Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

DENGUE FEVER

Presentan:
Friza Ndaru Dias, dr.

Partisipan :
Alfina Putri Rismawati,dr.
Nandy Bill Morris,dr.
Dwi Judio,dr.

DokterPendamping :
Bayu Laksono, dr., SpPD

Pembimbing:
Achmad Oktorudy, dr. MARS
Muhammad Hidayat, dr

INTERNSIP RSUD CILILIN


KABUPATEN BANDUNG BARAT
2021
A. IDENTITAS
Nama Penderita :Nn. T
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur :26tahun
Agama : Islam
Jabatan/Pekerjaan : Swasta
Dikirim oleh : UGD
Tgl. Dirawat : 30 April 2020
Tgl. Diperiksa : 3 Mei 2020
ANAMNESIS (Auto anamnesis)
KELUHAN UTAMA : Panas badan.
ANAMNESIS KHUSUS :
Enam hari yang lalu pasienmengeluh panas badan yang mendadak tinggi, dan dirasakan
terus menerus selama empat hari yang tidak. Pada hari kelima panas turun dan dirasakan pasien
normal. Keluhan panas badan disertai nyeri kepala terutama pada kepala bagian depan ,pegal –
pegal pada otot dan sendi sehingga pasien merasakan tidak nyaman saat bergerak. Pasien
mengeluhkan timbulnya bintik-bintik kemerahan pada lengan yang tidak hilang bila ditekan
setelah dilakukan uji bending oleh dokter ruangan. Bintik kemerahan tidak didapatkan pada
bagian tubuh yang lain.
Sejak enam hari yang lalu pasien merasa mual yang disertai muntah sejumlah dua kali,
masing – masing sebanyak satu genggaman tangan. Muntahan pertama berupa cairan bening, dan
muntahan kedua berupa campuran makanan seperti bubur. Akhir – akhir ini pasien merasakan
lemah terutama setelah bangun dari tempat tidur untuk ke kamar kecil. Keluhan keluarnya darah
spontan dari hidung maupun gusi disangkal pasien, keluhan sesak nafas, perut terasa membesar,
bengkak pada kaki, BAB menjadi hitam tidak ada.
Keluhan panas badan tidak didahului oleh menggigil yang diikuti dengan meningkatnya
temperature dan diakhiri dengan berkeringat banyak dan temperature turun, serta pasien tidak
pernah bepergian ke daerah endemik malaria ataupun daerah pantai. Keluhan juga tidak disertai
nyeri sendi dan nyeri tulang yang hebat yang menyebabkan penderita tidak bisa berjalan.
Penderita juga tidak mengeluh adanya batuk pilek dan sesak nafas. Keluhan panas badan juga
tidak disertai mata dan kulit yang menjadi kuning atapun nyeri otot betis yang hebat bila betis
ditekan.
Penderita baru pertama kali merasakan sakit seperti ini. Tidak didapatkan riwayat
penyakit serupa pada keluarga, tetangga maupun rekan kerjanya. Penderita mengaku sanitasi
lingkungan rumahnya baik dan selalu melaksanakan 3M (menguras, menutup, mengubur barang
bekas), namun sanitasi lingkungan pekerjaan diakuinya tidak begitu terjaga.
B. PEMERIKSAAN FISIK
I. KESAN UMUM
1. Status Generalis
a) Keadaan umum ; Tampak sakit sedang
b) Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
c) Vital sign :
Suhu : 38,5oC
Nadi : 110 x/mnt
TD : 100/70 mmHg
RR : 20 x/mnt
SpO2 : 99%
Kulit : Kulit lembab, kelainan (-)
Kepala: Normocephal, rambut hitam, distribusi merata

