ْن ُه َما‬
ِ ‫ َر‬- ‫عَنْ ا ْب ِن ُع َم َر‬
َّ )‫ َوال‬،‫ َوا ْل ُح) ِّر‬،‫ َعلَى ا ْل َع ْب) ِد‬:‫ش) ِعي ٍر‬
،‫)ذ َك ِر‬ َ ْ‫ص)ا ًعا ِمن‬َ ‫صا ًعا ِمنْ تَ ْم) ٍر أَ ْو‬ َ ،‫ َز َكاةَ ا ْلفِ ْط ِر‬-
ِ ‫ َوأَ َم َر بِ َها أَنْ تُؤَ دَّى قَ ْب َل ُخ ُر‬،‫ين‬
ِ ‫وج النَّا‬
‫س‬ ْ ‫ ِمنْ ا ْل ُم‬،‫ َوا ْل َكبِي ِر‬،‫ص ِغي ِر‬
َ ‫سلِ ِم‬ َّ ‫ َوال‬،‫َواأْل ُ ْنثَى‬
‫ق َعلَ ْي ِه‬ ٌ َ‫ ُمتَّف‬. »‫صاَل ِة‬
َّ ‫إلَى ال‬

579. Dari Ibnu Umar RA, ia berkata, “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah berupa satu
sha dari kurma atau satu sha dari syair atas orang merdeka maupun hamba sahaya, laki-laki
maupun perempuan, anak-anak maupun dewasa, dari orang-orang muslimin, beliau
memerintahkan agar zakat ini dibayarkan sebelum orang-orang kalau untuk shalat.” Muttafaq
alaih.

[shahih: Al Bukhari 1503 dan Muslim 984]

Tafsir Hadits

Hadits ini merupakan dalil atas wajibnya zakat fitrah, karena beliau menyebutkan bahwa
Rasulullah SAW ‘mewajibkan’. Ishaq berkata, ‘zakat fitrah hukum wajib menurut ijma’.

Namun ada pendapat lain dari Daud dan beberapa pengikut mazhab Asy-Syafi'i bahwa zakat
fitrah hukumnya sunnah, mereka mentakwil kata-kata ‘mewajibkan’ bahwa maksudnya ialah
beliau menentukan ukuran dan jumlahnya. Pendapat ini dibantah dengan jawaban bahwa
takwil mereka ini bertentangan dengan zhahir teks.
Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa dahulu hukumnya wajib, namun kemudian
dinasakh dengan perintah zakat berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Qais bin Sa’ad bin
Ubadah:

‫ص َدقَ ِة ا ْلفِ ْط ِر قَ ْب َل أَنْ تَ ْن ِز َل ال َّز َك))اةُ فَلَ َّما‬


َ ِ‫ ب‬- ‫سلَّ َم‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ - ِ ‫سو ُل هَّللا‬ ُ ‫«أَ َم َرنَا َر‬
»‫نَ َزلَتْ ال َّز َكاةُ لَ ْم يَأْ ُم ْرنَا َولَ ْم يَ ْن َهنَا‬

“Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk membayar zakat fitrah, sebelum turun perintah
untuk berzakat, ketika perintah untuk berzakat telah turun, maka beliau tidak memerintahkan
kami untuk membayar zakat fitrah dan tidak pula melarangnya.” [Shahih: An Nasa'i 2506]

Maka pendapat ini tidak benar, karena di dalam hadits ini terdapat perawi majhul, bahkan jika
hadits ini shahih, ia tidak menunjukkan adanya nasakh, karena walaupun Rasulullah SAW
tidak memerintahkan kembali untuk membayar zakat fitrah, hal itu tidak menunjukkan secara
langsung bahwa ia merupakan nasakh, karena untuk kewajiban zakat fitrah ini cukuplah
dengan perintah pertama, di samping itu bahwa beliau tidak memerintahkan kembali, tidak
otomatis menghapus perintah pertama.

