1. DEVI
2. SIMRAN
3. NURFIANTI
4. FITA ROSMITA
5. YULIANTI
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
B.Rumusan Masalah
C.Tujuan
D.Manfaat
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
B.Alasan Mengapa Manajemen Berbasis Sekolah
C. Ciri-ciri Manajemen Berbasis Sekolah
D. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah
E. Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah
F. Faktor-faktor yang mempengaruhi Manajemen Berbasis Sekolah
G. Model-Model Manajemen Berbasis Sekolah Di Berbagai Sekolah
H. Model –Model Manajemen Berbasis Sekolah
BAB III PENUTUP
A.Kesimpulan
B.Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHSAN
Secara leksikal, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata,
yaitu manajemen, berbasis dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan
sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Berbasismemiliki kata dasar
basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah adalah lembaga untuk belajar dan
mengajar serta tempat menerima dan memberikan pelajaran. Berdasarkan makna
leksikal tersebut maka MBS dapat diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang
berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran.
Definisi yang mencakup makna yang lebih luas dikemukakan oleh Wohlstetter
dan Mohrman (1996). Secara luas MBS berarti pendekatan politis untuk mendesain
ulang organisasi sekolah dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada
partisipan sekolah pada tingkat lokal guna memajukan sekolahnya. Partisipan lokal
sekolah tak lain adalah kepala sekolah, guru, konselor, pengembang kurikulum,
administrator, orang tua siswa, masyarakat sekitar, dan siswa.
Secara lebih sempit MBS hanya mengarah pada perubahan tanggung jawab pada
bidang tertentu seperti dikemukakan Kubick (1988). MBS meletakan tanggung jawab
dalam pengambilan keputusan dari pemerintah daerah kepada sekolah yang
menyangkut bidang anggaran, personel, dan kurikulum. Oleh karena itu, MBS
memberikan hak kontrol proses pendidikan kepada kepala sekolah, guru, siswa, dan
orang tua.[1]
Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “school based
management”. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat
mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan
masyarakat setempat. MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang
memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam
kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa
mengolah sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan
prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Pelibatan
masyarakat dimaksudkan agar mereka lebih memahami, membantu, dan mengontrol
pengelolaan pendidikan. Dalam pada itu, kebijakan nasional yang menjadi prioritas
pemerintah harus pula dilakukan oleh sekolah. Pada sistem MBS, sekolah dituntut
secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan
mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat
maupun pemerintah.
MBS merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan, yang menawarkan
kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi
para peserta didik. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk
meningkatkan kinerja para staf, menawarkan partisipasi langsung kelompok-
kelompok yang terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap
pendidikan.
Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari MBS yang
dipandang memiliki tingkat efektifitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan
berikut :
a. Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada
peserta didik, orangtua, dan guru;
b. Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal;
c. Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar,
tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru dan iklim sekolah;
d. Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru,
manajemen sekolah, rancang ulang sekolah, dan perubahan perencanaan.
Dalam pelaksanaannya di Indonesia, perlu ditekankan bahwa kita tidak harus
meniru secara persis model-model MBS dari negara lain. Sebaliknya Indonesia akan
belajar banyak dari pengalaman-pengalaman pelaksanaan MBS di negara lain,
kemudian memodifikasi, merumuskan dan menyusun model dengan
mempertimbangkan berbagai kondisi setempat seperti sejarah, geografi, struktur
masyarakat, dan pengalaman-pengalaman pribadi di bidang pengelolaan pendidikan
yang telah dan sedang berlangsung selama ini.[2]
B. Alasan Mengapa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Pengelolaan pendidikan yang dianut dan dijalankan di Indonesia selama ini sangat
bersifat sentalistik, di mana pusat sangat dominan dalam pengambilan kebijakan.
Sebaliknya, daerah dan sekolah bersifat pasif, hanya sebagai penerima dan pelaksana
perintah pusat. Pola kerja sentralistik tersebut sering mengakibatkan adanya
kesenjangan antara kebutuhan riil sekolah dengan perintah atau apa yang digariskan
oleh pusat.
F. Korten (1981) menilai, system sentralistik kurang bisa memberikan pelayanan
yang efektif, kelemahan-kelemahan pola sentralistik tersebut selama ini tidak pernah
digubris. Ketika lahir Undang-undang Nomor 22/1999 tentang Otonomi Daerah yang
mengharuskan pelaksanaan desentralisasi pendidikan, mau tidak mau pola sentralistik
harus diubah. Diperlukan formula baru dalam pengelolaan pendidikan di sekolah
sesuai dengan tuntutan masyarakat dan berkembangnya peraturan baru. Tujuan utama
penerapan MBS adalah untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan serta mutu dan
relevansi pendidikan di sekolah.
