Anda di halaman 1dari 29

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hak Atas Tanah

2.1.1 Pengertian hak atas tanah


Hak atas tanah jika dilihat dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya
disingkat UUPA) menyebutkan bahwa atas dasar menguasai dari negara
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah
yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum. Berdasarkan hal
tersebut, hak atas tanah dapat digunakan untuk tanah-tanah yang bersangkutan
sesuai ketentuan, hal ini juga berlaku untuk bumi, air dan kekayaan alam di
atasnya untuk kepentingan yang berkaitan dengan penggunaan tanah. Jika diliteli
dengan baik, dalam pasal tersebut orang-orang atau badan hukum dapat
memperoleh haknya baik secara personal maupun bersama-sama untuk
dimanfaatkan atau digunakan sesuai peraturan Perundang-undangan. Terkait hal
tersebut, hak atas tanah merupakan hak atas permukaan bumi (disebut tanah),
sehingga tanahnya dapat dikuasai berdasarkan hak atas tanah, dalam artian
permukaan bumi.
Menurut Eddy Ruchiyat hak atas tanah adalah “Tanah merupakan
permukaan bumi, sehingga hak atas tanah itu adalah hak untuk mempergunakan
tanahnya saja, sedangkan benda-benda lain di dalam tanah misalnya bahan-bahan
mineral minyak dan lainnya tidak termasuk. Terkait demikian, yang memiliki
hubungan dengan tanah adalah manusia secara alamiah yaitu perseorangan,
keluarga, masyarakat kesemuanya mempunyai kedudukan yang seimbang
mengingat sifat penggunaan tanah kan juga bermuara pada kepentingan atau
kepuasan manusia perseorangan; sedangkan kumpulan dari keseluruhan pemilikan
tersebut disebut sebagai milik bangsa”.1 Wewenang dalam memanfaatkan
berdasar pada hak tersebut diperluas meliputi penggunaan sebagian tubuh bumi.
1
Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi, Bandung, Alumni, 2004,
h.18
yang berada di bawah tanah dan air, serta ruang di atasnya.2 Tubuh bumi, air dan
ruang yang dimaksud bukan milik pemegang hak atas tanah yang bersangkutan,
tetapi dalam penggunaan atau pemanfaatannya harus disesuaikan dengan pasal 4
ayat (1) dan (2).

2.1.2 Macam-macam hak atas tanah


Hak atas tanah menurut UUPA diatur dalam Pasal 4 ayat (1) bahwa atas
dasar hak menguasai dari negara itu, ditetapkan macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai
oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain
serta badan-badan hukum. Selanjutnya berdasarkan Pasal 16 ayat (1) UUPA
macam-macam hak atas tanah yang dapat dimiliki sendiri maupun bersama adalah
sebagai berikut.
1. Hak milik
Menurut Pasal 20 UUPA, hak milik adalah hak turun temurun, terkuat
dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat bahwa
hak itu mempunyai fungsi sosial. Hak milik dapat dimiliki oleh warga negara
Indonesia (WNI), badan hukum seperti perseroan. Kemudian untuk perusahaan
swasta ataupun perusahaan milik negara tidak dapat memiliki tanah dengan hak
milik.
2. Hak guna usaha (HGU)
HGU sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28 ayat (1) UUPA adalah
hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Hak guna
usaha memiliki jangka waktu maksimum 25 tahun, sehingga perusahaan yang
membutuhkan waktu lebih lama dapat diberikan waktu maksimum hingga 35
tahun. Berdasarkan permintaan pemilik hak dan mengingat keadaan
perusahaan, perpanjangan waktu dapat diberikan maksimum 25 tahun. Menurut
Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 disebutkan bahwa: Luas
minimum tanah yang dapat diberikan dengan HGU adalah 5 hektar; Luas
maksimum tanah yang dapat diberikan dengan HGU pada perorangan adalah

2
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Atas Tanah, Surabaya, Arkola, 2002, h.54
25 hektar; dan luas maksimum tanah yang dapat diberikan dengan HGU pada
badan hukum ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan pertimbangan
dari pejabat yang berwenang di bidang usaha yang bersangkutan, dengan
mengingat luas yang diperlukan untuk pelaksanaan suatu satuan usaha yang
paling berdayaguna di bidang yang bersangkutan.
3. Hak guna bangunan
Hak guna bangunan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 35 UUPA
adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan
mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri
dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang sampai 20
tahun. Muljadi dan Widjaja (2005) menjelaskan bahwa pemilik hak guna
bangunan dan pemegang hak milik atas bidang tanah di mana bangunannya
didirikan itu berbeda, dengan kata lain pemegang hak guna bangunan bukan
pemegang hak milik dari tanah atas bangunan yang didirikan.3
4. Hak pakai
Hak pakai diatur dalam Pasal 41 UUPA adalah hak untuk menggunakan
dan/ atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau
tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan
perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA.
5. Hak sewa
Hak sewa, sebagaimana disebutkan dalam pasal 44 dan 45 UUPA Hak
sewa atas tanah adalah hak yang memberi wewenang untuk menggunakan
tanah milik pihak lain dengan kewajiban membayar uang sewa pada tiap-tiap
waktu tertentu.
6. Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan
Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan menurut pasal 46
ayat (1) dan (2) hanya dapat dilaksanakan oleh WNI sebagaimanan diatur

3
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta, Kencana, 2005, h.189
dalam Peraturan Pemerintah (PP) dengan memungut hasil hutan secara sah dan
tidak dengan sendirinya memperoleh hak tanah tersebut.
7. Hak-hak lain yang tidak disebutkan dalam hak-hak di atas serta hak-hak
yang sifatnya sementara akan ditetapkan dengan Undang-undang
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 53 UUPA.

