Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

MODEL-MODEL MANAJEMEN SEKOLAH

DISUSUN OLEH KELOMPOK 6

1. DEVI
2. SIMRAN
3. NURFIANTI
4. FITA ROSMITA
5. YULIANTI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BUTON


TAHUN 2021

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah  SWT yang maha pengasih lagi maha


penyayang, kami panjatkan  puji syukur atas kehadirat-Nya ,yang telah  melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah tentang Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah ini.Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini adalah untuk membantu memahami para pembaca mempelajari
bentuk desentralisasi  yaitu sekolah sebagai suatu unit dasar pengembangan dan
bergantung pada otoritas pengambilan suatu keputusan di sekolah.Tentu dalam proses
penyusunannya tak lepas dari bantuan, arahan dan masukan dari berbagai pihak serta
kerjasama. Untuk itu kami ucapkan banyak terima kasih atas segala partisipasinya
yang turut serta membatu menyelesaikan makalah ini.
Meski demikian, Selaku manusia biasa dalam menulis makalah ini kami
menyadari masih banyak kekurangan, baik dari segi tanda baca, tata bahasa maupun
isi.Oleh karena itu penulis secara terbuka menerima segala kritik dan saran positif
dari guna memyempurnakan makalah pembuatan makalah selanjutnya.Demikian
yang bisa saya sampaikan, semoga makalah ini dapat menambah khazanah ilmu
pengetahuan dan memberikan manfaat untuk para pembaca.

                                                                                             Baubau, 18 April 2021


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I  PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
B.Rumusan Masalah
C.Tujuan
D.Manfaat
BAB  II PEMBAHASAN
A. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
B.Alasan Mengapa Manajemen Berbasis Sekolah
C. Ciri-ciri Manajemen Berbasis Sekolah
D. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah
E. Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah
F. Faktor-faktor yang mempengaruhi Manajemen Berbasis Sekolah
G. Model-Model Manajemen Berbasis Sekolah Di Berbagai Sekolah
H. Model –Model Manajemen Berbasis Sekolah
BAB III PENUTUP
A.Kesimpulan
B.Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHSAN

A.    Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Secara leksikal, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata,
yaitu manajemen, berbasis dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan
sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Berbasismemiliki kata dasar
basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah adalah lembaga untuk belajar dan
mengajar serta tempat menerima dan memberikan pelajaran. Berdasarkan makna
leksikal tersebut maka MBS dapat diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang
berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran.
Definisi yang mencakup makna yang lebih luas dikemukakan oleh Wohlstetter
dan Mohrman (1996). Secara luas MBS berarti pendekatan politis untuk mendesain
ulang organisasi sekolah dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada
partisipan sekolah pada tingkat lokal guna memajukan sekolahnya. Partisipan lokal
sekolah tak lain adalah kepala sekolah, guru, konselor, pengembang kurikulum,
administrator, orang tua siswa, masyarakat sekitar, dan siswa.
Secara lebih sempit MBS hanya mengarah pada perubahan tanggung jawab pada
bidang tertentu seperti dikemukakan Kubick (1988). MBS meletakan tanggung jawab
dalam pengambilan keputusan dari pemerintah daerah kepada sekolah yang
menyangkut bidang anggaran, personel, dan kurikulum. Oleh karena itu, MBS
memberikan hak kontrol proses pendidikan kepada kepala sekolah, guru, siswa, dan
orang tua.[1]
Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “school based
management”. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat
mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan
masyarakat setempat. MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang
memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam
kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa
mengolah sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan
prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Pelibatan
masyarakat dimaksudkan agar mereka lebih memahami, membantu, dan mengontrol
pengelolaan pendidikan. Dalam pada itu, kebijakan nasional yang menjadi prioritas
pemerintah harus pula dilakukan oleh sekolah. Pada sistem MBS, sekolah dituntut
secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan
mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat
maupun pemerintah.
MBS merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan, yang menawarkan
kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi
para peserta didik. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk
meningkatkan kinerja para staf, menawarkan partisipasi langsung kelompok-
kelompok yang terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap
pendidikan.
Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari MBS yang
dipandang memiliki tingkat efektifitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan
berikut :
a.       Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada
peserta didik, orangtua, dan guru;
b.      Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal;
c.       Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar,
tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru dan iklim sekolah;
d.      Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru,
manajemen sekolah, rancang ulang sekolah, dan perubahan perencanaan.
Dalam pelaksanaannya di Indonesia, perlu ditekankan bahwa kita tidak harus
meniru secara persis model-model MBS dari negara lain. Sebaliknya Indonesia akan
belajar banyak dari pengalaman-pengalaman pelaksanaan MBS di negara lain,
kemudian memodifikasi, merumuskan dan menyusun model dengan
mempertimbangkan berbagai kondisi setempat seperti sejarah, geografi, struktur
masyarakat, dan pengalaman-pengalaman pribadi di bidang pengelolaan pendidikan
yang telah dan sedang berlangsung selama ini.[2]
B.     Alasan Mengapa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Pengelolaan pendidikan yang dianut dan dijalankan di Indonesia selama ini sangat
bersifat sentalistik, di mana pusat sangat dominan dalam pengambilan kebijakan.
Sebaliknya, daerah dan sekolah bersifat pasif, hanya sebagai penerima dan pelaksana
perintah pusat. Pola kerja sentralistik tersebut sering mengakibatkan adanya
kesenjangan antara kebutuhan riil sekolah dengan perintah atau apa yang digariskan
oleh pusat.
F. Korten (1981) menilai, system sentralistik kurang bisa memberikan pelayanan
yang efektif, kelemahan-kelemahan pola sentralistik tersebut selama ini tidak pernah
digubris. Ketika lahir Undang-undang Nomor 22/1999 tentang Otonomi Daerah yang
mengharuskan pelaksanaan desentralisasi pendidikan, mau tidak mau pola sentralistik
harus diubah. Diperlukan formula baru dalam pengelolaan pendidikan di sekolah
sesuai dengan tuntutan masyarakat dan berkembangnya peraturan baru. Tujuan utama
penerapan MBS adalah untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan serta mutu dan
relevansi pendidikan di sekolah.
Inovasi yang diharapkan timbul di sekolah serta bertambahnya prestasi
masyarakat untuk mendukung dan mengawasi sekolah, akan memberikan nilai positif
terhadap peningkatan mutu dan relevansi pendidikan (S. Bellen dkk, 2000).
Beberapa kegiatan pada tahap awal yang ditempuh dalam pelaksanaan MBS
antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut:
a)      Meningkatkan kemampuan personil sekolah dalam pengelolaan sekolah, termasuk
pengelolaan sember daya dan penyusunan program untuk mencapai tujuan sekolah.
b)      Memberikan wewenang kepada sekolah untuk mengelola sumber daya dan
mengatur rumah tangga sekolah untuk mencapai tujuan sekolah dalam batas-batas
peraturan.
c)      Mendorong partisipasi masyarakat yang lebih besar untuk mendukung pendidikan di
sekolah.
d)      Mendorong pemanfaatan anggaran sekolah sesuai kebutuhan dan kondisi sekolah
dengan memberikan “block grant” yang dimanfaatkan bersama dengan anggaran dan
sumber-sumber lain.
e)      Mendorong adanya transparasi dalam pengelolaan sekolah, mulai dari perencanaan
sampai dengan evaluasi. Dalam hal keuangan dengan membuat RAPBS yang
melibatkan kepala sekolah, guru serta pengurus BP3 dan juga tokoh masyarakat.
f)       Mendorong dan memanfaatkan kemampuan personil sekolah untuk meningkatkan
kretifitas dan kemampuan yang dapat mendukung terjadinya proses belajar mengajar
yang aktif, efektif dan menyenangkan serta terciptanya kondisi sekolah yang “sayang
anak” (child friendly).
g)      Bekerjasama dengan pemerntah untuk mendukung upaya pelaksanaan kegiatan
rintisan MBS di sekolah yang ditunjuk (S. Ballen, dkk, 2000).
Peluang keberhasilan dalam menerapkan MBS di sekolah pada saat ini cukup
besar karena adanya factor pendukung berikut:
a)      Tuntutan kehidupan demokratisasi yang cukup besar dari masyarakat dalam era
reformasi seperti sekarang ini.
b)      Penerapan Undang-undang No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah yang
menekankan pada otonomi pemerintah pada tingkat Kabupaten/Kota.
c)      Adanya komite sekolah yang berfungsi untuk membantu pelaksanaan program JPS
pendidikan di banyak sekolah.
d)      Adanya keinginan pemerintah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap
pendidikan di sekolah dengan meningkatkan tugas, fungsi dan peran BP3.[3]

