Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
HUKUM LAUT
LEBAR LAUT TERITORIAL DAN KEWENANGAN NEGARA PANTAI
Disusun oleh :
Wulandari Meidiana
18300036 / B
Dosen Pengampu:
Letkol Laut (PM) Bambang S.Irianto, SH, M.Hum
Fakultas Hukum
Universitas Wijaya Kusuma
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Laut merupakan sumber makanan bagi manusia, sebagai jalan raya
perdagangan, sebagai sarana penaklukan, sebagai tempat pertempuran, sebagai tempat
untuk bersenang-senang dan rekreasi dan sebagai alat pemisah atau apemersatu
bangsa. Di abad ke-20 ini fungsi laut telah meningkat dengan ditemukannya bahan-
bahan tambang dan galian yang berharga di dasar laut dan dimungkinkannya usaha-
usaha menggambil kekayaan alam tersebut, baik di airnya maupun di dasar laut dan
tanah dibawahnya.
Indonesia merupakan negara terluas peringkat ke-2 di Asia dan merupakan
negara terluas di Asia Tenggara. Luas lautan Indonesia lebih besar dibandingkan
dengan luas daratannya, yaitu satu pertiga luas Indonesia adalah daratan dan dua
pertiga luas Indonesia adalah lautan2. Perairan laut Indonesia memiliki panjang pantai
sampai 95.181 km2 , dengan luas perairan 5,8 juta km2 yang terdiri ataslaut teritorial
seluas 0,3 juta km, perairan kepulauan3dengan luas 2,8 juta km2 , dan perairan Zona
Ekonomi Ekskulsif(ZEE) dengan luas 2,7 juta km2. Luasnya lautan Indonesia
sebenarnya membawa keuntungan dan manfaat yang baik bagi bangsa Indonesia,
karena salah satu fungsi dari laut adalah sebagai sumber kekayaan alam. Sumber
kekayaan yang terkandung dilautan sangat berlimpah, sehingga bisa digunakan atau
dimanfaatkan untuk mensejahterakan bangsa Indonesia.
Pasal 18A Ayat 2 UUD 1945 memberikan kepada pemerintah daerah
kewenangan untuk mengurus dan memanfaatkan serta mengelola sumber daya yang
ada di daerahnya dengan menyatakan bahwa ―hubungan keuangan, pelayanan
umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah
pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras
berdasarkan undang-undang. Kewenangan ini kemudian didukung kembali dengan
kebijakan nasional akan desentralisasi dan otonomi daerah sejak era reformasi dimulai
dengan aturan terakhir termuat dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (UU 23/2014).
Selain sumber daya alam yang terdapat di darat, Pemerintah Daerah kini juga
mulai memfokuskan diri untuk dapat mengeksploitasi sumber daya yang ada di
wilayah lautnya. Namun demikian, tindakan pemanfaatan laut wilayah oleh
pemerintah daerah masih sangat perlu untuk memperhatikan aturan-aturan nasional
yang ada serta kewajiban-kewajiban internasional yang diemban oleh Indonesia. Oleh
karenanya, terdapat urgensi sosialisasi atas peraturan nasional dan internasional
berkaitan dengan laut kepada seluruh pemerintah daerah yang memiliki laut wilayah
adminstrasinya sehingga tidak menimbulkan masalah baik di dalam negeri maupun
terhadap negara lain. Satu hal yang perlu segera direalisasikan adalah Peraturan
Pemerintah mengenai ketentuan lebih lanjut atas kewenangan Daerah provinsi di laut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 29 UU 23/2014. Hal ini untuk
memastikan pelaksanaan aturan Pasal 27-29 UU 23/2014 akan berjalan dengan baik
dan tidak akan bertentangan dengan ketentuan nasional dan hukum internasional
terkait.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah dasar kedaulatan Pemerintah Indonesia terhadap wilayah teritorial laut?
2. Hak-hak dan kewajiban apa saja yang dimiliki Pemerintah Indonesia terhadap
wilayah teritorial laut?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Zona-Zona Maritim dan Kewenangan Negara Pantai.
