Anda di halaman 1dari 18

STASE KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

ASUHAN KEPERAWATAN DAN LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DENGAN GAGAL JANTUNG KONGESTIF

NAMA : FARIS ALBERT WENAS, S.KEP.

NIM : 20014104022

UNIVERSITAS SAM RATULANGI FAKULTAS KEDOKTERAN

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

MANADO 2021
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi
Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien harus memiliki
tampilan berupa: Gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal saat istrahat atau saat
melakukan aktifitas disertai / tidak kelelahan); tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema
pergelangan kaki); adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat
istrahat (Perki, 2015)
Gagal jantung atau sering juga disebut gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan
jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan
oksigen dan nutrisi (Smeltzer dan Bare, 2002).
B. Klasifikasi

Klasifikasi berdasarkan kelainan Klasifikasi berdasarkan kapsitas fungsional


struktural jantung (NYHA)
Stadium A Kelas I
Memiliki risiko tinggi untuk berkembang Tidak terdapat batasan dalam melakukan
menjadi gagal jantung. aktifitas fisik. Aktifitas fisik sehari-hari tidak
Tidak terdapat gangguan struktural atau menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak
fungsional jantung, tidak terdapat tanda atau nafas
gejala
Stadium B Kelas II
Telah terbentuk penyakit struktur jantung Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak
yang berhubungan dengan perkembangan terdapat keluhan saat istrahat, namun
gagal jantung, tidak terdapat tanda atau aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan
gejala kelelahan, palpitasi atau sesak nafas
Stadium C Kelas III
Gagal jantung yang simtomatik berhubungan Terdapat batasan aktifitas bermakna.
dengan penyakit structural jantung yang Tidak terdapat keluhan saat istrahat, tetapi
mendasari aktfitas fisik ringan menyebabkan kelelahan,
palpitasi atau sesak
Stadium D Kelas IV
Penyakit jantung struktural lanjut serta gejala Tidak dapat melakukan aktifitasfisik tanpa
gagal jantung yang sangat bermakna saat keluhan. Terdapat gejala saat istrahat.
istrahat walaupun sudah mendapat terapi Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas
medis maksimal (refrakter)
(Perki, 2015)
C. Etiologi
Penyebab gagal jantung dapat dibagi menjadi dua yaitu penyakit miokard sendiri dan
gangguan mekanik pada miokard. Penyakit pada miokard sendiri, antara lain: penyakit
jantung koroner, kardiomiopati, miokarditis, dan penyakit jantung rematik, penyakit
infiltratif, iatrogenik akibat obat-obat seperti adriamisin dan diisopiramid, atau akibat radiasi
(Kabo, 2012).
D. Gejala dan Tanda

Gejala Tanda
Tipikal Spesifik
1. Sesak nafas 1. Peningkatan JVP
2. Ortopneu 2. Refluks hepatojugular
3. Paroxysmal nocturnal dyspnoe 3. Suara jantung S3 (gallop)
4. Toleransi aktifitas yang berkurang 4. Apex jantung bergeser ke lateral
5. Cepat lelah 5. Bising jantung
6. Begkak di pergelangan kaki
1. Kurang tipikal Kurang tipikal
2. Batuk di malam / dini hari 1. Edema perifer
3. Mengi 2. Krepitasi pulmonal
4. Berat badan bertambah > 3. Sura pekak di basal paru
5. 2 kg/minggu 4. pada perkusi
6. Berat badan turun (gagal 5. Takikardia
7. jantung stadium lanjut) 6. Nadi ireguler
8. Perasaan kembung/ begah 7. Nafas cepat
9. Nafsu makan menurun 8. Heaptomegali
10. Perasaan bingung 9. Asites
11. (terutama pasien usia 10. - Kaheksia
12. lanjut)
13. Depresi
14. Berdebar
15. Pingsan
(Perki, 2015)

