Anda di halaman 1dari 14

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN OPEN FRAKTUR DENGAN MASALAH KEPERAWATAN RESIKO INFEKSI

oleh:

Alvian Hardianata Pratama

(201501006)

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN

AKPER PEMKAB PONOROGO

Jl.Dr. Cipto Mangunkusumo no. 82A

PONOROGO

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya, sehingga
penyusunan laporan pendahuluan dengan judul ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN OPEN FRAKTUR
DENGAN MASALAH KEPERAWATAN RESIKO INFEKSI dapat terselesaikan.

Dalam penyusunan laporan pendahuluan ini, kami banyak mendapatkan bimbingan dan petunjuk dari
berbagai pihak.Untuk itu kami menyampaikan terima kasih.

Kami menyadari laporan pendahuluan ini masih jauh dari sempurna, oleh karenanya kritik dan saran
yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan makalah ini.

Akhirnya kami berharap, semoga laporan pendahuluan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan
pada umumnya.

Ponorogo, 12 Agustus 2016


Penyusun

DAFTAR ISI

Kata pengantar....................................................................................................... i

Daftar isi................................................................................................................ ii

BAB 2 TINJAUAN TEORI

KONSEP PENYAKIT

2.1 Definisi penyakit.............................................................................. 1

2.2 Etiologi penyakit.............................................................................. 2

2.3 Patofisiologi penyakit....................................................................... 2

2.4 Manifestasi klinis.............................................................................. 3

2.5 Komplikasi....................................................................................... 4

2.6 Pemeriksaan penunjang.................................................................... 6

2.7 Penatalaksanaan medis..................................................................... 6

KONSEP ASKEP

2.8 Pengkajian........................................................................................ 8

2.9 Diagnosa .... 11

2.10 Intervensi.......................................................................................... 11
BAB II

TINJAUAN TEORI

KONSEP PENYAKIT

2.1 DEFINISI

Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan, sudut,
tenaga, keadaan tulang, dan jaringa lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi
tersebut lengkap atau tidak lengkap. (Rendy, M.C dan Margareth, 2012).

Fraktur (patah tulang) adalah suatu kondisi hilangnya kontinuitas tulang atau ulang rawan, baik yang
bersifat total maupun sebagian (Muttaqin, (2008).

Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price dan Wilson,
2006).

Fraktur terbuka (compoun fracture)

Fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat
berbentuk from within (dari dalam) from without (dari luar).

Fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan lingkungan luar melalui kulit
sehingga terjadi kontaminasi bakteri, sehingga timbul komplikasi berupa infeksi.

Fraktur terbuka (open/compound fraktur) Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan
kulit yang memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman dari luar dapat masuk ke
dalam luka sampai ke tulang yang patah. Derajat patah tulang terbuka :

1. Derajat I Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.

2. Derajat II Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen jelas.

3. Derajat III Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.

2.2 ETIOLOGI

Fraktur dapat terjadi akibat adanya tekanan yang melebihi kemampuan tulang dalam menahan tekanan.
Tekanan pada tulang dapat berupa tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau
oblik, tekanan membengkok yang menyabkan fraktur transversal, tekanan sepanjang aksis tulang yang
menyebabkan fraktur impaksi, dislokasi, atau fraktur dislokasi, kompresi vertical dapat menyebabkan
fraktur kominutif atau memecah, misalnya pada badan vertebra, talus, atau fraktur buckle pada anak-
anak (Arif muttaqin, 2008).

Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan
kontraksi otot ekstrem (Smeltzer, 2002). Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat
tekanan yang berlebihan pada tulang. Fraktur cenderung terjadi pada laki-laki, biasanya fraktur terjadi
pada umur di bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan, atau luka yang
disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor.

Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu:

1. Cidera atau benturan

2. Fraktur patologik

Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah oleh karena tumor,
kanker dan osteoporosis.

3. Fraktur beban

Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru saja menambah tingkat
aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam angkatan bersenjata atau orang- orang yang baru mulai
latihan lari.