C.    Ciri-Ciri Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)


Dalam MBS peran serta masyarakat sangat penting, tidak seperti masa lalu
yang hanya terbatas memobilisasi sumbangan uang dan sejenisnya. Sekolah sebagai
lembaga pendidikan dalam model MBS memiliki fungsi dan peran yang sangat besar.
Masalah keuangan, kegiatan pembelajaran, sarana prasarana, dan seluruh komponen
penunjang pendidikan di sekolah merupakan tanggung jawab sekolah yang telah “di-
result”oleh masyarakat.
Dalam hal pembelajaran atau proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), maka
model MBS ini menekankan kepada pembelajaran aktif (active
learning), pembelajaran efektif (efektive learning) dan pembelajaran yang
menyenangkan (joyfull learning). Cara pembelajaran seperti ini memungkinkan
munculnya keberanian pada diri siswa untuk mengemukakan pendapat, bertanta,
mengkritik, dan mengakui kelemahannya apabila memang mereka melakukan
kesalahan.
Dengan semangat belajar yang tinggi, kondisi tempat dan iklim belajar yang
menyenangkan, dukungan dari masyarakat serta orang tua yang cukup. Pada
gilirannya pendekatan ini akan dapat mengurangi bahkan mengikis habis masalah
putus sekolah atau Drop Out (DO). Manajemen sekolah yang menitik beratkan pada
aspek kemandirian sekolah dengan ciri utama pada adanya keterbukaan atau
transparansi pelaksanaannya dimulai dari perencanaan sampai dengan pelaporan
diselenggarakan secara terbuka.
Dari paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri manajemen berbasis
sekolah antara lain:
1.      Ada upaya meningkatkan peran serta BP3 dan masyarakat untuk mendukung kinerja
sekolah.
2.      Program sekolah disusun dan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan
proses belajar mengajar (kurikulum), bahkan kepentingan administratif.
3.      Menerapkan prinsip efektifitas dan efisiensi dalam penggunaan sumber daya sekolah
(anggaran, personil, dan fasilitas).
4.      Mampu mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan kemampuan dan
kondisi lingkungan sekolah walau berbeda dari pola umum atau kebiasaan.
5.      Menjamin terpeliharanya sekolah yang bertanggungjawab kepada masyarakat, selain
kepada pemerintah atau yayasan.
6.      Meningkatkan profesionalisme personil sekolah.
7.      Meningkatkan kemandirian sekolah di segala bidang.
8.      Adanya keterlibatan semua unsur terkait dalam perencanaan program sekolah,
pelaksanaan sampai dengan evaluasi (kepala sekolah, guru, BP3, dan tokoh
masyarakat, dan lain-lain)
9.      Adanya keterbukaan dalam pengelolaan pendidikan sekolah, baik yang menyangkut
program, anggaran, ketenagaan, prestasi sampai dengan pelaporan.
10.  Pertanggungjawaban sekolah dilakukan baik terhadap pemerintah, yayasan, maupun
masyarakat (S. Ballen dkk, 2000)[4]
D.    Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
MBS merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan
masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi, yang dinyatakan dalam
GBHN. Hal tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan dalam pemgembangan
pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan, baik secara makro, meso
maupun mikro.
MBS yang ditandai dengan otonomi sekolah dan pelibatan masyarakat merupakan
respons pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat, bertujuan utuk
meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi,
antara lain diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumberdaya, partisipasi
masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Sementara peningkatan mutu dapat
diperoleh antara lain melelui partisipasi orangtua terhadap sekolah, fleksibilitas
pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah,
berlakunya sistem insentif serta disinsetif. Peningkatan pemerataan antara lain
diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan
pemerintah lebih berkonsentrasi pada kelompok tertentu. Hal ini dimungkinkan
karena pada sebagian masyarakat tumbuh rasa kepemilikan yang tinggi terhadap
sekolah.[6]

E.     Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)


MBS memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai
seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung
jawab pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi MBS sesuai dengan
kondisi setempat, sekolah dapat lebih meningkatkan kesejahteraan guru sehingga
dapat lebih berkonsentrasi pada tugas. Keleluasaan dalam mengelola sumber daya
dan dalam menyertakan masyarakat untuk berpartisipasi, mendorong profesionalisme
kepala sekolah, dalam peranannya sebagai manajer maupun pemimpin sekolah.
Dengan diberikannya kesempatan kepada sekolah untuk menyusun kurikulum, guru
didorong untuk berinovasi dengan melakukan eksperimentasi-eksperimentasi di
lingkungan sekolahnya. Dengan demikian, MBS mendorong profesionalisme guru
dan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan di sekolah. Melalui penyusunan
kurikulum efektif, rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat meningkat dan
menjamin layanan pendidikan sesuai dengan tuntutan pesrta didik dan masyarakat
sekolah. Prestasi peserta didik dapat dimaksimalkan melalui peningkatan partisipasi
orangtua, misalnya orangtua dapat mengawasi langsung proses belajar anaknya.
MBS menekankan keterlibatan maksimal berbagai pihak, seperti pada sekolah-
sekolah swasta, sehingga menjamin partisipasi staf, orangtua, peserta didik dan
masyarakat yang lebih luas dalam  perumusan-perumusan keputusan tentang
pendidikan. Kesempatan berpartisipasi tersebut dapat meningkatkan komitmen
mereka terhadap sekolah. Selanjutnya, aspek-aspek tersebut pada akhirnya akan
mendukung efektivitas  dalam pencapaian tujuan sekolah. Adanya kontrol dari
masyarakat dan monitoring dari pemerintah , pengelolaan sekolah menjadi akuntabel,
transparan, egaliter, dan demokratis, serta menghapuskan monopoli dalam
pengelolaan pendidikan. Untuk kepentingan tersebut diperlukan kesiapan pengelola
pada berbagai level untuk melakukan perannya sesuai dengan kewenangan dan
tanggung jawab.[7]

