Anda di halaman 1dari 70

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR

FEMUR DAN PELVIS 

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, Karena berkat


Taufik dan Hidayah – Nya, penulis dapat menyusun Makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih terdapat kekurangan, namun
demikian penulis berharap makalah ini dapat menjadi bahan rujukan dan
semoga dapat menambah pengetahuan mahasiswa–mahasiswi Akademi
Keperawatan Lamongan dengan judul “Asuhan Keperawatan Fraktur”
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penulisan makalah ini terutama kepada Bapak
M.Nukhun, SPd.,S.Kep.Ns selaku Dosen mata kuliah Kegawatdaruratan.
Dengan segala hormat penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari semua pihak untuk penyempurnaan makalah ini.

Lamongan, 19 Maret 2012

            Penyusun
Edy Yuli Riyawan, S.Kep.
   

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara berkembang yang berada dalam
taraf halusinasi menuju industrialisasi tentunya akan mempengaruhi
peningkatan mobilisasi masyarakat /mobilitas masyarakat yang meningkat
otomatisasi terjadi peningkatan penggunaan alat-alat transportasi /kendaraan
bermotor khususnya bagi masyarakat yang tinggal diperkotaan. Sehingga
menambah “kesemrawutan” arus lalu lintas. Arus lalu lintas yang tidak
teratur dapat meningkatkan kecenderungan terjadinya kecelakaan kendaraan
bermotor. Kecelakaan tersebut sering kali menyebabkan cidera tulang atau
disebut fraktur.
Menurut Smeltzer (2001 : 2357) fraktur adalah terputusnya kontinuitas
tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
Berdasarkan data dari rekam medik RS Soegiri di ruang Orthopedi
periode Juli 2011 s/d Desember 2012 berjumlah 323 yang mengalami
gangguan muskuloskletel, termasuk yang mengalami fraktur panggul atau
pelvis presentase sebesar 5% dan fraktur femur sebesar  20%.
Penanganan segera pada klien yang dicurigai terjadinya fraktur adalah
dengan mengimobilisasi bagian fraktur adalah salah satu metode mobilisasi
fraktur adalah fiksasi Interna melalui operasi Orif (Smeltzer, 2001 : 2361).
Penanganan tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Komplikasi umumnya oleh akibat tiga fraktur utama yaitu penekanan lokal,
traksi yang berlebihan dan infeksi (Rasjad, 1998 : 363).
B.  Rumusan Masalah
1)      Apakah penyebab Fraktur khususnya fraktur pelvis dan femur serta
manifestasi klinis dari fraktur?
2)      Bagaimana penatalaksanaan fraktur khususnya fraktur pelvis dan
femur  serta  Asuhan Keperawatan kegawatdaruratan yang diberikan pada
pasien dengan masalah fraktur?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah dilakukan penyusunan makalah tentang fraktur femur dan
pelvis diharapkan agar mahasiswa lebih mengerti tentang fraktur femur dan
pelvis.
2. Tujuan Khusus
1)      Mengetahui penyebab fraktur femur dan pelvis dan Manifestasi Klinis dari
fraktur.
2)      Mengetahui penatalaksanaan fraktur femur dan pelvis.
3)      mengetahui diagnosis fraktur  femur dan pelvis.
4)      Mengetahui intervensi dan implementasi yang diberikan pada klien dengan
fraktur  femur dan pelvis
5)      Mengetahui WOC dari fraktur  femur dan pelvis.
D. Manfaat
1)      Bagi mahasiswa
Dengan adanya makalah ini mahasiswa  dapat mempelajari tentang askep
kegawatdaruratan pada klien dengan fraktur femur dan pelvis sehingga
memudahkan mahasiswa dalam belajar.
2)      Bagi Dosen
Memudahkan dosen dalam memberikan materi perkuliahan karena
mahasiswa telah mendapatkan pengetahuan dasar dari pembuatan
makalah  askep kegawatdaruratan pada klien dengan fraktur femur dan
pelvis.
 

BAB II

TIJAUAN PUSTAKA

A.    Konsep Medis
1.    Anatomi dan Fisiologi
a.    Anatomi Tulang
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada intra-seluler. Tulang
berasal dari embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses
“Osteogenesis” menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut
“Osteoblast”. Proses mengerasnya tulang akibat penimbunan garam kalsium.
(Simon & schuster, 2003).
Ada 206 tulang dalam tubuh manusia,
Tulang   dapat   diklasifikasikan   dalam   lima   kelompok   berdasarkan   ben
tuknya :
1).      Tulang panjang (Femur, Humerus)  terdiri dari batang tebal panjang yang
disebut diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis. Di sebelah proksimal
dari epifisis terdapat metafisis. Di antara epifisis dan metafisis terdapat
daerah tulang rawan yang tumbuh, yang disebut lempeng epifisis atau
lempeng pertumbuhan. Tulang panjang tumbuh karena akumulasi tulang
rawan di lempeng epifisis. Tulang rawan digantikan oleh sel-sel tulang yang
dihasilkan oleh osteoblas, dan tulang memanjang. Batang dibentuk oleh
jaringan tulang yang padat. Epifisis dibentuk dari spongi bone (cancellous
atau trabecular). Pada akhir tahun-tahun remaja tulang rawan habis, lempeng
epifisis berfusi, dan tulang berhenti tumbuh. Hormon pertumbuhan, estrogen,
dan testosteron merangsang pertumbuhan tulang panjang. Estrogen, bersama
dengan testosteron, merangsang fusi lempeng epifisis. Batang suatu tulang
panjang memiliki rongga yang disebut kanalis medularis. Kanalis
medularis berisi sumsum tulang.
2).    Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak teratur dan inti dari cancellous
(spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat.
3).    Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang padat dengan
lapisan luar adalah tulang concellous.
4).    Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan tulang
pendek.
5).    Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar tulang
yang berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh tendon dan jaringan
fasial, misalnya patella (kap lutut).
Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-
selnya terdiri atas tiga jenis dasar-osteoblas,
osteosit dan osteoklas. Osteoblas berfungsi dalam pembentukan
tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Matriks tersusun atas 98%
kolagen dan 2% subtansi dasar (glukosaminoglikan, asam polisakarida) dan
proteoglikan). Matriks merupakan kerangka dimana garam-garam mineral
anorganik ditimbun. Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat
dalam pemeliharaan fungsi tulang dan terletak dalam osteon ( unit matriks
tulang ). Osteoklas adalah sel multinuclear ( berinti banyak) yang berperan
dalam penghancuran, resorpsi dan remosdeling tulang.
Osteon merupakan unik fungsional mikroskopis tulang dewasa.
Ditengah osteon terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut merupakan
matriks tulang yang dinamakan lamella. Didalam lamella terdapat osteosit,
yang memperoleh nutrisi melalui prosesus yang berlanjut
kedalam kanalikuli yang halus (kanal yang menghubungkan dengan
pembuluh darah yang terletak sejauh kurang dari 0,1 mm).
Tulang diselimuti dibagian oleh membran fibrous padat
dinamakan periosteum. Periosteum memberi nutrisi ke tulang dan
memungkinkannya tumbuh, selain sebagai tempat perlekatan tendon dan
ligamen. Periosteum mengandung saraf, pembuluh darah, dan limfatik.
Lapisan yang paling dekat dengan tulang mengandung osteoblast, yang
merupakan sel pembentuk tulang.
Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi rongga
sumsum tulang panjang dan rongga-rongga dalam tulang
kanselus. Osteoklast , yang melarutkan tulang untuk memelihara rongga
sumsum, terletak dekat endosteum dan dalam lacuna  Howship (cekungan
pada permukaan tulang).
                                     Gambar 1 Anatomi tulang panjang