Batas Wilayah Laut Teritorial Negara pantai seperti halnya Indonesia dikelilingi oleh
laut, yang secara umum terdiri dari laut territorial, landas kontinen, zona ekonomi
eksklusif, dan laut lepas. Secara garis besar beberapa jenis laut ini akan dipaparkan
sebagai berikut:
1. Laut Territorial Berdasarkan Konvensi Hukum Laut batas territorial yang
disepakati adalah 12 mil laut dari garis dasar ke arah laut lepas. Jika ada
dua negara atau lebih menguasai suatu lautan, sedangkan lebar lautan itu
kurang dari 24 mil laut, maka garis teritorial di tarik sama jauh dari garis
masing-masing negara tersebut. Laut yang terletak antara garis dengan
garis batas teritorial di sebut laut teritorial. Laut yang terletak di sebelah
dalam garis dasar disebut laut internal. Garis dasar adalah garis yang
menghubungkan titik-titik dari ujung-ujung pulau. Suatu negara
mempunyai hak kedaulatan penuh atas laut teritorial, dan mempunyai
kewajiban menyediakan alur pelayaran lintas damai baik di atas maupun di
bawah permukaan laut. Bagi Indonesia, ada pengumuman pemerintah
tentang wilayah laut teritorial yang dikeluarkan tanggal 13 Desember
1957. Hal ini dikenal dengan Deklarasi Djuanda yang kemudian diperkuat
dengan Undang-undang No.4 Prp. 1960. Setelah ada United Nations
Convention on the Law of Sea (UNCLOS) 1982, Indonesia meratifikasi
Konvensi tersebut dengan UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan
United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan
BangsaBangsa tentang Hukum Laut).
2. Landas Kontinen Landas kontinen adalah dasar laut yang secara geologis
maupun morfologi merupakan lanjutan dari sebuah kontinen (benua).
Kedalaman lautnya kurang dari 150 meter. Indonesia terletak pada dua
buah landasan kontinen, yaitu landasan kontinen Asia dan landasan
kontinen Australia. Batas landas kontinen diukur dari garis dasar, yaitu
paling jauh 200 mil laut. Jika ada dua negara atau lebih menguasai lautan
di atas landasan kontinen, maka batas negara tersebut ditarik sama jauh
dari garis dasar masing-masing negara.
3. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Zona ekonomi eksklusif adalah jalur laut
selebar 200 mil laut ke arah laut terbuka diukur dari garis dasar. Di dalam
zona ekonomi eksklusif ini kebebasan pelayaran dan pemasangan kabel
serta pipa di bawah permukaan laut tetap diakui sesuai dengan prinsip-
prinsip Hukum Laut Internasional, batas landas kontinen, dan batas zona
ekonomi eksklusif antara dua negara yang bertetangga saling tumpang
tindih, maka ditetapkan garis-garis yang menghubungkan titik yang sama
jauhnya dari garis dasar kedua negara itu sebagai batasnya. Berdasarkan
Konvensi Hukum Laut bahwa masing-masing negara pantai memiliki hak
pada zona ekonomi ekslusif sebagai berikut:
a. Hak berdaulat (souvereign rights) untuk mengadakan eksplorasi dan
eksploitasi, konservasi dan pengurusan sumber kekayaan alam hayati
atau non-hayati dari perairan, dasar laut dan tanah bawah;
b. Hak berdaulat (souvereign rights) atas kegiatan-kegiatan eksplorasi
dan eksploitasi seperti produksi energi dari air dan angin;
c. Yurisdiksi untuk pendirian dan pemanfaatan pulau buatan, instalasi
dan bangunan, riset ilmiah kelautan, perlindungan dan pembinaan dari
lingkungan maritim. Laut Lepas Laut lepas adalah laut yang tidak
termasuk ke dalam wilayah laut teritorial, zona ekonomi eksklusif,
perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan landas kontinen. Laut
lepas terbuka bagi semua negara, baik negara yang berpantai maupun
yang tidak berpantai, dan kebebasan di laut lepas ini antara lain adalah
kebebasan berlayar, kebebasan untuk terbang di atasnya, kebebasan
untuk meletakkan kabel dan pipa bawah laut, kebebasan untuk
membangun pulaupulau buatan dan instalasi-instalasi lainnya,
ebebasan menangkap ikan; dan kebebasan untuk melaksanakan riset
ilmiah.
4. Zona Tambahan
Zona ini dapat diklaim negara pantai sampai ke batas 12 mil di luar Laut
Wilayah atau 24 mil dari garis-garis pangkal. Dalam zona ini, negara
pantai dapat melaksanakan kewenangan-kewenangan tertentu untuk
mengontrol pelanggaran terhadap aturan-aturannya di bidang bea
cukai/pabean, keuangan, karantina kesehatan, pengawasan imigrasi, dan
menjamin pelaksanaan hukum di wilayahnya.