2.2 Hak Guna Usaha (HGU)

2.2.1 Pengertian HGU


Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar-dasar Pokok Agraria Pasal 28 ayat (1), hak guna usaha adalah hak untuk
mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu
sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau
peternakan. HGU hanya dapat dimiliki oleh:
a) warga negara Indonesia (WNI);
b) badan hukum yang didirikan atas dasar hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.
Orang atau badan hukum yang memiliki HGU dalam jangka 1 tahun wajib
menyerahkan atau mengalihkan kepada pihak lain yang telah memenuhi syarat
apabila pihak sebelumnya sudah tidak memenuhi persyaratan sesuai dengan yang
diatur dalam ayat 1 pasal ini. Ketentuan tersebut juga berlaku pada pihak yang
mendapat HGU, jika syarat-syaratnya tidak terpenuhi oleh pihak tersebut. Apabila
HGU yang bersangkutan tidak diserahkan atau dialihkan sesuai jangka waktu
yang ditentukan, maka hak tersebut hapus karena hukum, dengan ketentuan
bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan sesuai Peraturan Pemerintah (PP). HGU hapus disebabkan oleh hal-hal
berikut.
a) Jangka waktu yang diberikan telah berakhir.
b) Diberhentikan karena adanya suatu syarat yang tidak dipenuhi walaupun
jangka waktunya belum berakhir.
c) Dilepaskan oleh pemegang haknya walaupun jangka waktunya belum berakhir.
d) Dicabut demi kepentingan umum.
e) Ditelantarkan.
f) Tanahnya musnah.
g) Sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 30 ayat 2.

2.2.2 Subjek Dan Objek HGU


HGU hanya dapat dimikili oleh WNI dan badan hukum yang berdiri atas
dasar hukum Indonesia dan bertempat di Indonesia. Apabila dalam jenjang waktu
satu tahun pemegang HGU tidak dapat memenuhi syaratnya sebagai WNI dan
bukan badan hukum Indonesia yang bertempat di Indonesia, maka pemegang
HGU tersebut harus menyerahkan atau mengalihkan HGU kepada pihak lain yang
memenuhi syarat. Jika tidak diserahkan atau dialihkan, maka HGU tersebut akan
hapus dan status tanah akan menjadi tanah negara kembali.
Tanah yang dapat memperoleh HGU merupakan tanah negara. HGU hanya
boleh diberikan atas tanah dengan luas minimal 5 hektar. Apabila pengajuan HGU
terhadap tanah memiliki luas mencapai 25 hektar atau lebih, maka penggunaan
HGU tersebut harus menggunakan investasi modal yang layak dan teknik
perusahaan yang baik sesuai perkembangan zaman. Jika HGU akan diberikan
pada tanah yang merupakan tanah negara berupa kawasan hutan, maka status
tanah tersebut sebagai kawasan hutan harus dilepaskan terlebih dahulu sebelum
diberikan HGU.
Tanah yang memiliki hak tertentu dapat diberikan HGU setelah
melepaskan hak dari status lama atau status sebelumnya sesuai dengan tata cara
yang diatur dalam peraturan yang berlaku. Apabila tanah yang akan diberikan
HGU di atasnya terdapat tanaman atau bangunan milik pihak lain sebagai pemilik
hak yang sah atas keberadaannya, maka pemilik tanaman dan bangunan tersebut
harus diberikan ganti rugi oleh pemegang HGU yang baru.
Pemberian HGU diputuskan oleh Menteri (yang bertanggung jawab di
bidang pertanahan/ agraria) atau pejabat yang ditunjuk berdasar pada Penetapan
Pemerintah. Sesuai peraturan yang berlaku, HGU terjadi sejak didaftarkan oleh
Kantor Pertanahan dalam buku tanah. Jangka waktu maksimum yang dapat
diberikan untuk HGU adalah 25 tahun. Perusahaan dapat diberikan HGU
maksimum hingga 35 tahun jika memang dibutuhkan. Perpanjangan jangka waktu
tersebut maksimum 25 tahun dapat dilakukan berdasarkan permintaan pemegang
HGU dan mengingat keadaan perusahaannya. HGU dapat diperpanjang dan
diperbaharui atas permohonan pemegang hak apabila memenuhi syarat: (i) sesuai
dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak di mana tanahnya masih
diusahakan dengan baik, (ii) pemegang hak dapat memenuhi syarat-syarat
pemberian hak tersebut dengan baik, dan (iii) syarat sebagai pemegang hak masih
terpenuhi.
Berdasarkan Undang-undang PP Nomor 40 tahun 1996 Pasal 16, HGU
dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain melalui (i) jual-beli, (ii) tukar-
menukar, (iii) penyertaan dalam modal, (iv) hibah, dan (v) pewarisan. HGU yang
dialihkan karena jual beli wajib dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat
pembuat Akta Tanah. Jika Jual beli dilakukan melalui pelelangan, maka harus
dibuktikan dengan adanya “Berita Acara Lelang”. Apabila HGU dipindahkan
melalui pewarisan, maka pembuktiannya wajib menggunakan surat wasiat atau
surat keterangan hak waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang.

2.2.3 Permohonan Hak Guna Usaha

Syarat-syarat permohonan Hak Guna Usaha atas tanah diatur jelas dalam
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999 tentang Tata
cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
berikut syarat-syarat yang harus terpenuhi :

1. Untuk mengajukan permohonan Hak Guna Usaha atas tanah harus diajukan
secara tertulis dan pemohon harus warga negara Indonesia. Jika badan hukum
yang mengajukan perrmohonan Hak Guna Usaha, maka badan hukum
tersebut merupakan badan hukum yang didirikan di Indonesia dan
berdasarkan hukum Indonesia.

2. Permohonan yang diajukan harus memuat keterangan mengenai hal-hal


berikut sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999, yaitu :

a. Keterangan mengenai pemohon :

1) apabila perorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal


dan pekerjannya;

2) apabila badan hukum: nama badan hukum, tempat kedudukan, akta


atau peraturan pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan yang berlaku.

b. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik,
yaitu:

1) dasar penguasaanya, dapat berupa akta pelepasan kawasan hutan,


akta pelepasan bekas tanah milik adat dan surat bukti perolehan
tanah lainnya;

2) letak, batas-batas dan luasnya (jika sudah ada surat ukur disebutkan
tanggal dan nomornya);

3) jenis usaha (pertanian, perikanan atau peternakan).

c. Keterangan lainnya, yaitu :


1) Keterangan mengenai jumlah bidang, luas, dan status tanah-tanah
yang dimiliki, termasuk bidang tanah yang dimohon;
2) Keterangan lain yang dianggap perlu.
3) Permohonan harus melampirkan hal-hal sebagaimana yang
dijelaskan dalam Pasal 19 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
BPN Nomor 9 tahun 1999, yaitu :

a. foto copy identitas permohonan atau akta pendirian perusahaan


yang telah memperoleh pengesahan dan telah didaftarkan sebagai
badan hukum;

b. rencana pengusahaan tanah jangka pendek dan jangka panjang.

c. izin lokasi atau surat izin penunjukan penggunaan tanah atau surat
izin pencadangan tanah sesuai dengan Rencana tata ruang
Wilayah;

d. bukti pemilikan dan atau bukti perolehan tanah berupa pelepasan


kawasan hutan dari instansi yang berwenang, akta pelepasan
bekas tanah milik adat atau surat-surat bukti perolehan tanah
lainnya;

e. persetujuan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) atau


Penanaman Modal Asing (PMA) atau surat persetujuan dari
Presiden bagi Penanaman Modal Asing tertentu atau surat
persetujuan prinsip dari Departemen Teknis bagi non Penanaman
Modal Dalam Negeri atau Penanaman Modal Asing;

f. surat ukur apabila ada.