Mata
- Palpebra : Tidak edema
- Conjunctiva : Tidak anemis
- Sclera : Tidak ikterik
- Pupil : Isokor / Isokor
- Reflek cahaya : +/+/
Telinga : Bentuk normal, simetris, lubang lapang, serumen-/-
Hidung : Bentuk normal, tidak ada septum deviasi, sekret -/-
Mulut : Mukosa bibir basah, faring tidak hiperemis, Tonsil T1-T1
Leher
- Kelj. Getah bening : Tidak membesar
- Kelj. Thyroid : Tidak membesar
- JVP : Tidak meningkat
Thorax
Paru
- Inspeksi : Bentuk dan gerak simetris, tidak retraksi
- Palpasi : Ekspansi dada simetris, nyeri tekan (-)
- Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+, ronki (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak nampak
- Palpasi : Ictus cordis teraba
- Perkusi :
Batas Kiri atas ICS II linea parasternal sinistra
Batas Kanan atas ICS II linea parasternal dextra
Batas kiri bawah ICS V antara linea midclavicula dan axilaris anterior
Batas kanan bawah ICS V linea stemalis dextra
- Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, Gallop (-),
Murmur(-)
Abdomen
- Inspeksi : Datar, simetris, tidak Nampak hematom, warna kulit sama dengan
sekitar, darm contour dan darm steifung tidak nampak
- Auskultasi: Peristaltik normal
- Palpasi : Tidak teraba massa, defans muskuler (-),hepar dan lien tidak teraba
- Perkusi : Timpanii, tidak ada nyeri ketok CVA
Ekstremitas: Akral hangat, edema tungkai (-), capilary refill time < 2sec

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

a. DARAH
- Hb :13,2 gr%
- Leukosit : 2000/mm3
- Eritrosit : 4,5 juta/mm³
- Hematokrit : 37,9%
- Hitung Jenis
· Basofil :-
· Eosinofil :-
· Neutrofil Batang : -
· Neutrofil Segmen : 53,9 %
· Limfosit : 35,4 %
· Monosit : 11 %
- LED
· Jam I : 10 mm
· Jam II : 20 mm
Plasma :-
- Trombosit : 88.000/mm3

RESUME
Seorang perempuan berumur 26 tahun, pekerja swasta, belum menikah, datang ke RSUD
Cililin dengan keluhan utama panas badan.
Pada anamnesis lebih lanjut didapatkan :
Enam hari yang lalu pasien mengeluh panas badan yang mendadak tinggi, dan dirasakan
terus menerus selama empat hari. Keluhan panas badan disertai nyeri kepala terutama pada
kepala bagian depan, pegal – pegal pada otot dan sendi sehingga pasien merasakan tidak nyaman
saat bergerak. Pasien mengeluhkan timbulnya bintik-bintik kemerahan pada lengan yang tidak
hilang bila ditekan setelah dilakukan uji bending oleh dokter ruangan. Bintik kemerahan tidak
didapatkan pada bagian tubuh yang lain.
Sejak enam hari yang lalu pasien merasa mual yang disertai muntah sejumlah dua kali,
masing – masing sebanyak satu genggaman tangan. Muntahan pertama berupa cairan bening, dan
muntahan kedua berupa campuran makanan seperti bubur. Akhir – akhir ini pasien merasakan
lemah terutama setelah bangun dari tempat tidur untuk ke kamar kecil. Keluhan keluarnya darah
spontan dari hidung maupun gusi disangkal pasien, keluhan sesak nafas, perut terasa membesar,
bengkak pada kaki, BAB menjadi hitam tidakada.
Keluhan panas badan tidak didahului oleh menggigil yang diikuti dengan meningkatnya
temperature dan diakhiri dengan berkeringat banyak dan temperature turun, serta pasien tidak
pernah bepergian ke daerah endemik malaria ataupun daerah pantai. Keluhan juga tidak disertai
nyeri sendi dan nyeri tulang yang hebat yang menyebabkan penderita tidak bisa berjalan.
Penderita juga tidak mengeluh adanya batuk pilek dan sesak nafas. Keluhan panas badan juga
tidak disertai mata dan kulit yang menjadi kuning atapun nyeri otot betis yang hebat bila betis
ditekan.
Penderita baru pertama kali merasakan sakit seperti ini. Tidak didapatkan riwayat penyakit
serupa pada keluarga, tetangga maupun rekan kerjanya. Penderita mengaku sanitasi lingkungan
rumahnya baik dan selalu melaksanakan 3M (menguras, menutup, mengubur barang bekas),
namun sanitasi lingkungan pekerjaan diakuinya tidak begitu terjaga.