5. Laut Bebas (High Seas)Laut bebas adalah laut diluar kedaulatan dan hak
berdaulat dari negara pantai atau wilayah laut setelah batas ZEE negara
pantai.
Berkenaan dengan wilayah laut teritorial, di dalam Pasal 2 ayat (1) United
Nations Convention on the Law of Sea (UNCLOS) disebutkan; “The
sovereignty of a coastal state extends, beyond its land territory and internal
waters and, in the case of an archipelagis state, its archipelagic waters, to an
adjacent belt of sea, described as the territorial sea”, yang menunjukkan secara
jelas bahwa kedaulatan negara pantai itu meliputi laut teritorial dan ruang
udara di atasnya serta dasar laut dan tanah di bawahnya. Mengenai luas
perairan teritorial itu telah dipandang sebagai satu kaidah hukum kebiasaan
yang ditetapkan bahwa, dengan mengecualikan teluk-teluk dan pulau-pulau di
dekat pantai yang mendapat perlakuan khusus, yang menjadi garis dasar
(baseline) adalah garis air pada waktu pasang surut (lowwatermark) dengan
mengikuti liku-liku pantai. Jauhnya garis luar yang membatasi perairan
teritorial itu semenjak dulu dipandang sebagai didasarkan atas jauhnya laut
dapat dikuasai oleh peluru meriam yang ditembakkan dari pantai. Asas ini
diletakkan oleh Bynkershoek dalam bukunya “De Domino Maris” (1702);
imperium terrae finitur ubio finitur armorum potestas. Dulu pada umumnya
diterima tiga mil laut, atau lebih kurang 5564 meter, sudah lebar, karena jarak
yang dicapai oleh peluru meriam pada masa itu kurang dari tiga mil.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, dalam awal masa sejarah hukum
laut ada beberapa ukuran yang dipergunakan orang untuk menetapkan lebar
laut teritorial sebagai jalur yang berada di bawah kedaulatan negara pantai. Di
antaranya yang terpenting adalah ukuran tembakan Meriam, ukuran
pandangan mata,dan ukuran “marine league”. Dalam perkembangan
selanjutnya, setelah Konferensi Hukum Laut 1958 dan 1960 tidak berhasil
menyelesaikan batas teritorial, Konferensi Hukum Laut 1982 menetapkan 12
mil laut diukur dari garis pangkal. Lebar laut teritorial 12 mil ini
mengakibatkan beberapa selat yang menurut hukum laut klasik termasuk ke
dalam pengaturan laut lepas, kini tunduk pada pengaturan laut teritorial;
kebebasan berlayar yang dahulu dinikmati di laut lepas kini tidak diperoleh
lagi di selat-selat tersebut.
Berkenaan dengan yurisdiksi dalam penegakan hukum atas wilayah
teritorial dikenal adanya dua asas yaitu asas teritorial subyektif dan asas
teritorial obyektif. Dalam asas teritorial subyektif negara-negara menjalankan
yurisdiksi agar dapat menuntut dan menghukum kejahatan-kejahatan yang
dimulai dalam wilayah mereka, tetapi diselesaikan di wilayah negara lain.
Asas ini didasarkan pada Genewa Convention for the Suppression of
Counterfeiting Currency (1929) dan Genewa Convention for the Suppression
of the Illicit Drug Traffic (1936). Sedangkan pada asas teritorial obyektif,
beberapa negara melaksanakan yurisdiksi teritorial terhadap pelanggaran-
pelanggaran yang dimulai di negara lain.
Garis pangkal adalah garis darimana batas terluar laut teritorial dan
zona maritim lain negara pantai (zona tambahan, zona penangkapan ikan
ekslusif, dan zona ekonomi eksklusif (ZEE)) diukur.12Garis pangkal
merupakan hal yang sangat penting dalam delimitasi batas maritim karena
garis inilah yang menjadi tolak ukur jurisdiksi maritim suatu negara. Secara
teori terdapat bermacam-macam garis pangkal, pembahasannya adalah sebagai
berikut.
1. Garis Pangkal Sebagai Dasar Pengukuran Batas Zona Maritim
Sumber hukum internasional yang menjadi dasar delimitasi batas maritim
adalah United Nations Convention on the Law of the Sea 1982(UNCLOS
1982) atau Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982. Pasal 15
UNCLOS 1982 yang mengatur mengenai delimitasi batas maritim laut
teritorial diantara negara dengan pantai yang bersebrangan. Garis pangkal
adalah garis darimana batas terluar laut teritorial dan zona maritim lain
negara pantai (zona tambahan, zona penangkapan ikan ekslusif, dan zona
ekonomi eksklusif (ZEE)) diukur. Garis pangkal merupakan hal yang
sangat penting dalam delimitasi batas maritim karena garis inilah yang
menjadi tolak ukur jurisdiksi maritim suatu negara. Secara teori terdapat
bermacam-macam garis pangkal, pembahasannya adalah sebagai berikut.
