2
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Atas Tanah, Surabaya, Arkola, 2002, h.54
25 hektar; dan luas maksimum tanah yang dapat diberikan dengan HGU pada
badan hukum ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan pertimbangan
dari pejabat yang berwenang di bidang usaha yang bersangkutan, dengan
mengingat luas yang diperlukan untuk pelaksanaan suatu satuan usaha yang
paling berdayaguna di bidang yang bersangkutan.
3. Hak guna bangunan
Hak guna bangunan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 35 UUPA
adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan
mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri
dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang sampai 20
tahun. Muljadi dan Widjaja (2005) menjelaskan bahwa pemilik hak guna
bangunan dan pemegang hak milik atas bidang tanah di mana bangunannya
didirikan itu berbeda, dengan kata lain pemegang hak guna bangunan bukan
pemegang hak milik dari tanah atas bangunan yang didirikan.3
4. Hak pakai
Hak pakai diatur dalam Pasal 41 UUPA adalah hak untuk menggunakan
dan/ atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau
tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan
perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA.
5. Hak sewa
Hak sewa, sebagaimana disebutkan dalam pasal 44 dan 45 UUPA Hak
sewa atas tanah adalah hak yang memberi wewenang untuk menggunakan
tanah milik pihak lain dengan kewajiban membayar uang sewa pada tiap-tiap
waktu tertentu.
6. Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan
Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan menurut pasal 46
ayat (1) dan (2) hanya dapat dilaksanakan oleh WNI sebagaimanan diatur
3
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta, Kencana, 2005, h.189
dalam Peraturan Pemerintah (PP) dengan memungut hasil hutan secara sah dan
tidak dengan sendirinya memperoleh hak tanah tersebut.
7. Hak-hak lain yang tidak disebutkan dalam hak-hak di atas serta hak-hak
yang sifatnya sementara akan ditetapkan dengan Undang-undang
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 53 UUPA.
Syarat-syarat permohonan Hak Guna Usaha atas tanah diatur jelas dalam
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999 tentang Tata
cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
berikut syarat-syarat yang harus terpenuhi :
1. Untuk mengajukan permohonan Hak Guna Usaha atas tanah harus diajukan
secara tertulis dan pemohon harus warga negara Indonesia. Jika badan hukum
yang mengajukan perrmohonan Hak Guna Usaha, maka badan hukum
tersebut merupakan badan hukum yang didirikan di Indonesia dan
berdasarkan hukum Indonesia.
b. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik,
yaitu:
2) letak, batas-batas dan luasnya (jika sudah ada surat ukur disebutkan
tanggal dan nomornya);
c. izin lokasi atau surat izin penunjukan penggunaan tanah atau surat
izin pencadangan tanah sesuai dengan Rencana tata ruang
Wilayah;
4
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Naional Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, BAB III, Pasal 18.
5
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Naional Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, BAB III, Pasal 19
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hasil
pengukuran bidang tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dituangkan dalam Peta Bidang Tanah.6
d. Permohonan Hak
1) Permohonan Hak Guna Usaha diajukan secara tertulis oleh pemohon
melalui Kantor Pertanahan setempat sesuai kewenangannya dan dilampiri
data permohonan.
2) Dalam hal tanah yang dimohon Hak Guna Usaha diperoleh secara
sporadis atau terpencar, pemohon haknya diajukan dalam 1 (satu)
permohonan dengan luas tanah hasil perjumlahan atau kumulatif.
3) Hak Guna Usaha sebagaimana yang dimaksud diatas tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.7
Setelah berkas permohonan Hak Guna Usaha sebagaimana yang dimaksud
diatas diterima, pejabat yang berwenang atau pejabat yang ditunjuk melakukan:
1) Pemeriksaan dan penelitian kelengkapan data yuridis dan data fisik; dan
2) Pemberitahuan kepada pemohon untuk membayar biaya yang diperlukan
berikut rinciannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Hasil dari pemeriksaan dan penelitian dari kelengkapan data yuridis dan
data fisik menjadi dasar dilanjutkan atau tidaknya permohonan Hak Guna Usaha.