Hadits ini menegaskan bahwa kewajiban zakat fitrah bersifat umum mengenai siapa saja,
baik ia hamba sahaya maupun merdeka, laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun
dewasa, kaya maupun miskin. Al Baihaqi telah meriwayatkan dari Abdullah bin Tsa’labah
atau Tsa’labah bin Abdullah secara marfu':

َ ‫س)ا ٍن َذ َك) ًرا أَ ْو أُ ْنثَى‬


‫ أَ َّما ا ْل َغنِ ُّي فَيُزَ ِّكي) ِه هَّللا ُ َوأَ َّما‬.‫ص) ِغي ًرا أَ ْو َكبِ))ي ًرا َغنِيًّ))ا أَ ْو فَقِ))ي ًرا أَ ْو َم ْملُو ًك))ا‬ َ ‫ح عَنْ ُك ِّل إ ْن‬ ٍ ‫صاعًا ِمنْ قَ ْم‬ َ ‫«أَدُّوا‬
»‫ا ْلفَقِي ُر فَيَ ُر ُّد هَّللا ُ َعلَ ْي ِه أَ ْكثَ َر ِم َّما أَ ْعطَى‬

“Bayarkanlah satu sha gandum dari setiap jiwa, laki-laki maupun perempuan, anak-anak
maupun dewasa, kaya maupun miskin, merdeka maupun hamba sahaya. Adapun orang kaya
maka Allah akan menyucikannya, sedangkan orang fakir maka Allah akan mengembalikan
kepadanya lebih banyak dari pada apa yang telah ia bayarkan.” [Dhaif: Dhaif Targhib wa
Tarhib 663. Ebook editor]

Di dalam Mukhtashar As Sunan, Al Mundziri berkomentar, “Di dalam sanad hadits tersebut
tidak An Nu’man bin Rasyid, ia adalah perawi yang haditsnya tidak bisa digunakan sebagai
dasar hukum.”
Sedangkan kewajiban zakat fitrah hamba sahaya ditanggung oleh tuannya, berdasarkan
pendapat orang yang mengatakan bahwa hamba sahaya tidak mempunyai hak kepemilikan.
Sedangkan mereka yang mengatakan bahwa hamba sahaya mempunyai hak kepemilikan
maka ia mewajibkan zakat fitrah atas tanggungan hamba sahaya itu sendiri.

Seorang istri ditanggung oleh suaminya, seorang pembantu ditanggung oleh majikannya, dan
seseorang bisa ditanggung oleh kerabatnya yang wajib menanggung nafkahnya. Hal ini
berdasarkan hadits:

َ ‫«أَدُّوا‬
» َ‫ص َدقَةَ ا ْلفِ ْط ِر َع َّمنْ تَ ُمونُون‬

“bayarkanlah zakat fitrah dari setiap orang yang kalian tanggung.”

Diriwayatkan Ad Daruquthni dan Al Baihaqi, sanad hadits ini dhaif, oleh karena itu terjadilah
perbedaan pendapat sebagaimana yang telah dijabarkan di dalam Asy Syarh dan yang
lainnya.

Sedangkan anak kecil, kewajiban zakat fitrahnya dibebankan kepada hartanya jika ia
memiliki harta, sebagaimana zakat-zakat yang lain yang wajib atas hartanya. Jika ia tidak
memiliki harta maka kewajiban tersebut dibebankan kepada orang yang menanggung
nafkahnya, demikian pendapat jumhur ulama.

Namun ada yang mengatakan bahwa kewajiban zakat fitrah sama sekali tidak menyentuh
anak kecil, karena zakat fitrah merupakan penyuci bagi orang yang telah melaksanakan puasa
dari gurauan dan kata-kata kotor, dan juga sebagai pemberian makan kepada orang-orang
miskin sebagaimana yang akan dijelaskan pada kesempatan mendatang.

Pendapat ini dibantah dengan jawaban, bahwa hal-hal yang digunakan sebagai dalil pada
pendapat di atas merupakan kondisi pada umumnya. Dan kondisi ini tidak bisa
menggugurkan penjelasan tegas di dalam hadits Ibnu Umar yang mewajibkan zakat fitrah
atas anak kecil.

Hadits bab ini juga menjelaskan bahwa setiap orang mengeluarkan zakat tersebut berupa satu
sha kurma atau gandum tanpa ada perselisihan di antara para ulama, juga riwayat yang
menyebutkan satu sha’ dari kismis.
Ungkapan ‘... dari orang-orang Muslimin,” mengundang banyak pendapat dari kalangan ahli
hadits, karena tambahan lafazh ini tidak disepakati oleh para perawi hadits, hanya saja lafazh
ini merupakan tambahan dari seorang adil, maka selayaknyalah untuk diterima. Yang mana
tambahan lafazh ini menjelaskan bahwa keislaman seseorang merupakan syarat wajib zakat
fitrah, sehingga tidak wajib atas orang-orang kafir untuk menzakati diri mereka sendiri.