2. Garis Pangkal Biasa (Normal Baseline)
Definisi umum dari garis pangkal biasa terdiri dari elemen-elemen yang
ada dalam pasal 5,6,1,dan 13 UNCLOS 1982, yaitu garis air rendah
sepanjang pantai benua dan sekitar pulau-pulau, termasuk batas terluar dari
instalasi pelabuhan, garis air rendah di sekitar obyek elevasi surut (low-
tide elevation), dan garis air rendah karang atol atau kumpulan karang di
sekitar pulau. Garis air rendah dalam pengertian ini adalah yang sudah
ditandai dalam peta berskala besar yang diakui oleh Negara pantai.
Penentuan wilayah suatu negara merupakan klaim sepihak yang mana
keabsahannya tunduk kepada ketentuan hukum internasional. Dalam
penentuan garis pangkal tidaklah ditentukan hanya dengan klaim sepihak
dari negara pantai. Penetapan garis pangkal suatu negara haruslah sesuai
dengan ketentuan di dalam UNCLOS sebagai sumber hukum laut
internasional.
3. Garis Pangkal Lurus (Straight Baselines)
Kondisi geografis negara-negara pantai di dunia yang sangat bervariasi
membuat konsep garis pangkal biasa tidak dapat diterapkan secara
universal. Untuk menanggulangi hal ini, dibuatlah konsep garis pangkal
lurus, yang diatur dalam pasal 7 UNCLOS. Secara garis besar, ketentuan
penetapan garis pangkal lurus adalah sebagai berikut:
1. Di tempat-tempat dimana garis pantai menjorok jauh ke dalam dan
menikung ke dalam atau jika terdapat suatu deretan pulau sepanjang
pantai di dekatnya, cara penarikan garis pangkal lurus yang
menghubungkan titik-titik yang tepat dapat digunakan dalam menarik
garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur.
2. Dimana karena adanya suatu delta dan kondisi alam lainnya garis pantai
sangat tidak tetap, maka titik-titik yang tepat dapat dipilih pada garis air
rendah yang paling jauh menjorok ke laut dan sekalipun garis air rendah
kemudian mundur, garis-garis pangkal lurus tersebut akan tetap berlaku
sampai dirubah oleh Negara pantai sesuai dengan UNCLOS. Walaupun
kepentingan ekonomi dapat dijadikan alasan dalam penentuan
penggunaan garis pangkal lurus, kepentingan ekonomi semata tidak
dapat menjadi pembenaran untuk penggunaan garis pangkal lurus.
Garis Pangkal Lurus Kepulauan (Archipelagic Baselines)
Menurut UNCLOS, garis pangkal lurus kepulauan adalah garis yang
menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar
kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa di dalam garis pangkal demikian
termasuk pulau-pulau utama dan suatu daerah dimana perbandingan
antara daerah perairan dan daerah daratan, termasuk atol, adalah antara
satu berbanding satu dan sembilan berbanding satu. Untuk menghitung
perbandingan perairan dengan daratan berdasarkan ketentuan pasal
47(1) diatas, daerah daratan dapat mencakup di dalamnya perairan yang
terletak di dalam tebaran karang, pulau-pulau dan atol, termasuk bagian
plateau oceanikyang bertebing curam yang tertutup atau hampir tertutup
oleh serangkaian pulau batu gamping dan karang kering di atas
permukaan laut yang terletak di sekeliling plateautersebut. Indonesia,
sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, merupakan
contoh negara yang mempergunakan konsep garis pangkal kepulauan
dalam penetapan garis pangkalnya.
Sumber:
http://e-journal.uajy.ac.id/171/4/3HK09695.pdf
KEDAULATAN NEGARA PANTAI (INDONESIA) TERHADAP KONSERVASI
KELAUTAN DALAM WILAYAH TERITORIAL LAUT (TERRITORIAL SEA)
INDONESIA Erlina Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar
KEWENANGAN NEGARA PANTAI DALAM MENGELOLAWILAYAH LAUT
oleh Arie Afriansyah