Dalam hal data yuridis dan data fisik belum lengkap, pejabat yang berwenang atau
pejabat yang ditunjuk memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapi berkas
permohonan. Apabila dalam hal pemberian data yuridis dan data fisik telah
lengkap, pejabat yang ditunjuk memerintahkan Panitia B untuk melakukan
pemeriksaan tanah. Dalam hal pemberian Hak Guna Usaha merupakan
kewenangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau
6
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Naional Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, BAB III, Pasal 18.
7
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Naional Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, BAB III, Pasal 19
Menteri, Kepala Kantor Pertanahan menyampaikan berkas permohonan kepada
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional8.
Pemohon bertanggung jawab penuh atas keabsahan dan kebenaran materiil
dari data permohonan, dokumen / warkah / berkas dan/atau alas hak yang diajukan
dalam rangka permohonan Hak Guna Usaha9.
e. Pemeriksaan Tanah
Pemeriksaan tanah dalam rangka penetapan Hak Guna Usaha dilakukan
oleh Panitia B. Panitia B dibentuk dan ditetapkan dengan:
8
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Naional Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, BAB III, Pasal 20
9
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Naional Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, BAB III, Pasal 21
10
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Naional Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, BAB III, Pasal 22
3) Mengadakan penelitian dan peninjauan fisik atas tanah yang dimohon
mengenai penguasaan, penggunaan/keadaan tanah serta batas bidang tanah
yang dimohon;
4) Mengadakan penelitian usia tanaman, dalam hal tanah yang dimohon telah
dimanfaatkan berdasarkan izin usaha yang dikeluarkan oelh instansi yang
berwenang;
5) Menentukan sesuai atau tidaknya penggunaan tanah dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah dan rencana pembangunan daerah;
6) Membuat Berita Acara Pemeriksaan Lapangan;
7) Melakukan sidang-sidang baik dilapangan maupun di kantor berdasarkan
data fisik dan data yuridis hasil pemeriksaan tanah, termasuk data
pendukung lainnya, yang dituangkan dalam Berita Acara Sidang Panitia B;
dan;
8) Memberikan pendapat dan pertimbangan atas permohonan Hak Guna
Usaha.
Tugas Panitia B melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan berkas
pemohon dilaksanakan untuk memperoleh kebenaran formal atas data fisik dan
data yuridis dalam rangka penyelesaian permohonan pemberian, perpanjangan
jangka waktu dan pembaruan Hak Guna Usaha. Berita Acara Pemeriksaan
Lapangan dan Berita Acara Sidang Panitia B tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan Peraturan Menteri ini11.
11
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Naional Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, BAB III, Pasal 23
waktu Hak Guna Usaha yang diberikan. Apabila dalam Risalah Panitia B terdapat
hal yang dipersyaratkan dan/atau diperlukan klarifikasi lebih lanjut,
pemenuhannya harus dituangkan dalam Berita Acara Hasil Klarifikasi yang
ditandatangani oleh ketua, sekretaris dan satu orang anggota Panitia B. Risalah
Panitia B dan Berita Acara Hasil Klarifikasi tercantum pada Lampiran IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini12.
Dalam hal Hak Guna Usaha telah diterbitkan sertifikat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan secara nyata dikuasai pemegang
haknya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat
lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 10 (sepuluh) tahun
sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis
kepeda pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan
ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah
atau penerbitan sertifikat tersebut18.
17
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Naional Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, BAB III, Pasal 29
18
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Naional Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, BAB III, Pasal 30
19
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, (Surabaya: Kencana, 2010), hlm.
226-229
Kabupaten/Kota, maka tembusan permohonan disampaikan kepada masing-
masing Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
d. Dalam hal tanah yang dimohon belum ada surat ukurnya, Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi memerintahkan kepada
Kepala Bidang Pengukuran dan Pendaftaran Tanah untuk mempersiapkan
surat ukur atau melakukan pengukuran.
e. Hasil pemeriksaan tanah oleh Panitia Pemeriksa Tanah B dituangkan dalam
Risalah Pemeriksaan Tanah dan hasil pemeriksaan tanah oleh petugas yang
ditunjuk dituangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah (konstatering
rapport) sepanjang data yuridis dan data fisiknya telah cukup untuk
mengambil keputusan.
f. Dalam hal keputusan pemberian Hak Guna Usaha tidak dilimpahkan kepada
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi, setelah
mempertimbangkan pendapat Panitia Pemeriksaan Tanah B atau petugas
yang ditunjuk, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi
menerbitkan keputusan pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang
dimohon atau keputusan pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang
dimohon atau keputusan penolakan yang disertai dengan alasan
penolakannya.
g. Dalam hal keputusan pemberin Hak Guna Usaha tidak dilimpahkan kepada
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi, Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan
menyampaikan berkas permohonan tersebut kepada Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia, disertai pendapat dan
pertimbangannya.