F.     Faktor-Faktor yang Perlu Diperhatikan dalam  Manajemen Berbasis Sekolah


(MBS) 

BPPN bekerjasama dengan Bank Dunia (1999) telah mengkaji beberapa faktor
yang perlu diperhatikan sehubungan dengan MBS. Fakto-faktor tersebut yaitu :
a.       Kewajiban Sekolah
MBS yang menawarkan keleluasaan pengelolaan sekolah memiliki potensi yang
besar dalam menciptakan kepala sekolah, guru, dan pengelola sistem pendidikan
profesional. Oleh karena itu, pelaksanaannya perlu disertai seperangkat kewajiban,
monitoring dan tuntutan pertanggungjawaban (akuntabel) yang tinggi. Dengan
demikian, sekolah dituntut mampu menampilkan pengelolaan sumberdaya secara
transparan, demokratis, tanpa monopoli, dan bertanggungjawab baik terhadap
masyarakat maupun pemerintah, dalam rangka meningkatkan kapasitas pelayanan
terhadap peserta didik.
b.      Kebijakan dan Prioritas Pemerintah
Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan nasional berhak merumuskan
kebijakan-kebijakan yang menjadi prioritas nasional terutama yang berkaitan dengan
program peningkatan melek huruf dan angka (literacy and numeracy), efisiensi, mutu
dan pemerataan pendidikan. Pemerintah juga perlu merumuskan seperangkat
pedoman umum tentang pelaksanaan MBS untuk menjamin bahwa hasil
pendidikan (student outcomes) terevaluasi dengan baik, kebijakan-kebijakan
pemerintah dilaksanakan secara efektif, sekolah dioperasikan dalam kerangka yang
disetujui pemerintah, dan anggaran dibelanjakan sesuai dengan tujuan.
c.       Peranan Orangtua dan Masyarakat
MBS menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas untuk
membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dan memberdayakan otoritas
daerah setempat, serta mengefisienkan sistem dan menghilangkan birokrasi yang
tumpang tindih yaitu melalui partisispasi masyarakat, orangtua dan dewan
sekolah(school council).
d.      Peranan Profesionalisme dan Manajerial
Kepala sekolah, guru dan tenaga administrasi harus memiliki pengetahuan yang
dalam tentang peserta didik dan prinsip-prinsip pendidikan untuk menjamin bahwa
segala keputusan penting yang dibuat oleh sekolah, didasarkan atas pertimbangan-
pertimbangan pendidikan. Kepala sekolah perlu mempelajari kebijakan pemerintahan
maupun prioritas sekolah sendiri. Ia harus :
1)      Memiliki kemampuan untuk berkolaborasi dengan guru dan masyarakat sekitar
sekolah;
2)      Memiliki pemahaman dan wawasan yang luas tentang teori pendidikan dan
pembelajaran;
3)      Memiliki kemampuan dan ketrampilan untuk menganalisis situasi sekarang
berdasarkan apa yang seharusnya serta mampu memperkirakan kejadian di masa
depan berdasarkan situasi sekarang;
4)      Memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah dan kebutuhan
yang berkaitan dengan efektifitas pendidikan di sekolah;
5)      Mampu memanfaatkan berbagai peluang, menjadikan tentangan sebagai peluang,
serta mengkonseptualkan arah baru untuk perubahan.
e.       Pengembangan Profesi
Agar sekolah dapat mengambil manfaat yang ditawarkan MBS, perlu dikembangkan
adanya pusat pengembangan profesi, yang berfungsi sebagai penyedia jasa pelatiahan
bagi tenaga kependidikan untuk MBS.[8]

G.    Model-Model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Dalam makalah ini akan diuraikan secara singkat beberapa model yang
dikembangkan dibeberapa negara diantaranya: Hong Kong, Kanada, Amerika Serikat,
Inggris, Australia, Prancis, Nikaragua, Selandia Baru, El Salvador, Madagaskar, dan
di Indonesia.
1. Model MBS di Hong Kong
            Kondisi yang kurang baik yang terjadi di Hong Kong mendorong
diberlakukannya MBS dengan tujuan terjadinya suatu perbaikan.[1] Di Hong
Kong  MBS disebut The School Management Initiative (SMI) atau manajemen
sekolah inisiatif.
            Model MBS di Hong Kong ini, menekankan pentingnya inisiatif dari sumber
daya sekolah sebagai pengganti inisiatif dari atas yang selama ini diterapkan.  Prinsip-
prinsip MBS yang ditawarkan di Hong Kong adalah perlunya telaah ulang secara
terus menerus terhadap pembelajaan anggran pemerintah, perlunya evaluasi secara
sistematis terhadap hasil, definisi, yang lebih baik tentang tanggung jawab, hubungan
erat antara tanggung jawab sumber daya dan tanggung jawab manajemen, perlu
adanya organisasi dan kerangka kerja yang sesuai, hubungan yang jelas antara
pembuat kebijakan dengan agen-agen pelaksana.
            Dengan adanya prinsip tersebut maka diperlukan suatu transparansi dan
akuntabilitas dalam pengelolaan pendidikan. Taransparansi dan akuntabilitas di sini
meliputi penggunaan anggaran belanja sekolah dan penentuan hasil belajar siswa
serta pengukuran hasilnya.