2.2.4 Pemberian Hak Guna Usaha

berdasarkan Pasal 17 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala


Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pengaturan dan Tata
Cara Penetapan Hak Guna Usaha, pemberian Hak Guna Usaha dapat diilakukan
melalui tahapan:
a. Pengukuran bidang tanah;
b. Permohonan hak;
c. Pemeriksaan tanah;
d. Penetapan hak; dan
e. Pendaftaran hak.
Adapun penjelasan mengenai tahapan pemberian Hak Guna Usaha diatur
dalam pasal 18 sampai pasal 30 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2017 yaitu sebagai berikut;
a. Pengukuran Bidang Tanah
1) Permohonan pengukuran bidang tanah diajukan secara tertulis oleh
pemohon melalui Kantor Pertanahan setempat sesuai dengan
kewenangannya yang diatur dalam perundang-undangan.
2) Pengukuran bidang tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3) Hasil pengukuran bidang tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dituangkan dalam Peta Bidang Tanah.4
b. Permohonan Hak
1) Permohonan Hak Guna Usaha diajukan secara tertulis oleh pemohon
melalui Kantor Pertanahan setempat sesuai kewenangannya dan dilampiri
data permohonan.
2) Dalam hal tanah yang dimohon Hak Guna Usaha diperoleh secara sporadis
atau terpencar, pemohon haknya diajukan dalam 1 (satu) permohonan
dengan luas tanah hasil perjumlahan atau kumulatif.
3) Permohonan Hak Guna Usaha sebagaimana yang dimaksud diatas
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.5
Semua berkas permohonan Hak Guna Usaha sebagaimana yang dimaksud sudah
melalui tahapan:
f. Pengukuran bidang tanah;
g. Permohonan hak;
h. Pemeriksaan tanah;
i. Penetapan hak; dan
j. Pendaftaran hak.
Adapun penjelasan mengenai tahapan pemberian Hak Guna Usaha diatur
dalam pasal 18 sampai pasal 30 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2017 yaitu sebagai berikut;
c. Pengukuran Bidang Tanah
1) Permohonan pengukuran bidang tanah diajukan secara tertulis oleh
pemohon melalui Kantor Pertanahan setempat sesuai dengan
kewenangannya yang diatur dalam perundang-undangan.
2) Pengukuran bidang tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

4
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Naional Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, BAB III, Pasal 18.
5
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Naional Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, BAB III, Pasal 19
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hasil
pengukuran bidang tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dituangkan dalam Peta Bidang Tanah.6
d. Permohonan Hak
1) Permohonan Hak Guna Usaha diajukan secara tertulis oleh pemohon
melalui Kantor Pertanahan setempat sesuai kewenangannya dan dilampiri
data permohonan.
2) Dalam hal tanah yang dimohon Hak Guna Usaha diperoleh secara
sporadis atau terpencar, pemohon haknya diajukan dalam 1 (satu)
permohonan dengan luas tanah hasil perjumlahan atau kumulatif.
3) Hak Guna Usaha sebagaimana yang dimaksud diatas tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.7
Setelah berkas permohonan Hak Guna Usaha sebagaimana yang dimaksud
diatas diterima, pejabat yang berwenang atau pejabat yang ditunjuk melakukan:
1) Pemeriksaan dan penelitian kelengkapan data yuridis dan data fisik; dan
2) Pemberitahuan kepada pemohon untuk membayar biaya yang diperlukan
berikut rinciannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Hasil dari pemeriksaan dan penelitian dari kelengkapan data yuridis dan
data fisik menjadi dasar dilanjutkan atau tidaknya permohonan Hak Guna Usaha.
Dalam hal data yuridis dan data fisik belum lengkap, pejabat yang berwenang atau
pejabat yang ditunjuk memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapi berkas
permohonan. Apabila dalam hal pemberian data yuridis dan data fisik telah
lengkap, pejabat yang ditunjuk memerintahkan Panitia B untuk melakukan
pemeriksaan tanah. Dalam hal pemberian Hak Guna Usaha merupakan
kewenangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau

6
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Naional Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, BAB III, Pasal 18.
7
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Naional Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, BAB III, Pasal 19
Menteri, Kepala Kantor Pertanahan menyampaikan berkas permohonan kepada
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional8.
Pemohon bertanggung jawab penuh atas keabsahan dan kebenaran materiil
dari data permohonan, dokumen / warkah / berkas dan/atau alas hak yang diajukan
dalam rangka permohonan Hak Guna Usaha9.
e. Pemeriksaan Tanah
Pemeriksaan tanah dalam rangka penetapan Hak Guna Usaha dilakukan
oleh Panitia B. Panitia B dibentuk dan ditetapkan dengan:

1. Keputusan Kepala Kantor Pertanahan, untuk pemberian Hak Guna Usaha


yang merupakan kewenangan Kepala Kantor Pertanahan; atau

2. Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, untuk


pemberian Hak Guna Usaha yang merupakan kewenangan Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kewenangan Menteri.
Keputusan Kepala Kantor Pertanahan atau Keputusan Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional tentang Pembentukan Panitia B dan susunan
keanggotaanya diatas tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari peraturan Menteri ini. Dalam hal diperlukan, Kepala Kantor
Pertanahan atau Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dapat
menunjuk camat dan kepala desa / lurah / tetua adat / tokoh masyarakat letak
tanah yang bersangkutan sebagai pembantu Panitia B10. Panitia B mempunyai
tugas sebagai berikut:

1) Mengadakan pemeriksaan terhadap kelengkapan berkas permohonan


pemberian, perpanjangan jangka waktu dan pembaruan Hak Guna Usaha;
2) Mengadakan penelitian dan pengkajian mengenai status tanah riwayat
tanah dan hubungan hukum antara tanah yang dimohon dengan pemohon
serta kepentingan lainnya;

8
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Naional Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, BAB III, Pasal 20
9
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Naional Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, BAB III, Pasal 21
10
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Naional Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, BAB III, Pasal 22
3) Mengadakan penelitian dan peninjauan fisik atas tanah yang dimohon
mengenai penguasaan, penggunaan/keadaan tanah serta batas bidang tanah
yang dimohon;
4) Mengadakan penelitian usia tanaman, dalam hal tanah yang dimohon telah
dimanfaatkan berdasarkan izin usaha yang dikeluarkan oelh instansi yang
berwenang;
5) Menentukan sesuai atau tidaknya penggunaan tanah dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah dan rencana pembangunan daerah;
6) Membuat Berita Acara Pemeriksaan Lapangan;
7) Melakukan sidang-sidang baik dilapangan maupun di kantor berdasarkan
data fisik dan data yuridis hasil pemeriksaan tanah, termasuk data
pendukung lainnya, yang dituangkan dalam Berita Acara Sidang Panitia B;
dan;
8) Memberikan pendapat dan pertimbangan atas permohonan Hak Guna
Usaha.
Tugas Panitia B melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan berkas
pemohon dilaksanakan untuk memperoleh kebenaran formal atas data fisik dan
data yuridis dalam rangka penyelesaian permohonan pemberian, perpanjangan
jangka waktu dan pembaruan Hak Guna Usaha. Berita Acara Pemeriksaan
Lapangan dan Berita Acara Sidang Panitia B tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan Peraturan Menteri ini11.

Hasil pemeriksaan tanah dituangkan dalam Risalah Panitia B. Dalam


merumuskan kesimpulan risalah Panitia B, Panitia B harus secara tegas
menyatakan setuju atau tidak setuju mengenai diberikannya Hak Guna Usaha,
perpanjangan jangka waktu dan pembaruan Hak Guna Usaha, dengan disertai
alasan persetujuan penolakannya. Dalam hal tanah yang dimohon Hak Guna
Usaha telah dimanfaatkan oleh pemohon berdasarkan izin usaha yang
dikeluarkan oleh instansi yag berwenang maka dengan memperhatikan usia
tanaman dapat menjadi dasar Panitia B untuk mengusulkan pengurangan jangka

11
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Naional Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, BAB III, Pasal 23
waktu Hak Guna Usaha yang diberikan. Apabila dalam Risalah Panitia B terdapat
hal yang dipersyaratkan dan/atau diperlukan klarifikasi lebih lanjut,
pemenuhannya harus dituangkan dalam Berita Acara Hasil Klarifikasi yang
ditandatangani oleh ketua, sekretaris dan satu orang anggota Panitia B. Risalah
Panitia B dan Berita Acara Hasil Klarifikasi tercantum pada Lampiran IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini12.

Risalah Panitia B tersebut ditandatangani oleh seluruh anggota Panitia B.


Dalam hal terdapat anggota yang tidak bersedia menandatangani Risalah Panitia B
sebagaimana Risalah tersebut harus ditandatangani, Panitia B membuat catatan
pada Risalah Panitia B mengenai penolakan/keberatan dimaksud. Risalah Panitia
B yang tidak bersedia menandatangani tersebut, tidak mengurangi keabsahan
Risalah Panitia B13.
f. Penetapan Hak
Penetapan Hak Guna Usaha dilakukan dengan:

1. Penyiapan konsep keputusan pemberian Hak Guna Usaha atau keputusan


penolakan pemberian Hak Guna Usaha oleh unsur teknis pada Kantor
Pertanahan atau Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional sesuai dengan
kewenangannya; dan

2. Penerbitan keputusan pemberian Hak Guna Usaha atau keputusan


penolakan pemberian Hak Guna oleh Kepala Kantor Pertanahan atau Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional berdasarkan data permohonan dan
Risalah Panitia B.
Dalam hal pemberian Hak Guna Usaha merupakan kewenangan Menteri
maka Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional menyampaikan data
permohonan,disertai pendapat dan pertimbangan. Berdasarkan data permohonan,
risalah Panitia B dan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan,
Menteri menerbitkan keputusan pemberian Hak Guna Usaha atau keputusan
penolakan pemberian Hak Guna Usaha. Kepala Kantor Pertanahan atau Kantor
12
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Naional Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, BAB III, Pasal 24
13
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Naional Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, BAB III, Pasal 25
Wilayah Badan Pertanahan Nasional atau Menteri menetapkan keputusan
penolakan pemberian Hak Guna Usaha, harus disertai dengan alasan penolakan.
Keputusan pemberian Hak Guna Usaha atau keputusan penolakan pemberian Hak
Guna Usaha disampaikan kepada pemohon melalui surat tercatat atau dengan cara
lain yang menjamin sampainya ketetapan pada pihak yang berhak. Keputusan
Pemberian Hak Guna Usaha dan Keputusan Penolakan Pemberian Hak Guna
Usaha tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini14.
Kesalahan karena kekeliruan atau kelalaian yang merupakan kesalahan
administrasi dalam proses penerbitan keputusan pemberian Hak Guna Usaha atau
Keputusan pemberian Hak Guna Usaha atau Keputusan penolakan pmberian Hak
Guna Usaha, dapat dikenakan sanksi administarasi15.