1. Kegiatan yang dilakukan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia, yaitu:
a. Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan
pertimbangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Provinsi, Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
memerintahkan kepada pejabat yang ditunjuk untuk:
1) Mencatat dalam formulir isian.
2) Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan
apabila belum lengkap segera meminta Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan untuk
melengkapinya.
b. Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia meneliti
kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik atas tanah yang
dimohon dengan memperhatikan pendapat dan pertimbangan Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan selanjutnya
memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya
dikabulkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
c. Setelah mempertimbangkan pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi, Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia menerbitkan keputusan pemberian Hak
Guna Usaha atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang
disertai alasan penolakannya.
2. Penyampaian keputusan pemberian Hak Guna Usaha.
Keputusan pemberian Hak Guna Usaha atau keputusan penolakannya
disampaikan kepada pemohon melalui surat tercatat atau dengan cara lain yang
menjamin sampainya keputusan kepada yang berhak.
2.2. 5 Jangka Waktu Hak Guna Usaha
a) Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh lima
tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima
tahun.
b) Sesudah jangka waktu Hak Guna Usaha dan perpanjangannya berakhir,
kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Usaha diatas
tanah yang sama.
c) Hak Guna Usaha dapat diperpanjang atas permohonan si pemegang hak, jika
memenuhi syarat:
e. Ditelantarkan;
f. Tanahmua musnah;
g. Pemegang Hak Guna Usaha tidak memenuhi syarat sebagai pemegang Hak
Guna Usaha.
Ketentuan lebih lanjut mengenai hapusnya Hak Guna Usaha diatur dengan
keputusan Presiden. Pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 mengatur
konsekuensi hapusnya Hak Guna Usaha sebagai bekas pemegang Hak Guna
Usaha yaitu:
a. Apabila Hak Guna Usaha hapus dan tidak diperpanjang atau diperbaharui,
bekas pemegang hak wajib membongkar bangunan-bangunan dan benda-
benda yang diatasnya dan menyerahkan tanah dan tanaman yang ada diatas
tanah bekas Hak Guna Usaha tersebut kepada Negara dalam batas waktu
yang ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN.
Jika bekas pemegang Hak Guna Usaha lalai dalam memenuhi kewajiban
tersebut, maka bangunan dan benda-benda yang ada diatas tanah bekas Hak
Guna Usaha itu dibongkar oleh Pemerintah atas biaya bekas pemegang Hak
Guna Usaha.
2.3 Perkebunan
21
Herry Kurniawan, Perkebunan ; Apa dan Bagaimana, Bandung, Lintas Ilmu Persada, 2004, h.9
Perkebunan memiliki peranan yang sangat besar untuk meningkatkan
perekonomian Negara dan menjadikan perkebunan sebagai sektor yang sangat
perlu diperhatikan oleh pemerintah terutama para pelaku usaha perkebunan.
Segala sesuatu yang berkaitan dengan perkebunan harus dipersiapkan dengan
sangat-sangat baik, baik itu dari segi pendataan bahkan hingga peraturan yang
terus diperbarui. Berdasarkan Undang Undang Perkebunan, para pelaku usaha
perkebunan yang memiliki kepentingan untuk melakukan pengembangan
terhadap sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi
perkebunan, peremajaan tanaman perkebunan, dan/atau sarana dan prasarana
perkebunan.