2. Model MBS di Kanada


            Di kanada, pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi di mana
pemerintah daerah/kota sebagai unit administratif dan pengambilan kebijakan.[2]
            Model  MBS di sana disebut School-site decision making (SSDM) atau
pengambilan keputusan diserahkan pada tingkat sekolah. Ciri-ciri MBS dikanada
adalah sebagai berikut :
 Penentuan alokasi sumber daya ditentukan sekolah
 Anggaran pendidikan diberikan secara lupsum
 Alokasi anggaran pendidikan tersebut dimasukkan ke dalam anggaran sekolah
 Adanya program efektivitas guru
 Adanya program pengembangan profesionalisme tenaga kerja. (sungkowo:
2002).
Penekanan model MBS di kanada ini dalam hal pengambilan keputusan, yaitu
pengambilan keputusan diserahkan kepada masing-masing sekolah secra langsung.
Model ini pun hanya terbatas pada beberapa hal saja, yaitu yang menyangkut
pengangkatan, promosi, penghargaan dan penghentian tenaga guru dan administrasi,
pengadaan peralatan sekolah, pelayanan kepada sekolah. Sebelumnya  ketiga hal
tersebut ditentukan oleh pusat.
Yang menjadi ciri lain dari MBS model kanada adalah peningkatan dan
pengembangan profesionalisme tenaga kerja baik meningkatkan kemampuan guru
maupun tenaga administrasi.

3. Model MBS di Amerika Serikat


            Sistem pendidikan di Amerika Serikat mula-mula secara konstistusional
pemerintah pusat (state) bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dan
pemerintah daerah hanya sebagai pembuatan kebijaksanaan dan administrasi.
Pemerintah federal memiliki peran yang terbatas bahkan semakin berkurang
perannya. Perannya hanya dibatasi terutama pada area khusus, yaitu dukungan
pendanaan.
            Model MBS di Amerika Serikat disebut dengan Site- based Management.
Beberapa pendapat yang mendudkung diadakannya MBS menyarankan bahwa
sebagai syarat penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan maka otoritas
pengambilan keputusan harus pada tingkat sekolah.
            Mereka yakin dengan diadakannya MBS dimana penyerahan sumber daya ke
tingkat sekolah akan membuat kemajuan. Hal ini karena sekolah memiliki kebebasan
mencurahkan energi kreatifnya dan sekolah dapat mengembangkan diversifikasi
pendekatan strategi untuk mencapai tujuannya
Penerapan MBS secara serius di Amerika Serikat terjadi pada saat adanya
gelombang reformasi pendidikan tahap kedua, yaitu pada tahun 1980-an. Gelombang
kedua ini sebagai kebangkitan kembali akan adanya kesadaram dan pentingnya
pengelolaan pendidikan pada tingkat sekolah. Era itu merup-akan kelanjutan
reformasi yang terjadi pada tahun 1970-an pada saat sekolah-sekolah di distrik
menerapkan Side-Based Management.
Gelombang pertama ditandai dengan adanya sentralisasi fungsi-fungsi pendidikan
pada tingkat pusat, mencakup kurkulum dan ujian nasional. Gelombang kedua terjadi
karena adanya laporan dari The National Commision on Excellentce in
Educatin (1983) yang selanjtnya dilakukan pengurangan keterlibatan pemerintah
pusat dan pemerintah federal.
Sistem pendidikan di Amarika Serikat, mula-mula secara konstitusional pemerintah
pusat (state) bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dan pemerintahan
daerah (distric) hanya sebagai unit pembuatan kebijakan dan administrasi. Pemerintah
federal memiliki peran yang terbatas bahkan semakin berkurang perannya. Perannya
hanya dibatasi terutama pada area khusus, yaitu dukungan pendapatan

4. Model MBS di Inggris.


            Model MBS di Inggris disebut Grant Maintained School (GMS). Atau
manajemen swakelola pada tingkat lokal. Dinamakan seperti itu karena, adanya
undang-undang pendidikan tahun 1988, antara lain berisi adanya kurikulum inti
nasional, adanya ujian nasional, serta pelaporan nasional. Kontrol terhadap anggaran
sekolah diberikan kepada lembaga pengelola/pengawas beserta para kepala sekoalah
menengah keatas dan sebagian sekolah dasar dalam waktu lima tahun. Juga
memberikan pilihan pada orang tua dengan cara membantu mengembangkan
diversifikasi, meninghkatkan akses, mengizinkan sekolah-sekolah negeri untuk keluar
dari kontrol otoritas pendidikan lokal. Berdasarkan suara mayoritas orang  tua siswa.
            Dengan adanya undang-undang pendidikan tersebut terjadi enam perubahan
struktural guna memfasilitasi pelaksanaan MBS sebagaimana dikemukakan oleh
sungkowo (2002).
a. kurikulum nasional untuk mata pelajaran inti ditentukan oleh pemerintah.
b. Ujian nasional dilaksanakan atau diterapkan pada siswa kelas 7,11,14 dan 16.
c. MBS di bentuk untuk mengembangkan otoritas pemerintah.
d. Dibuatlah sekolah lanjutan tekhnik
e. Kewenangan inner London Education dilimpahkan kepada tiga belas otoritas
pendidikan.
f. Skema manjemen sekolah lokal dibentuk dengan melibatkan beberapa pihak
terkait.

5. Model MBS di Australia


            Karakteristik MBS di Australia dapat dilihat dari aspek kewenangan sekolah
yang meliputi.
1. menyusun dan mengembangkan kurikulum dan proses pembelajaran untuk
meningkatkan hasil belajar siswa
2. melakukan pengelolaan sekolah yang dapat dipilih diantara tiga kemungkinan
yaitu standard flexbility option (SO), Enchanced Flexibility Option-1(EO1), dan
enchanced Flexibility-2(EO2).
3. membuat perencanaan, melaksanakannya dan mempertanggungjawabkannya.
4. adanya akuntabilitas dalam pelaksanaan MBS
5. menjamin dan mengusahankan sumber daya manusia dan sumber daya
keuangan.
6. adanya felksibilitas dalam sumber daya sekolah[3]
seperti yang telah disebutkan di atas untuk melakukan pengelolaan sekolah dapat
dilakukan dengan tiga kemungkinan yaitu SO, EO1 dan EO2.
Pengorganisasian pengelolaan sekolah menggambarkan kadar kewenangan
yang diberikan kepada sekolah.
a. Standar Flexibility Option (SO)
Dalam bentuk ini peran dan dukungan kantor distrik lebih besar. Kepala sekolah
hanya bertanggungjawab terhadap penyususnan rencana sekolah dan pelaksanaan
pelajaran(implementasi kurikulum). Kantor distrik bertanggunjawab terhadap
pengesahan dan monitoring serta bertindak sebagai penasehat dalam penyususnan
school planing overview. Dalam pengelolaan MBS tipe SO ini, pemerintah negara
bagian memberikan petunjuk pedoman dan dukungan.

b. Enchanced Flexibility Option-1 (EO1)


Dalam bentuk ini sekolah bertanggungjawab untuk menyususn rencana strategis
sekolah. Untuk tiga tahun. Peran distrik sebagai 1)memberikan dukungan kepada
sekolah dalam pelaksanaan monitoring internal ; 2) menandatangani isi rencana
sekolah.
c.  Enchanced Flexibility Option-2 (EO2)
Keterlibatan distrik, disini sangat sedikit, hanya berperan sebagai lembaga
konsultasi. [4]

6. Model MBS di Prancis.


            Di Prancis otoritas lokal memiliki tanggung jawab terhadap dukungan
finansial. Kekuasaan badan pengelola sekolah menengah atas diperluas ke beberapa
area. Sementara itu pengangkatan guru masih dilakukan oleh pusat dengan ketat.
Masing-masing sekolah menerima anggaran secara lumpsum terhadap jam mengajar
guru. Kepala sekolah mentukan jenis staf yang dibutuhkan.