2.3 PATOFISIOLOGI

Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup.Tertutup bila tidak terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit (Smelter dan Bare,2002).

Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak
sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya
timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan
aliran darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang
disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan
dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan
mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan
peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya
serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom compartment (Brunner dan
Suddarth, 2002 ).

2.4 MANIFESTASI KLINIK

Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstrimitas, krepitus,
pembengkakan local, dan perubahan warna.
2.4.1 Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di imobilisasi, spasme otot
yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan
antar fragmen tulang.

2.4.2 Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak tidak alamiah
bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias di ketahui
dengan membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas tidak dapat berfungsi dengan baik
karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.

2.4.3 Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang
melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.

2.4.4 Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang dinamakan krepitus
yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainya.

2.4.5 Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebaga akibat dari trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari
setelah cedera (Smelzter dan Bare, 2002).

2.5 KOMPLIKASI

Komplikasi Open Fraktur

2.5.1 Komplikasi dini

Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca trauma, sedangkan apabila
kejadiannya satu minggu pasca trauma disebut komplikasi lanjut.

1. Pada Tulang

a. Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.

b. Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan operasi pada fraktur tertutup.
Keadaan ini dapat menimbulkan delayed union atau bahkan non union. Komplikasi sendi dan tulang
dapat berupa artritis supuratif yang sering terjadi pada fraktur terbuka atau pasca operasi yang
melibatkan sendi sehingga terjadi kerusakan kartilago sendi dan berakhir dengan degenerasi.

2. Pada Jaringan lunak

a. Lepuh, Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit superfisial karena edema. Terapinya
adalah dengan menutup kasa steril kering dan melakukan pemasangan elastik.

b. Dekubitus, terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips. Oleh karena itu perlu diberikan
bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang menonjol.

3. Pada Otot Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot tersebut terganggu. Hal
ini terjadi karena serabut otot yang robek melekat pada serabut yang utuh, kapsul sendi dan tulang.
Kehancuran otot akibat trauma dan terjepit dalam waktu cukup lama akan menimbulkan sindroma crush
atau trombus (Apley & Solomon, 1993).

4. Pada pembuluh darah


Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus menerus. Sedangkan pada robekan yang
komplit ujung pembuluh darah mengalami retraksi dan perdarahan berhenti spontan. Pada jaringan
distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan nekrosis. Trauma atau manipulasi sewaktu melakukan
reposisi dapat menimbulkan tarikan mendadak pada pembuluh darah sehingga dapat menimbulkan
spasme. Lapisan intima pembuluh darah tersebut terlepas dan terjadi trombus pada kompresi arteri
yang lama seperti pemasangan torniquet dapat terjadi sindrome crush. Pembuluh vena yang putus perlu
dilakukan repair untuk mencegah kongesti bagian distal lesi (Apley & Solomon, 1993)

5. Pada saraf

Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus), aksonometsis (kerusakan akson). Setiap
trauma terbuka dilakukan eksplorasi dan identifikasi nervus (Apley & Solomon,1993).

2.5.2 Komplikasi lanjut

Pada tulang dapat berupa mal union, delayed union atau non union. Pada pemeriksaaan terlihat
deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau perpanjang.

1. Delayed union

Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal. Pada pemeriksaan radiografi,
tidak akan terlihat bayangan sklerosis pada ujung-ujung fraktur, Terapi konservatif selama 6 bulan bila
gagal dilakukan Osteotomi. Lebih 20 minggu dilakukan cancellus grafting (12-16 minggu).

2. Non union

Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan. Tipe I (hypertrophic non union) tidak
akan terjadi proses penyembuhan fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan fibrus yang
masih mempunyai potensi untuk union dengan melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting. Tipe II
(atrophic non union) disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis) terdapat jaringan sinovial sebagai kapsul
sendi beserta rongga sinovial yang berisi cairan, rosesunion tidak akan dicapai walaupun dilakukan
imobilisasi lama.

3. Mal union

Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbulkan deformitas. Tindakan refraktur atau
osteotomi koreksi.