Struktur tulang dewasa terdiri dari 30 % bahan organik (hidup) dan 70


% endapan garam. Bahan organik disebut matriks, dan terdiri dari lebih dari
90 % serat kolagen dan kurang dari 10 % proteoglikan (protein plus
sakarida). Deposit garam terutama adalah kalsium dan fosfat, dengan sedikit
natrium, kalium karbonat, dan ion magnesium. Garam-garam menutupi
matriks dan berikatan dengan serat kolagen melalui proteoglikan. Adanya
bahan organik menyebabkan tulang memiliki kekuatan tensif (resistensi
terhadap tarikan yang meregangkan). Sedangkan garam-garam menyebabkan
tulang memiliki kekuatan kompresi (kemampuan menahan tekanan).
Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan dapat
berupa pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang
berubah selama hidup. Pembentukan tulang ditentukan oleh rangsangn
hormon, faktor makanan, dan jumlah stres yang dibebankan pada suatu
tulang, dan terjadi akibat aktivitas sel-sel pembentuk tulang yaitu osteoblas.
Osteoblas dijumpai dipermukaan luar dan dalam tulang. Osteoblas
berespon terhadap berbagai sinyal kimiawi untuk menghasilkan matriks
tulang. Sewaktu pertama kali dibentuk, matriks tulang disebut osteoid. Dalam
beberapa hari garam-garam kalsium mulai mengendap pada osteoid dan
mengeras selama beberapa minggu atau bulan berikutnya. Sebagian
osteoblast tetap menjadi bagian dari osteoid, dan disebut osteosit atau sel
tulang sejati. Seiring dengan terbentuknya tulang, osteosit dimatriks
membentuk tonjolan-tonjolan yang menghubungkan osteosit satu dengan
osteosit lainnya membentuk suatu sistem saluran mikroskopik di tulang.
Kalsium adalah salah satu komponen yang berperan terhadap tulang,
sebagian ion kalsium di tulang tidak mengalarni kristalisasi. Garam
nonkristal ini dianggap sebagai kalsium yang dapat dipertukarkan, yaitu
dapat dipindahkan dengan cepat antara tulang, cairan interstisium, dan darah.
Sedangkan penguraian tulang disebut absorpsi, terjadi secara
bersamaan dengan pembentukan tulang. Penyerapan tulang terjadi karena
aktivitas sel-sel yang disebut osteoklas. Osteoklas adalah sel fagositik
multinukleus besar yang berasal dari sel-sel mirip-monosit yang terdapat di
tulang. Osteoklas tampaknya mengeluarkan berbagai asam dan enzim yang
mencerna tulang dan memudahkan fagositosis. Osteoklas biasanya terdapat
pada hanya sebagian kecil dari potongan tulang, dan memfagosit tulang
sedikit demi sedikit. Setelah selesai di suatu daerah, osteoklas menghilang
dan muncul osteoblas. 0steoblas mulai mengisi daerah yang kosong tersebut
dengan tulang baru. Proses ini memungkinkan tulang tua yang telah melemah
diganti dengan tulang baru yang lebih kuat.
Keseimbangan antara aktivitas osteoblas dan osteoklas menyebabkan
tulang terus menerus diperbarui atau mengalami remodeling. Pada anak dan
remaja, aktivitas osteoblas melebihi aktivitas osteoklas, sehingga kerangka
menjadi lebih panjang dan menebal. Aktivitas osteoblas juga melebihi
aktivitas osteoklas pada tulang yang pulih dari fraktur. Pada orang dewasa
muda, aktivitas osteoblas dan osteoklas biasanya setara, sehingga jumlah total
massa tulang konstan. Pada usia pertengahan, aktivitas osteoklas melebihi
aktivitas osteoblas dan kepadatan tulang mulai berkurang. Aktivitas osteoklas
juga meningkat pada tulang-tulang yang mengalami imobilisasi. Pada usia
dekade ketujuh atau kedelapan, dominansi aktivitas osteoklas dapat
menyebabkan tulang menjadi rapuh sehingga mudah patah. Aktivitas
osteoblas dan osteoklas dikontrol oleh beberapa faktor fisik dan hormon.
Faktor-faktor yang mengontrol Aktivitas osteoblas dirangsang oleh
olah raga dan stres beban akibat arus listrik yang terbentuk sewaktu stres
mengenai tulang. Fraktur tulang secara drastis merangsang aktivitas
osteoblas, tetapi mekanisme pastinya belum jelas. Estrogen, testosteron, dan
hormon perturnbuhan adalah promotor kuat bagi aktivitas osteoblas dan
pertumbuhan tulang. Pertumbuhan tulang dipercepat semasa pubertas akibat
melonjaknya kadar hormon-hormon tersebut. Estrogen dan
testosteron akhirnya menyebabkan tulang-tulang panjang berhenti tumbuh
dengan merangsang penutupan lempeng epifisis (ujung pertumbuhan tulang).
Sewaktu kadar estrogen turun pada masa menopaus, aktivitas osteoblas
berkurang. Defisiensi hormon pertumbuhan juga mengganggu pertumbuhan
tulang.
Vitamin D dalam jumlah kecil merangsang kalsifikasi tulang secara
langsung dengan bekerja pada osteoblas dan secara tidak langsung dengan
merangsang penyerapan kalsium di usus. Hal ini meningkatkan konsentrasi
kalsium darah, yang mendorong kalsifikasi tulang. Namun, vitamin D dalam
jumlah besar meningkatkan kadar kalsium serum dengan meningkatkan
penguraian tulang. Dengan demikian, vitamin D dalam jumlah besar tanpa
diimbangi kalsium yang adekuat dalam makanan akan menyebabkan absorpsi
tulang.
Adapun faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoklas terutama
dikontrol oleh hormon paratiroid. Hormon paratiroid dilepaskan oleh kelenjar
paratiroid yang terletak tepat di belakang kelenjar tiroid. Pelepasan hormon
paratiroid meningkat sebagai respons terhadap penurunan kadar kalsium
serum. Hormon paratiroid meningkatkan aktivitas osteoklas dan
merangsang pemecahan tulang untuk membebaskan kalsium ke dalam darah.
Peningkatan kalsium serum bekerja secara umpan balik negatif untuk
menurunkan pengeluaran hormon paratiroid lebih lanjut. Estrogen tampaknya
mengurangi efek hormon paratiroid pada osteoklas.
Efek lain Hormon paratiroid adalah meningkatkan kalsium serum
dengan menurunkan sekresi kalsium oleh ginjal. Hormon
paratiroid meningkatkan ekskresi ion fosfat oleh ginjal sehingga menurunkan
kadar fosfat darah. Pengaktifan vitamin D di ginjal bergantung pada hormon
paratiroid. Sedangkan kalsitonin adalah suatu hormon yang dikeluarkan oleh
kelenjar tiroid sebagai respons terhadap peningkatan kadar kalsium
serum. Kalsitonin memiliki sedikit efek menghambat aktivitas dan
pernbentukan osteoklas. Efek-efek ini meningkatkan kalsifikasi tulang
sehingga menurunkan kadar kalsium serum.
 Tulang panggul (pelvis) terdiri dari dua tulang coxae, sacrum dan
coccygeus. Berartikulasi di anterior yaitu pada simphisis pubis, di posterior
pada artikulasio sacroiliaca. Struktur mirip cekungan ini memindahkan berat
dari badan ke tungkai bawah dan memberikan perlindungan pada viscera,
pembuluh darah , dan saraf di pelvis (Apley, 2000).
                Stabilitas cincin pelvis tergantung pada kekakuan tulang-
tulang dan integritas ligament yang kuat yang mengikat tiga segmen tulang
bersama-sama pada simphisis pubis dan artikulasio sacroiliaca. Ligamen
pengikat yang paling kuat dan yang paling penting dalah ligament sacroiliaca
dan ligament iliolumbal. Selama ligament-ligamen itu utuh, penahan beban
tidak akan terganggu. Ini adalah factor yang penting untuk membedakan
cidera yang stabil dan yang tidak stabil pada cincin pelvis (Apley,2000).
               Tulang coxae (panggul) terdiri dari tiga tulang, yaitu tulang pubis,
ilium, dan ischium yang berhubungan secara sinostosis pada fossa acetabuli,
yang dibatasi oleh limbus acetabuli dan dikelilingi oleh facies lunata. Incisura
acetabuli membuka acetabulum ke inferior dan berbatasan dengan foramen
obturatorium (Platzer,2000)
             Tulang coxae atau disebut juga dengan innominate bone bentuknya
datar dan lebar, merupakan os ireguler yang membentuk bagian terbesar
pelvis. Tulang ini tersusun atas tiga buah tulang yaitu tulang ilium, tulang
ischium dan tulang pelvis yang corpusnya bersatu di acetabulum, yang
terletak di facies eksterna tulang ini. Tulang ilium, disebut demikian karena
menyangga pinggul, lebar di bagian superior dan membentang ke cranial dari
acetabulum. Tulang ischium letaknya paling bawah dan merupakan bagiab
paling kuat, berjalan ke bawah dari acetabulum dan memanjang ke tuber
ischiadicum, kemudian melengkung ke ventral, bersama-sama tulang pubis
membentuk lubang besar yaitu foramen obturatorium. Tulang pubis
memanjang ke medial dari acetabulum dan bersendi di linea mediana dengan
tulang pubis sisi yang berseberangan dengan membentuk simfisis osseum
pubis, membentuk bagian depan pelvis (Hadiwidjaja, 2004)
            Tulang pubis terdiri dari ramus superior ossis pubis dan ramus
inferior ossis pubis. Kedua rami tersebut dibatasi oleh foramen obturatorium.
Dekat ujung superior medialis facies symphysialis terdapat tuberculum
pubicum dari sana terdapat crista pubica terbentang ke medialis dan pectin
pubis mengarah ke lateralis terhadap linea arcuata. Pada tempat peralihan dari
ramus superior pubis ke ilium terdapat peninggian disebut eminentia
iliopubica. Sulcus obturatorius terletak inferior terhadap tuberculum pubicum
dan dibatasi sebelah dalam oleh tuberculum obturatorium anterius dan
tuberculum obturatorium posterius yang tidak selalu ada.
               Tulang ilium dibagi menjadi bagian corpus ossis ilii dan ala ossis
ilii. Corpus membentuk bagian acetabulum dan dibatasi sebelah luar oleh
sulcus supra acetabularis dan di sebelah dalam oleh linea arcuata. Di bagian
luar ala ossis ilii terdapat facies glutealis dan sebelah dalamnya terdapat fossa
iliaca mudah dilihat. Di belakang fossa iliaca terdapat facies sacropelvica
dengan tuberositas iliaca dan facies aurikularis. Crista iliaca mulai dari
anterior pada spina iliaca anterior superior dan dibagi atas crista iliaca labium
labium eksternum dan crista iliaca labium internum, serta linea intermedia
yang memanjang ke atas dank e belakang. Terdapat juga di bagian lateralis
lbium eksternum berupa tuberositas iliaca. Ujung crista iliaca berakhir pada
spina iliaca superior posterior. Di bawah yang terakhir ini terdapat spina
iliaca posterior inferior, sedangkan yang di bawah depan terdapat spina iliaca
anterior inferior. Linea glutealis inferior, linea glutealis anterior, linea
glutealis posteriorterletak pada facies glutealis. Selain itu terdapat juga
beberapa saluran vaskuler diantaranya yang sesuai dengan fungsinya yaitu
vasaemissaria
              Tulang ischium dibagi atas corpus ossis ischii dan ramus ossis ischii,
yang bersama-samadengan ramus inferior ossis pubis membentuk batas
bawah foramen obturatorium. Tonjolan ischium disebut spina ischiadica yang
memisahkan incisura ischiadica mayor dengan incisura ischiadica minor.
Incisura ischiadica mayor dibentuk sebagian oleh ischium dan sebagian lagi
oleh ilium, serta mengarah ke permukaan bawah facies aurikularis. Tuber
ischiadicum berkembang pada ramus ischium (Platzer, 2000)
              Cabang utama dari arteri iliaca komunis muncul di dalam pelvis
diantara sendi sacroiliaca dan incisura ischiadica mayor. Bersama cabang-
cabang venanya, pembuluh-pembuluh itu mudah terkena cidera bila fraktur
mengenai bagian posterior cincin pelvis. Saraf pada pleksus lumbalis dan
sacralis juga juga menghadapi resiko bila tejadi cidera pelvis posterior
               Kandung kemih terletak di belakang simphisis pubis. Trigonum
dipertahankan pada posisinya dengan ligament lateralis kandung kemih, dan
pada pria dengan prostat. Prostat terlerak diantara kandung kemih dan dasar
pelvis. Prostat dipertahankan di bagian lateral dengan serabut medial dari
levator ani, sedangkan di bagian anterior terikat erat pada tulang pubis oleh
ligament puboprostat. Pada wanita trigonum juga melekat pada serviks dan
forniks vagina anterior. Urethra dipertahankan oleh otot dasar pelvis serta
ligament pubourethra. Akibatnya pada wanita urethra jauh lebih mobil dan
cenderung lebih sulit terkena cidera
            Pada waktu lahir hingga usia anak, buli-buli terletak di rongga
abdomen. Namun semakin bertambahnya usia tempatnya turun dan
berlindung di dalam kavum pelvis, sehingga kemungkinan mendapatkan
trauma dari luar jarang terjadi. Angka kejadian trauma buli kurang lebih 2%
dari seluruh trauma urogenitalia. Hampir sekitar 90% trauma buli akibat
fraktur pelvis. Apabila terjadi kontusio kandung kemih bias dipasang kateter
dengan tujuan untuk memberikan istirahat pada kandung kemih, dengan cara
ini diharapkan dapat sembuh 7-10 hari. (Purnomo,2007)
             Pada cidera pelvis yang berat urethra membranosa dapat rusak bila
prostat dipaksa ke belakang sementara urethra tetap diam. Bila ligament
puboprostat robek, prostat dan dasar kandung kemih dapat banyak
mengalami dislokasi dari urethramembranosa
            Kolon pelvis dengan mesenteriumnya merupakan struktur yang mobil
sehingga tidak mudah cidera. Tetapi, rectum dan saluran anus lebih erat
tertambat pada struktur urogenital dan otot dasar pelvis sehingga mudah
terkena bila terjadi fraktur pelvis (Apley, 2000)
     Pada perkembangannya selama masa kehamilan, terdapat tiga bakal
tulang, yaitu pada bulan ketiga dalam kandungan (ilium), pada bulan keempat
sampai kelima (ischium) dan pada bulan kelima sampai keenam (pubis).
Ketiga bakal tulang tersebut bersatu pada pusat acetabulum yaitu penyatuan
berbentuk “Y”. Di dalam acetabulum satu atau lebih masing-masing pusat
osifikasi berkembang antara usia 10 sampai 12 tahun. Sinostosis ketiga tulang
terjadi antara usia 5 dan 7 tahun tetapi di dalam acetabulum sendiri tidak
sampai antara usia 15 dan 17 tahun. Pusat-pusat osifikasi epifisis terjadi pada
spina pada usia 16 tahun,
b.   Fisiologi Tulang
Fungsi tulang adalah sebagai berikut :
1).      Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh.
2).      Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru-paru) dan
jaringan lunak.
3).      Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi dan
pergerakan).
4).      Membentuk sel-sel darah merah didalam sum-sum tulang belakang (hema
topoiesis).
5).      Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium, fosfor.