Inovasi yang diharapkan timbul di sekolah serta bertambahnya prestasi
masyarakat untuk mendukung dan mengawasi sekolah, akan memberikan nilai positif
terhadap peningkatan mutu dan relevansi pendidikan (S. Bellen dkk, 2000).
Beberapa kegiatan pada tahap awal yang ditempuh dalam pelaksanaan MBS
antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut:
a) Meningkatkan kemampuan personil sekolah dalam pengelolaan sekolah, termasuk
pengelolaan sember daya dan penyusunan program untuk mencapai tujuan sekolah.
b) Memberikan wewenang kepada sekolah untuk mengelola sumber daya dan
mengatur rumah tangga sekolah untuk mencapai tujuan sekolah dalam batas-batas
peraturan.
c) Mendorong partisipasi masyarakat yang lebih besar untuk mendukung pendidikan di
sekolah.
d) Mendorong pemanfaatan anggaran sekolah sesuai kebutuhan dan kondisi sekolah
dengan memberikan “block grant” yang dimanfaatkan bersama dengan anggaran dan
sumber-sumber lain.
e) Mendorong adanya transparasi dalam pengelolaan sekolah, mulai dari perencanaan
sampai dengan evaluasi. Dalam hal keuangan dengan membuat RAPBS yang
melibatkan kepala sekolah, guru serta pengurus BP3 dan juga tokoh masyarakat.
f) Mendorong dan memanfaatkan kemampuan personil sekolah untuk meningkatkan
kretifitas dan kemampuan yang dapat mendukung terjadinya proses belajar mengajar
yang aktif, efektif dan menyenangkan serta terciptanya kondisi sekolah yang “sayang
anak” (child friendly).
g) Bekerjasama dengan pemerntah untuk mendukung upaya pelaksanaan kegiatan
rintisan MBS di sekolah yang ditunjuk (S. Ballen, dkk, 2000).
Peluang keberhasilan dalam menerapkan MBS di sekolah pada saat ini cukup
besar karena adanya factor pendukung berikut:
a) Tuntutan kehidupan demokratisasi yang cukup besar dari masyarakat dalam era
reformasi seperti sekarang ini.
b) Penerapan Undang-undang No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah yang
menekankan pada otonomi pemerintah pada tingkat Kabupaten/Kota.
c) Adanya komite sekolah yang berfungsi untuk membantu pelaksanaan program JPS
pendidikan di banyak sekolah.
d) Adanya keinginan pemerintah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap
pendidikan di sekolah dengan meningkatkan tugas, fungsi dan peran BP3.[3]
BPPN bekerjasama dengan Bank Dunia (1999) telah mengkaji beberapa faktor
yang perlu diperhatikan sehubungan dengan MBS. Fakto-faktor tersebut yaitu :
a. Kewajiban Sekolah
MBS yang menawarkan keleluasaan pengelolaan sekolah memiliki potensi yang
besar dalam menciptakan kepala sekolah, guru, dan pengelola sistem pendidikan
profesional. Oleh karena itu, pelaksanaannya perlu disertai seperangkat kewajiban,
monitoring dan tuntutan pertanggungjawaban (akuntabel) yang tinggi. Dengan
demikian, sekolah dituntut mampu menampilkan pengelolaan sumberdaya secara
transparan, demokratis, tanpa monopoli, dan bertanggungjawab baik terhadap
masyarakat maupun pemerintah, dalam rangka meningkatkan kapasitas pelayanan
terhadap peserta didik.
b. Kebijakan dan Prioritas Pemerintah
Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan nasional berhak merumuskan
kebijakan-kebijakan yang menjadi prioritas nasional terutama yang berkaitan dengan
program peningkatan melek huruf dan angka (literacy and numeracy), efisiensi, mutu
dan pemerataan pendidikan. Pemerintah juga perlu merumuskan seperangkat
pedoman umum tentang pelaksanaan MBS untuk menjamin bahwa hasil
pendidikan (student outcomes) terevaluasi dengan baik, kebijakan-kebijakan
pemerintah dilaksanakan secara efektif, sekolah dioperasikan dalam kerangka yang
disetujui pemerintah, dan anggaran dibelanjakan sesuai dengan tujuan.