4. Osteomielitis

Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan operasi pada fraktur tertutup
sehingga dapat menimbulkan delayed union sampai non union (infected non union). Imobilisasi anggota
gerak yang mengalami osteomielitis mengakibatkan terjadinya atropi tulang berupa osteoporosis dan
atropi otot.

5. Kekakuan sendi

Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan imobilisasi lama, sehingga terjadi
perlengketan peri artikuler, perlengketan intraartikuler, perlengketan antara otot dan tendon.
Pencegahannya berupa memperpendek waktu imobilisasi dan melakukan latihan aktif dan pasif pada
sendi. Pembebasan periengketan secara pembedahan hanya dilakukan pada penderita dengan kekakuan
sendi menetap (Apley & Solomon,1993).

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Menurut Doenges ( 2000) ada beberapa pemeriksaan penunjang pada pasien open fraktur antara lain:

1. Pemeriksaan roentgen : untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur

2. Scan tulang, tomogram, CT- scan/ MRI : memperlihatkan fraktur dan mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak

3. Pemeriksaan darah lengkap : Ht mungkkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan


bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan sel darah putih adalah
respon stress normal setelah trauma.

4. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.

5. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse multiple, atau cedera
hati.

2.7 PENATALAKSANAAN

Menurut Mansjoer (2000) dan Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu
menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.

1. Rekognisi (Pengenalan )

Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk
yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka.

2. Reduksi (manipulasi/ reposisi)

Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi

fragmen fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya untuk
memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat
dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera
mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai
mengalami penyembuhan (Mansjoer, 2002).

3. Retensi (Immobilisasi)

Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga


kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi,
atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai,
traksi kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi
intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat
yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga
pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin
tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau
kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur,
humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000).

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.8 Pengkajian

Menurut Efendy (1995) dalam Wijaya (2013), konsep asuhan keperawatan merupakan penerapan
pemecahan masalah keperawatan secara ilmiah yang digunakan untuk mengidentifikasikan masalah-
masalah, merencanakan secara sistematis dan melaksanakannya secara mengevaluasi hasil tindakan
keperawatan yang telah dilaksanakan.

Pengkajian adalah proses pengumpulan data secara sistematis yang bertujuan untuk menentukan status
kesehatan dan fungsional pada saat ini dan sebelumnya, serta untuk menentukan pola respon klien
ssaat ini dan waktu sebelumnya (Carpenito, 2005).

Menurut Wijaya dan Putri (2013), pengkajian fraktur antara lain :

1. Identitas Pasien

Meliputi : nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, tanggal
masuk Rumah Sakit, diagnosa medis, no. Regristasi.

2. Keluhan Utama

Pada umumnya keluhan utama pada kasus open fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa
akut/kronik tergantung dari lamanya serangan. Unit memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa
nyeri pasien digunakan:
a. Provoking inciden : apakah ada peristiwa yang menjadi faktor prepatasi nyeri.

b. Quality of pain : seperti apa rasa nyeri yang dirasakan pasien. Apakah seperti terbakar,
berdenyut/menusuk.

c. Region radiation, relief : apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar
dan dimana rasa sakit terjadi.

d. Saverity (scale of pain) : seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan pasien, bisa berdasarkan skala
nyeri/pasien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.

e. Time : berapa lama nyeri berlangsung kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari/siang
hari.

3. Riwayat penyakit sekarang

Pada pasien open fraktur/patah tulang dapat disebabkan oleh trauma/kecelakaan, degeneratif dan
patologis yang didahului dengan perdarahan, kerusakan jaringan sekitar yang mengakibatkian nyeri,
bengkak, kebiruan, pucat/perubahan warna kulit dan kesemutan.

4. Riwayat penyakit dahulu

Apakah pasien pernah mengalami penyakit ini atau pernah punya penyakit yang menular/menurun
sebelumnya.

5. Riwayat penyakit keluarga

Pada keluarga pasien ada/tidak yang menderita osteoporosis, arthritis dan tuberkolosis/ penyakit lain
yang sifatnya menurun dan menular.

