Anda di halaman 1dari 10

REFORMA AGRARIA DI ERA ORDE BARU

Nama : Syauyiid Alamsyah

NPM : 183112350150071

Mata Kuliah : Politik Agraria

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS NASIONAL

ILMU POLITIK

2020
A. Pendahuluan
Pada dasarnya tanah adalah milik rakyat Indonesia. Negara sebagai penjelmaan
dari rakyat hanya mempunyai hak mengatur penggunaannya agar dapat mengejar
kemakmuran bersama. Perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-
hubungan hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah dalam mewujudkan
pemerataan kemakmuran dan keadilan, tidak imbang dalam pelaksanaan dan hanya
dititikberatkan pada redistribusi/legalisasi tanah kepada petani-petani penggarap (petani
tanpa punya tanah), tanpa kebijakan ikutan pendukung yang lain.
Seharusnya diikuti dengan kebijakan ikutan lainnya, seperti kebijakan pembukaan
tanah-tanah pertanian baru, usaha-usaha mempertinggi produktivitas, kebijakan harga-
harga hasil pertanian yang menguntungkan petani, penyediaan kredit ringan, kebijakan
harga saprodi yang murah, bimbingan dan pelatihan-pelatihan kepada petani, dan usaha
pemasaran produk-produk pertanian.
Politik agaria berubah total pada masa Orde Baru, dengan menggantikan
paradigma pemerataan dengan paradigma pertumbuhan. Artinya pada masa Orde Lama
pembangunan keagrarian dititikberatkan pada pemerataan akses tanah kepada rakyat
Indonesia, sementara pada Orde Baru menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi tanpa
diikuti dengan pemerataan akses tanah.1
Pada era Orde baru pelaksanaannya jauh lebih bergaung/hebat untuk
menyediakan tanah bagi perusahaan-perusahaan besar dari pada untuk petani. Ibaratnya
program landreform untuk petani dilaksanakan menggunakan moda transportasi becak,
sementara program yang disediakan untuk kepentingan perusahaan-perusahaan besar,
baik di bidang perkebunan, pertanian, industri, maupun pengelolaan hutan menggunakan
moda transportasi pesawat terbang.
Konteks yang demikian, jelas dari daya angkut dan kecepatannya tentu
perusahaan yang diuntungkan, dibandingkan dengan petani/penggarap. Petani penggarap
hingga saat ini tetap belum bisa mendapatkan tanah pertanian- nya. Tidak hanya itu, yang
lebih memprihatinkan lagi adalah semakin banyak petani yang kehilangan tanah
pertaniannya karena terpaksa harus melepaskan-nya demi pembangunan.

1
Nurhasan Ismail, “Politik Hukum Pertanahan dan Perlindungan Kepemilikan Tanah Masyarakat”, Jurnal
Rechtsvinding, BPHN, Vol. 1. No. 1 April 2012, hlm 33-51
B. Rumusan Masalah
Pada makalah ini penulis merumuskan pokok masalah yang ingin dibahas dalam bagian
pemabahasan yaitu:
1. Apa definisi Agraria sebenarnya?
2. Bagaimana Praktik Reforma agraria di Orde Baru

C. Tinjauan Teori
Dalam tulisannya di the Journal of Peasant Studies untuk mengantarkan edisi
khusus tentang “Critical Perspectives in Agrarian Changes and Peasant Studies”, Borras
(2009: 17) menyatakan sebagai berikut:
“… teori-teori klasik dalam ekonomi politik agraria mengenai transformasi agraria,
diferensiasi petani, ekonomi kaum tani, kelas dan politik kelas, agensi kelas, pertanian
keluarga, ‘ekonomi moral dari kaum tani’, dan semacamnya merupakan kerangka dasar
bagi berbagai perspektif kritis tentang pembangunan pedesaan”
Mengenai lingkup pengertian sumber-sumber agraria, Undang-Undang No. 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (atau lebih dikenal sebagai
UU Pokok Agraria, UUPA) telah memberikan batasan tegas yang dapat dijadikan sebagai
acuan. Pasal 1 ayat (2) UUPA mencantumkan ketentuan berikut ini yang dapat diartikan
sebagai cakupan sumber-sumber agraria:
“Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya...”
Ketentuan ini diuraikan lebih rinci dalam ayat (4), (5) dan (6) pasal yang sama
sebagaimana dikutip berikut ini:
“Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di
bawahnya serta yang berada di bawah air.”
“Dalam pengertian air, termasuk baik perairan pedalaman maupun laut...”
“Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan air…
Sitorus (2002: 35) kemudian merumuskan lima jenis sumber-sumber agraria
sebagaimana diringkaskan berikut ini:
1. Tanah atau permukaan bumi yang merupakan modal alami utama bagi kegiatan
pertanian dan peternakan.
2. Perairan baik berupa sungai, danau atau laut yang merupakan modal alami utama bagi
kegiatan perikanan, baik perikanan budidaya atau tangkap.
3. Hutan yang berarti kesatuan flora dan fauna dalam suatu wilayah di luar kategori tanah
pertanian yang merupakan modal alami utama bagi komunitas-komunitas perhutanan
yang hidup dari pemanfaatan hasil hutan menurut kearifan tradisional.
4. Bahan tambang yang mencakup beragam bahan mineral seperti emas, bijih besi, timah,
tembaga, minyak, gas, intan, batu-batu mulia, fosfat, pasir, batu, dan lain-lain.
5. Udara yang mencakup bukan saja “ruang di atas bumi dan air”, tetapi juga materi
udara itu sendiri yang arti pentingnya terasa semakin besar di tengah perubahan iklim
global belakangan ini.

