Anda di halaman 1dari 3

UJIAN FARMAKOLOGI

Mata Ajar Kuliah Farmakologi


Fasilitator : Yulistiani, Apt

Disusun Oleh :

LAILATUROHMAH KURNIAWATI

NIM 132014153025

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021
1
1) PERTANYAAN;
Infus parasetamol digunakan untuk terapi antipiretika pada berbagai kasus infeksi
disertai demam tinggi. Jelaskan dari aspek farmakokinetika dan farmasetika
penggunaan sediaan ini dan mengapa tidak dipakai rute peroral ?
2) JAWABAN;
Demam merupakan kondisi meningkatnya suhu tubuh hingga lebih dari 38 0C
(Rivera et al., 2020). Demam (pyrexia) merupakan kendali terhadap peningkatan suhu
tubuh akibat suhu set point hipotalamus meningkat. Alasan yang paling umum ketika
hal ini terjadi adalah adanya infeksi, kelainan inflamasi (Deliana, 2016). Dilihat dari
kondisi demam dan tingkat keparahan gejala yang ditimbulkan dari kondisi demam
bisa ringan dan bisa juga membahayakan seperti menggigil hebat, kejang, shock,
hingga mengancam nyawa pasien. Maka dari itu, tenaga kesehatan perlu fokus
terhadap tindakan cepat dan pemberian sediaan antipiretik dan obat tambahan guna
menurunkan demam.
Parasetamol merupakan obat analgesik non narkotik yang memiliki cara kerja
menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Saraf Pusat (SSP) (Lung et al.,
2021). Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk
sediaan tunggal sebagai analgesik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain
melalui resep dokter atau yang dijual bebas. Secara farmasetika sediaan obat
paracetamol ada; tablet, sirup, infus, supposutoria. Cara penggunaan ada per-oral
hingga parenteral melalui IV line (Dutta et al., 2020). Penggunaan paracetamol harus
disesuaikan dengan kondisi dan situasi masing-masing pasien mengingat proses
(Absorbsi,Distribusi,Metabolisme,Exresi) ADME didalam tubuh masing-masing
pasien berbeda, tidak semua pasien yang demam diberikan cara dan sediaan obat
antipiretik paracetamol yang sama pula.
Dalam kondisi tertentu Paracetamol dalam bentuk infus diberikan pada pasien
yang umunya mengalami kesulitan untuk mengonsumsi obat oral, sakit saat menelan
adanya disfagia, pada pasien penurunan kesadaran, koma, shock hebat, demam tinggi
hingga kejang (Nila & Halim, 2013). Dosis pada pemberian intravena perlu
diperhatikan dengan baik. Pada pasien dengan berat badan kurang dari 50 kg,
pemberian intravena dengan infusion pump perlu dipertimbangkan untuk mengurangi
risiko toxic obat dan kerusakan hepar akut akibat overdosis. Misalnya pemberian
1000 mg paracetamol intravena dilakukan dalam waktu ± 15 menit.

2
Secara Farmakokinetika pemberian paracetamol melalui rute IV line atau infus
lebih cepat terserap dalam tubuh dengan persentase 100%, dibandingkan diberikan
dengan rute per-oral yang proses absorbsi nya lebih lambat dengan persentase kerja 5-
100%. Itulah alasan kuat mengapa pemberian infus paracetamol pada kasus ini
diterapkan. Menurut Lung et al., (2021) perjalanan paracetamol didalam tubuh yaitu
konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu setengah jam dan masa paruh
plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Pengikatan obat ini
pada protein plasma beragam, hanya 20%-50% yang mungkin terikat pada
konsentrasi yang ditemukan selama intoksikasi akut. Setelah dosis terapeutik, 90%-
100% obat ini ditemukan dalam urin selama hari pertama, terutama setelah konjugasi
hepatik dengan asam glukoronat (sekitar 60%), asam sulfat (sekitar 35%), atau sistein
(sekitar 3%), sejumlah kecil metabolit hasil hidroksilasi dan deaseilasi juga telah
terdeteksi. Sebagian kecil parasetamol mengalami proses N-hidroksilasi yang
diperantarai sitokrom P450 yang membentuk N-asetil-benzokuinoneimin, yang
merupakan suatu senyawa antara yang sangat reaktif. Metabolit ini bereaksi dengan
gugus sulfhidril pada glutation. Namun, setelah ingesti parasetamol dosis besar,
metabolit ini terbentuk dalam jumlah yang cukup untuk menghilangkan glutation
hepatic.

Daftar Pustaka;
Deliana, M. (2016). Tata laksana kejang demam pada anak. Sari Pediatri, 4(2), 59–62.
Dutta, T., Paul, A., Majumder, M., Sultan, R. A., & Emran, T. Bin. (2020). Pharmacological
evidence for the use of Cissus assamica as a medicinal plant in the management of pain
and pyrexia. Biochemistry and Biophysics Reports, 21, 100715.
Lung, I., Soran, M.-L., Stegarescu, A., Opris, O., Gutoiu, S., Leostean, C., Lazar, M. D.,
Kacso, I., Silipas, T.-D., & Porav, A. S. (2021). Evaluation of CNT-
COOH/MnO2/Fe3O4 nanocomposite for ibuprofen and paracetamol removal from
aqueous solutions. Journal of Hazardous Materials, 403, 123528.
Nila, A., & Halim, M. (2013). Dasar-dasar farmakologi 2. Kementrian Pendidikan Dan
Kebudayaan, 9–15.
Rivera, P., Vargas, A., Pastor, A., Boronat, A., López‐Gambero, A. J., Sánchez‐Marín, L.,
Medina‐Vera, D., Serrano, A., Pavón, F. J., & de la Torre, R. (2020). Differential
hepatoprotective role of the cannabinoid CB1 and CB2 receptors in paracetamol‐induced
liver injury. British Journal of Pharmacology, 177(14), 3309–3326.

Anda mungkin juga menyukai