E. Patofisiologi
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal jantung iskemik,
mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri
yang menurun mengurangi curah sekuncup, dan meningkatkan volume residu ventrikel,
dengan meningkatnya EDV (End Diastolik Ventrikel atau volume akhir diastolik ventrikel),
maka terjadi pula peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri LVEDP (Left Ventrikel
End Diastolik Presure). Derajat peningkatan tekanan tergantung dari kelenturan ventrikel.
Dengan meningkatnya LVEDP(Left Ventrikel End Diastolik Presure), maka terjadi pula
peningkatan tekanan atrium kiri LAP (Left Atrium Presure) karena atrium dan ventrikel
berhubungan langsung selama diastol. Peningkatan LAP (Left Atrium Presure)diteruskan ke
belakang ke dalam anyaman vaskular paru-paru, meningkatkan tekanan kapiler dan vena
paru-paru. Jika tekanan hidrostatik dari anyaman kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik
vaskular, maka akan terjadi transudasi cairan ke dalam intertisial. Jika kecepatan transudasi
cairan melebihi kecepatan drainase limfatik, maka akan terjadi edema intertisial. Peningkatan
tekanan lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan merembes ke dalam alveoli dan terjadilah
edema paru-paru.
Tekanan arteria paru-paru dapat meningkat sebagai respon terhadap peningkatan kronis
tekanan vena paru. Hipertensi pulmonary meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel
kanan. Serentetan kejadian seperti yang terjadi pada jantung kiri, juga akan terjadi pada
jantung kanan, di mana akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan edema. Perkembangan
dari kongesti sistemik atau paru-paru dan edema dapat dieksaserbasi oleh regurgitasi
fungsional dari katup-katup trikuspidalis atau mitralis bergantian. Regurgitasi fungsional
dapat disebabkan oleh dilatasi dari annulus katup atrioventrikularis, atau perubahan-
perubahan pada orientasi otot papilaris dan korda tendinae yang terjadi sekunder akibat
dilatasi ruang (Smeltzer & Bare, 2002).
Jantung yang normal dapat berespon terhadap peningkatan kebutuhan metabolisme dengan
menggunakan mikanisme kompensasi yang bervariasi untukmempertahankan kardiak output,
yaitu meliputi : 1). Respon system saraf simpatis terhadap barroreseptor atau kemoreseptor.
2). Pengencangan dan pelebaran otot jantung untuk menyesuaikan terhadap peningkatan
volume. 3). Vaskontraksi arterirenal dan aktivasi system rennin angiotensin. 4). Respon
terhadap serum sodium dan regulasi ADH dan reabsorbsi terhadap cairan.
Kegagalan mekanisme kompensasi dapat dipercepat oleh adanya volume darah sirkulasi yang
dipompakan untuk melawan peningkatan resistensi vaskuler oleh pengencangan jantung.
Kecepatan jantung memperpendek waktu pengisian ventrikel dari arteri coronaria.
Menurunnya COP yang menyebabkan oksigenasi yang tidak adekuat ke miokardium.
Peningkatan dinding akibat dilatasi menyebabkan tingkatan tuntutan oksigen dan pembesaran
jantung (hipertrophi) terutama pada jantung iskemik atau kerusakan yang menyebabkan
kegagalan mekanisme pemompaan. (Padila, 2012).
F. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Perki (2015), pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan pada pasien dengan
gagal jantung kongestif adalah:
1. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien diduga gagal
jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung Abnormalitas EKG
memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung, jika EKG normal,
diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (< 10%).
2. Foto Toraks
Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Rontgen toraks dapat
mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat mendeteksi penyakit
atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak nafas (Tabel 5).
Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan kronik.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah perifer
lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju filtrasi glomerulus
(GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan tambahan lain
dipertimbangkan sesuai tampilan klinis. Gangguan hematologis atau elektrolit yang
bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang belum
diterapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia, hiperkalemia dan penurunan fungsi
ginjal sering dijumpai terutama pada pasien dengan terapi menggunakan diuretic
dan/atau ACEI (Angiotensin Converting Enzime Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor
Blocker), atau antagonis aldosterone.
4. Troponin I atau T
Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung jika gambaran klinisnya
disertai dugaan sindroma koroner akut. Peningkatan ringan kadar troponin kardiak
sering pada gagal jantung berat atau selama episode dekompensasi gagal jantung pada
penderita tanpa iskemia miokard.
5. Ekokardiografi
6. Istilah ekokardiograf digunakan untuk semua teknik pencitraan ultrasound jantung
termasuk pulsed and continuous wave Doppler, colour Doppler dan tissue Doppler
imaging (TDI). Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi jantung dengan
pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada pasien
dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk membedakan antara
pasien disfungsi sistolik dengan pasien dengan fungsi sistolik normal adalah
fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal > 45 - 50%).
G. Penatalaksanaan Medis
Menurut Perki (2015), penatalaksanaan medis gagal jantung kongestif adalah sebagai
berikut:
1. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)
Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung
simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. ACEI memperbaiki fungsi ventrikel
dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung,
dan meningkatkan angka kelangsungan hidup (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A).
ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi
simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI hanya diberikan pada
pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.
2. Penyekat β
Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal jantung
simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β memperbaiki fungsi
ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan
gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup
3. Antagonis Aldosteron
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus
dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal jantung
simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan
fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan hidup.
4. Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan
penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan
ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai alternative
pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena
penyebab kardiovaskular.
5. Hydralazine dan Isosorbide Dinitrate (H-ISDN)
Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, kombinasi H-ISDN
digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap ACEI dan ARB (kelas
rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).
6. Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan untuk
memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat beta)
lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40
% dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan angka perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap
angka kelangsungan hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B)
7. Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala
kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari pemberian diuretik adalah
untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah
mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau
reistensi.
H. Pathway
(Pratiwi,2017)
I. Pengkajian
1. Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien
dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan
nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka.
Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Obstruksi
jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar.
Biasanya gejala yang muncul pada saat pengkajian airway pada pasien CHF yaitu :
Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa bantal, batuk
dengan/tanpa pembentukan sputum, riwayat penyakit kronis, penggunaan bantuan
pernapasan. Serta di tandai dengan, pernapasan takipnea, napas dangkal, penggunaan otot
asesori pernapasan. Batuk kering/nyaring/non produktif atau mungkin batuk terus
menerus dengan/tanpa pemebentukan sputum. Sputum mungkin bersemu darah, merah
muda/berbuih (edema pulmonal). Bunyi napas mungkin ronchi. Fungsi mental mungkin
menurun, kegelisahan, letargi. Warna kulit pucat dan sianosis.
2. Pengkajian Breathing
Pengkajian breathing pada pasien CHF di dapatkan tanda kongesti vaskular pulmonal
yaitu dispnea orthopnea dispnea nokturnal paroksimal, batuk dan edema pulmonal akut.
Crackles atau ronchi umunya terdengar pada posterior paru. Hal ini di kenali sebagai
bukti gagal jantung kiri. Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan
jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak
memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan
drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi
buatan. Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien CHF antara
lain:
a) Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
Penggunaan alat bantu pernapasan ET dan NRM.
b) Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Ada tanda-tanda sebagai berikut:
terjadi tanda sianosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds, dan
penggunaan otot bantu pernafasan.
c) Palpasi untuk adanya pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous emphysema,
perkusi berguna untuk diagnosa haemothorax dan pneumotoraks.
d) Auskultasi untuk adanya: suara abnormal pada dada, suara nafas ronchi.
e) Bacaan pulse ocsimetrydi dapatkan takikardi hipertensi kadang juga hipotensi.
3. Pengkajian Circulation
Pengkajian circulation pada pasien CHF di dapatkan gejala yang mungkin muncul yaitu
anemia, syok septic, bengkak pada kaki, asites. Di tandai dengan:
TD: mungkin rendah (gagal pemompaan). Tekanan Nadi: mungkin sempit. Irama
Jantung: Disritmia. Frekuensi jantung: Takikardia. Nadi apical: PMI (point maksimum
impuls) mungkin menyebar dan merubah posisi secara inferior ke kiri. Bunyi jantung: S3
(gallop) adalah diagnostik, S4 dapat terjadi, S1 dan S2 mungkin melemah. Murmur
sistolik dan diastolik. Warna: kebiruan, pucat abu-abu, sianotik. Punggung kuku: pucat
atau sianotik dengan pengisian kapiler lambat. Hepar: pembesaran/dapat teraba. Bunyi
napas: krekels, ronkhi. Edema: mungkin dependen, umum atau pitting khususnya pada
ekstremitas.
4. Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU:
a) A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
diberikan.
b) V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti.
c) P - response to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas awal
yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon).
d) U - unresponsive, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri maupun stimulus
verbal.
J. Diagnosis Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan otot-otot pernapasan.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler-alveolus.
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai oksigen yang menurun.
4. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan Menurunnya laju filtrasi glomerulus
(menurunnya curah jantung) atau meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium dan
air.
K. Intervensi Keperawatan
1. Observasi ulang TTV dan KU pasien
2. Observasi ulang adanya udema
3. Pantau ulang haluaran urine mengetahui output
4. Pantau input dan output
5. Observasi ulang adanya suara nafas tambahan
6. Lakukan suction
7. Beri posisi pasien nyaman fowler atau semi fowler
8. Beri bantuan alat bantu nafas
9. Observasi ulang adanya sianosis
L. Evaluasi Keperawatan
1. TTV dalam batas normal: (TD 110/70 mmHg-140/80 mmHg, HR : 70-100X/menit, RR :
16-24x/menit, S : 36,0 – 37,0) .
2. Tidak terjadi udem
3. Tidak ada dispnea.
4. Tidak ada sioanosis dan akral hangat
5. Suara nafas ronchi tidak di temukan bahkan hilang.
6. Produksi sputum berkurang.
7. Sputum dapat keluar.
DAFTAR PUSTAKA