6. Pola fungsi kesehatan

a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat

Pada fraktur akan mengalami perubahan/gangguan pada personal/higiene, misalnya kebiasaan mandi,
ganti pakaian, BAB dan BAK.

b. Pola nutrisi dan metabolisme

Pada fraktur tidak akan mengalami penurunan nafsu makan, meskipun menu berubah misalnya makan
dirumah gizi tetap sama sedangkandi Rumah Sakit disesuaikan dengan penyakit dan diet pasien.

c. Pola eliminasi

Kebiasaan miksi/defekasi sehari-hari, kesulitan waktu defekasi dikarenakan imobilisasi, fese warna
kuning dan konsistensi defekasi, pada miksi pasien tidak mengalami gangguan.

d. Pola istirahat dan tidur

Kebiasaan pola tidur dan istirahat mengalami gangguan yang disebabkan oleh nyeri, misalnya nyeri
akibat fraktur.
e. Pola aktivitas dan latihan

Keterbiasaan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena mungkin akibat langsung dari fraktur atau
akibat sekunder pembengkakan jaringan dan nyeri. Sehingga aktivitas dan latihan mengalami
perubahan/gangguan akibat open fraktur sehingga kebutuhan pasien perlu dibantu oleh
perawat/keluarga.

f. Pola persepsi dan konsep diri

Pada fraktur akan mengalami gangguan diri karena terjadi perubahan pada dirinya, pasien takut dan
cemas cacat seumur hidup/tidak dapat bekerja lagi.

g. Pola sensoris kognitif

Nyeri yang disebabkan oleh kerusakan jaringan, sedangkan pada pola kognitif atau cara berfikir pasien
tidak mengalami gangguan.

h. Pola hubungan peran

Terjadinya perubahan peran yang dapat mengganggu hubungan interpersonal yaitu pasien merasa tidak
berguna lagi dan menarik diri.

i. Pola penganggulan stress

Perlu ditanyakan apakah membuat pasien menjadi stress dan biasanya masalah dipendam
sendiri/dirundingkan dengan keluarga.

j. Pola reproduksi seksual

Bila pasien sudah berkeluarga dan mempunyai anak, maka akan mengalami pola seksual dan reproduksi,
jika pasien belum berkeluarga pasien tidak akan mengalami gangguan.

k. Pola tata nilai dan kepercayaan

Adanya kecemasan dan stress sebagai pertahankan dan pasien meminta perlindungan/mendekatkan diri
dengan Tuhan YME.

2.9 Diagnosa Keperawatan

Menurut Wijaya dan Putri (2013), diagnosa keperawatan pada pasien open fraktur antara lain:

1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan.

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas dan nyeri saat mobilisasi.

3. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit.

2.10 Intervensi Keperawatan


Menurut Wijaya dan Putri (2013), intervensi keperawatan :

1. Diagnosa keperawatan 1 : Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan.

Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam diharapkan nyeri berkurangan atau
dapat teratasi.

Kriteria Hasil :

1) Nyeri berkurang skala nyeri 1-3

2) Klien tampak rileks

3) TTV dalam batas normal :

a) Tekanan Darah : 110-120/80-90 mmHg

b) Nadi : 60-100x/menit

c) Respiratory Rate : 18-24x/menit

d) Suhu : 36,5-37,5 C

Rencana Tindakan :

1) Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga tentang penyebab nyeri.

Rasional : Dengan memberikan penjelasan diharapkan pasien tidak merasa cemas dan dapat melakukan
sesuatu yang dapat mengurangi nyeri.

2) Ajarkan pada pasien tentang teknik mengurangi rasa nyeri.

Rasional : Diperbolehkan pengetahuan tentang nyeri akan memudahkan kerjasama dengan asuhan
keperawatan untuk memcahkan masalah.

3) Beri posisi senyaman mungkin.

Rasional : Memperlancar sirkulasi pada daerah luka/nyeri.