Izin usaha perkebunan dibagi menjadi 3 yaitu IUP-B, IUP-P, IUP. Adapun
syarat- syarat yang harus di penuhi sudah di atur dalam Peraturan Mentri
Pertanian Republik Indonesia Nomor 98/Permentan/Ot.140/9/2013 Tentang
Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Untuk memperoleh IUP-B perusahaan
perkebunan mengajukan permohonan secara tertulis dan bermaterai cukup kepada
gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan,dilengkapi persyaratan sebagai
berikut :
a. Profil perusahaan meliputi Akta Pendirian dan perubahan terakhir yang telah
terdaftar di kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, komposisi
kepemilikan saham,susunan pengurus dan bidang usaha perusahaan;
b. Nomor Pokok Wajib Pajak;
c. Surat Izin Tempat Usaha ;
d. Rekomendasi kesesuaian dengan perencanaan pembangunan perkebunan/kota
dari bupati/walikota untuk IUP-B yang di terbitkan oleh gubernur;
e. Rekomendasi kesesuaian dengan perencanaan pembangunan perkebunan
provinsi dari gubernur untuk IUP-B yang di terbitkan oleh bupati/walikota;
f. Izin lokasi dari bupati/walikota yang dilengkapi dengan peta digital calon
lokasi dengan skala 1:100.000 atau 1:50.000 (cetak peta dan file elektronik)
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tidak terdapat izin yang
diberikan pada pihak lain;
g. Pertimbangan teknis ketersediaan lahan dari dinas yang membidangi
kehutanan,apabila areal yang diminta berasal dari kawasan hutan;
h. Rencana kerja pembangunan kebun masyarakat sekitar, rencana tempat hasil
produksi akan diolah;
i. Izin lingkungan dari gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan;
j. Pernyataan kesanggupan:
1) Memiliki sumber daya manusia,sarana,prasarana dan system untuk
melakukan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT);
2) Memiliki sumber daya manusia,sarana,prasarana,dan system untuk
melakukan pembukaan lahan tanpa bakar serta pengendalian kebakaran;
Memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar sesuai pasal 15
yang di lengkapi dengan rencana kerja dan rencana pembiayaan; dan
3) Melaksanakan kemitraan dengan pekebun, karyawan dan masyarakat
sekitar perkebunan;
dengan menggunakan format pernyataan seperti tercantum dalam Lampiran X
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan ini.
k. Surat pernyataan dari pemohon bahwa status perusahaan perkebunan sebagai
usaha mandiri atau bagian dari kelompok (Group) perusahaan perkebunan
belum menguasai lahan dimaksud dalam pasal 17, dengan menggunakan
format pernyataan seperti tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari peraturan ini.23
Selanjutnya untuk memperoleh IUP-P perusahaan perkebunan mengajukan
permohonan secara tertulis dan bermaterai cukup kepada gubenur atau
bupati/walikota sesuai kewenangan, dilengkapi persyaratan sebagai berikut :
a. Profil perusahaan meliputi akta pendirian dan perubahan terakhir yang telah
terdaftar di kementerian hukum dan hak asasi manusia, komposisi
kepemilikan saham,susunan pengurus dan bidang usaha perusahaan;
b. Nomor pokok wajib pajak;
c. Surat izin tempat usaha
d. Rekomendasi kesesuaian dengan perencanaan pembangunan perkebunan
kabupaten/kota dari bupati/walikota untuk IUP-P yang di terbitkan oleh
gubenur;
e. Rekomendasi kesesuaian dengan perencanaan pembangunan perkebunan
provinsidari gubernur untuk IUP-P yang di terbitkan oleh bupati/walikota;
f. Izin lokasi dari bupati/walikota yang dilengkapi dengan peta digital calon
lokasi dengan skala 1:100.000 atau 1:50.000, dalam cetak peta dan file
elektronik sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tidak terdapat
23
Peraturan Mentri Pertanian Republik Indonesia Nomor 98/Permentan/Ot.140/9/2013 Tentang
Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan BAB III, pasal 21
izin yang diberikan pada pihak lain, kecuali lokasi yang diusulkan untuk
pendirian industry pengolahan hasil perkebunan;
g. Jaminan pasokan bahan baku dengan menggunakan format seperti tercantum
dalam Lampiran IV dan Lampiran XII yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari peraturan ini;
h. Rencana kerja pembangunan usaha industri pengolahaan hasil perkebunan;
i. Izin lingkungan dari gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan;