c. Peranan Orangtua dan Masyarakat
MBS menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas untuk
membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dan memberdayakan otoritas
daerah setempat, serta mengefisienkan sistem dan menghilangkan birokrasi yang
tumpang tindih yaitu melalui partisispasi masyarakat, orangtua dan dewan
sekolah(school council).
d. Peranan Profesionalisme dan Manajerial
Kepala sekolah, guru dan tenaga administrasi harus memiliki pengetahuan yang
dalam tentang peserta didik dan prinsip-prinsip pendidikan untuk menjamin bahwa
segala keputusan penting yang dibuat oleh sekolah, didasarkan atas pertimbangan-
pertimbangan pendidikan. Kepala sekolah perlu mempelajari kebijakan pemerintahan
maupun prioritas sekolah sendiri. Ia harus :
1) Memiliki kemampuan untuk berkolaborasi dengan guru dan masyarakat sekitar
sekolah;
2) Memiliki pemahaman dan wawasan yang luas tentang teori pendidikan dan
pembelajaran;
3) Memiliki kemampuan dan ketrampilan untuk menganalisis situasi sekarang
berdasarkan apa yang seharusnya serta mampu memperkirakan kejadian di masa
depan berdasarkan situasi sekarang;
4) Memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah dan kebutuhan
yang berkaitan dengan efektifitas pendidikan di sekolah;
5) Mampu memanfaatkan berbagai peluang, menjadikan tentangan sebagai peluang,
serta mengkonseptualkan arah baru untuk perubahan.
e. Pengembangan Profesi
Agar sekolah dapat mengambil manfaat yang ditawarkan MBS, perlu dikembangkan
adanya pusat pengembangan profesi, yang berfungsi sebagai penyedia jasa pelatiahan
bagi tenaga kependidikan untuk MBS.[8]
Dalam makalah ini akan diuraikan secara singkat beberapa model yang
dikembangkan dibeberapa negara diantaranya: Hong Kong, Kanada, Amerika Serikat,
Inggris, Australia, Prancis, Nikaragua, Selandia Baru, El Salvador, Madagaskar, dan
di Indonesia.
1. Model MBS di Hong Kong
Kondisi yang kurang baik yang terjadi di Hong Kong mendorong
diberlakukannya MBS dengan tujuan terjadinya suatu perbaikan.[1] Di Hong
Kong MBS disebut The School Management Initiative (SMI) atau manajemen
sekolah inisiatif.
Model MBS di Hong Kong ini, menekankan pentingnya inisiatif dari sumber
daya sekolah sebagai pengganti inisiatif dari atas yang selama ini diterapkan. Prinsip-
prinsip MBS yang ditawarkan di Hong Kong adalah perlunya telaah ulang secara
terus menerus terhadap pembelajaan anggran pemerintah, perlunya evaluasi secara
sistematis terhadap hasil, definisi, yang lebih baik tentang tanggung jawab, hubungan
erat antara tanggung jawab sumber daya dan tanggung jawab manajemen, perlu
adanya organisasi dan kerangka kerja yang sesuai, hubungan yang jelas antara
pembuat kebijakan dengan agen-agen pelaksana.
Dengan adanya prinsip tersebut maka diperlukan suatu transparansi dan
akuntabilitas dalam pengelolaan pendidikan. Taransparansi dan akuntabilitas di sini
meliputi penggunaan anggaran belanja sekolah dan penentuan hasil belajar siswa
serta pengukuran hasilnya.
Proses sekolah pada umumnya mencakup proses manajemen, proses mengajar dan
proses belajar. Jadi pemilihan indikator mungkin didasarkan pada proses ini,
diklasifikasikan sebagai indikator keefektifan pengelolaan (misalnya, kepemimpinan,
pengambilan keputusan), indikator efektivitas mengajar (misalnya, mengajar
kemanjuran, metode mengajar) dan indikator efektifitas pembelajaran (misalnya,
sikap belajar , tingkat kehadiran).
Model ini sangat berguna jika ada hubungan yang jelas antara proses sekolah dan
hasil pendidikan. Untuk batas tertentu, penekanan yang terletak pada kepemimpinan
dan budaya sekolah untuk efektivitas sekolah mencerminkan pentingnya model
proses (Caldwell dan Spink, 1992; Cheng, 1994d; Sergiovanni, 1984). Keterbatasan
model proses adalah kesulitan dalam proses pemantauan dan pengumpulan data serta
fokus pada sarana bukan tujuan akhir (Cameron, 1978).