7. Model MBS di Nikaragua


            Model MBS di Nikaragua difokuskan pada pendesentralisasikan pengelolaan
sekolah dan anggaran sekolah yang keputusannya diserahkan kepada dewan sekolah.
Yang mencakup empat tahapan penting yaitu; desentralisasi kebijakan, perubahan
organisasi sekolah, kondisi lokal dan sejarah organisasi, serta hasil yang diharapkan.

8. Model MBS di Selandia Baru


            Komite sekolah untuk sekolah dasar anggotanya terdiri dari warga setempat
dan dipilih setiap dua tahun. Tetapi sebagian besar sekolah menengah atas di kontrol
dan dikelola oleh dewan gubernur yang keanggotaannya kebanyakan dari orang tua
siswa dan anggota mayarakat lainnya.

9. Model MBS di El Salvador


            Model MBS di El Salvador disebut dengan Community Managed
Scholls Program yang kemudian dikenal dengan akronim bahasa spanyol, EDUCO
( Education participation de la comunidad) maksud dari model ini untuk
mendesentralisasikan pengelolaan sekolah Negeri dengan cara meningkatkan
keterlibatan orangtua di dalam tanggung jawab menjalankan sekolah. Filosofinya
adalah perlunya para orang tua siswa untuk terlibat secara langsung di dalam
pendidikan anak-anaknya. 

10. Model MBS di Madagaskar


            Model MBS yang diterapkan di sini difokuskan kepada pelibatan masyarakat
pada pengontrolan pendidikan dasar. Implementasi MBS diarahkan di dalam
kerangka kerja dengan melibatkan masyarakat desa tidak hanya untuk merehabilitasi,
membangun dan memelihara sekolah-sekolah dasar, tetapi juga dilibatkan dalam
pengelolaan dan pensupervisian sekolah dasar.

11. Model MBS di Indonesia.


            Model MBS di Indonesia disebut Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah(MPMBS), dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan
otonomi lebih besar kepada sekolah, fleksibilitas kepada sekolah, dan mendorong
partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu
sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
            MBS di Indonesia difokuskan pada peningkatan mutu, tetapi tidak jelas dalam
hal mutu apa.
Model MBS di Indonesia disebut Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah (MPMBS). MPMBS dapat diartikan sebagai model manajemen yang
memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, fleksibilitas kepada sekolah, dan
mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk
meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di Indonesia model MBS difokuskan pada peningkatan mutu, tetapi tidak jelas
dalam hal mutu apa. Mutu gurukah, mutu kurikulumkah, mutu hasil pengajarankah,
mutu proses belajar-mengajarkah, mutu penilaiankah, atau mutu manajemennya?
Perspektif mutu ini terlalu luas untuk dicakup semua dalam model MBS di Indonesia.
Pantaslah banyak pelaku pendidikan merasa bingung akan sasaran MBS di Indonesia
karena tidak ada fokus garapan. Hal yang paling mendasar yang tidak diungkap
dalam target mutu yang ingin dicapai dalam model MBS di Indonesia adalah mutu
yang seperti apa? Apa kriterianya, bagaimana cara mencapainya, kapan harus dicapai,
dan bagaimana peran sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan ini?
Dengan tidak ada sasaran dalam peningkatan mutu model MBS ini serta
kepongahan para pejabat pendidikan di pusat maupun di daerah maka penerapan
MBS di Indonesia masih menghadapi ganjalan besar. Padahal, salah satu dasar pokok
terlaksananya reformasi adalah adanya perubahan struktural secara mendasar dan
besar-besaran. Bila tidak maka upaya reformasi pendidikan melalui MBS itu hanya
merupakan proyek pemborosan.
Model MBS di Indonesia tidak berasal dari inisiatif warga masyarakat, tetapi dari
pemerintah. Hal ini bisa dimengerti karena setelah 32 tahun Indonesia berada dalam
cengkeraman pemerintah otoriter yang membuat warganya takut untuk mengeluarkan
pendapat dan inisiatif. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakanpun berbeda
dengan negara-negara lain yang peran serta masyarakatnya sudah tinggi. Di
Indonesia, penerapan MBS diawali dengan dikelurkannya UU No.25 tahun 2000
tentang Rencana Strategis Pembangunan Nasional tahun 2000-2004

H. MODEL-MODEL MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

 Model MBS menempatkan sekolah sebagai lembaga yang memiliki kewenangan


dalam menerapkan kebijakan, visi, misi, tujuan, sasaran dan strategi yang berdampak
terhadap kinerja sekolah. Kinerja sekolah sangat ditentukan oleh kebijakan yang
ditetapkan oleh sekolah, menyangkut pengembangan kurikulum. Berikut model-
model yang telah diklasifikasikan oleh  Yin Cheong Cheng dalam bukunya School
Effectiveness&School-Based Manajement: A Mechanism For Development  yang
dikutip oleh Syamsudin (2012) :

1 Model Tujuan ( Goal Model )

Goal Model sering digunakan dalam mengevaluasi kinerja sekolah atau mempelajari


efektivitas sekolah.  Model ini mengasumsikan bahwa harus ada tujuan yang
dinyatakan dengan jelas dan diterima secara umum untuk mengukur efektivitas
sekolah, dan efektifitas sekolah akan tercapai jika dapat mencapai tujuan yang
dinyatakan pada input. Model ini berguna jika hasil belajar (outcomes) bagus dan
kriteria efektivitas umum diterima oleh semua konstituen yang terlibat. Dalam hal ini
indikator efektivitas sekolah tercantum dalam rencana sekolah dan rencana program,
khususnya yang berkaitan dengan kualitas lingkungan belajar dan mengajar, prestasi
akademik dalam ujian umum, dll.

Ketika goal model digunakan untuk menilai efektifitas sekolah, penting sekali untuk


memasukkan seperangkat tujuan dan sasaran. Tetapi mengingat sumber daya yang
terbatas, akan sulit bagi sekolah untuk mencapai beberapa tujuan dalam waktu
singkat (cameron, 1978; Hall, 1987). Bagaimanapun juga, akan sulit untuk
memaksimalkan efektifitas pada beberapa tujuan dengan sumber daya terbatas.