4) Observasi TTV

Rasional : Observasi TTV dapat diketahui keadaan umum pasien.

5) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik.

Rasional : Obat analgesik diharapkan dapat mengurangi nyeri.

2. Diagnosa keperawatan 2 : Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas dan nyeri saat
mobilisasi.

Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1x24 jam diharapkan pasien dapat melakukan
aktivitas sebatas kemampuan.

Kriteria Hasil :
1) Pasien mengerti pentingnya melakukan aktivitas.

2) Pasien bisa duduk, makan dan minum tanpa dibantu.

3) Pasien dapat mempertahankan fungsi secara maksimal.

Rencana Tindakan :

1) Lakukan pendekatan kepada pasien untuk melakukan aktivitas sebatas kemampuan.

Rasional : Dengan pendekatan yang baik diharapkan pasien akan lebih kooperatif dalam melakukan
aktivitas.

2) Observasi sejauh mana pasien belum melakukan aktivitas.

Rasional : Dengan observasi diharapkan pasien sudah bisa melakukan aktivitas.

3) Beri motivasi pada pasien untuk melakukan aktivitas.

Rasional : Dengan adanya motovasi diharapkan pasien lebih bersemangat dalam meltih aktivitas.

3. Diagnosa keperawatan 3 : Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang


penyakit.

Kriteria Hasil :

1) Pasien tampak tenang (rileks).

2) Pasien istirahat dengan nyaman.

3) Pasien dapat mempertahankan fungsi tubuh secara maksimal.

Rencana Tindakan :

1) Jelaskan kepada pasien mengenai prosedur tindakan pengobatan,

Rasional : Pasien kooperatif mengenai prosedur tindakan pengobatan.

2) Kaji tingkat kecemasan pasien.

Rasional : Dengan diberikan informasi bisa menurunkan cemas.

3) Observasi TTV

Rasional : Observasi TTV dapat diketahui keadaan umum pasien.


KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN SECARA PENYAKIT OPEN FRAKTUR

1. Pengkajian

Menurut Wakid, (2013)pengkajian meliputii :

a. Aktivitas/tidur : Ketidakmampuan mempertahankan kebiasaan rutin, gangguan gerak (mobilitas)


pasif, gangguan pergerakan ekstremitas bawah.

b. Integritas ego : Ansietas, takut akan kematian, menolak kondisi yang berat, gelisah, insomnia,
pertanyaan yang selalu di ulang-ulang.

c. Eliminasi : Frekuensi/jumlah urine, frekuensi/jumlah feses.

d. Ketidaknyamanan/nyeri : Nyeri pada ekstremitas bawah, nyeri tulang/sendi.(ROHMAT ADI


SAPUTRA, 2015)

2. Diagnosa Keperawatan

Menurut Doengoes (2000) :

1. Resiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, trauma jaringan lunak,
prosedur invasif/traksi tulang).

3. Intervensi

Resiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, trauma jaringan lunak,
prosedur invasif/traksi tulang).

INTERVENSI KEPERAWATAN

RASIONAL

1. Lakukan perawatan pen steril dan perawatan luka sesuai protokol

2. Ajarkan klien untuk mempertahakan sterilitas insersi pen.


3. Kolaborasi pemberian antibiotika dan toksoid tetanus sesuai indikasi.

4. Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap, LED, Kultur dan sensitivitas
luka/serum/tulang)

5. Observasi tanda-tanda vital dan tanda-tanda peradangan lokal pada luka.

Mencegah infeksi sekunder dan mempercepat penyembuhan luka.

Meminimalkan kontaminasi

Antibiotik spektrum luas atau spesifik dapat digunakan secara profilaksi, mencegah atau mengatasi
infeksi, Toksoid tetanus untuk mencegah infeksi tetanus.

Leukositosis biasanya terjadi pada proses infeksi, anemia dan peningkatan LED dapat terjadi pada
osteomielitis, Kultur untuk mengidentifikasi organisme penyebab infeksi.

Mengevaluasi perkembangan masalah klien.

Anda mungkin juga menyukai