Kabo, P. (2012). Bagaimana Menggunakan Obat-obatan Kardiovaskuler Rasional. Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, hal 181- 201.

Padila. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. (2015). Pedoman Tatalaksana Gagal


Jantung. Jakarta: Author.

Pratiwi, D.R.S. (2017). Asuhan Keperawatan Tn. W Dan Tn. K yang Mengalami Congestif Heart
Failure (CHF) dengan Penurunan Curah Jantung di Ruang Intensive Cardiologi Care Unit
(ICCU) Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Suradji Tirtonegoro Klaten. STIKES Kusuma Husada.
Surakarta.

Smeltzer, S.C., dan Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth. Vol. 2 Ed.8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
RESUME GAWAT DARURAT

Identitias

Nama : Tn. X

Umur : 68 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan :-

Alamat :-

Diagnosis Medis : AHF + CAD – OMI Anteroseptal

1. Pengkajian Kondisi Mental


Alert :
Pasien dapat membuka mata secara spontan, dan responsif terhadap lingkungan
Verbal :
Pasien membuka mata dengan rangsangan verbal, pasien bersuara dengan kata-kata yang
jelas
Pain :
Pasien berespon bergerak dengan rangsangan nyeri
Unresponsive :
Pasien dapat berespon terhadap stiumulus
2. Primary Survey
Airway :
Tidak terdapat obstruksi/sumbatan di jalan napas.
Breathing :
Terdengar bunyi napas tambahan mengi, terlihat adanya penggunaan otot bantu napas,
pernapasan dispnea, RR: 10 kali/menit.
Circulation :
Tekanan darah 230/110 mmHg, frekuensi nadi 110 kali/menit teraba lemah, perfusi jaringan
perifer CRT >3 detik, akral dingin. Terdengar suara jantung S3 dan S4. PCO2 meningkat 60
mmHg dan PO2 menurun 50 mmHg.
Disability :
Pasien tidak mengalami penurunan kesadaran, kompos mentis dengan skor GCS 15 Eye
3. Secondary Survey
EKG/Exposure :
Ventrikuler Ekstrasistole (VES), terdapat Q patologis/-
Fluid dan Fahrenheit :
Terdapat penumpukan cairan atau edema/Suhu tubuh pasien 37,5ºC
History :
Keluhan utama: Sesak napas
Riwayat kesehatan sekarang: Pasien datang ke IGD pada tanggal 18 Januari 2021 Pukul
17:30 dengan keluhan perutnya keras dan sesak napas. Pasien sadar penuh dengan GCS 15.
Riwayat kesehatan dahulu : Sebelumnya pasien pernah dirawat inap kurang lebih 1 tahun
yang lalu dengan diagnosis pembesaran jantung.
Head to Toe :
Kepala : Tidak terdapat luka atau hematom pada kepala.
Mata : Respon pupil (+), konjungtiva anemis.
Telinga : Tidak ada malformasi, tidak ada tanda-tanda perdarahan.