2.    Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh

rudapaksa (syamsuhidayat, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care

Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang

disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.

Patah Tulang Tertutup adalah patah tulang dimana tidak dan


luasnya. terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
(Soedarman, 2000). Pendapat lain  fraktur adalah patah tulang dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya.( Brunner & Suddarth 2001).

3.    Etiologi
1)        Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan
garis patah melintang atau miring.
2)        Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari
ketiganya, dan penarikan.

4.    Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya
pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar
dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi
fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow,
dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang.
Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel
darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan
tulang nantinya 
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1)        Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap
besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2)        Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan
untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas,
kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.

5.    Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang
praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a.        Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
1). Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi (Soedarman, 2000 )
2). Fraktur Terbuka (Open/Compound),  bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan
kulit.
b.        Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2). Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang
seperti:
a)    Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
b)   Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c)    Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya
yang terjadi pada tulang panjang.
c.        Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme
trauma.
1). Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2). Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3). Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
4). Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5). Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang.
d.        Berdasarkan jumlah garis patah.
1)   Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
2)   Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
3)   Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama.
e.        Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga
disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a)    Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah  sumbu
dan overlapping).
b)   Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c)    Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
f.         Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
1)   1/3 proksimal
2)   1/3 medial
3)   1/3 distal
g.        Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
h.        Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1)   Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak
sekitarnya.
2)   Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
3)   Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
4)   Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan
ancaman sindroma kompartement.

6.    Manifestasi Klinik
a.         Deformitas
b.         Bengkak/edema
c.         Echimosis (Memar)
d.        Spasme otot
e.         Nyeri
f.          Kurang/hilang sensasi
g.         Krepitasi
h.         Pergerakan abnormal
i.           Rontgen abnormal

7.    Test Diagnostik
a.         Pemeriksaan Rontgen : menentukan lokasi/luasnya fraktur/luasnyatrauma,
skan tulang, temogram, scan CI: memperlihatkan fraktur juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
b.         Hitung darah lengkap : HB mungkin meningkat/menurun.
c.         Peningkatan jumlal sop adalah respons stress normal setelah trauma.
d.        Kreatinin : traumaa otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal.
e.         Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi
multiple, atau cederah hati.