Hanya saja, apakah seorang muslim harus mengeluarkan zakat fitrah dari hamba sahayanya
yang kafir? Jumhur ulama berpendapat, tidak. Sedangkan Al Hanafiyah dan yang lainnya
berpendapat, ia harus mengeluarkan berdasarkan hadits:

»‫ص َدقَةُ ا ْلفِ ْط ِر‬


َ ‫ص َدقَةٌ إاَّل‬ ْ ‫س َعلَى ا ْل ُم‬
َ ‫سلِ ِم فِي َع ْب ِد ِه‬ َ ‫«لَ ْي‬

“Seorang Muslim tidak mempunyai kewajiban mengeluarkan zakat atas hamba sahayanya
kecuali zakat fitrah.” [Diriwayatkan Ash-Shahihain tanpa tambahan kecuali zakat
fitrah]

Jawaban atas hadits ini; bahwa hadits nomor ini bersifat khusus maka ia membatasi hadits-
hadits lain yang bersifat umum, dengan demikian lafazh ‘.. hamba sahaya..’ di dalam hadits
ini dikhususkan untuk hamba sahaya muslim dengan dasar pemikiran, lafazh hadits nomor
ini, ‘... dari orang-orang muslim.’

Sedangkan pendapat Ath Thahawi yang mengatakan bahwa maksud dari orang-orang
Muslim ialah orang yang membayarkannya secara langsung bukan orang yang diwakili atau
dibayarkan atas namanya –maksudnya yang membayar hendaklah seorang Muslim namun ia
boleh membayar atas nama seseorang non Muslim- maka pendapat ini bertolak belakang
dengan zhahir hadits, karena dalam hadits tersebut dicantumkan hamba sahaya dan juga
anak-anak kecil, dan mereka adalah golongan yang dibayarkan oleh orang lain atas nama
mereka, dan hal ini menunjukkan bahwa sifat Islam tidak dikhususkan untuk orang yang
membayarkannya secara langsung saja. Selain itu hadits ini juga didukung oleh hadits
Muslim dengan lafazh:

»‫سلِ ِمينَ ُح ٍّر أَ ْو َع ْب ٍد‬ ٍ ‫« َعلَى ُك ِّل نَ ْف‬


ْ ‫س ِمنْ ا ْل ُم‬

“Atas setiap jiwa yang muslim baik merdeka maupun hamba sahaya.”
Ungkapan, “... beliau memerintahkan agar zakat itu dibayarkan sebelum orang-orang keluar
untuk shalat –Ied-“ menunjukkan bahwa menyegerakan pembayaran zakat fitrah adalah
perkara yang diperintahkan dan jika seseorang mengeluarkannya setelah shalat maka ia
berdosa, dan tidak disebut sebagai zakat fitrah, ia hanyalah sedekah biasa.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Zakat adalah mengeluarkan sebagian harta benda sebagai sedekah wajib, sesuai
perintah Allah SWT kepada orang orang yang memenuhi syarat- syaratnya dan sesuai dengan
ketentuan hukum Islam. Zakat mempunyai peran yang sangat penting bagi umat Islam, sebab
zakat dapat membersihkan dan mensucikan hati umat manusia, sehingga terhindar dari sifat
tercela, seperti kikir, rakus, dan gemar menumpuk harta.
Manfaat zakat dalam kehidupan adalah menolong orang yang leah dan menderita,
agar dia dapat menunaikan kewajibannya terhadap Allah dan terhadap makhluk-Nya,
membersihkan diri dari sifat kikir dan akhlak tercela serta mendidik diri agar memiliki sifat
mulia dan pemurah, ungkapan rasa syukur kepada Allah atas rizki yang telah diberikan
kepada kita, menjaga kejahatan- kejahatan yang dimungkinkan timbul dari si miskin,
mendekatkan hubungan kasih sayang dan saling mencintai antara sikaya dan si miskin, dan
menggapai berkah dari Allah SWT.

B. SARAN
Demikian makalah yang kami buat semoga dengan adanya makalah ini dapat
menambah pengetahuan kita dalam mempelajari tentang zakat yang tentunya sangatlah
penting. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdaat banyak kekurangan baik
dari segi tulisan maupun referensi yang diperlukan. Untuk itu atas saran yang membangun
demi kesempurnaan makalah kami berikutnya. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat
untuk kita semua.
DAFTAR PUSTAKA

Lahmuddin Nasution, Fiqh I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 199, hlm. 175-176
Moh Rifa;i, moh Zuhi, Salomo dkk, Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, Semarang: CV>
Toha Putra, 1978, hlm. 140
Syaikh as-Sayyid Sabiq, Panduan Zakat, Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 200, hlm. 206
Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz Al-Malibary, Fath al-Mu;in, Kairo: Maktabah Dar al- Turos,
1980, hlm. 50

Anda mungkin juga menyukai