Hidung : Tidak terdapat secret pada hidung, tidak ada tanda-tanda perdarahan.
Mulut : Tidak ada perdarahan pada bagian luar mulut, bagian dalam mulut mukosa
lembab
Leher : Terdapat distensi vena jugularis. Tidak ada fraktur, tidak ada jejas, tidak ada
kelainan bentuk.
Dada : Pergerakan dinding dada lambat dan terlihat penggunaan otot bantu napas, napas
lambat dan pendek, tidak ada jejas dan fraktur.
Perut : Bentuk konkaf, tidak ada jejas, tidak ada perlukaan pada abdomen
Kelamin : Tidak dilakukan pengkajian
Lengan atas: Tidak terdapat luka, tidak ada malformasi atau deformitas
Lengan bawah: Tidak terdapat luka, tidak ada malformasi atau deformitas
Anus : Tidak dilakukan pengkajian
Kulit : Warna kulit pucat, tidak gangguan perfusi perifer CRT >3 detik.
Psikososial : Pasien cemas dan gelisah
Px penunjang:
Pemeriksaan Laboratorium : Hb 10,6 g/dL, kreatini serum 2,23 mg/dL, ureum 82,3
mg/dL
Foto Thoraks : Pembesaran jantung (kardiomegali)
Pemeriksaan EKG : VES, Q patologis
4. Klasifikasi Data

Data Objektif Data Subjektif


Terlihat adanya penggunaan otot bantu Pasien mengeluh sesak napas dan perut
napas, pernapasan dispnea, RR: 10 terasa keras
kali/menit.
Tekanan darah 230/110 mmHg, frekuensi Sebelumnya pasien pernah dirawat inap
nadi 110 kali/menit teraba lemah, perfusi kurang lebih 1 tahun yang lalu dengan
jaringan perifer CRT >3 detik, akral dingin. diagnosis pembesaran jantung.
Terdengar suara jantung S3 dan S4.
Terdapat penumpukan cairan atau edema
Terdengar bunyi napas tambahan mengi
PCO2 meningkat 60 mmHg dan PO2
menurun 50 mmHg.
Konjungtiva anemis
Terdapat distensi vena jugularis
Pemeriksaan Laboratorium:
Hb 10,6 g/dL, kreatini serum 2,23 mg/dL,
ureum 82,3 mg/dL
Foto Thoraks:
Pembesaran jantung (kardiomegali)
Pemeriksaan EKG:
VES, Q patologis
5. Analisis Data

Data Etiologi Masalah


Objektif: Disfungsi miokard yang Penurunan Curah
Tekanan darah 230/110 mmHg yang terjadi terus menerus Jantung
Frekuensi nadi 110 kali/menit menyebabkan menyebabkan
teraba lemah peningkatan beban kerja
Perfusi jaringan perifer CRT >3 jantung sehingga terjadi
detik, akral dingin. kegagalan fungsi
Terdengar suara jantung S3 dan S4. kontraktilitas jantung.
Konjungtiva anemis
Foto Thoraks: Pembesaran jantung
(kardiomegali)
Pemeriksaan EKG: VES, Q
patologis

Subjektif:
Sebelumnya pasien pernah dirawat
inap kurang lebih 1 tahun yang lalu
dengan diagnosis pembesaran
jantung.