8.    Penatalaksanaan Medik
a.         Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan disertai

perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman belum terlalu jauh meresap

dilakukan:

1)     Pembersihan luka
2)     Exici
3)     Hecting situasi
4)     Antibiotik
b.        Seluruh Fraktur
1)        Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.
2)        Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula
secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah
mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasfanatomis
(Brunner & Suddart, 2001).
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk
mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur,
namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter melakukan
reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilaugan
elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada
kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah
mulai mengalami penyembuhan.Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur,
pasien harus dipersiapkan untuk  menjalani prosedur; harus diperoleh izin
untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan.
Mungkin perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi
harus ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih
lanjut Reduksi tertutup.  Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan
dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Ekstremitas
dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara gips, biadi dan alat
lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi dan
menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus
dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran
yang benar.
       Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan
imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen
tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-x.
Ketika kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan
imobilisasi.
Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan
pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam
bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai penyembuhan
tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung
ke rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang
kuat bagi fragmen tulang.
3)        Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi,
fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan
dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi
pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator
eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan
sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
4)        Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi.  Segala upaya
diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan
imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis.
pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli
bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.
Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai
pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri,
termasuk analgetika). Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk
meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi
dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian
fungsi dan harga-diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula
diusahakan sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi
interna memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang
memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan
stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas
dan beban berat badan.

9.    Proses  Penyembuhan Tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh

untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung

patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium

penyembuhan tulang, yaitu:

1)        Stadium Satu-Pembentukan Hematoma


Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-
sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai
tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 –
48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali. 
2)        Stadium Dua-Proliferasi Seluler      
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro
kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang
telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk
ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan
terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru
yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung
selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.  
3)        Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan
osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk
tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan
osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang
yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago,
membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal.
Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat
sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah
fraktur menyatu.
4)        Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah
menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan
memungkinkan  osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur,
dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara
fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan
mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban
yang normal. 
5)        Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama
beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses
resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih
tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang
tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk
struktur yang mirip dengan normalnya.

10.          Komplikasi
1)        Komplikasi Awal
a.    Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan
posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b.   Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan
pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan
embebatan yang terlalu kuat.
c.    Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi
pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang
dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan
tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan
pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d.   Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e.    Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan  nekrosis tulang dan diawali dengan
adanya Volkman’s Ischemia.
f.     Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur.
2)        Komplikasi Dalam Waktu Lama
b.   Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan supai darah ke tulang.
c.    Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion
ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang
membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena
aliran darah yang kurang.
d.   Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya
tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan
dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.

B. Konsep Keperawatan
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau
metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5
tahap, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi.

1.    Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses


keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada
tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a.    Pengumpulan Data
1)    Anamnesa
a)    Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b)   Keluhan Utama
     Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1)  Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
(2)  Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3)  Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4)  Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan  skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5)  Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
c)    Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien.
Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain
itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d)   Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun
kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
e)    Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis
yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang
cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f)    Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya
dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam
masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
g)   Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada
dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan
hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu
metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.
(Ignatavicius, Donna D,1995).
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-
harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu
proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa
membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium
atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau
feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat Semua klien fraktur
timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu
pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada
lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta
penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 2002).
(4) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan
klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh
orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama
pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk
terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D,
1995).
(5) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena
klien harus menjalani rawat inap  (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(6) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(7) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada
kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri
akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(8) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa
nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
10)         Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
11)          Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik
terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan
keterbatasan gerak klien
2)        Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini
perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih
mendalam.
a)    Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1)     Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(a)      Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung
pada keadaan klien.
(b)      Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
(c)      Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
(2)     Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a)      Sistem Integumen
       Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema,
nyeri tekan.
(b)      Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan,
tidak ada nyeri kepala.
(c)      Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
(d)     Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(e)      Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi
perdarahan)
(f)       Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri
tekan.
(g)      Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(h)      Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak
pucat.
(i)        Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(j)        Paru
(1)     Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat
penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2)     Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3)     Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4)     Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti
stridor dan ronchi.
(k)      Jantung
(1)     Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2)     Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3)     Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l)        Abdomen
(1)     Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2)     Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(3)     Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4)     Auskultasi
Peristaltik usus normal  20 kali/menit.
(m)    Inguinal-Genetalia-Anus
                        Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
b)   Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler  5 P yaitu
Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem
muskuloskeletal adalah:
(1)     Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a)      Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi).
(b)      Cape au lait spot (birth mark).
(c)      Fistulae.
(d)     Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(e)      Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
(abnormal).
(f)       Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g)      Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2)     Feel (palpasi)
     Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai
dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan
yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.Yang
perlu dicatat adalah:
(a)      Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary
refill time  Normal 3 – 5 “
(b)      Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama
disekitar persendian.
(c)      Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,
tengah, atau distal).Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan
yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan
perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap
dasar atau  permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(3)     Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam
ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak
(mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
3)         Pemeriksaan Diagnostik
a)         Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi
keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu
AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi
tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari
karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas
dasar indikasi  kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai
dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
(1)     Bayangan jaringan lunak.
(2)     Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik
atau juga rotasi.
(3)     Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4)     Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
       Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya
seperti:
(1)     Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur
yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain
juga mengalaminya.
(2)     Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh
darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
(3)     Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda
paksa.
(4)     Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b)        Pemeriksaan Laboratorium
(1)     Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
(2)     Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
(3)     Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase  (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
c)         Pemeriksaan lain-lain
(1)     Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
(2)     Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
(3)     Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
(4)     Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma
yang berlebihan.
(5)     Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
(6)     MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)

3.      Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur adalah
sebagai berikut:
a.      Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan

traksi, stress/ansietas.

b.      Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema,

pembentukan trombus).

c.      Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran

alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti).

d.      Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif

(imobilisasi).

e.      Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup).

f.       Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak,

prosedur invasif/traksi tulang).


g.      Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan

atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya

informasi yang ada. (Doengoes, 2000)

  4. Intervensi Keperawatan


a.      Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan:    Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan menunjukkan
tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur, istirahat
dengan tepat, menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas
trapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1.  Pertahankan imobilasasi bagian Mengurangi nyeri dan mencegah


yang sakit dengan tirah baring, malformasi.
gips, bebat dan atau traksi

2.  Tinggikan posisi ekstremitas yang Meningkatkan aliran balik vena,


terkena. mengurangi edema/nyeri.
Mempertahankan kekuatan otot dan
3.  Lakukan dan awasi latihan gerak meningkatkan sirkulasi vaskuler.
pasif/aktif.
Meningkatkan sirkulasi umum,
menurunakan area tekanan lokal dan
4.  Lakukan tindakan untuk
kelelahan otot.
meningkatkan kenyamanan
(masase, perubahan posisi) Mengalihkan perhatian terhadap
nyeri, meningkatkan kontrol terhadap
5.  Ajarkan penggunaan teknik nyeri yang mungkin berlangsung
manajemen nyeri (latihan napas lama.
dalam, imajinasi visual, aktivitas Menurunkan edema dan mengurangi
dipersional) rasa nyeri.

6.  Lakukan kompres dingin selama


Menurunkan nyeri melalui
fase akut (24-48 jam pertama)
mekanisme penghambatan rangsang
sesuai keperluan.
nyeri baik secara sentral maupun
perifer.
7.  Kolaborasi pemberian analgetik Menilai perkembangan masalah
sesuai indikasi. klien.

Evaluasi keluhan nyeri (skala,


petunjuk verbal dan non verval,
perubahan tanda-tanda vital)

b.      Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah


(cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)
Tujuan   : Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik dengan kriteria akral
hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa bergerak secara aktif

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL


1.       Dorong klien untuk secara rutin Meningkatkan sirkulasi darah dan
melakukan latihan menggerakkan mencegah kekakuan sendi.
jari/sendi distal cedera.

2.       Hindarkan restriksi sirkulasi akibat Mencegah stasis vena dan sebagai


tekanan bebat/spalk yang terlalu petunjuk perlunya penyesuaian
ketat. keketatan bebat/spalk.

3.       Pertahankan letak tinggi Meningkatkan drainase vena dan


ekstremitas yang cedera kecuali ada menurunkan edema kecuali pada
kontraindikasi adanya sindroma adanya keadaan hambatan aliran
kompartemen. arteri yang menyebabkan penurunan
perfusi.
4.       Berikan obat antikoagulan Mungkin diberikan sebagai upaya
(warfarin) bila diperlukan. profilaktik untuk menurunkan
trombus vena.
5.       Pantau kualitas nadi perifer, aliran
kapiler, warna kulit dan kehangatan Mengevaluasi perkembangan
kulit distal cedera, bandingkan masalah klien dan perlunya intervensi
dengan sisi yang normal. sesuai keadaan klien.

c.   Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran
alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
Tujuan     :   Klien akan menunjukkan kebutuhan oksigenasi terpenuhi dengan kriteria
klien tidak sesak nafas, tidak cyanosis analisa gas darah dalam batas normal

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL


1.       Instruksikan/bantu latihan napas Meningkatkan ventilasi alveolar dan
dalam dan latihan batuk efektif. perfusi.

2.       Lakukan dan ajarkan perubahan Reposisi meningkatkan drainase


posisi yang aman sesuai keadaan sekret dan menurunkan kongesti
klien. paru.

