NIM : 20014104022
MANADO 2021
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Definisi
Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien harus memiliki
tampilan berupa: Gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal saat istrahat atau saat
melakukan aktifitas disertai / tidak kelelahan); tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema
pergelangan kaki); adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat
istrahat (Perki, 2015)
Gagal jantung atau sering juga disebut gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan
jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan
oksigen dan nutrisi (Smeltzer dan Bare, 2002).
B. Klasifikasi
Gejala Tanda
Tipikal Spesifik
1. Sesak nafas 1. Peningkatan JVP
2. Ortopneu 2. Refluks hepatojugular
3. Paroxysmal nocturnal dyspnoe 3. Suara jantung S3 (gallop)
4. Toleransi aktifitas yang berkurang 4. Apex jantung bergeser ke lateral
5. Cepat lelah 5. Bising jantung
6. Begkak di pergelangan kaki
1. Kurang tipikal Kurang tipikal
2. Batuk di malam / dini hari 1. Edema perifer
3. Mengi 2. Krepitasi pulmonal
4. Berat badan bertambah > 3. Sura pekak di basal paru
5. 2 kg/minggu 4. pada perkusi
6. Berat badan turun (gagal 5. Takikardia
7. jantung stadium lanjut) 6. Nadi ireguler
8. Perasaan kembung/ begah 7. Nafas cepat
9. Nafsu makan menurun 8. Heaptomegali
10. Perasaan bingung 9. Asites
11. (terutama pasien usia 10. - Kaheksia
12. lanjut)
13. Depresi
14. Berdebar
15. Pingsan
(Perki, 2015)
E. Patofisiologi
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal jantung iskemik,
mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri
yang menurun mengurangi curah sekuncup, dan meningkatkan volume residu ventrikel,
dengan meningkatnya EDV (End Diastolik Ventrikel atau volume akhir diastolik ventrikel),
maka terjadi pula peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri LVEDP (Left Ventrikel
End Diastolik Presure). Derajat peningkatan tekanan tergantung dari kelenturan ventrikel.
Dengan meningkatnya LVEDP(Left Ventrikel End Diastolik Presure), maka terjadi pula
peningkatan tekanan atrium kiri LAP (Left Atrium Presure) karena atrium dan ventrikel
berhubungan langsung selama diastol. Peningkatan LAP (Left Atrium Presure)diteruskan ke
belakang ke dalam anyaman vaskular paru-paru, meningkatkan tekanan kapiler dan vena
paru-paru. Jika tekanan hidrostatik dari anyaman kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik
vaskular, maka akan terjadi transudasi cairan ke dalam intertisial. Jika kecepatan transudasi
cairan melebihi kecepatan drainase limfatik, maka akan terjadi edema intertisial. Peningkatan
tekanan lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan merembes ke dalam alveoli dan terjadilah
edema paru-paru.
Tekanan arteria paru-paru dapat meningkat sebagai respon terhadap peningkatan kronis
tekanan vena paru. Hipertensi pulmonary meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel
kanan. Serentetan kejadian seperti yang terjadi pada jantung kiri, juga akan terjadi pada
jantung kanan, di mana akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan edema. Perkembangan
dari kongesti sistemik atau paru-paru dan edema dapat dieksaserbasi oleh regurgitasi
fungsional dari katup-katup trikuspidalis atau mitralis bergantian. Regurgitasi fungsional
dapat disebabkan oleh dilatasi dari annulus katup atrioventrikularis, atau perubahan-
perubahan pada orientasi otot papilaris dan korda tendinae yang terjadi sekunder akibat
dilatasi ruang (Smeltzer & Bare, 2002).
Jantung yang normal dapat berespon terhadap peningkatan kebutuhan metabolisme dengan
menggunakan mikanisme kompensasi yang bervariasi untukmempertahankan kardiak output,
yaitu meliputi : 1). Respon system saraf simpatis terhadap barroreseptor atau kemoreseptor.
2). Pengencangan dan pelebaran otot jantung untuk menyesuaikan terhadap peningkatan
volume. 3). Vaskontraksi arterirenal dan aktivasi system rennin angiotensin. 4). Respon
terhadap serum sodium dan regulasi ADH dan reabsorbsi terhadap cairan.
Kegagalan mekanisme kompensasi dapat dipercepat oleh adanya volume darah sirkulasi yang
dipompakan untuk melawan peningkatan resistensi vaskuler oleh pengencangan jantung.
Kecepatan jantung memperpendek waktu pengisian ventrikel dari arteri coronaria.