Selanjutnya, ukuran pencapaian tujuan secara teknis biasanya sulit dan terkonsep
secara kontoversional. Oleh karena itu, kepuasan konstituen yang kuat dan strategis
sering digunakan sebagai elemen penting untuk menilai efektivitas sekolah. Baru-
baru ini, ada penekanan kuat pada kualitas pendidikan sekolah. Pada kenyataannya,
konsep kualitas erat kaitannya dengan kepuasan kebutuhan klien (atau pelanggan,
konstituen) atau kesesuaian persyaratan dan harapan klien’ (Crosby, 1979; Tenner
and Detoro, 1992). Dari poin ini ditekankan bahwa untuk meningkatkan mutu
pendidikan dapat dicapai dengan menggunakan kepuasan konstituen dalam
menjelaskan dan menilai keefektivitasan sekolah.
Model kepuasan mendefinisikan bahwa sekolah akan efektif jika semua konstituen
strategis puas. Ini mengasumsikan bahwa fungsi dan kelangsungan hidup sekolah
berada di bawah pengaruh konstituen strategis, misalnya, kepala sekolah, guru,
manajemen sekolah, otoritas pendidikan, orang tua, siswa dan masyarakat, dan
aktivitas/tindakan sekolah mereaksian akan tuntutan konstituen strategis. Karenanya
tuntutan kepuasan ini sebagai syarat dasar untuk efektivitas sekolah (Keeley, 1984;
Zammuto, 1982; 1984)
Model ini mungkin berguna dalam mempelajari efektivitas sekolah jika harapan
semua konstituen yang kuat dapat disatukan dan sekolah harus merespon harapan
tersebut. Indikator efektivitas berupa kepuasan siswa, guru, orangtua, administrator,
otoritas pendidikan, komite manajemen sekolah, atau alumni, dll. Namun, model
tidak tepat jika adanya konflik pada tuntutan/harapan konstituen dan tidak dapat
dipenuhi pada saat yang sama.
Dalam rangka mendapatkan sumber daya dan kelangsungan hidup, sekolah harus
menunjukkan bukti pertanggungjawaban (akuntabilitas), memenuhi persyaratan
masyarakat dan mendapatkan dukungan dari konstituen yamg penting. Indikator
efektivitas dalam the legitimate model sering berhubungan dengan kegiatan dan
keunggulan public relations dan pemasaran, pertanggungjawaban (akuntabilitas),
citra sekolah, reputasi, atau status sekolah dalam masyarakat, dll.
Model ini berguna ketika sekolah harus bertahan di antara sekolah harus dinilai dalam
lingkungan yang dinamis. Dari sudut pandang model ini, sekolah-sekolah akan efektif
jika mereka dapat melakukan kegiatan belajar mengajar dalam lingkungan yang
kompetitif/bersaing. Untuk tetap bertahan, sekolah juga menerapan sistem
akuntabilitas atau sistem jaminan mutu yang menyediakan mekanisme formal bagi
sekolah untuk mendapatkan legitimasi yang diperlukan. Hal ini dapat menjelaskan
mengapa begitu banyak sekolah sekarang lebih memperhatikan hubungan
masyarakat, kegiatan pemasaran dan membangun sistem berbasis sekolah
akuntabilitas atau sistem jaminan kualitas.
Penekanan garis pemikiran model ini terletak pada stategi manajemen dan
perencanaan pembangunan di sekolah (Dempster, et al, 1993; Hargreaves and
Hopkins, 1991). Model sangat berguna ketika sekolah sedang mengembangkan diri
atau terlibat dalam reformasi pendidikan terutama di lingkungan eksternal yang
berubah-ubah. Indikator efektivitas sekolah dapat mencakup kesadaran dan
perubahan kebutuhan masyarakat, pemantauan proses internal, evaluasi program,
analisis lingkungan, dan perencanaan pembangunan, dll.