Dalam hal permohonan terdapat pihak yang keberatan terhadap keputusan


pemberian Hak Guna Usaha atau Keputusan penolakan pemberian Hak Guna
Usaha, diselesaikan secara musyawarah paling lama 60 (enam puluh) hari kerja
sejak permohonan diajukan. Dalam hal musyawarah, jika tidak tercapai
kesepakatan maka pihak yang keberatan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan
Tata Usaha Negara setempat dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak jangka waktu 60 (enam puluh) hari berakhir. Dalam hal jangka
waktu 30 (tiga puluh) hari berakhir dan tidak diajukan gugatan ke pengadilan
maka terhadap keputusan pemberian Hak Guna Usaha, kementrian tetap dapat
melakukan proses pendaftaran hak. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, menjadi dasar pemberian atau
pembatalan pemberian Hak Guna Usaha16.
g. Pendaftaran Hak

Untuk memperoleh tanda bukti hak berupa sertifikat Hak Guna


Usaha,penerima Hak Guna Usaha harus mendaftarkan keputusan pemberian Hak
14
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Naional Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, BAB III, Pasal 26
15
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Naional Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, BAB III, Pasal 27
16
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Naional Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, BAB III, Pasal 28
Guna Usaha pada Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah
yang bersangkutan. Dalam hal keputusan pemberian Hak Guna Usaha merupakan
kewenangan Menteri atau Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional,
pelaksanaan pendaftaran hak baru dapat dilakukan setelah salinan keputusan
pemberian Hak Guna Usaha telah diterima oleh Kantor Pertanahan. Pendaftaran
dilaksanakan setelah semua kewajiban dan persyaratan yang tercantum dalam
Surat Keputusan Pemberian Hak Guna Usaha dipenuhi. Permohonan pendaftaran
keputusan penetapan Hak Guna Usaha dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan17.

Dalam hal Hak Guna Usaha telah diterbitkan sertifikat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan secara nyata dikuasai pemegang
haknya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat
lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 10 (sepuluh) tahun
sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis
kepeda pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan
ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah
atau penerbitan sertifikat tersebut18.

Sedangkan dalam tahapan permohonan pemberian Hak Guna Usaha oleh


perseorangan atau badan hukum, yaitu19:
1. Adanya permohonan pemberian Hak Guna Usaha.
Permohonan pemberian Hak Guna Usaha diajukan oleh pemohon kepada
kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia melalui Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertannahan Nasional Provinsi dengan tembusan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang
bersangkutan. Apabila tanah yang dimohon terletak dalam lebih dari satu daerah

17
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Naional Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, BAB III, Pasal 29
18
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Naional Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, BAB III, Pasal 30
19
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, (Surabaya: Kencana, 2010), hlm.
226-229
Kabupaten/Kota, maka tembusan permohonan disampaikan kepada masing-
masing Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

2. Kegiatan yang dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan


Nasional Provinsi yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan,
yaitu:

a. Setelah berkas permohonan diterima, Kepala Kantor Wilayah Badan


Pertanahan Nasional Provinsi:
1) Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik;
2) Mencatat dalam formulir isian;
3) Memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya-biaya yang
diperlukan untuk menyelesaikan permohonan tersebut dengan
rinciannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
4) Memerintahkan kepada Kepala Bidang terkait untuk melengkapi bahan-
bahan yang diperlukan.

b. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi meneliti


kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik permohonan Hak
Guna Usaha dan memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau
tidaknya dikabulkan atau diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal data yuridis dan
data fisiknya belum lengkap, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Provinsi memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapinya.

c. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi


memerintahkan kepada Panitia Pemeriksa Tanah B atau Petugas yang
ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan tanah.

d. Dalam hal tanah yang dimohon belum ada surat ukurnya, Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi memerintahkan kepada
Kepala Bidang Pengukuran dan Pendaftaran Tanah untuk mempersiapkan
surat ukur atau melakukan pengukuran.
e. Hasil pemeriksaan tanah oleh Panitia Pemeriksa Tanah B dituangkan dalam
Risalah Pemeriksaan Tanah dan hasil pemeriksaan tanah oleh petugas yang
ditunjuk dituangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah (konstatering
rapport) sepanjang data yuridis dan data fisiknya telah cukup untuk
mengambil keputusan.

f. Dalam hal keputusan pemberian Hak Guna Usaha tidak dilimpahkan kepada
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi, setelah
mempertimbangkan pendapat Panitia Pemeriksaan Tanah B atau petugas
yang ditunjuk, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi
menerbitkan keputusan pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang
dimohon atau keputusan pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang
dimohon atau keputusan penolakan yang disertai dengan alasan
penolakannya.

g. Dalam hal keputusan pemberin Hak Guna Usaha tidak dilimpahkan kepada
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi, Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan
menyampaikan berkas permohonan tersebut kepada Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia, disertai pendapat dan
pertimbangannya.
1. Kegiatan yang dilakukan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia, yaitu:
a. Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan
pertimbangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Provinsi, Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
memerintahkan kepada pejabat yang ditunjuk untuk:
1) Mencatat dalam formulir isian.
2) Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan
apabila belum lengkap segera meminta Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan untuk
melengkapinya.
b. Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia meneliti
kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik atas tanah yang
dimohon dengan memperhatikan pendapat dan pertimbangan Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan selanjutnya
memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya
dikabulkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
c. Setelah mempertimbangkan pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi, Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia menerbitkan keputusan pemberian Hak
Guna Usaha atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang
disertai alasan penolakannya.
2. Penyampaian keputusan pemberian Hak Guna Usaha.
Keputusan pemberian Hak Guna Usaha atau keputusan penolakannya
disampaikan kepada pemohon melalui surat tercatat atau dengan cara lain yang
menjamin sampainya keputusan kepada yang berhak.
2.2. 5 Jangka Waktu Hak Guna Usaha

Jangka waktu pemberian Hak Guna Usaha di jelaskan dalam Undang-


Undang Pokok Agraria pasal 29 yaitu:

a. Hak Guna Usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun.


b. Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan
Hak Guna Usaha untuk waktu paling lama 35 tahun.
c. Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keaadaan perusahaannya jangka
waktu yang dimaksud diatas dapat diperpanjang dengan waktu yang paling
lama 25 tahun.
Dari Pasal 29 Undang-Undang Pokok Agraria tersebut dapat diketahui
bahwa Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu antara 25 tahun hingga 35
tahun, dengan ketentuan bahwa Hak Guna Usaha tersebut, setelah berakhirnya
jangka waktu 25 tahun hingga 35 tahun tersebut, masih dapat diperpanjang untuk
masa 25 tahun berikutnya.
Ketentuan mengenai jangka waktu dan perpanjangan tersebut dijabarkan
lebih lanjut dalam Pasal 8 hingga Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor. 40
Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas
Tanah, sebagai berikut:

a) Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh lima
tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima
tahun.
b) Sesudah jangka waktu Hak Guna Usaha dan perpanjangannya berakhir,
kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Usaha diatas
tanah yang sama.
c) Hak Guna Usaha dapat diperpanjang atas permohonan si pemegang hak, jika
memenuhi syarat:

1) Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat


dan tujuan pemberian hak tersebut;

2) Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh


pemegang hak; dan

3) Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.


b. Hak Guna Usaha dapat diperbaharui atas permohonan pemegang
hak, jika memenuhi syarat:
1) Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan,
sifat dan tujuan pemberian hak tersebut;
2) Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh
pemegang hak;
3) Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.
c. Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha atau
pemabaharuannya diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum
berakhirnya jangka waktu Hak Guna Usaha tersebut.
d. Perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Usaha dicatat dalam
buku tanah pada Kantor Peranahan.
e. Ketentuan mengenai tata cara permohonan perpanjangan atau
pembaharuan Hak Guna Usaha dan persyaratannya diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Presiden.

1) Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan,


sifat dan tujuan pemberian hak tersebut;
2) Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh
pemegang hak; dan
3) Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.
f. Hak Guna Usaha dapat diperbaharui atas permohonan pemegang
hak, jika memenuhi syarat:
1) Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan,
sifat dan tujuan pemberian hak tersebut;
2) Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh
pemegang hak;
3) Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.
g. Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha atau
pemabaharuannya diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum
berakhirnya jangka waktu Hak Guna Usaha tersebut.
h. Perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Usaha dicatat dalam
buku tanah pada Kantor Peranahan.
i. Ketentuan mengenai tata cara permohonan perpanjangan atau
pembaharuan Hak Guna Usaha dan persyaratannya diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Presiden.
2.2.6 Hapusnya Hak Guna Usaha
Penyebab hapusnya HGU diatur dalam Pasal 34 UUPA dan Pasal 17 ayat
(1) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996. Hal-hal yang dapat menjadikan
hapusnya HGU yaitu sebagai berikut.
1) Jangka waktu telah berakhir sesuai dengan keputusan pemberian atau
perpanjangannya.
2) Pejabat yang berwenang membatalkan haknya sebelum jangka waktunya
berakhir karena:
a) pemegang hak tidak memenuhi kewajibannya dan/ atau melanggar
ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 12, Pasal 13 dan/ atau
Pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996;
b) putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap;
c) pemegang hak melepaskan secara sukarela walaupun jangka waktunya
belum berakhir;
d) pencabutan yang berdasar pada Undang-undang No. 20 Tahun 1961;
e) ditelantarkan;
f) tanahnya musnah; serta
g) syarat sebagai pemegang HGU tidak lagi terpenuhi untuk dapat memiliki
HGU sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (2) UUPA.

Menurut Pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, faktor-


faktor penyebab hapusnya Hak Guna Usaha dan berakibat tanahnya kembali
menjadi tanah negara adalah:

a. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan


pemberian atau perpanjangannya;

b. Dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktu


berakhir karena tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak
dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam
keputusan pemberian hak, dan adanya putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap;

c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka


waktunya berakhir;

d. Dicabutkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961;

e. Ditelantarkan;

f. Tanahmua musnah;

g. Pemegang Hak Guna Usaha tidak memenuhi syarat sebagai pemegang Hak
Guna Usaha.

Ketentuan lebih lanjut mengenai hapusnya Hak Guna Usaha diatur dengan
keputusan Presiden. Pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 mengatur
konsekuensi hapusnya Hak Guna Usaha sebagai bekas pemegang Hak Guna
Usaha yaitu:

a. Apabila Hak Guna Usaha hapus dan tidak diperpanjang atau diperbaharui,
bekas pemegang hak wajib membongkar bangunan-bangunan dan benda-
benda yang diatasnya dan menyerahkan tanah dan tanaman yang ada diatas
tanah bekas Hak Guna Usaha tersebut kepada Negara dalam batas waktu
yang ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN.

b. Apabila bangunan, tanaman, dan benda-benda tersebut diatas diperlukan


untuk melangsungkan atau memulihkan pengusahaan tanahmya, maka
kepada bekas pemegang hak dberikan ganti rugi yang bentuk dan
jumlahnya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

c. Pembongkaran bangunan dan benda-benda diatas tanah Hak Guna Usaha


dilaksanakan atas biaya bekas pemegang Hak Guna Usaha.

Jika bekas pemegang Hak Guna Usaha lalai dalam memenuhi kewajiban
tersebut, maka bangunan dan benda-benda yang ada diatas tanah bekas Hak
Guna Usaha itu dibongkar oleh Pemerintah atas biaya bekas pemegang Hak
Guna Usaha.

2.3 Perkebunan

2.3.1 Pengertian perkebunan


Berdasarkan Undang-undang Perkebunan No 39 Tahun 2014 Pasal 1 ayat
(1), perkebunan adalah segala kegiatan pengelolaan SDA, SDM, sarana produksi,
alat dan mesin, budi daya, panen, pengolahan dan pemasaran terkait tanaman
perkebunan. Kurniawan menyatakan bahwa20 perkebunan adalah “Segala kegiatan
yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan atau media tumbuh lainnya
20
Kurniawan, H. 2004. Perkebunan; Apa dan Bagaimana. Bandung: Lintas Ilmu Persada, h. 9
dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan membesarkan barang dan jasa hasil
tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan
serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan
dan masyarakat”.
Pemerintah menyediakan fasilitas dan kemudahan pada beberapa bidang
untuk mendorong dan memberdayakan perkebunan. Beberapa bidang tersebut
diantaranya bidang pembiayaan, pengurangan beban fiskal, kemudahan ekspor,
pengutamaan penggunaan produksi dalam negeri, pengaturan pemasukan dan
pengeluaran hasil perkebunan, memfasilitasi aksesbilitas ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) serta informasi, mendorong terbentuknya kelompok asosiasi
pekebun dan dewan komoditas sesuai dengan jenis tanaman yang dibudidayakan.
Selain itu juga diupayakan adanya pengamanan perkebunan oleh aparat
keamanan serta melibatkan bantuan masyarakat sekitar demi terjaminnya
kelangsungan usaha perkebunan. Pengaturan terkait pemberdayaan perkebunan
oleh pemerintah dimuat dalam pemberdayaan dan pengelolan usaha perkebunan,
pengolahan dan pemasaran hasil perkebunan, penelitian dan pengembangan
perkebunan, pengembangan SDM perkebunan, pembiayaan usaha perkebunan,
serta pembinaan dan pengawasan usaha perkebunan. Hal tersebut merupakan
wujud keberpihakan pemerintah terhadap perkebunan.
Perkebunan merupakan ruang lingkup dari pertanian, sebagai salah satu
diantara banyaknya usaha budi daya oleh manusia. Sedangkan Menurut Herry
Kurniawan21 bahwa perkebunan adalah : “Segala kegiatan yang mengusahakan
tanaman tertentu pada tanah dan atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem
yang sesuai, mengolah dan membesarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut,
dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen
untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.”