Menurunnya COP yang menyebabkan oksigenasi yang tidak adekuat ke miokardium.
Peningkatan dinding akibat dilatasi menyebabkan tingkatan tuntutan oksigen dan pembesaran
jantung (hipertrophi) terutama pada jantung iskemik atau kerusakan yang menyebabkan
kegagalan mekanisme pemompaan. (Padila, 2012).
F. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Perki (2015), pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan pada pasien dengan
gagal jantung kongestif adalah:
1. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien diduga gagal
jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung Abnormalitas EKG
memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung, jika EKG normal,
diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (< 10%).
2. Foto Toraks
Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Rontgen toraks dapat
mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat mendeteksi penyakit
atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak nafas (Tabel 5).
Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan kronik.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah perifer
lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju filtrasi glomerulus
(GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan tambahan lain
dipertimbangkan sesuai tampilan klinis. Gangguan hematologis atau elektrolit yang
bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang belum
diterapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia, hiperkalemia dan penurunan fungsi
ginjal sering dijumpai terutama pada pasien dengan terapi menggunakan diuretic
dan/atau ACEI (Angiotensin Converting Enzime Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor
Blocker), atau antagonis aldosterone.
4. Troponin I atau T
Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung jika gambaran klinisnya
disertai dugaan sindroma koroner akut. Peningkatan ringan kadar troponin kardiak
sering pada gagal jantung berat atau selama episode dekompensasi gagal jantung pada
penderita tanpa iskemia miokard.
5. Ekokardiografi
6. Istilah ekokardiograf digunakan untuk semua teknik pencitraan ultrasound jantung
termasuk pulsed and continuous wave Doppler, colour Doppler dan tissue Doppler
imaging (TDI). Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi jantung dengan
pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada pasien
dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk membedakan antara
pasien disfungsi sistolik dengan pasien dengan fungsi sistolik normal adalah
fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal > 45 - 50%).
G. Penatalaksanaan Medis
Menurut Perki (2015), penatalaksanaan medis gagal jantung kongestif adalah sebagai
berikut:
1. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)
Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung
simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. ACEI memperbaiki fungsi ventrikel
dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung,
dan meningkatkan angka kelangsungan hidup (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A).
ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi
simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI hanya diberikan pada
pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.
2. Penyekat β
Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal jantung
simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β memperbaiki fungsi
ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan
gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup
3. Antagonis Aldosteron
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus
dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal jantung
simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan
fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan hidup.
4. Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan
penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan
ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai alternative
pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena
penyebab kardiovaskular.
5. Hydralazine dan Isosorbide Dinitrate (H-ISDN)
Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, kombinasi H-ISDN
digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap ACEI dan ARB (kelas
rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).
6. Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan untuk
memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat beta)
lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40
% dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan angka perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap
angka kelangsungan hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B)
7. Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala
kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari pemberian diuretik adalah
untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah
mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau
reistensi.
H. Pathway
(Pratiwi,2017)
I. Pengkajian
1. Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien
dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan
nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka.
Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Obstruksi
jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar.
Biasanya gejala yang muncul pada saat pengkajian airway pada pasien CHF yaitu :
Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa bantal, batuk
dengan/tanpa pembentukan sputum, riwayat penyakit kronis, penggunaan bantuan
pernapasan. Serta di tandai dengan, pernapasan takipnea, napas dangkal, penggunaan otot
asesori pernapasan. Batuk kering/nyaring/non produktif atau mungkin batuk terus
menerus dengan/tanpa pemebentukan sputum. Sputum mungkin bersemu darah, merah
muda/berbuih (edema pulmonal). Bunyi napas mungkin ronchi. Fungsi mental mungkin
menurun, kegelisahan, letargi. Warna kulit pucat dan sianosis.
2. Pengkajian Breathing
Pengkajian breathing pada pasien CHF di dapatkan tanda kongesti vaskular pulmonal
yaitu dispnea orthopnea dispnea nokturnal paroksimal, batuk dan edema pulmonal akut.
Crackles atau ronchi umunya terdengar pada posterior paru. Hal ini di kenali sebagai
bukti gagal jantung kiri. Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan
jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak
memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan
drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi
buatan. Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien CHF antara
lain:
a) Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
Penggunaan alat bantu pernapasan ET dan NRM.
b) Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Ada tanda-tanda sebagai berikut:
terjadi tanda sianosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds, dan
penggunaan otot bantu pernafasan.
c) Palpasi untuk adanya pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous emphysema,
perkusi berguna untuk diagnosa haemothorax dan pneumotoraks.
d) Auskultasi untuk adanya: suara abnormal pada dada, suara nafas ronchi.
e) Bacaan pulse ocsimetrydi dapatkan takikardi hipertensi kadang juga hipotensi.