8. Model Manajemen Mutu Total (The Total Quality Management Model ).
Konsep dan praktek manajemen mutu total di sekolah diyakini menjadi alat yang
ampuh untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan meningkatkan efektivitas
sekolah (Bradly, 1993; Cuttance, 1994; Greenwood and Gaunt, 1994; Murgatroyd
and Colin, 1993). Karena adanya perkembangan teori dan praktek manajemen dalam
organisasi yang berbeda, orang mulai percaya bahwa perbaikan beberapa aspek dari
proses manajemen tidak cukup untuk mencapai kualitas. Untuk keberhasilan jangka
panjang kuncinya terletak kualitas atau efektivitas kinerja, manajemen total dari
lingkungan internal dan proses untuk memenuhi kebutuhan pelanggan (atau klien,
konstituen strategis).
Bidang utama untuk menilai efektivitas sekolah dalam Manajemen kualitas total
menurut kerangka kerja Malcolm Baldrige Award atauEuropean Quality Award,
dapat mencakup kepemimpinan, manajemen manusia, manajemen proses, informasi
dan analisis, perencanaan kualitas strategi, internal kepuasan konstituen, eksternal
kepuasan konstituen, hasil operasional, hasil pendidikan siswa dan dampaknya
terhadap masyarakat (Fisher, 1994; George, 1992). Dibandingkan dengan model lain,
model manajemen kualitas total memberikan perspektif yang lebih holistik atau
komprehensif untuk memahami dan mengelola efektivitas sekolah.
Seperti dibahas di atas, masing-masing dari delapan model memiliki itu kekuatan
sendiri dan keterbatasan. Dalam situasi yang berbeda dan bingkai waktu yang
berbeda, model yang berbeda mungkin berguna untuk mempelajari efektivitas
sekolah. Secara relatif model pembelajaran organisasi dan model manajemen mutu
total tampaknya lebih menjanjikan untuk pencapaian fungsi beberapa sekolah pada
tingkat yang berbeda.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B.SARAN
Diharapkan untuk kedepannya semua sekolah dapat mengatur dan menerapkan MBS
ini dalam kegiatan di sekolah sehingga tercipta tujuan yang efektif dan efisien dalam
proses pembelajaran. Perlu mengembangkan juga pengetahuan tentang konsep-
konsep, strategi, dalam implementasi MBS di sekolah-sekolah. Dengan adanya
model-model MBS dari negara lain dapat dijadikan contoh pelaksanaan MBS yang
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Nurkolis, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model, dan AplikasiJakarta: Grasindo, 2006.
A. Latar Belakang
Lahirnya UU No.22/1999 tentang otonomi daerah berimplikasi kepada otonomi
pendidikan dan otonomi sekolah, maka jadilah Indonesia menganut konsep
manajemen pendidikan berbasis sekolah (school based management)atau biasa
disingkat MBS. Sebelum adanya otonomi daerah ini pengelolaan pendidikan yang
dianut Indonesia sangat bersifat sentralistik, dimana pusat sangat dominan dalam
pengambilan kebijakan dan daerah bersifat pasif; hanya sebagai penerima dan
pelaksana pemerintah pusat.
MBS memberiksn keluasan bagi sekolah untuk menentukan arah dan kebijakan
yang relevan dengan situasi dan kondisi lingkungannya. MBS juga memberikan
peluang yang sangat besar bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan
pendidikan di sekolah.
Penting bagi guru, calon guru, maupun pemerhati pendidikan untuk benar-benar
memahami konsep MBS ini agar nantinya bisa menjalankan manajeman pendidikan
di sekolah sesuai dengan apa yang tertuang dalam konsep MBS. Untuk itu dalam
makalah ini akan dikupas mengenai pengertian MBS, alasan mengapa perlu adannya
MBS,ciri-ciri MBS, tujuan MBS, manfaat MBS, faktor-faktor yang perlu
diperhatikan dalam MBS, dan model-model MBS.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut, dan agar permasalahan
lebih mudah untuk dibahas, maka dalam makalah ini penulis merumuskan beberapa
pokok, seperti:
1. Apa pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
2. Mengapa perlu adanya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
3. Apa saja ciri-ciri Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
4. Apa saja tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
5. Apa manfaat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
6. Faktor-faktor apa yang perlu diperhatikan dalam Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) ?
7. Berikan contoh model-model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
C. Tujuan Penulisan
Berdasar perumusan masalah diatas, pengetahuan tentang Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS) penting untuk diketahui bagi pendidikan. Secara umum tulisan ini
bertujuan untuk:
1. Mengetahui pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
2. Mengetahui perlunya ada Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
3. Mengetahui ciri-ciri Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
4. Mengetahui tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
5. Mengetahui manfaat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
6. Mengetahui faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS).
7. Mengetahui contoh model-model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).