D. Pembahasan
1. Definisi dari Agraria
Sekarang ini, masih banyak orang yang mengasosiasikan istilah “agraria”
dengan “pertanian” saja, bahkan lebih sempit lagi, hanya sebatas “tanah
pertanian”. Ini merupaka salah tafsir (Fallacy). Celakanya, salah tafsir ini lalu
menjadi “salah kaprah” terutama sejak Orde Baru. Jika kita lacak sejarahnya,
sejak zaman Romawi Kuno karena dari sanalah asalmuasalnya- maka kita
memperoleh pemahaman yang lebih baik.
• Secara estimologi (ilmu asal-usul kata), istilah “agraria” berasal dari Bahasa
Latin, “Ager”, yang artinya (a) lapangan; (b) pedusunan (sebagai lawan
perkotaan); (c) wilayah; (d) tanah negara.
• Saudara kembar dari istilah tersebut adalah: “agger” (dengan dua huruf ‘g’),
yang artinya: (a) tanggul penahan; (b) pematang; (c) tanggul sungai; (d) jalan
tambak; (e) reruntuhan tanah; (f) bukit
Definisi dari agraria ketika hanya dipahami sebagai sebuah kata ganti dari
tanah, maka dengan sendirinya ‘agraria’ telah mengalami degradasi maknanya,
dan tereduksi dimensi yang terkandung didalamnya. Padahal, agraria merupakan
sebuah wacana, kata, gagasan, dan studi yang sangat luas dan tidak hanya
menyoal masalah tanah.
Ahmad Nashi Luthfi, mengungkapkan bahwa bukan hanya menyangkut
tanah, namun termasuk apa-apa saja yang ada di bawah dan di atasnya. Apa yang
tumbuh diatasnya dapat berupa tanaman, pertanian, perkebunan, dan kehutanan,
lengkap dengan bangunan sosialnya. Sedangkan materi dibawahnya adalah air
dan berbagai bahan tambang dan mineralnya. Definisi yang bergitu luas dari
‘Agraria’ diatas, sebenarnya, tidaklah bersifat baku. Karena pendefinisian tersebut
mengalami pula perubahan-perubahan pada masa-masa tertentu.
Namun jika mengacu pada UUPA 1960, agraria didefinisikan sebagai
seluruh kekayaan alam yang terkandung didalamnya; baik di bumi, air, dan ruang
angkasa, yang berada dalam wilayah Republik Indonesia dan merupakan Karunia
Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan perubahan-perbedaan pendifinsian agraria,
sangat terkait dengan bagaimana agraria dipersepsi, serta bagaimana konteks
politik-ekonomi yang menghela pendefinisian agraria tersebut. Dalam konteks
tertentu, agraria dianggap serupa dengan tanah. Sementara dalam konteks lainya,
agraria hanya disinonimkan dengan pertanian.
Melalui kacamata diatas, agraria tidak mutlak secara ekslusif berlatar
pedesaan, namun termasuk pula dalam konteksnya di perkotaan. Selain itu,
agraria tidak serta-merta didudukan sebagai sinonim dari tanah atau pertanian
semata, lebih luas, agraria menyangkut pula ihwal-ihwal segala sumber daya alam
yang terkandung di atas tanah, segala hal yang tumbuh dari tanah, dan segala rupa
kandungan alam yang berasal dari bawah tanah. Termasuk dalam hal ini, agraria
mencakup pula kondisi sosio-kultural dan ekonomi-politik manusia-manusia yang
hidup, serta menghidupi tempatnya berpijak.
Sedangkan, “Reforma Agraria” atau “Agrarian Reform” adalah suatu
penataan kembali (penataan ulang) susunan pemilikan, penguasaan, dan
penggunaan sumber-sumber agraria (terutama tanah), untuk kepentingan rakyat
kecil (petani, buruh tani, tunakisma, dan lain-lainnya), secara menyeluruh dan
komperhensif (lengkap).
“Penataan ulang” itu sendiri kemudian dikenal dengan “Land Reform”.
“Menyeluruh dan Komperhensif”, artinya, pertama, sasarannya bukan hanya
tanah pertanian, tetapi juga tanah-tanah kehutanan, perkebunan, pertambangan,
pengairan, kelautan dan lain-lainnya. Pendek kata, semua sumber-sumber agraria.
Kedua, program land reform itu harus disertai program-program penunjangnya
seperti, penyuluhan dan pendidikan tentang teknologi produksi, program
perkreditan, pemasaran dan lain sebagainya,