Objektif: Kegagalan fungsi Gangguan Pertukaran


Pernapasan dispnea kontraktilitas miokard Gas
Terdengar bunyi napas tambahan menyebabkan aliran darah
mengi balik ke paru dan terjadi
PCO2 meningkat 60 mmHg dan edema sehingga
PO2 menurun 50 mmHg. menyebabkan
Terlihat adanya penggunaan otot ketidakefektifan pertukaran
bantu napas karbondioksida dan oksigen
ke dalam darah.
Objektif: Gangguan kontraktilitas Hipervolemia
Terdapat penumpukan cairan atau jantung menyebabkan aliran
edema darah ke ginjal berkurang
Terdengar bunyi napas tambahan sehingga menyebabkan
mengi retensi natrium dan H2O
Terdapat distensi vena jugularis dan terjadi penumpukan
Hb 10,6 g/dL cairan.

Subjektif:
Pasien mengeluh sesak napas dan
perut terasa keras
6. Diagnosis Keperawatan
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas ditandai dengan:
Objektif:
Tekanan darah 230/110 mmHg
Frekuensi nadi 110 kali/menit teraba lemah
Perfusi jaringan perifer CRT >3 detik, akral dingin.
Terdapat distensi vena jugularis
Terdengar suara jantung S3 dan S4.
Konjungtiva anemis
Foto Thoraks: Pembesaran jantung (kardiomegali)
Pemeriksaan EKG: VES, Q patologis
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolus-kapiler
ditandai dengan:
Objektif:
Pernapasan dispnea
Terdengar bunyi napas tambahan mengi
PCO2 meningkat 60 mmHg dan PO2 menurun 50 mmHg.
Terlihat adanya penggunaan otot bantu napas
c. Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi renal ditandai dengan:
Objektif:
Terdapat penumpukan cairan atau edema
Terdengar bunyi napas tambahan mengi
Hb 10,6 g/dL
Subjektif:
Pasien mengeluh sesak napas dan perut terasa keras
7. Intervensi Keperawatan