3.       Kolaborasi pemberian obat


antikoagulan (warvarin, heparin) Mencegah terjadinya pembekuan
dan kortikosteroid sesuai indikasi. darah pada keadaan tromboemboli.
Kortikosteroid telah menunjukkan
4.     Analisa pemeriksaan gas darah, Hb, keberhasilan untuk
kalsium, LED, lemak dan trombosit mencegah/mengatasi emboli lemak.
Penurunan PaO2 dan peningkatan
PCO2 menunjukkan gangguan
pertukaran gas; anemia,
hipokalsemia, peningkatan LED dan
5.       Evaluasi frekuensi pernapasan dan kadar lipase, lemak darah dan
upaya bernapas, perhatikan adanya penurunan trombosit sering
stridor, penggunaan otot aksesori berhubungan dengan emboli lemak.
pernapasan, retraksi sela iga dan Adanya takipnea, dispnea dan
sianosis sentral. perubahan mental merupakan tanda
dini insufisiensi pernapasan, mungkin
menunjukkan terjadinya emboli paru
tahap awal.

d.          Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,


terapi restriktif (imobilisasi)
Tujuan   :   Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling
tinggi yang mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional meningkatkan
kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh menunjukkan
tekhnik yang memampukan melakukan aktivitas

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL


1.    Pertahankan pelaksanaan aktivitas Memfokuskan perhatian,
rekreasi terapeutik (radio, koran, meningkatakan rasa kontrol
kunjungan teman/keluarga) sesuai diri/harga diri, membantu
keadaan klien. menurunkan isolasi sosial.
2.    Bantu latihan rentang gerak pasif
Meningkatkan sirkulasi darah
aktif pada ekstremitas yang sakit
muskuloskeletal, mempertahankan
maupun yang sehat sesuai keadaan
tonus otot, mempertahakan gerak
klien.
sendi, mencegah kontraktur/atrofi
dan mencegah reabsorbsi kalsium
karena imobilisasi.
3.    Berikan papan penyangga kaki, Mempertahankan posis fungsional
gulungan trokanter/tangan sesuai ekstremitas.
indikasi.
4.    Bantu dan dorong perawatan diri Meningkatkan kemandirian klien
(kebersihan/eliminasi) sesuai dalam perawatan diri sesuai kondisi
keadaan klien. keterbatasan klien.
5.    Ubah posisi secara periodik sesuai Menurunkan insiden komplikasi
keadaan klien. kulit dan pernapasan (dekubitus,
atelektasis, penumonia)
6.    Dorong/pertahankan asupan cairan Mempertahankan hidrasi adekuat,
2000-3000 ml/hari. men-cegah komplikasi urinarius dan
konstipasi.
7.    Berikan diet TKTP. Kalori dan protein yang cukup
diperlukan untuk proses
8.    Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi penyembuhan dan mem-
sesuai indikasi. pertahankan fungsi fisiologis tubuh.
Kerjasama dengan fisioterapis perlu
9.    Evaluasi kemampuan mobilisasi untuk menyusun program aktivitas
klien dan program imobilisasi. fisik secara individual.
Menilai perkembangan masalah
klien.

e.       Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,


kawat, sekrup)
Tujuan   :   Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang, menunjukkan perilaku tekhnik
untuk mencegah kerusakan kulit/memudahkan penyembuhan sesuai indikasi,
mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL


1.     Pertahankan tempat tidur yang Menurunkan risiko kerusakan/abrasi
nyaman dan aman (kering, bersih, kulit yang lebih luas.
alat tenun kencang, bantalan bawah
siku, tumit). Meningkatkan sirkulasi perifer dan
2.      Masase kulit terutama daerah meningkatkan kelemasan kulit dan
penonjolan tulang dan area distal otot terhadap tekanan yang relatif
bebat/gips. konstan pada imobilisasi.
Mencegah gangguan integritas kulit
3.     Lindungi kulit dan gips pada daerah dan jaringan akibat kontaminasi
perianal fekal.
4.      Observasi keadaan kulit, penekanan Menilai perkembangan masalah
gips/bebat terhadap kulit, insersi klien.
pen/traksi.
f.       Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan
kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang
Tujuan   :   Klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen
atau eritema dan demam       

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL


1.    Lakukan perawatan pen steril dan Mencegah infeksi sekunderdan
perawatan luka sesuai protokol mempercepat penyembuhan luka.
2.    Ajarkan klien untuk Meminimalkan kontaminasi.
mempertahankan sterilitas insersi
pen. Antibiotika spektrum luas atau
3.    Kolaborasi pemberian antibiotika spesifik dapat digunakan secara
dan toksoid tetanus sesuai indikasi. profilaksis, mencegah atau
mengatasi infeksi. Toksoid tetanus
untuk mencegah infeksi tetanus.

Leukositosis biasanya terjadi pada


4.    Analisa hasil pemeriksaan
proses infeksi, anemia dan
laboratorium (Hitung darah lengkap,
peningkatan LED dapat terjadi pada
LED, Kultur dan sensitivitas
osteomielitis. Kultur untuk
luka/serum/tulang)
mengidentifikasi organisme
5.      Observasi tanda-tanda vital penyebab infeksi.
dan  tanda-tanda peradangan lokal Mengevaluasi perkembangan
pada luka. masalah klien.

h.      Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan


pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap
informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi
yang ada.
Tujuan     :   klien akan menunjukkan pengetahuan meningkat dengan kriteria klien
mengerti dan memahami tentang penyakitnya

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL


1.      Kaji kesiapan klien mengikuti Efektivitas proses pemeblajaran
program pembelajaran. dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan
mental klien untuk mengikuti
2.      Diskusikan metode mobilitas dan program pembelajaran.
ambulasi sesuai program terapi fisik. Meningkatkan partisipasi dan
kemandirian klien dalam
3.      Ajarkan tanda/gejala klinis yang
perencanaan dan pelaksanaan
memerluka evaluasi medik (nyeri
program terapi fisik.
berat, demam, perubahan sensasi
Meningkatkan kewaspadaan klien
kulit distal cedera)
untuk mengenali tanda/gejala dini
4.      Persiapkan klien untuk mengikuti
yang memerulukan intervensi lebih
terapi pembedahan bila diperlukan.
lanjut.

Upaya pembedahan mungkin


diperlukan untuk mengatasi maslaha
sesuai kondisi klien.

A.    Evaluasi
o   Nyeri berkurang atau hilang
o   Tidak terjadi disfungsi neurovaskuler perifer
o   Pertukaran gas adekuat
o   Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
o   Infeksi tidak terjadi
o   Meningkatnya pemahaman klien terhadap penyakit yang dialami