2.3.2 Manfaat Perkebunan

21
Herry Kurniawan, Perkebunan ; Apa dan Bagaimana, Bandung, Lintas Ilmu Persada, 2004, h.9
Perkebunan memiliki peranan yang sangat besar untuk meningkatkan
perekonomian Negara dan menjadikan perkebunan sebagai sektor yang sangat
perlu diperhatikan oleh pemerintah terutama para pelaku usaha perkebunan.
Segala sesuatu yang berkaitan dengan perkebunan harus dipersiapkan dengan
sangat-sangat baik, baik itu dari segi pendataan bahkan hingga peraturan yang
terus diperbarui. Berdasarkan Undang Undang Perkebunan, para pelaku usaha
perkebunan yang memiliki kepentingan untuk melakukan pengembangan
terhadap sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi
perkebunan, peremajaan tanaman perkebunan, dan/atau sarana dan prasarana
perkebunan.

Berdasarkan Undang – Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang


Perkebunan tujuan penyelenggaraan perkebunan bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, meningkatkan sumber devisa negara,
menyediakan lapangan kerja dan kesempatan usaha, meningkatkan produksi,
produktivitas, kualitas, nilai tambah, daya saing, dan pangsa pasar, meningkatkan
dan memenuhi kebutuhan konsumsi serta bahan baku industry dalam negeri,
memberikan perlindungan kepada pelaku usaha perkebunan dan masyarakat,
mengelola dan mengembangkan sumber daya perkebunan secara optimal,
bertanggung jawab, dan lestari, dan meningkatkan pemanfaatan jasa perkebunan.22

2.3.3 Perijinan Usaha Perkebunan

Untuk pendaftaran izin usaha perkebunan di atur dalam Peraturan Mentri


Pertanian Republik Indonesia Nomor 98/Permentan/Ot.140/9/2013 Tentang
Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan dimana bagi pelaku usaha yang lahannya
kurang dari 25 hektar dilakukan pendaftaran oleh bupati/walikota yang berisi
keterangan pemilik dan data kebun data identitas dan domisili pemilik,pengelola
kebun, lokasi kebun, status kepemilikan tanah, luas areal, jenis tanaman, produksi,
asal benih, jumlah pohon, pola tanam, jenis pupuk, ,mitra pengolahan, jenis/tipe
tanah,dan tahun tanam. Setelah itu di berikan STD-B sesuai format seperti
tercantumdalam lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisah dari peraturan
22
Undang – Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan BAB II pasal 3
ini. STD-B berlaku selama usaha budidaya tanaman perkebunan masih
dilaksanakan.

Izin usaha perkebunan dibagi menjadi 3 yaitu IUP-B, IUP-P, IUP. Adapun
syarat- syarat yang harus di penuhi sudah di atur dalam Peraturan Mentri
Pertanian Republik Indonesia Nomor 98/Permentan/Ot.140/9/2013 Tentang
Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Untuk memperoleh IUP-B perusahaan
perkebunan mengajukan permohonan secara tertulis dan bermaterai cukup kepada
gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan,dilengkapi persyaratan sebagai
berikut :

a. Profil perusahaan meliputi Akta Pendirian dan perubahan terakhir yang telah
terdaftar di kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, komposisi
kepemilikan saham,susunan pengurus dan bidang usaha perusahaan;
b. Nomor Pokok Wajib Pajak;
c. Surat Izin Tempat Usaha ;
d. Rekomendasi kesesuaian dengan perencanaan pembangunan perkebunan/kota
dari bupati/walikota untuk IUP-B yang di terbitkan oleh gubernur;
e. Rekomendasi kesesuaian dengan perencanaan pembangunan perkebunan
provinsi dari gubernur untuk IUP-B yang di terbitkan oleh bupati/walikota;
f. Izin lokasi dari bupati/walikota yang dilengkapi dengan peta digital calon
lokasi dengan skala 1:100.000 atau 1:50.000 (cetak peta dan file elektronik)
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tidak terdapat izin yang
diberikan pada pihak lain;
g. Pertimbangan teknis ketersediaan lahan dari dinas yang membidangi
kehutanan,apabila areal yang diminta berasal dari kawasan hutan;
h. Rencana kerja pembangunan kebun masyarakat sekitar, rencana tempat hasil
produksi akan diolah;
i. Izin lingkungan dari gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan;
j. Pernyataan kesanggupan:
1) Memiliki sumber daya manusia,sarana,prasarana dan system untuk
melakukan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT);
2) Memiliki sumber daya manusia,sarana,prasarana,dan system untuk
melakukan pembukaan lahan tanpa bakar serta pengendalian kebakaran;
Memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar sesuai pasal 15
yang di lengkapi dengan rencana kerja dan rencana pembiayaan; dan
3) Melaksanakan kemitraan dengan pekebun, karyawan dan masyarakat
sekitar perkebunan;
dengan menggunakan format pernyataan seperti tercantum dalam Lampiran X
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan ini.
k. Surat pernyataan dari pemohon bahwa status perusahaan perkebunan sebagai
usaha mandiri atau bagian dari kelompok (Group) perusahaan perkebunan
belum menguasai lahan dimaksud dalam pasal 17, dengan menggunakan
format pernyataan seperti tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari peraturan ini.23
Selanjutnya untuk memperoleh IUP-P perusahaan perkebunan mengajukan
permohonan secara tertulis dan bermaterai cukup kepada gubenur atau
bupati/walikota sesuai kewenangan, dilengkapi persyaratan sebagai berikut :

a. Profil perusahaan meliputi akta pendirian dan perubahan terakhir yang telah
terdaftar di kementerian hukum dan hak asasi manusia, komposisi
kepemilikan saham,susunan pengurus dan bidang usaha perusahaan;
b. Nomor pokok wajib pajak;
c. Surat izin tempat usaha
d. Rekomendasi kesesuaian dengan perencanaan pembangunan perkebunan
kabupaten/kota dari bupati/walikota untuk IUP-P yang di terbitkan oleh
gubenur;
e. Rekomendasi kesesuaian dengan perencanaan pembangunan perkebunan
provinsidari gubernur untuk IUP-P yang di terbitkan oleh bupati/walikota;
f. Izin lokasi dari bupati/walikota yang dilengkapi dengan peta digital calon
lokasi dengan skala 1:100.000 atau 1:50.000, dalam cetak peta dan file
elektronik sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tidak terdapat