3. Pengkajian Circulation
Pengkajian circulation pada pasien CHF di dapatkan gejala yang mungkin muncul yaitu
anemia, syok septic, bengkak pada kaki, asites. Di tandai dengan:
TD: mungkin rendah (gagal pemompaan). Tekanan Nadi: mungkin sempit. Irama
Jantung: Disritmia. Frekuensi jantung: Takikardia. Nadi apical: PMI (point maksimum
impuls) mungkin menyebar dan merubah posisi secara inferior ke kiri. Bunyi jantung: S3
(gallop) adalah diagnostik, S4 dapat terjadi, S1 dan S2 mungkin melemah. Murmur
sistolik dan diastolik. Warna: kebiruan, pucat abu-abu, sianotik. Punggung kuku: pucat
atau sianotik dengan pengisian kapiler lambat. Hepar: pembesaran/dapat teraba. Bunyi
napas: krekels, ronkhi. Edema: mungkin dependen, umum atau pitting khususnya pada
ekstremitas.
4. Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU:
a) A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
diberikan.
b) V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti.
c) P - response to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas awal
yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon).
d) U - unresponsive, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri maupun stimulus
verbal.
J. Diagnosis Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan otot-otot pernapasan.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler-alveolus.
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai oksigen yang menurun.
4. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan Menurunnya laju filtrasi glomerulus
(menurunnya curah jantung) atau meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium dan
air.
K. Intervensi Keperawatan
1. Observasi ulang TTV dan KU pasien
2. Observasi ulang adanya udema
3. Pantau ulang haluaran urine mengetahui output
4. Pantau input dan output
5. Observasi ulang adanya suara nafas tambahan
6. Lakukan suction
7. Beri posisi pasien nyaman fowler atau semi fowler
8. Beri bantuan alat bantu nafas
9. Observasi ulang adanya sianosis
L. Evaluasi Keperawatan
1. TTV dalam batas normal: (TD 110/70 mmHg-140/80 mmHg, HR : 70-100X/menit, RR :
16-24x/menit, S : 36,0 – 37,0) .
2. Tidak terjadi udem
3. Tidak ada dispnea.
4. Tidak ada sioanosis dan akral hangat
5. Suara nafas ronchi tidak di temukan bahkan hilang.
6. Produksi sputum berkurang.
7. Sputum dapat keluar.
DAFTAR PUSTAKA
Padila. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.
Pratiwi, D.R.S. (2017). Asuhan Keperawatan Tn. W Dan Tn. K yang Mengalami Congestif Heart
Failure (CHF) dengan Penurunan Curah Jantung di Ruang Intensive Cardiologi Care Unit
(ICCU) Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Suradji Tirtonegoro Klaten. STIKES Kusuma Husada.
Surakarta.
Smeltzer, S.C., dan Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth. Vol. 2 Ed.8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
RESUME GAWAT DARURAT
Identitias
Nama : Tn. X
Umur : 68 tahun
Pekerjaan :-
Alamat :-
Subjektif:
Sebelumnya pasien pernah dirawat
inap kurang lebih 1 tahun yang lalu
dengan diagnosis pembesaran
jantung.
Subjektif:
Pasien mengeluh sesak napas dan
perut terasa keras
6. Diagnosis Keperawatan
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas ditandai dengan:
Objektif:
Tekanan darah 230/110 mmHg
Frekuensi nadi 110 kali/menit teraba lemah
Perfusi jaringan perifer CRT >3 detik, akral dingin.
Terdapat distensi vena jugularis
Terdengar suara jantung S3 dan S4.
Konjungtiva anemis
Foto Thoraks: Pembesaran jantung (kardiomegali)
Pemeriksaan EKG: VES, Q patologis
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolus-kapiler
ditandai dengan:
Objektif:
Pernapasan dispnea
Terdengar bunyi napas tambahan mengi
PCO2 meningkat 60 mmHg dan PO2 menurun 50 mmHg.
Terlihat adanya penggunaan otot bantu napas
c. Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi renal ditandai dengan:
Objektif:
Terdapat penumpukan cairan atau edema
Terdengar bunyi napas tambahan mengi
Hb 10,6 g/dL
Subjektif:
Pasien mengeluh sesak napas dan perut terasa keras
7. Intervensi Keperawatan