j. Pernyataan kesediaan untuk melakukan kemitraan
dengan menggunakan format seperti tercantum dalam Lampiran XIII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan ini:24
Sedangkan untuk memperoleh IUP perusahaan perkebunan mengajukan
permohonan secara tertulis dan bermaterai cukup kepada gubernur atau
bupati/walikota sesuai kewenangan, dilengkapi persyaratansebagai berikut:
a. Profil perusahaan meliputi akta pendirian dan perubahan terakhir yang telah
terdaftar di kementerian hukum dan hak asasi manusia, komposisi
kepemilikan saham, susunan pengurus dan bidang usaha perusahaan;
b. Nomor pokok wajib pajak;
c. Surat izin tempat usaha
d. Rekomendasi kesesuaian dengan perencanaan pembangunan kabupaten/kota
dari bupati/wali kota untuk IUP yang di terbitkan oleh gubernur;
e. Rekomendasi kesesuaian dengan perencanaan pembangunan perkebunan
provinsi dari gubernur untuk IUP yang diterbitkan oleh bupati/walikota;
f. Izin lokasi dari bupati/walikota yang dilengkapi dengan peta digital calon
lokasi dengan skala 1:100.000 atau 1:50.000 (cetak peta dan file elektronik)
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tidak terdapat izin yang di
berikan pada pihak lain;
g. Pertimbangan teknis ketersediaan lahan dari dinas yang membidangi
kehutanan, apabila areal yang diminta berasal dari kawasan hutan;
24
Peraturan Mentri Pertanian Republik Indonesia Nomor 98/Permentan/Ot.140/9/2013 Tentang
Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan BAB III, pasal 22
h. Jaminan pasokan bahan baku dengan menggunakan format seperti tercantum
dalam lampiran IV dan Lampiran XII yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari peraturan ini;
i. Rencana kerja pembangunan kebun dan unit pengolahan hasil perkebunan
termasuk rencana fasilitasi pembangunan kebun untuk masyarakat;
j. Izin lingkungan dari gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan;
k. Pernyataan kesanggupan:
1) Memiliki sumber daya manusia,sarana,prasarana dan sistem untuk
melakukan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OTP)
2) Memiliki sumber daya manusia, sarana, prasarana dan system untuk
melakukan pembukaan lahan tanpa bakar serta pengendalian kebakaran;
3) Memfasilitasi pembangunan kebun untuk masyarakat sekitar sesuai pasal
15 yang dilengkapi dengan rencana kerja dan rencana pembiayaan;
4) Melaksanakan kemitraan dengan pekebun,karyawan dan masyarakat
sekitar perkebunan.
Dengan menggunakan format pernyataan seperti tercantum dalam Lampiran X
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan ini. Surat pernyataan dari
pemohon bahwa status perusahaan perkebunan sebagai usaha mandiri atau bagian
dari kelompok (Group) perusahaan perkebunan belum menguasai lahan melebihi
batas paling luas sebagaimana dimaksud dalam pasal 17,dengan menggunakan
format pernyataan seperti tercantum ddalam Lampiran XI yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari peraturan ini.25
Dalam hal pelaksanaan perizinan, lack of competencies perlu untuk
dijelaskan ; Pertama, Proses perizinan membutuhkan adanya pengetahuan tidak
hanya sebatas pada aspek legal dari proses perizinan, tetapi lebih jauh dari aspek
tersebut. Misalnya untuk memberikan izin, pihak pelaksana juga harus
mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan dari izin tersebut baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. Seseorang yang dapat memperkirakan
dampak yang bersifat multidimensi memerlukan pengetahuan yang luas baik dari
25
Peraturan Mentri Pertanian Republik Indonesia Nomor 98/Permentan/Ot.140/9/2013 Tentang
Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan BAB III, pasal 23
segi konsepsional maupun hal-hal teknis, dalam beberapa kasus sangat sering
ditemui aparatur pelaksana yang tidak memiliki syarat pengetahuan yang
dimaksud. Sehingga, izin yang diberikan bisa jadi akan menimbulkan dampak
yang buruk dimasa depan.
Ketiga, proses perizinan tidak terlepas dari interaksi antara pemohon dengan
pemberi izin dalam interaksi tersebut muncul prilaku menyimpang baik yang
dilakukan aparatur maupun yang dipicu oleh kepentingan bisnis pelaku usaha,
sehingga aparatur pelaksanaan perizinan dituntut untuk memiliki perilaku yang
positif dengan tidak memanfaatkan situasi demi