2 Model Sumber Daya Masukkan ( Resource-input Model)


Sekolah perlu untuk mengejar beberapa tujuan, tetapi karena adanya tekanan dan
harapan yang berbeda dari beberapa konstituen sehingga tujuan tersebut menjadi
tidak konsisten. Sumber daya (Resources) menjadi elemen penting dalam fungsi
sekolah. Model sumber daya-masukan (The resource-input model) mengasumsikan
bahwa semakin jarang dan bernilai sumber daya input, maka akan semakin
dibutuhkan oleh sekolah untuk menjadi lebih efektif. Sebuah sekolah akan efektif jika
dapat memperoleh sumber daya yang dibutuhkan. Oleh karena itu, masukan dan
kemahiran sumber daya menjadi kriteria utama dari efektifitas (Etzioni, 1969;
Yuchtman dan Seashore, 1967). Dalam hal ini, kualitas siswa, fasilitas, sumber daya,
dan dukungan keuangan dari otoritas pendidikan pusat, alumni, orang tua, sponsor
perseorangan atau agen luar merupakan indikator penting dari efektivitas.

Model ini berguna jika hubungan antara input dan output yang jelas (Cameron, 1984)


dan sumber daya yang sangat terbatas bagi sekolah untuk mencapai tujuan.
Kemampuan dalam memperoleh sumber daya merepresentasikan potensi sekolah itu
menjadi efektif, khususnya dalam konteks kompetisi sumber daya yang besar. Model
ini memiliki kekurangan karena penekanan yang berlebihan pada penerimaan
masukan ( input ), sehingga dapat mengurangi upaya sekolah dalam proses
pendidikan dan  outputnya. Perolehan sumber daya dapat menjadi pemborosan jika
mereka tidak dapat digunakan secara efisien untuk melayani fungsi sekolah.

3 Model proses ( Process Model )


Dari perspektif sistem, input sekolah dapat dikonversi menjadi kinerja sekolah
dan output–nya melalui sebuah proses transformasi di sekolah. Pengalaman dalam
proses sekolah pada dunia pendidikan sering diambil sebagai bentuk tujuan dan hasil
belajar. Oleh karena itu, model proses mengasumsikan bahwa sekolah akan efektif
jika fungsi internal ramah dan sehat. Oleh karena itu, kegiatan internal atau praktek di
sekolah dapat ditentukan sebagai peraturan penting bagi efektivitas sekolah (Cheng,
1986b; 1993h; 1994d).  Dalam hal ini, kepemimpinan, saluran komunikasi,
partisipasi, kemampuan beradaptasi, perencanaan, pengambilan keputusan, interaksi
sosial, iklim sekolah, metode pengajaran, manajemen kelas dan strategi pembelajaran
sering digunakan sebagai indikator efektivitas.

Proses sekolah pada umumnya mencakup proses manajemen, proses mengajar dan
proses belajar. Jadi pemilihan indikator mungkin didasarkan pada proses ini,
diklasifikasikan sebagai indikator keefektifan pengelolaan (misalnya, kepemimpinan,
pengambilan keputusan), indikator efektivitas mengajar (misalnya, mengajar
kemanjuran, metode mengajar) dan indikator efektifitas pembelajaran (misalnya,
sikap belajar , tingkat kehadiran).

Model ini sangat berguna jika ada hubungan yang jelas antara proses sekolah dan
hasil pendidikan. Untuk batas tertentu, penekanan yang terletak pada kepemimpinan
dan budaya sekolah untuk efektivitas sekolah mencerminkan pentingnya model
proses (Caldwell dan Spink, 1992; Cheng, 1994d; Sergiovanni, 1984). Keterbatasan
model proses adalah kesulitan dalam proses pemantauan dan pengumpulan data serta
fokus pada sarana bukan tujuan akhir (Cameron, 1978).

4 Model Kepuasan ( The Satisfaction Model )


Efektivitas sekolah dapat menjadi konsep yang relatif, tergantung pada harapan dari
konstituen yang bersangkutan atau beberapa pihak. Jika tujuan sekolah yang
diharapkan tinggi dan beragam, akan sulit bagi sekolah untuk mencapai dan
memenuhi kebutuhannya. Jika tujuan sekolah yang diharapkan rendah dan sederhana,
akan lebih mudah bagi sekolah untuk mencapainya dan memenuhi harapan
konstituen, sehingga sekolah lebih mudah dianggap sudah efektif.

Selanjutnya, ukuran pencapaian tujuan secara teknis biasanya sulit dan terkonsep
secara kontoversional. Oleh karena itu, kepuasan konstituen yang kuat dan strategis
sering digunakan sebagai elemen penting untuk menilai efektivitas sekolah. Baru-
baru ini, ada penekanan kuat pada kualitas pendidikan sekolah. Pada kenyataannya,
konsep kualitas erat kaitannya dengan kepuasan kebutuhan klien (atau pelanggan,
konstituen) atau kesesuaian persyaratan dan harapan klien’ (Crosby, 1979; Tenner
and Detoro, 1992). Dari poin ini ditekankan bahwa untuk meningkatkan mutu
pendidikan dapat dicapai dengan menggunakan kepuasan konstituen dalam
menjelaskan dan menilai keefektivitasan sekolah.
Model kepuasan mendefinisikan bahwa sekolah akan efektif jika semua konstituen
strategis puas. Ini mengasumsikan bahwa fungsi dan kelangsungan hidup sekolah
berada di bawah pengaruh konstituen strategis, misalnya, kepala sekolah, guru,
manajemen sekolah, otoritas pendidikan, orang tua, siswa dan masyarakat, dan
aktivitas/tindakan sekolah mereaksian akan tuntutan konstituen strategis. Karenanya
tuntutan kepuasan ini sebagai syarat dasar untuk efektivitas sekolah (Keeley, 1984;
Zammuto, 1982; 1984)

Model ini mungkin berguna dalam mempelajari efektivitas sekolah jika harapan
semua konstituen yang kuat dapat disatukan dan sekolah harus merespon harapan
tersebut. Indikator efektivitas berupa kepuasan siswa, guru, orangtua, administrator,
otoritas pendidikan, komite manajemen sekolah, atau alumni, dll.  Namun, model
tidak tepat jika adanya konflik pada tuntutan/harapan konstituen dan tidak dapat
dipenuhi pada saat yang sama.

5 Model Legitimasi ( The Legitimacy Model )


Dampak perubahan dan perkembangan yang cepat di masyarakat lokal maupun dalam
konteks global menyebabkan lingkungan pendidikan di sekolah-sekolah menjadi
lebih menantang dan kompetitif. Di satu sisi, sekolah harus serius untuk
menyelesaikan sumber daya dan mengatasi hambatan internal dan di sisi lain mereka
harus menghadapi tantangan eksternal dan tuntutan akuntabilitas dan ‘nilai uang
(value for money)’ (Education and Manpower Branch and Education Department,
1991; Education Commision, 1994). Hal ini menyebabkan (hampir) tidak mungkin
bagi beberapa sekolah untuk bertahan atau melanjutkan tanpa legitimasi dalam
masyarakat atau publik.