2. Praktik Reforma Agaria di Era Orde Baru


Melalui produk kebijakan politik agraria era Bung Karno, semestinya kita
dapat menilai sikap populisme yang dimiliki oleh Presiden Pertama Indonesia.
Melalui UUPA 1960, para pendiri bangsa mencoba mengaktualisasikan bunyi-
bunyi dalam Pancasila, serta mewujudkan mimpi-mimpi yang termaktub dalam
konstitusi bangsa Indonesia. Meskipun UUPA 1960 hanya merupakan
aturanaturan dasar, yang penjabaran dan peraturan-peraturan pelaksanaan beserta
ketentuan-ketentuannya perlu diurai dalam produk Undang-Undang turunannya.
Sayangnya, produk UU turunan tersebut tak sempat tergarap, tersusul oleh
peristiwa gejolak 1965 yang berujung pada tumbangnya Orde Lama dibawah
kepemimpinan Presiden Soekarno dan lahirnya pemerintahan Orde Baru.
Seiring dengan pergantian tampuk kekuasaan dari Presiden Soekarno ke
Presiden Soeharto, terjadi pula perubahan dalam hal kebijakan politik agraria. Di
masa pemerintahan Orde Baru, UUPA 1960 yang sebelumnya diciptakan guna
membuat tata keagrariaan yang lebih adil, serta untuk menjangkau petani-petani
penggarap dan buruh tani, dimasukan ke dalam peti. Artinya, meski UUPA 1960
tidak dihapus, namun keberadaannya seolah tidak dihiraukan.
Bahkan, rezim pemerintahan Orde Baru justru banyak menerbitkan UU
sektoral lain yang sebenarnya memiliki pondasi dan maksud yang berlainan
dengan semangat yang dibawa oleh UUPA 1960. Dengan jalan penerbitan UU
Sektoral itu lah, Orde Baru dengan leluasa dapat melakukan pengadaan tanah
dalam skala besar untuk kepentingan modal.
Dengan melalui UU Sektoral tersebut, praktik penetapan berbagai jenis
hak tertentu atas sebidang tanah dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya,
mulai gencar dilakukan dan disponsori langsung oleh negara. Hal tersebut dapat
terlihat dalam pengenalan dan penetapan Hak Guna Usaha, Hak Penguasaan
Hutan, Hak Penguasaan Hutan Tanaman Industri, Kuasa Pertambangan, Kontrak
Karya Pertambangan, dan lain-lain.2
Dua hal yang tidak dapat dipisahkan dari corak politik agraria era Orde
Baru ialah tumbuh kembangnya ideologi Developmentalism dan hadirnya proyek
Revolusi Hijau yang sedang gencar menerpa banyak negara-negara dunia ketiga
yang tidak bisa dilepaskan dalam konteks perang dingin yang sedang berkecamuk
pada akhir tahun 1960an. Developmentalism sendiri merupakan sebuah diskurs
pembangunan yang diciptakan negara-negara maju untuk mendominasi
negaranegara berkembang. Mereka menggunakan alasan untuk memecahkan
masalah ‘keterbelakangan’ yang dirancang setelah Perang Dunia Kedua.3
Dalam pelaksanaan Revolusi Hijau, dibiayai dengan dana hutang dari
Bank Dunia, beserta lembaga-lembaga keuangan Internasional lainya. Meski
program Revolusi Hijau menuai keberhasilan, terlebih mampu membuat
Indonesia berswasembada beras, program tersebut tidak bisa dilepaskan pula
dalam konteks pencegahan atas efek domino tentang pengaruh komunisme, dan
mencegah keresahan agraria di pedesaan-pedesaan Asia Tenggara pasca-kolonial.
Dalam konteks sejarah kapitalisme, program Revolusi Hijau merupakan
representasi Politik Perang Dingin bagi salah satu pihak untuk melangsungkan
visi kontrol atas dunia, dan juga memberikan arahan bagaimana previous
accumulation terjadi. Sementara di pedesaan, massa rakyat dipaksa sebagai
floating mass, dan dijauhkan dari hal-hal yang bersifat menguatkan
(mengorganisir diri) guna memberi jalan mulus bagi masuknya kapital ke desa-
desa di Indonesia.
Dari uraian diatas, menjadi jelas bahwa ciri utama kebijakan politik
Agraria masa Orde Baru ialah pembangunan industri padat modal, intensifikasi
pertanian (Revolusi Hijau), yang hampir semuanya dibiayai oleh lembaga-
lembaga keuangan Internasional. Selain itu, adanya sikap “ambivalent” dari
pemerintah, yang disatu sisi secara legal-formal “di atas kertas” UUPA 1960
sebagai landasan hukum pertanahan dan keagrariaan masih dinyatakan sah