BAB III
PEMBAHASAN

A.    Konsep Medis Fraktur Pelvis


1.       Pengertian
Fraktur panggul adalah fraktur salah satu bagian dari trauma multipel
yang dapat mengenai organ-organ lain dalam panggul.(Hoppenfeld &
Murthy, 2000).
Fraktur pelvis berhubungan dengan injuri arteri mayor, saluran kemih
bagian bawah, uterus, testis, anorektal dinding abdomen, dan tulang
belakang. Dapat menyebabkan hemoragi (pelvis dapat menahan sebanyak + 4
liter darah) dan umumnya timbul manifestasi klinis seperti hipotensi, nyeri
dengan penekanan pada pelvis, perdarahan peritoneum atau saluran kemih.
Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi merupakan cedera yang
membahayakan jiwa. Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis
relatif umum namun terutama lazim dengan fraktur berkekuatan-tinggi. Kira-
kira 15–30% pasien dengan cedera pelvis berkekuatan-tinggi tidak stabil
secara hemodinamik, yang mungkin secara langsung dihubungkan dengan
hilangnya darah dari cedera pelvis. Perdarahan merupakan penyebab utama
kematian pada pasien dengan fraktur pelvis, dengan keseluruhan angka
kematian antara 6-35% pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi rangkaian
besar.
2. Etiologi
1)      Trauma langsung: benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur pada
tempat tersebut.
2)      Trauma tidak langsung: bilamana titik tumpul benturan dengan terjadinya
fraktur berjauhan.
3)      Proses penyakit: kanker dan riketsia.
4)      Compresion force: klien yang melompat dari tempat ketinggian dapat
mengakibatkan fraktur kompresi tulang belakang.
5)      Muscle (otot): akibat injuri/sakit terjadi regangan otot yang kuat sehingga
dapat menyebabkan fraktur (misal; elektrik shock dan tetani).
2.       Tanda dan Gejala
Klien datang dalam keadaan anemia dan syok karena perdarahan yang
hebat. Selain itu, terdapat gangguan fungsi anggota gerak. Diikuti tanda
gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah, bengkak, kripitasi,
sepsis pada fraktur terbuka, deformitas.
3.       Komplikasi
3.1 Komplikasi Segera
1)      Trombosis vena ilio-femoral, komplikasi ini sering ditemukan dan sangat
berbahaya. Apabila ada keraguan sebaiknya berikan koagulan secara rutin
untuk profilaksis.
2)      Robekan kandung kemih, robekan dapat terjadi apabila ada gangguan
simfisis pubis atau tusukan dari tulang panggul yang tajam.
3)      Robekan uretra, robekan ini terjadi karena ada gangguan simfisis pubis pada
daerah uretra pars membranosa.
4)      Trauma rektum dan vagina.
5)      Trauma pembuluh darah besar akan menyebabkan perdarahan masif sampi
syok.
6)      Trauma pada syaraf  :
a.       Lesi saraf skiatik dapat terjadi karena pada saat trauma atau pada saat
operasi. Apabila dalam jangka waktu enam minggu tidak ada perbaikan,
sebaiknya lakukan eksplorasi.
b.      Lesi pleksus lumbosakralis, biasanya terjadi pada fraktur sakrum yang
bersifat vertikat disertai pergeseran. Selain itu, dapat terjadi gangguan fungsi
seksual apabila mengenai pusat saraf.
3.2 Komplikasi Lanjut
1)      Pembentukan tulang heterotrofik, biasanya terjadi setelah trauma jaringan
lunak yang hebat atau setelah operasi. Dalam keadaan ini klien dapat
diberikan indometasin untuk profilaksis.
2)      Nekrosis avaskular, dapat terjadi kaput femur beberapa waktu setelah
trauma.
3)      Gangguan pergerakan sendi serta osteoatritis sekunder, apabila terjadi
fraktur pada daerah asetabulum dan tidak dilakukan reduksi yang akurat,
sedangkan sendi ini menopang berat badan, ketidaksesuaian sendi sehingga
terjadi gangguan pergerakan serta osteoatritis di kemudian hari.
4)      Skoliosis kompensatoar.
4 . Penatalaksanaan
4.1 Rekognisi
menyangkut diagnosa fraktur pada tempat kejadian kecelakaan dan
kemudian di rumah sakit. Misal riwayat kecelakaan, parah tidaknya luka,
diskripsi kejadian oleh pasien, serta menentukan kemungkinan tulang yang
patah, dan krepitus.
4.2  Reduksi
Reposisi fragmen fraktur sedekat mungkin dengan letak normalnya.
Reduksi terbagi menjadi dua yaitu:
1)      Reduksi tertutup: untuk mensejajarkan tulang secara manual dengan traksi
atau gips.
2)      Reduksi terbuka: dengan metode insisi dibuat dan diluruskan melalui
pembedahan, biasanya melalui internal fiksasi dengan alat misalnya; pin, plat
yang langsung kedalam medula tulang.
4.3 Retensi
menyatakan metode-metode yang dilaksanakan untuk mempertahankan
fragmen-fragmen tersebut selama penyembuhan (gips/traksi)
4.4  Rehabilitasi:
Langsung dimulai segera dan sudah dilaksanakan bersamaan dengan
pengobatan fraktur karena sering kali pengaruh cedera dan program
pengobatan hasilnya kurang sempurna (latihan gerak dengan kruck).
B. Konsep Keperawatan Fraktur Pelvis
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau
metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5
tahap, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi.

1.      Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses


keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada
tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
1.1  Pengumpulan Data
1)      Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2)      Keluhan Utama
            Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
        Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
        Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
        Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
        Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan  skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
        Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
3)      Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien.
Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain
itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 2000).
4)      Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur
dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit
paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt
beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes
menghambat proses penyembuhan tulang
5)      Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis
yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang
cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 2000).
6)      Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya
dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam
masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 2000).
7)      Pola-Pola Fungsi Kesehatan
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada
dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan
untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga
meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa
mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau
tidak.(Ignatavicius, Donna D,2000).
8)      Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-
harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu
proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa
membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium
atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
9)      Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau
feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat Semua klien fraktur
timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu
pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada
lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta
penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 2002).
10)  Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan
klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh
orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama
pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk
terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D,
1995).
11)  Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena
klien harus menjalani rawat inap  (Ignatavicius, Donna D, 2000).
12)  Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 2000).
13)  Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada
kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri
akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 2000).
14)  Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa
nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 2000).
15)  Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
16)   Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan
baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri
dan keterbatasan gerak klien
1.2 Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata)
untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal
ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan
dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi
lebih mendalam.
1)      Gambaran Umum
Perlu menyebutkan keadaan umum baik atau buruknya yang dicatat adalah
tanda-tanda, seperti:
a.     Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung
pada keadaan klien.
b.     Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
c.     Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
2)      Pemeriksaan Fisik Per Sistem
a.     B1 (Breathing), karena adanya perubahan pada sistem pernafasan yang
disertai banyaknya perdarahan dan syok.
      Inspeksi : klien batuk, peningkatan sputum, sesak nafas, penggunaan otot
bantu pernafasan, peningkatan frekuensi pernafasan, retraksi interkostal, serta
penembangan paru tidak simetris. Ketidakseimbangan ini menunjukkan
adanya atelaktasis, lesi pada paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga,
dan pneumothoraks.
      Palpasi  : penurunan fremitus dibandingkan dengan sisi yang lainnya apabila
terjadi trauma pada rongga dada.
      Perkusi : didapatkan suara redup sampai pekak apabila trauma terjadi pada
thorak dan hemothoraks.
      Auskultasi : suara nafas tambahan seperti stridor dan ronki pada klien
dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk menurun hal ini
terjadi pada klien cedera panggul yang mengalami penurunan tingkat
kesadaran (koma).
b.      B2 (Blood), didapatkan renjatan (syok hipovolemik atau syok hemoragik)
yang sering terjadi pada pasien dengan cedera panggul dari sedang hingga
berat. Tekanan darah menurun, bradikardi tanda perubahan perfusi jaringan
otak, berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi,  dan
ekstremitas dingin atau pucat menandakan adanya penurunan kadar
hemoglobin dalam darah. Hal ini akan merangsang hormon anti diuretik yang
berdampak pada kompensasi tubuh untuk melakukan retensi  atau
pengeluaran garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan meningkatkan
konsentrasi elektroit sehingga terjadi gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit pada sistem kardiovaskuler.
c.       B3 (Brain)
      Tingkat kesadaran klien cedera panggul yang tidak berat adalah compos
mentis.
      Pemeriksaan fungsi serebral, status mental, observasi penampilan,tingkah
laku, gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien.
      Pemeriksaan saraf kranial,
-          Saraf I tidak ada kelainan,pada funsi penciuman juga tidak ada kelainan.
-          Saraf II Ketajaman penglihatan normal
-          Saraf III, IV, VI Tidak ada gangguan mengangkat kelopak mata
-          Saraf V Tidak ada paralysis pada otot wajah, reflek kornea tidak ada
kelainan.
-          Saraf VII Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah simetris.
-          Saraf VIII tidak ditemukan tuli konduktif tuli persepsi.
-          Saraf IX dan X kemampuan menelan baik.
-          Saraf XI tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
-          Saraf XII indera pengecapan normal.
      Pemeriksaan reflek, Reflek Archilles menghilang, reflek patela menurun.
      Pemeriksaan sensorik, klien kehilangan sensitibilitas pada kedua bokong,
perineum, dan anus.
d.      B4 (Bladder), kandung kemih mengalami hematuria, nyeri berkemih,
deformitas pada pubis, sampai alat kelamin sehingga mengganggu miksi.
Pada hal ini tidak boleh dipasang kateter. Karena merupakan kontraindikasi
apabila terjadi ruptur uretra.
e.       B5 (Bowel), sering dijumpai ileus paralitik. Manifestasi klinis menunjukkan
menghilangnya bising usus, kembung dan tidak adanya defekasi. Pemenuhan
nutrisi berkurang karena mual.
f.       B6 (Bone ), paralisis motorik biasanya terjadi jika juga mengompresi sakrum
g.      Look pada inspeksi perineum, biasanya didapatkan bengkak, perdarahan dan
deformitas  pada panggul.
h.      Feel kaji adanya derajad ketidakstabilan cincin panggul dengan palpasi pada
simfisis pubis dan anus.
i.        Move disfungsi motorik yakni kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas
bawah.
3)      Diagnosa
a.       Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan
lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
b.      Ketidakseimbangan nutrisi b/d mual muntah dan peningkatan metabolisme.
c.       Resiko tinggi trauma b/d penurunan kesadaran dan hambatan mobilitas fisik.
d.      Hambatan mobilitas fisik b/d kerusakan neurovaskuler.
e.       Gangguan eliminasi urine b/d trauma pada kandung kemih dan ureter
f.       Gangguan eliminasi alvi b/d kerusakan anatomis rektum.
g.      Defisit perawatan diri b/d kelemahan fisik estremitas bawah.
h.      Resiko tinggi infeksi b/d adanya port de entree luka terbuka pada panggul.
i.        Resiko kerusakan integritas kulit b/d imobilisasi dan tidak adekuatnya
sirkulasi perifer.
j.        Resiko tinggi ketidakefektifan koping individu b/d disfungsi seksual,
prognosis kondisi sakit, program pengobatan, tirah baring lama.
k.      Ansietas b/d krisis, situasional, ancaman terhadap konsep diri dan perubahan
status kesehatan.
4)      Intervensi dan implementasi
a.      Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan: Nyeri berkurang, hilang dan teratasi.
Kriteria hasil : Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan
menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur,
istirahat dengan tepat, menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan
aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL


1.      Pertahankan imobilasasi bagian Mengurangi nyeri dan mencegah
yang sakit dengan tirah baring, malformasi.
gips, bebat dan atau traksi
2.  Tinggikan posisi ekstremitas yang
Meningkatkan aliran balik vena,
terkena.
mengurangi edema/nyeri.
3.  Lakukan dan awasi latihan gerak
Mempertahankan kekuatan otot dan
pasif/aktif.
meningkatkan sirkulasi vaskuler.
4.  Lakukan tindakan untuk
Meningkatkan sirkulasi umum,
meningkatkan kenyamanan
menurunakan area tekanan lokal dan
(masase, perubahan posisi)
kelelahan otot.
5.  Ajarkan penggunaan teknik
Mengalihkan perhatian terhadap
manajemen nyeri (latihan napas
nyeri, meningkatkan kontrol terhadap
dalam, imajinasi visual, aktivitas
nyeri yang mungkin berlangsung
dipersional)
6.  Lakukan kompres dingin selama lama.
fase akut (24-48 jam pertama) Menurunkan edema dan mengurangi
sesuai keperluan. rasa nyeri.
7.  Kolaborasi pemberian analgetik
sesuai indikasi. Menurunkan nyeri melalui
mekanisme penghambatan rangsang
nyeri baik secara sentral maupun
Evaluasi keluhan nyeri (skala, perifer.
petunjuk verbal dan non verval,
perubahan tanda-tanda vital) Menilai perkembangan masalah
klien.

b.      Hambatan mobilitas fisik b/d kerusakan neuromuskuler,


nyeri sekunder akibat pergerakan fragmen tulang.
Tujuan : klien mampu melaksanakn aktivitas fisik sesuai kemampuannya.
Kriteria hasil : klien dapat mengikuti program latihan, tidak mengalami
kontriktur sendi, kekuatan otot bertambah, klien menunjukkan tindakan untuk
meningkatkan mobilitas.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL


1.  Kaji mobilitas yang ada dan Mengetahui tingkat kemampuan klien
observasi adanya peningkatan dalam melakukan aktivitas.
kerusakan. Kaji secara teratur
fungsi motorik. Mengurangi resiko terjadinya
2.  Ubah posisi klien setiap 2jam. iskemia jaringan akibat sirkulasi
darah yang jelek pada daerah
tertekan.
3.  Ajarkan klien untuk melakukan Gerakan aktif memberikan massa,
gerak aktif pada ekstremitas yang tonus, kekuatan otot, serta
tidak sakit. memperbaiki fungsi jantung
dan   pernafasan.
4.  Lakukan gerak pasif pada
Otot volunter akan kehilangan tonus
ekstremitas yang sakit.
dan kekuatannya apabila tidak
dilatih.

A.    Konsep Medis Fraktur Femur


1.      Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya (Brunner & Suddarth, 2001). Femur adalah tulang
terpanjang dan kuat pada tubuh manusia (Watson,2002). Fraktur femur
adalah fraktur yang terjadi pada tulang femur.
Fraktur femur dapat terjadi pada beberapa tempat diantaranya: kolum
femoris, trokhanter, batang femur, suprakondiler, kondiler, kaput.
2.      Anatomi fisiologi

 Persendian panggul merupakan bola dan mangkok sendi dengan


acetabulum bagian dari femur, terdiri dari : kepala, leher, bagian terbesar dan
kecil, trokhanter dan batang, bagian terjauh dari femur berakhir pada kedua
kondilas. Kepala femur masuk acetabulum. Sendi panggul dikelilingi oleh
kapsula fibrosa, ligamen dan otot. Suplai darah ke kepala femoral merupakan
hal yang penting pada faktur hip. Suplai darah ke femur bervariasi menurut
usia. Sumber utamanya arteri retikuler posterior, nutrisi dari pembuluh darah
dari batang femur meluas menuju daerah tronkhanter dan bagian bawah dari
leher femur.
3.      Klasifikasi
Ada 2 type dari fraktur femur, yaitu :
3.1  Fraktur Intrakapsuler femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul
      dan Melalui kepala femur (capital fraktur)          Hanya di bawah kepala
femur dan Melalui leher dari femur.
3.2  Fraktur Ekstrakapsuler terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter
femur yang lebih besar/yang lebih kecil /pada daerah intertrokhanter. Atau
terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2
       inci di  bawah trokhanter kecil.
4.       Patofisiologi
Penyebab fraktur adalah trauma, fraktur patologis merupakan fraktur
yang diakibatkan oleh trauma minimal atau tanpa trauma yang disebabkan
oleh suatu proses., yaitu  Osteoporosis
Imperfekta, Osteoporosis, dan Penyakit metabolic. Trauma dibagi menjadi
dua, yaitu :
1)      Trauma langsung, yaitu benturan pada tulang. Biasanya penderita terjatuh
dengan posisi miring dimana daerah trokhanter mayor langsung terbentur
dengan benda keras (jalanan).
2)     Trauma tak langsung, yaitu titik tumpuan benturan dan fraktur berjauhan,
misalnya jatuh terpeleset di kamar mandi pada orangtua.
5.       Tanda dan Gejala
1)      Nyeri hebat di tempat fraktur
2)      Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah
3)      Rotasi luar dari kaki lebih pendek
4)      Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah, bengkak,
kripitasi, sepsis pada fraktur terbuka, deformitas.
6.       Pemeriksaan Laboratorium/Diagnostik/Penunjang
1)      Pemeriksaan rontgen: Untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
2)      Scan tulang, tomogram, CT-scan/ MRI: Memperlihatkan frakur dan
mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak
3)      Pemeriksaan darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (pendarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
trauma multipel), Peningkatan Sel darah putih adalah respon stres normal
setelah trauma.
4)      Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
7.       Komplikasi
1)      Komplikasi Awal
a.      Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan
posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b.   Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan
pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan
embebatan yang terlalu kuat.
c.    Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi
pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang
dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan
tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan
pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d.   Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e.    Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan  nekrosis tulang dan diawali dengan
adanya Volkman’s Ischemia.
f.     Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur.
2)      Komplikasi Dalam Waktu Lama
a.    Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan supai darah ke tulang.
b.   Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion
ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang
membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena
aliran darah yang kurang.
c.    Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya
tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan
dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
8.       Penatalaksanaan
1)      Terapi konservatif, traksi kulit merupakan pengobatan sementara sebelum
dilakukan terapi definitif.
2)      Terapi operatif, pemasangan plate dan screw terutama pada fraktur
proksimal dan distal femur, mempergunakan K-nail, AO-nail, atau jenis-jenis
lain.
B. Konsep Keperawatan
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau
metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5
tahap, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi.