Dalam rangka mendapatkan sumber daya  dan kelangsungan hidup, sekolah harus
menunjukkan bukti pertanggungjawaban (akuntabilitas), memenuhi persyaratan
masyarakat dan mendapatkan dukungan dari konstituen yamg penting. Indikator
efektivitas dalam the legitimate model  sering berhubungan dengan kegiatan dan
keunggulan public relations dan pemasaran, pertanggungjawaban (akuntabilitas),
citra sekolah, reputasi, atau status sekolah dalam masyarakat, dll.

Model ini berguna ketika sekolah harus bertahan di antara sekolah harus dinilai dalam
lingkungan yang dinamis. Dari sudut pandang model ini, sekolah-sekolah akan efektif
jika mereka dapat melakukan kegiatan belajar mengajar dalam lingkungan yang
kompetitif/bersaing. Untuk tetap bertahan, sekolah juga menerapan sistem
akuntabilitas atau sistem jaminan mutu yang menyediakan mekanisme formal bagi
sekolah untuk mendapatkan legitimasi yang diperlukan. Hal ini dapat menjelaskan
mengapa begitu banyak sekolah sekarang lebih memperhatikan hubungan
masyarakat, kegiatan pemasaran dan membangun sistem berbasis sekolah
akuntabilitas atau sistem jaminan kualitas.

6 Model ketidakefektifan ( The Ineffectiveness Model ).


Kesulitan mengidentifikasi kriteria yang tepat seringkali menjadi masalah yang paling
penting dalam penelitian efektifitas organisasi secara umum dan dalam penelitian
efektifitas sekolah pada khususnya (Cameron ;1984). Salah satu kesulitan terpenting
adalah bagaimana mengidentifikasi indikator keberhasilan. Tampaknya jauh lebih
mudah untuk mengidentifikasi kelemahan dan kekurangan, seperti indikator
ketidakefektifan, daripada mengidentifikasi kekuatan dari organisasi, seperti indikator
efektivitas.

Telah dibuktikan bahwa ‘perubahan dan pengembangan organisasi lebih termotivasi


oleh pengetahuan tentang masalah daripada pengetahuan tentang keberhasilan’
(Cameron, 1984: 246). Oleh karena itu, Cameron menyarankan bahwa ‘suatu
pendekatan untuk menilai ketidakefektifan organisasi sebagai pengganti efektifitas
yang dapat membantu memperluas pemahaman kita tentang konstruksi efektivitas
organisasi’ (p.247). Dari ide ini, model ketidakefektifan menggambarkan efektivitas
sekolah dari sisi negatif dan mendefinisikan bahwa pada dasarnya sekolah akan
efektif jika ada tidak ada karakteristik ketidakefektifan di sekolah.
Model ini mengasumsikan bahwa lebih mudah bagi konstituen sekolah yang
bersangkutan untuk mengidentifikasi dan menyepakati kriteria ketidakefektifan
sekolah daripada kriteria keefektifan sekolah. Juga mengidentifikasi strategi untuk
meningkatkan efektivitas sekolah dapat lebih tepat dilakukan dengan menganalisis
ketidakefektifan sekolah daripada menganalisis keefektifan sekolah. Oleh karena itu,
model ini sangat berguna terutama bila kriteria efektivitas sekolah benar-benar jelas
namun diperlukan srategi untuk perbaikan sekolah. Indikator ketidakefektifan dapat
seperti masalah, kesulitan, kekurangan, kelemahan dan kinerja yang buruk. Secara
umum, banyak sekolah, khususnya sekolah baru, lebih peduli kepada penyelesaian
hambatan sebagai dasar efektivitas sekolah daripada mengejar kinerja sekolah yang
sangat baik. Model ini mungkin cocok bagi mereka. Bagi praktisi seperti
administrator sekolah dan guru, model ketidakefektifan mungkin lebih mendasar dari
model-model lain. Tampaknya ‘tidak ada ketidakefektifan’ mungkin menjadi
kebutuhan dasar untuk efektivitas. Tetapi jika orang lebih tertarik pada kinerja
sekolah tinggi, model ini tidak mencukupi.

7 Model Pembelajaran organisasi. ( Organizational Learning Model )


Model pembelajaran organisasi mengasumsikan bahwa dampak dari perubahan
lingkungan dan adanya hambatan internal pada fungsi sekolah sangat tidak
terelakkan, karena itu, sekolah akan efektif jika dapat belajar bagaimana membuat
perbaikan dan beradaptasi terhadap lingkungannya. Dalam batas tertentu, model ini
mirip dengan model proses, perbedaannya adalah bahwa model ini menekankan
pentingnya belajar perilaku untuk kinerja sekolah yang efektif.

Penekanan garis pemikiran model ini terletak pada stategi manajemen dan
perencanaan pembangunan di sekolah (Dempster, et al, 1993; Hargreaves and
Hopkins, 1991). Model sangat berguna ketika sekolah sedang mengembangkan diri
atau terlibat dalam reformasi pendidikan terutama di lingkungan eksternal yang
berubah-ubah. Indikator efektivitas sekolah dapat mencakup kesadaran dan
perubahan kebutuhan masyarakat, pemantauan proses internal, evaluasi program,
analisis lingkungan, dan perencanaan pembangunan, dll.

Di negara-negara atau wilayah berkembang, ada banyak sekolah menengah baru


karena perluasan pendidikan tingkat menengah. Sekolah-sekolah baru harus
menghadapi banyak masalah dalam proses membangun struktur organisasi
pendidikan, berhadapan dengan siswa berkualitas buruk, pengembangan staf, dan
melawan pengaruh buruk dari masyarakat (Cheng, 1985). Begitu juga, perubahan
pada ekonomi dan lingkungan politik membutuhkan adaptasi yang efektif dari sistem
sekolah dalam hal perubahan kurikulum, manajemen perubahan dan perubahan
teknologi (Cheng, 1995b). Dalam latar belakang seperti itu, model pembelajaran
organisasi mungkin tepat untuk mempelajari efektivitas sekolah. Manfaat model ini
akan terbatas jika hubungan antara proses dan hasil pembelajaran organisasi sekolah
tidak jelas. Namun proses pembelajaran organisasi bisa menjanjikan tampilan yang
dinamis untuk memaksimalkan efektivitas pada beberapa tujuan sekolah.