2
Endriatmo Soetarto dan Moh. Shohibuddin, “Reforma Agraria Sebagai Basis Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan”, dalam Jurnal Pembaruan Desa dan Agraria Volume 01/Tahun I/2004, (Bogor:2004, Lapera) hlm. 24.
3
Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan, (Yogyakarta:2011, Insist Press) hlm. 186.
berlaku, namun di sisi lainya kebijakan agraria dan penerapannya tidak sesuai
dengan semangat UUPA 1960. Alih-alih mendistribusikan tanah kepada
masyarakat kecil, kebijakan politik agraria Orde Baru justru lebih mengutamakan
pembukaan konsensi pertambangan, kehutanan, dan perkebunan yang cenderung
menyingkirkan masyarakat dari alat produksinya tanah.
Corak politik agraria Orde Baru seperti yang disinggung diatas, secara
tidak langsung telah menimbulkan aneka macam konflik agraria yang
berkepanjangan, hingga detik ini. Bisa dikatakan, konflik-konflik tersebut tidak
lain adalah akibat by-pass approach yang bercirikan: mengandalkan bantuan
asing, hutang, dan investasi dari luar negeri, serta bertumpu pada yang besar
(betting on the strong).

E. Penutup
Definisi dari agraria ketika hanya dipahami sebagai sebuah kata ganti dari tanah,
maka dengan sendirinya ‘agraria’ telah mengalami degradasi maknanya, dan tereduksi
dimensi yang terkandung didalamnya. Padahal, agraria merupakan sebuah wacana, kata,
gagasan, dan studi yang sangat luas dan tidak hanya menyoal masalah tanah.
Politik agaria berubah total pada masa Orde Baru, dengan menggantikan
paradigma pemerataan dengan paradigma pertumbuhan. Artinya pada masa Orde Lama
pembangunan keagrarian dititikberatkan pada pemerataan akses tanah kepada rakyat
Indonesia, sementara pada Orde Baru menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi tanpa
diikuti dengan pemerataan akses tanah.
Dalam praktiknya rezim pemerintahan Orde Baru justru banyak menerbitkan UU
sektoral lain yang sebenarnya memiliki pondasi dan maksud yang berlainan dengan
semangat yang dibawa oleh UUPA 1960. Dengan jalan penerbitan UU Sektoral itu lah,
Orde Baru dengan leluasa dapat melakukan pengadaan tanah dalam skala besar untuk
kepentingan modal.
Dua hal yang tidak dapat dipisahkan dari corak politik agraria era Orde Baru ialah
tumbuh kembangnya ideologi Developmentalism dan hadirnya proyek Revolusi Hijau
yang sedang gencar menerpa banyak negara-negara dunia ketiga yang tidak bisa
dilepaskan dalam konteks perang dingin yang sedang berkecamuk pada akhir tahun
1960an. Developmentalism sendiri merupakan sebuah diskurs pembangunan yang
diciptakan negara-negara maju untuk mendominasi negaranegara berkembang.
Daftar Pustaka

Endriatmo Soetarto dan Moh. Shohibuddin, “Reforma Agraria Sebagai Basis Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan”, dalam Jurnal Pembaruan Desa dan Agraria Volume 01/Tahun
I/2004, (Bogor:2004, Lapera).

Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan, (Yogyakarta:2011, Insist Press).

Nurhasan Ismail, “Politik Hukum Pertanahan dan Perlindungan Kepemilikan Tanah


Masyarakat”, Jurnal Rechtsvinding, BPHN, Vol. 1. No. 1 April 2012.

Anda mungkin juga menyukai