23
Peraturan Mentri Pertanian Republik Indonesia Nomor 98/Permentan/Ot.140/9/2013 Tentang
Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan BAB III, pasal 21
izin yang diberikan pada pihak lain, kecuali lokasi yang diusulkan untuk
pendirian industry pengolahan hasil perkebunan;
g. Jaminan pasokan bahan baku dengan menggunakan format seperti tercantum
dalam Lampiran IV dan Lampiran XII yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari peraturan ini;
h. Rencana kerja pembangunan usaha industri pengolahaan hasil perkebunan;
i. Izin lingkungan dari gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan;
j. Pernyataan kesediaan untuk melakukan kemitraan
dengan menggunakan format seperti tercantum dalam Lampiran XIII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan ini:24
Sedangkan untuk memperoleh IUP perusahaan perkebunan mengajukan
permohonan secara tertulis dan bermaterai cukup kepada gubernur atau
bupati/walikota sesuai kewenangan, dilengkapi persyaratansebagai berikut:

a. Profil perusahaan meliputi akta pendirian dan perubahan terakhir yang telah
terdaftar di kementerian hukum dan hak asasi manusia, komposisi
kepemilikan saham, susunan pengurus dan bidang usaha perusahaan;
b. Nomor pokok wajib pajak;
c. Surat izin tempat usaha
d. Rekomendasi kesesuaian dengan perencanaan pembangunan kabupaten/kota
dari bupati/wali kota untuk IUP yang di terbitkan oleh gubernur;
e. Rekomendasi kesesuaian dengan perencanaan pembangunan perkebunan
provinsi dari gubernur untuk IUP yang diterbitkan oleh bupati/walikota;
f. Izin lokasi dari bupati/walikota yang dilengkapi dengan peta digital calon
lokasi dengan skala 1:100.000 atau 1:50.000 (cetak peta dan file elektronik)
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tidak terdapat izin yang di
berikan pada pihak lain;
g. Pertimbangan teknis ketersediaan lahan dari dinas yang membidangi
kehutanan, apabila areal yang diminta berasal dari kawasan hutan;

24
Peraturan Mentri Pertanian Republik Indonesia Nomor 98/Permentan/Ot.140/9/2013 Tentang
Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan BAB III, pasal 22
h. Jaminan pasokan bahan baku dengan menggunakan format seperti tercantum
dalam lampiran IV dan Lampiran XII yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari peraturan ini;
i. Rencana kerja pembangunan kebun dan unit pengolahan hasil perkebunan
termasuk rencana fasilitasi pembangunan kebun untuk masyarakat;
j. Izin lingkungan dari gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan;
k. Pernyataan kesanggupan:
1) Memiliki sumber daya manusia,sarana,prasarana dan sistem untuk
melakukan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OTP)
2) Memiliki sumber daya manusia, sarana, prasarana dan system untuk
melakukan pembukaan lahan tanpa bakar serta pengendalian kebakaran;
3) Memfasilitasi pembangunan kebun untuk masyarakat sekitar sesuai pasal
15 yang dilengkapi dengan rencana kerja dan rencana pembiayaan;
4) Melaksanakan kemitraan dengan pekebun,karyawan dan masyarakat
sekitar perkebunan.
Dengan menggunakan format pernyataan seperti tercantum dalam Lampiran X
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan ini. Surat pernyataan dari
pemohon bahwa status perusahaan perkebunan sebagai usaha mandiri atau bagian
dari kelompok (Group) perusahaan perkebunan belum menguasai lahan melebihi
batas paling luas sebagaimana dimaksud dalam pasal 17,dengan menggunakan
format pernyataan seperti tercantum ddalam Lampiran XI yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari peraturan ini.25
Dalam hal pelaksanaan perizinan, lack of competencies perlu untuk
dijelaskan ; Pertama, Proses perizinan membutuhkan adanya pengetahuan tidak
hanya sebatas pada aspek legal dari proses perizinan, tetapi lebih jauh dari aspek
tersebut. Misalnya untuk memberikan izin, pihak pelaksana juga harus
mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan dari izin tersebut baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. Seseorang yang dapat memperkirakan
dampak yang bersifat multidimensi memerlukan pengetahuan yang luas baik dari

25
Peraturan Mentri Pertanian Republik Indonesia Nomor 98/Permentan/Ot.140/9/2013 Tentang
Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan BAB III, pasal 23
segi konsepsional maupun hal-hal teknis, dalam beberapa kasus sangat sering
ditemui aparatur pelaksana yang tidak memiliki syarat pengetahuan yang
dimaksud. Sehingga, izin yang diberikan bisa jadi akan menimbulkan dampak
yang buruk dimasa depan.

Kedua, proses perizinan memerlukan dukungan keahlian aparatur tidak


hanya dalam mengikuti tata urutan prosedurnya tetapi hal-hal lain yang sangat
mendukung kelancaran proses perizinan itu sendiri, pengoptimalan penggunaan
teknologi informasi, misalnya dianggap mejadi solusi yang sangat tepat untuk
mengefisienkan prosedur perizinan. Dengan demikian, hampir disemua sektor
perizinan dituntut untuk menggunakan sistem komputerisasi dan aparat yang tidak
memiliki keahlian untuk mengoprasionalkan teknologi tersebut akan menjadi
ganjalan. Aparat yang demikian masih sangat banyak ditemui di lapangan.

Ketiga, proses perizinan tidak terlepas dari interaksi antara pemohon dengan
pemberi izin dalam interaksi tersebut muncul prilaku menyimpang baik yang
dilakukan aparatur maupun yang dipicu oleh kepentingan bisnis pelaku usaha,
sehingga aparatur pelaksanaan perizinan dituntut untuk memiliki perilaku yang
positif dengan tidak memanfaatkan situasi demi

Anda mungkin juga menyukai