8.    Model Manajemen Mutu Total (The Total Quality Management Model ).

Konsep dan praktek manajemen mutu total di sekolah diyakini menjadi alat yang
ampuh untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan meningkatkan efektivitas
sekolah (Bradly, 1993; Cuttance, 1994; Greenwood and Gaunt, 1994; Murgatroyd
and Colin, 1993). Karena adanya perkembangan teori dan praktek manajemen dalam
organisasi yang berbeda, orang mulai percaya bahwa perbaikan beberapa aspek dari
proses manajemen tidak cukup untuk mencapai kualitas. Untuk keberhasilan jangka
panjang kuncinya terletak kualitas atau efektivitas kinerja, manajemen total dari
lingkungan internal dan proses untuk memenuhi kebutuhan pelanggan (atau klien,
konstituen strategis).

Elemen-elemen penting dari manajemen kualitas total di sekolah adalah konstituen


strategis (misalnya, orangtua, siswa, dll), perbaikan proses yang berkesinambungan,
serta pemberdayaan dan keterlibatan total anggota sekolah ( Tenner and Detoro,
1992). Menurut model manajemen total, sekolah efektif jika dapat melibatkan dan
memberdayakan semua anggota dalam fungsi sekolah, melakukan perbaikan terus-
menerus dalam berbagai aspek yang memenuhi persyaratan, kebutuhan  serta harapan
konstituen eksternal dan internal sekolah bahkan dalam lingkungan yang berubah-
ubah. Untuk sebagian besar, model manajemen kualitas total efektivitas sekolah
merupakan integrasi dari model- model di atas, khususnya model pembelajaran
organisasi, model kepuasan dan model proses.

Bidang utama untuk menilai efektivitas sekolah dalam Manajemen kualitas total
menurut kerangka kerja Malcolm Baldrige Award atauEuropean Quality Award,
dapat mencakup kepemimpinan, manajemen manusia, manajemen proses, informasi
dan analisis, perencanaan kualitas strategi, internal kepuasan konstituen, eksternal
kepuasan konstituen, hasil operasional, hasil pendidikan siswa dan dampaknya
terhadap masyarakat (Fisher, 1994; George, 1992). Dibandingkan dengan model lain,
model manajemen kualitas total memberikan perspektif yang lebih holistik atau
komprehensif untuk memahami dan mengelola efektivitas sekolah.

Seperti dibahas di atas, masing-masing dari delapan model memiliki itu kekuatan
sendiri dan keterbatasan. Dalam situasi yang berbeda dan bingkai waktu yang
berbeda, model yang berbeda mungkin berguna untuk mempelajari efektivitas
sekolah. Secara relatif model pembelajaran organisasi dan model manajemen mutu
total tampaknya lebih menjanjikan untuk pencapaian fungsi beberapa sekolah pada
tingkat yang berbeda.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

         Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “school based


management”. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat
mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan
masyarakat setempat. MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang
memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam
kerangka kebijakan pendidikan nasional.
         Model MBS di Indonesia tidak berasal dari inisiatif warga masyarakat, tetapi dari
pemerintah. Hal ini bisa dimengerti karena setelah 32 tahun Indonesia berada dalam
cengkeraman pemerintah otoriter yang membuat warganya takut untuk mengeluarkan
pendapat dan inisiatif. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakanpun berbeda
dengan negara-negara lain yang peran serta masyarakatnya sudah tinggi. Di
Indonesia, penerapan MBS diawali dengan dikelurkannya UU No.25 tahun 2000
tentang Rencana Strategis Pembangunan Nasional tahun 2000-2004.
         Dalam pelaksanaannya di Indonesia, perlu ditekankan bahwa kita tidak harus meniru
secara persis model-model MBS dari negara lain. Sebaliknya Indonesia akan belajar
banyak dari pengalaman-pengalaman pelaksanaan MBS di negara lain, kemudian
memodifikasi, merumuskan dan menyusun model dengan mempertimbangkan
berbagai kondisi setempat seperti sejarah, geografi, struktur masyarakat, dan
pengalaman-pengalaman pribadi di bidang pengelolaan pendidikan yang telah dan
sedang berlangsung selama ini

B.SARAN

Diharapkan untuk kedepannya semua sekolah dapat mengatur dan menerapkan MBS
ini dalam kegiatan di sekolah sehingga tercipta tujuan yang efektif dan efisien dalam
proses pembelajaran. Perlu mengembangkan juga pengetahuan tentang konsep-
konsep, strategi, dalam implementasi MBS di sekolah-sekolah. Dengan adanya
model-model MBS dari negara lain dapat dijadikan contoh pelaksanaan MBS yang
baik.

DAFTAR PUSTAKA
Nurkolis, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model, dan AplikasiJakarta: Grasindo, 2006.

E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2002.

Supriono, Sapari A, Manajemen Berbasis Sekolah, Jawa Timur: SIC, 2001.


BAB I
Pendahuluan

A.    Latar Belakang
Lahirnya UU No.22/1999 tentang otonomi daerah berimplikasi kepada otonomi
pendidikan dan otonomi sekolah, maka jadilah Indonesia menganut konsep
manajemen pendidikan berbasis sekolah (school based management)atau biasa
disingkat MBS. Sebelum adanya otonomi daerah ini pengelolaan pendidikan yang
dianut Indonesia sangat bersifat sentralistik, dimana pusat sangat dominan dalam
pengambilan kebijakan dan daerah bersifat pasif; hanya sebagai penerima dan
pelaksana pemerintah pusat.
MBS memberiksn keluasan bagi sekolah untuk menentukan arah dan kebijakan
yang relevan dengan situasi dan kondisi lingkungannya. MBS juga memberikan
peluang yang sangat besar bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan
pendidikan di sekolah.
Penting bagi guru, calon guru, maupun pemerhati pendidikan untuk benar-benar
memahami konsep MBS ini agar nantinya bisa menjalankan manajeman pendidikan
di sekolah sesuai dengan apa yang tertuang dalam konsep MBS. Untuk itu dalam
makalah ini akan dikupas mengenai pengertian MBS, alasan mengapa perlu adannya
MBS,ciri-ciri MBS, tujuan MBS, manfaat MBS, faktor-faktor yang perlu
diperhatikan dalam  MBS, dan model-model MBS.
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut, dan agar permasalahan
lebih mudah untuk dibahas, maka dalam makalah ini penulis merumuskan beberapa
pokok, seperti:
1.      Apa pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
2.      Mengapa perlu adanya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
3.      Apa saja ciri-ciri Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
4.      Apa saja tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
5.      Apa manfaat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
6.      Faktor-faktor apa yang perlu diperhatikan dalam  Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) ?
7.      Berikan contoh model-model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?

C.    Tujuan Penulisan
Berdasar perumusan masalah diatas, pengetahuan tentang Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS) penting untuk diketahui bagi pendidikan. Secara umum tulisan ini
bertujuan untuk:
1.      Mengetahui pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
2.      Mengetahui perlunya ada Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
3.      Mengetahui ciri-ciri Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
4.      Mengetahui tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
5.      Mengetahui manfaat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
6.      Mengetahui faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam  Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS).
7.      Mengetahui contoh model-model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).

Anda mungkin juga menyukai