No Diagnosis Tujuan Intervensi Rasional


1 Penurunan Setelah Perawatan Jantung Monitoring berguna untuk
Curah dilakukan 1. Identifikasi tanda/gejala mengetahui perkembangan
Jantung intervensi primer penurunan curah kemampuan jantung dalam
keperawatan jantung (dispnea, memenuhi kebutuhan tubuh
selama 3 hari kelelahan, edema, (1,2,3)
diharapkan ortopnea, paroksimal Terapi oksigen untuk
curah jantung nokturnal dispnea, dan mempertahankan saturasi
meningkat peningkatan CVP) oksigen pada >94% (4)
dengan kriteria 2. Identifikasi tanda/gejala Menggunakan gaya gravitasi
hasil: sekunder penurunan curah untuk membantu
Stroke volume jantung (distensi vena pengembangan paru dan
indeks jugularis, palpitasi, ronki mengurangi tekanan dari
meningkat (50- basah, kulit pucat abdomen pada diafragma (5)
100 ml) 3. Monitor tekanan darah Pembatasan diet berguna
Takikardi 4. Berikan oksigen untuk mencegah perburukan
menurun (<100 5. Posisikan pasien penyakit akibat zat-zat
kali/menit) semifowler atau fowler tertentu (6)
Distensi vena dengan kaki ke bawah Teknik relaksasi atau terapi
jugularis atau posisi nyaman komplementer berguna untuk
menurun 6. Berikan diet jantung memberikan efek tenang,
Suara jantung sesuai (batasi asupan menurunkan kecemasan dan
S3 dan S4 kafein, natrium, menurunkan beban kerja
menurun kolesterol) jantun (7)
7. Berikan terapi relaksasi Terapi farmakologis berguna
atau komplementer sesuai untuk memperbaiki fungsi
indikasi jantung, menurunkan tekanan
8. Kolaborasi pemberian darah, menghilangkan
terapi famakologis sesuai penumpukan cairan sesuai
indikasi: indikasi (8)
Spironolactone untuk
menurunkan tekanan
darah, edema.
ISDN untuk vasodilator
otot jantung.
Ramipril untuk mengatasi
tekanan darah tinggi
Asa (Aspirin) antinyeri,
antiinflamasi, dan
antikoagulan
Penyekat beta
(Bisoprolol) untuk
memperbaiki fungsi
ventrikel
2 Gangguan Setelah Pemantauan Respirasi Pemantauan Respirasi
pertukaran dilakukan 1. Monitor frekuensi, irama, Mengetahui status
gas intervensi kedalaman, dan upaya pernapasan pasien selama
keperawatan napas perawatan untuk menentukan
selama 3 hari 2. Monitor pola napas pemberian tatalaksana yang
diharapkan (bradipnea) sesuai
pertukaran gas 3. Monitor AGD Terapi Oksigen
meningkat 4. Monitor hasil x-rays Mengetahui kecukupan
dengan kriteria toraks kebutuhan oksigen pasien (1)
hasil: Terapi Oksigen Memaksimalkan aliran
Dispnea 1. Monitor efektifitas terapi oksigen ke dalam paru-paru
menurun oksigen (oksimetri, analisa (2)
(pernapasan 16- gas darah) Didapatkan dosis yang sesuai
20 kali/menit) 2. Bersihkan secret pada dengan kebutuhan pasien (3)
Bunyi napas mulut, hidung, trakea jika Dukungan Ventilasi
tambahan perlu Menjaga aliran udara
(mengi) 3. Kolaborasi penentuan (oksigen) yang adekuat tanpa
menurun dosis oksigen obstruksi ke paru-paru (1)
PCO2 membaik Dukungan Ventilasi Membantu memudahkan
(35-45 mmHg) 1. Pertahankan kepatenan ekspansi dinding toraks
PO2 membaik jalan napas sesuai dengan kenyamanan
(80-100 2. Berikan posisi semifowler pasien (2,3)
mmHg) 3. Fasilitasi perubahan posisi Penggunaan oksigen masker
Penggunaan senyaman mungkin demi tercapainya kebutuhan
otot bantu 4. Berikan oksigen sesuai oksigenasi pasien sesuai
napas menurun kebutuhan (masker wajah) indikasi (4)
5. Ajarkan teknik relaksasi Teknik relaksasi berguna
napas dalam untuk memaksimalkan
proses intake oksigen untuk
meningkatkan saturasi
oksigen (5)
3 Hipervolemi Setelah Manajemen Hipervolemia Mengidentifikasi
a dilakukan 1. Monitor intake dan output kemampuan fungsi
intervensi cairan ekskresikan cairan dan
keperawatan 2. Monitor tanda adanya penumpukan cairan
selama 3 hari hemokonsentrasi (natrium, tubuh (1,2)
diharapkan BUN, hematokrit, berat Menggunakan gaya gravitasi
keseimbangan jenis urine) untuk membantu
cairan dan 3. Tinggikan kepala tempat pengembangan paru dan
perfusi renal tidur 30-40 derajat mengurangi tekanan dari
meningkat 4. Batasi asupan cairan dan abdomen pada diafragma (3)
dengan kriteria garam Mengurangi beban kerja
hasil: 5. Kateterisasi urine jika tubuh dalam mengeliminasi
Edema perlu penumpukan cairan (4)
menurun (tidak 6. Kolaborasi pemberian Terapi diuretic berguna
ada bunyi napas diuretic: furosemide untuk untuk membantu
tambahan mengeluarkan cairan yang pengeluaran penumpukan
mengi) menumpuk lewat urine. cairan (5)
Distensi Membantu proses
abdomen pemantauan output cairan
menurun lewat urine (6)

Anda mungkin juga menyukai