1.      Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses


keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada
tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
1.2  Pengumpulan Data
17)  Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
18)  Keluhan Utama
            Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
          Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
          Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
          Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
          Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan  skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.nyeri yang dirasakan klien antara 2-4
pada rentang skala pengukuran 0-4.
          Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
19)  Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien.
Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain
itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 2000). Serta pertolongan apa
saja yang telah didapatkan dan apakah telah berobat di dukun pijat.
20)  Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur
dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit
paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt
beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes
menghambat proses penyembuhan tulang
21)  Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis
yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang
cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 2000).
22)  Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya
dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam
masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 2000).
23)  Pola-Pola Fungsi Kesehatan
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada
dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan
untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga
meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa
mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau
tidak.(Ignatavicius, Donna D,2000).
24)  Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-
harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu
proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa
membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium
atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
25)  Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau
feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat Semua klien fraktur
timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu
pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada
lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta
penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 2002).
26)  Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan
klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh
orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama
pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk
terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna
D, 2000).
27)  Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena
klien harus menjalani rawat inap  (Ignatavicius, Donna D, 2000).
28)  Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 2000).
29)  Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada
kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri
akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 2000).
30)  Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa
nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 2000).
31)  Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
32)   Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan
baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri
dan keterbatasan gerak klien
1.2 Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata)
untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal
ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan
dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi
lebih mendalam.
5)      Gambaran Umum
Perlu menyebutkan keadaan umum baik atau buruknya yang dicatat adalah
tanda-tanda, seperti:
a.       Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung
pada keadaan klien.
b.      Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
c.       Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
6)      Pemeriksaan Fisik Per Sistem
a.       B1 (Breathing), sistem pernafasan tidak mengalami kelainan pada palpasi
toraks didapatkan taktil fremitus seimbang antara kanan dan kiri. Pada
auskultasi tidak ada suara nafas tambahan.
b.      B2 (Blood), tidak ada iktus jantung, palpasi nadi meningkat, iktus tidak
teraba, auskultasi suara S1 dan S2 tunggal tidak ada murmur.
c.       B3 (Brain)
      Tingkat kesadaran compos mentis
      Pemeriksaan fungsi serebral, status mental, observasi penampilan,tingkah
laku, gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien.
      Pemeriksaan saraf kranial,
-          Saraf I tidak ada kelainan,pada funsi penciuman juga tidak ada kelainan.
-          Saraf II Ketajaman penglihatan normal
-          Saraf III, IV, VI Tidak ada gangguan mengangkat kelopak mata dan pupil
isokor.
-          Saraf V Tidak ada paralysis pada otot wajah, reflek kornea tidak ada
kelainan.
-          Saraf VII Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah simetris.
-          Saraf VIII tidak ditemukan tuli konduktif dan tuli persepsi.
-          Saraf IX dan X kemampuan menelan baik.
-          Saraf XI tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
-          Saraf XII indera pengecapan normal.
      Pemeriksaan reflek, tidak didapatkan reflek patologis.
      Pemeriksaan sensorik, klien kehilangan sensitibilitas pada daya raba
terutama pada bagian distal fraktur. Nyeri pada daerah yang fraktur.
d.      B4 (Bladder), kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan
karakteristik urin serta berat jenis.
e.       B5 (Bowel), inspeksi pada abdomen bentuk datar, simetris, tidak ada hernia,
palpasi turgor baik,tidak ada defans muskuler, dan hepar tidak teraba. Perkusi
suara timpani, ada pantulan gelombang cairan. Auskultasi peristalti usus
normal  20 kali / menit, tidak ada kesulitan BAB.
f.       B6 (Bone ), terjadi gangguan baik secara lokal, fungsi motorik, maupun
peredaran darah.
g.      Look pada sistem integumen terdapat eritema, suhu disekitar luka
meningkat, bengkak, edema, dan nyeri tekan
h.      Feel adanya nyeri tekan, dan krepitasi pada daerah paha.
i.        Move disfungsi motorik yakni kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas
bawah.
7)      Diagnosa
a.      Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan
lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
b.      Ketidakseimbangan nutrisi b/d mual muntah dan peningkatan metabolisme.
c.       Resiko tinggi trauma b/d penurunan kesadaran dan hambatan mobilitas fisik.
d.      Hambatan mobilitas fisik b/d kerusakan neurovaskuler.
e.       Gangguan eliminasi urine b/d trauma pada kandung kemih dan ureter
f.       Gangguan eliminasi alvi b/d kerusakan anatomis rektum.
g.      Defisit perawatan diri b/d kelemahan fisik estremitas bawah.
h.      Resiko tinggi infeksi b/d adanya port de entree luka terbuka pada panggul.
i.        Resiko kerusakan integritas kulit b/d imobilisasi dan tidak adekuatnya
sirkulasi perifer.
j.        Resiko tinggi ketidakefektifan koping individu b/d disfungsi seksual,
prognosis kondisi sakit, program pengobatan, tirah baring lama.
k.      Ansietas b/d krisis, situasional, ancaman terhadap konsep diri dan perubahan
status kesehatan.
8)      Intervensi dan implementasi
a.      Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan
lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan: Nyeri berkurang, hilang dan teratasi.
Kriteria hasil : Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan
menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur,
istirahat dengan tepat, menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan
aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL


1.      Pertahankan imobilasasi bagian Mengurangi nyeri dan mencegah
yang sakit dengan tirah baring, malformasi.
gips, bebat dan atau traksi
2.  Tinggikan posisi ekstremitas yang
Meningkatkan aliran balik vena,
terkena.
mengurangi edema/nyeri.
3.  Lakukan dan awasi latihan gerak
Mempertahankan kekuatan otot dan
pasif/aktif.
meningkatkan sirkulasi vaskuler.
4.  Lakukan tindakan untuk
Meningkatkan sirkulasi umum,
meningkatkan kenyamanan
menurunakan area tekanan lokal dan
(masase, perubahan posisi)
kelelahan otot.
5.Ajarkan penggunaan teknik
manajemen nyeri (latihan napas Mengalihkan perhatian terhadap
dalam, imajinasi visual, aktivitas nyeri, meningkatkan kontrol terhadap
dipersional) nyeri yang mungkin berlangsung
6.Lakukan kompres dingin selama lama.
fase akut (24-48 jam pertama) Menurunkan edema dan mengurangi
sesuai keperluan. rasa nyeri.
7.  Kolaborasi pemberian analgetik Menurunkan nyeri melalui
sesuai indikasi. mekanisme penghambatan rangsang
nyeri baik secara sentral maupun
Evaluasi keluhan nyeri (skala, perifer.
petunjuk verbal dan non verval, Menilai perkembangan masalah
perubahan tanda-tanda vital) klien.

b.      Hambatan mobilitas fisik b/d kerusakan neuromuskuler,


nyeri sekunder akibat pergerakan fragmen tulang.
Tujuan : klien mampu melaksanakn aktivitas fisik sesuai kemampuannya.
Kriteria hasil : klien dapat mengikuti program latihan, tidak mengalami
kontriktur sendi, kekuatan otot bertambah, klien menunjukkan tindakan untuk
meningkatkan mobilitas.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL


1.  Kaji mobilitas yang ada dan Mengetahui tingkat kemampuan klien
observasi adanya peningkatan dalam melakukan aktivitas.
kerusakan. Kaji secara teratur
fungsi motorik. Mengurangi resiko terjadinya
2.  Ubah posisi klien setiap 2jam. iskemia jaringan akibat sirkulasi
darah yang jelek pada daerah
tertekan.
3.  Ajarkan klien untuk melakukan Gerakan aktif memberikan massa,
gerak aktif pada ekstremitas yang tonus, kekuatan otot, serta
tidak sakit. memperbaiki fungsi jantung
dan   pernafasan.
4.  Lakukan gerak pasif pada
Otot volunter akan kehilangan tonus
ekstremitas yang sakit.
dan kekuatannya apabila tidak
dilatih.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang dan
ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Smeltzer S.C & Bare B.G, 2001) atau
setiap retak atau patah pada tulang yang utuh (Reeves C.J, Roux G &
Lockhart R, 2001). Fraktur femur dapat terjadi pada beberapa tempat
diantaranya: kolum femoris, trokhanter, batang femur, suprakondiler,
kondiler, kaput. (Watson,2002). Fraktur panggul adalah fraktur salah satu
bagian dari trauma multipel yang dapat mengenai organ-organ lain dalam
panggul.(Hoppenfeld & Murthy, 2000).
B. Saran
            Berdasarkan Kesimpulan diatas maka disarankan:
1. Bagi mahasiswa
            Bagi mahasiswa  untuk lebih menambah wawasan dan pengetahuan
agar dapat melahirkan inovasi-inovasi terbaru dalam askep kegawatdaruratan
pada klien dengan fraktur femur dan pelvis.
2. Bagi dosen
            Bagi dosen untuk membimbing dan mengarahkan serta memfasilitasi
mahasiswa untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam ilmu asuhan
keperawatan kegawatdaruratan khususnya askep kegawatdaruratan fraktur
femur dan pelvis.

DAFTAR PUSTAKA
           Musliha, (2010). Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta. Nuha
Medika.
           Purwadianto, Agus, dkk. (2000). Kedaruratan Medik. Jakarta Barat.
Binarupa Aksara.
           Thomas, Mark A.(2011). Terapi dan rehabilitasi Fraktur. Jakarta. EGC.
           Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan
Sistem Muskuloskeletal. Jakarta. EGC.
           Suratun,dkk.( 2008 ). Klien Gangguan Sistem Muskuluskeletal. Jakarta.
EGC.
           King, Maurice, dkk.(2001). Bedah Primer Trauma. Jakarta. EGC
           Riyawan.com | Kumpulan Artikel Keperawatan Dan Farmasi

BERBAGI

Anda mungkin juga menyukai