Pada pemeriksaan fisik lebihlanjutdidapatkan:


Keadaan umum : Kesadaran : Compos mentis
Kesan sakit : Tampak sakit sedang
Vital sign : Tekanan darah : 100 / 70 mmHg
Nadi : 68 x / menit reguler, equal, isi cukup.
Pernapasan : 15 x / menit
Suhu : 36,2oC
Sianosis : Tidak ada
Keringat dingin : Tidak ada

Pada pemeriksaan fisik lebih lanjut didapatkan :


Kepala Rambut : tidak ada kelainan
Muka : simetris, ikterik (-), facial flushing (-)
Mata : Sklera : ikterik -/-, scleral injection (-)
Konjungtiva : anemis -/-, conjunctival injection (-)
Telinga : tidak ada kelainan
Hidung : tidak terdapat perdarahan dari hidung, crusta sanguinolenta (-)
Mulut : Tidak terdapat perdarahan dari gusi
Lidah : Tidak ada kelainan
Leher JVP : 5 + 2 cmH2O (tidak meningkat)
Thorak
Inspeksi petekie (-)
Palpasi : Tidak ada kelainan dan dalam batas normal
Perkusi : Tidak ada kelainan dan dalam batas normal
Auskultasi : Jantung : BJ I-II murni reguler
Batas jantung dalam batas normal
Paru : VBS kanan = kiri, Wheezing -/- Ronkhi -/-

Abdomen
Inspeksi
Bentuk : Datar
Kulit : petekie (-)
Auskultasi
Bising usus : (+) Normal
Bruit : Tidak ada
Perkusi
Suara perkusi : Tympani
Ascites
Pekak samping : (-)
Pekak pindah : (-)
Fluid wave : (-)
Palpasi
Dinding perut : Lembut
Nyeri tekan lokal : Tidakada
Nyeri tekan difus : Tidak ada
- Hepar : Tidak teraba
- Lien : Tidak teraba, Ruang Traube tidak terisi
Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas ( anggota gerak ) atas bawah
- Kulit : petekie(+) petekie(-)

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan :


a. Darah Hb : 13,2 gr%
Leukosit : 2000/mm³
Eritrosit : 4,5 juta/mm3
Hematokrit : 37,9%
Trombosit : 88.000 /mm3
LED : 1 jam I = 10 mm
1 jam II = 20 mm

IV. DIAGNOSIS DIFERENSIAL


1. Demam Dengue
2. Dengue Hemorrhagic Fever
3. Chikungunya

V. DIAGNOSIS KERJA
Demam Dengue

VI. USUL PEMERIKSAAN


1. Pemeriksaan Hb, Ht, leukosit, Trombosit serial / 12 jam
2. IgM & IgG anti Dengue
3. IgM titer chikungnya

VII. PENGOBATAN
Umum : Banyak minum> 1 ½ liter / 24 jam
Khusus : Infus RL 2 Liter / 24 jam
Paracetamol 500 mg 1 tab., bila suhu> 380

VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam :ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi virus dengue merupakan masalah kesehatan utama di 100 negara-negara tropis
dan subtropis di Asia Tenggara, Pasifik Barat, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan.1Kira-kira
50 juta kasus baru terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi
peningkatan dan penyebaran kasus dengue ini sangat kompleks, yaitu pertumbuhan penduduk,
urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkontrol, tidak adanya kontrol terhadap nyamuk yang
efektif di daerah endemik, dan peningkatan sarana transportasi. Morbiditas dan mortalitas infeksi
dengue dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain status imunologis pejamu, kepadatan vektor
nyamuk, transmisi virus dengue, faktor keganasan virus, dan kondisi geografis setempat.
Prevalensi global DHF mengalami peningkatan yang dramatis dalam dua dekade terakhir.
Sekitar 40 % dari penduduk dunia di daerah tropis dan sub tropis beresiko terkena DHF.
Penyakit ini kini menjadi penyakit yang endemik di Indonesia sejak tiga dekade terakhir.
Insidennya berfluktuasi setiap tahun bahkan sampai terjadi wabah DHF di beberapa daerah di
Indonesia. Sampai saat ini 200 kota telah melaporkan kejadian luar biasa. Insiden rate meningkat
dari 0,005 per 100.000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar 6-27 per 100.000 penduduk
pada tahun terakhir ini3. Jumlah kasus Dengue Hemorragic Fever ( DHF ) di Indonesia sejak
Januari s/d Mei 2004 mencapai 64.000 (IR 29,7 per 100.000 penduduk) dengan kematian
sebanyak 724 orang (CFR 1,1 %).
DHF dapat menyerang semua golongan umur. Proporsi kasus DHF berdasarkan umur di
Indonesia menunjukkan bahwa DHF paling banyak terjadi pada anak usia sekolah yaitu pada
usia 5-14 tahun.4 DHF masih sulit diberantas karena belum ada vaksin untuk pencegahan dan
penatalaksanaannya hanya bersifat suportif. Keberhasilan penatalaksanaan DHF terletak pada
kemampuan mendeteksi secara dini fase kritis dan penanganan yang cepat dan tepat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
DBD (Demam Berdarah Dengue) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue tipe 1-4, dengan manifestasi klinis demam mendadak 2-7 hari disertai gejala perdarahan
dengan atau tanpa syok, disertai pemeriksaan laboratorium menunjukkan trombositopenia
(trombosit kurang dari 100.000) dan peningkatan hematokrit 20% atau lebih dari nilai normal1.
2.2 Epidemiologi
Sejak 20 tahun terakhir, terjadi peningkatan frekuensi infeksi virus dengue secara global.
Di seluruh dunia 50-100 milyar kasus telah dilaporkan. Setiap tahunnya sekitar 500.000 kasus
DBD perlu perawatan di rumah sakit, 90% diantaranya adalah anak – anak usia kurang dari 15
tahun. Angka kematian DBD diperkirakan sekitar 5% dan sekitar 25.000 kasus kematian
dilaporkan setiap harinya.
2.3 Etiologi dan Transmisi
DBD diketahui disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan RNA virus
dengan nukleokapsid ikosahedral dan dibungkus oleh lapisan kapsul lipid. Virus ini termasuk
kedalam kelompok arbovirus B, famili Flaviviridae, genus Flavivirus. Flavivirus merupakan
virus yang berbentuk sferis, berdiameter 45-60 nm, mempunyai RNA positif sense yang
terselubung, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietil eter dan natrium
dioksikolat, stabil pada suhu 70oC4,7. Virus dengue mempunyai 4 serotipe, yaitu DEN 1, DEN
2, DEN 3, DEN 4.
Manifestasi klinis dengue selain dipengaruhi oleh virus dengue itu sendiri, terdapat 2
faktor lain yang berperan yaitu faktor host dan vektor perantara. Virus dengue dikatakan
menyerang manusia dan primata yang lebih rendah. Penelitian di Afrika menyebutkan bahwa
monyet dapat terinfeksi virus ini. Transmisi vertikal dari ibu ke anak telah dilaporkan
kejadiannya di Bangladesh dan Thailand6. Vektor utama dengue di Indonesia adalah Aedes
aegypti betina, disamping pula Aedes albopictus betina7. Ciri-ciri nyamuk penyebab penyakit
demam berdarah (nyamuk Aedes aegypti):
 Badan kecil, warna hitam dengan bintik-bintik putih
 Hidup di dalam dan di sekitar rumah
 Menggigit/menghisap darah pada siang hari
 Senang hinggap pada pakaian yang bergantungan dalam kamar
 Bersarang dan bertelur di genangan air jernih di dalam dan di sekitar rumah bukan di
got/comberan
 Di dalam rumah: bak mandi, tampayan, vas bunga, tempat minum burung, dan lain-
lain.
Jika seseorang terinfeksi virus dengue digigit oleh nyamuk Aedes aegypti, maka virus
dengue akan masuk bersama darah yang diisap olehnya. Didalam tubuh nyamuk itu virus dengue
akan berkembang biak dengan cara membelah diri dan menyebar ke seluruh bagian tubuh
nyamuk. Sebagian besar virus akan berada dalam kelenjar air liur nyamuk. Jika nyamuk tersebut
menggigit seseorang maka alat tusuk nyamuk (proboscis) menemukan kapiler darah, sebelum
darah orang itu diisap maka terlebih dahulu dikeluarkan air liurnya agar darah yang diisapnya
tidak membeku. Bersama dengan air liur inilah virus dengue tersebut ditularkan kepada orang
lain.
2.4 Patofisiologi dan Patogenesis
Walaupun demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue(DBD) disebabkan oleh
virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang berbeda yang menyebabkan perbedaan
klinis. Perbedaan yang utama adalah hemokonsentrasi yang khas pada DBD yang bisa mengarah
pada kondisi renjatan. Renjatan itu disebabkan karena kebocoran plasma yang diduga karena
proses imunologi. Pada demam dengue hal ini tidak terjadi. Manifestasi klinis demam dengue
timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Virus akan berkembang di dalam peredaran
darah dan akan ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul
gejala dan berakhir setelah lima hari gejala panas mulai. Makrofag akan segera bereaksi dengan
menangkap virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi APC (Antigen Presenting
Cell). Antigen yang menempel di makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik
makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik
yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan
melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi
hemagglutinasi, antibodi fiksasi komplemen.
Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang terjadinya
gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya. Dapat terjadi
manifetasi perdarahan karena terjadi agregasi trombosit yang menyebabkan trombositopenia,
tetapi trombositopenia ini bersifat ringan. Imunopatogenesis DBD dan DSS masih merupakan
masalah yang kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis
pada DBD dan DSS yaitu teori virulensi dan hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous
infection theory).
Teori virulensi dapat dihipotesiskan sebagai berikut : Virus dengue seperti juga virus
binatang yang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik
dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan
viremia, peningkatan virulensi, dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Renjatan
yang dapat menyebabkan kematian terjadi sebagai akibat serotipe virus yang paling virulen.
Secara umum hipotesis secondary heterologous infection menjelaskan bahwa jika
terdapat antibodi yang spesifik terhadap jenis virus tertentu maka antibodi tersebut dapat
mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi terdapat dalam tubuh merupakan antibodi
yang tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit yang berat. Antibodi
heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan
kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan berikatan dengan Fc reseptor dari
membran sel leukosit terutama makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent
enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di
dalam sel mononuklear. Sebagai respon terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator
vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang
pasien, respon antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan
proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG antidengue.
Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga di dalam limfosit yang bertransformasi dengan
akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya
kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan
aktivasi sistem komplemen.
Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke
ruang ekstravaskuler. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai
lebih dari 30% dan berlangsung selama 24 – 48 jam. Perembesan plasma yang erat hubungannya
dengan kenaikan permeabilitas dinding pembuluh darah ini terbukti dengan adanya peningkatan
kadar hematokrit, penurunan kadar natrium dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi
pleura dan asites). Syok yang tidak tertanggulangi secara adekuat akan menyebabkan asidosis
dan anoksia, yang dapat berakibat fatal, oleh karena itu pengobatan syok sangat penting guna
mencegah kematian Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi
selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi
sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan
mengakibatkan perdarahan pada DBD. Agrerasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan
kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin
diphosphat ), sehingga trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga
terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III
mengakibatkan terjadinya koagulapati konsumtif (KID; koagulasi intravaskular deseminata),
ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation product ) sehingga terjadi penurunan
faktor pembekuan.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi dengan baik. Di sisi lain,
aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hagemen sehingga terjadi aktivasi sistem
kinin kalikrein sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat
terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan
faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel
kapiler. Akhirnya perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.
2.5 Spektrum Klinis dan Derajat Penyakit
Perjalanan infeksi virus di dalam tubuh manusia sangat tergantung dari interaksi antara
kondisi imunologik dan umur seseorang. Oleh karena itu infeksi virus dengue dapat tidak
menunjukan gejala (asimptomatik) ataupun bermanifestasi klinis ringan yaitu demam tanpa
penyebab yang jelas, demam dengue (DD) dan bermanifestasi berat dengan demam berdarah
dengue (DBD) tanpa syok atau sindrom syok dengue (SSD).1 Namun, untuk alasan praktis,
infeksi dengue yang tidak berat (non-severe dengue) dapat dikelompokkan ke dalam 2 kelompok
yaitu pasien dengan warning sign dan tanpa warning sign.
2.7 Pemeriksaan Penunjang
2.7.1 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis DBD adalah
pemeriksaan darah lengkap, urine, serologi dan isolasi virus. Yang signifikan dilakukan adalah
pemeriksaan darah lengkap, selain itu untuk mendiagnosis DBD secara definitif dengan isolasi
virus, identifikasi virus dan serologis.
Darah Lengkap :
Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah
trombosit. Peningkatan nilai hematokrit yang selalu dijumpai pada DBD merupakan indikator
terjadinya perembesan plasma, Selain hemokonsentrasi juga didapatkan trombositopenia, dan
leukopenia.5
Isolasi Virus :
Ada beberapa cara isolasi dikembangkan, yaitu :
a. Inokulasi intraserebral pada bayi tikus albino umur 1-3 hari.
b. Inokulasi pada biakan jaringan mamalia (LLCKMK2) dan nyamuk A. albopictus.
c. Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik / intraserebri pada larva.
Identifikasi Virus :
Adanya pertumbuhan virus dengue dapat diketahui dengan melakukan fluorescence antibody
technique test secara langsung atau tidak langsung dengan menggunakan cunjugate. Untuk
identifikasi virus dipakai flourensecence antibody technique test secara indirek dengan
menggunakan antibodi monoklonal.6,7
Uji Serologi :
1. Uji hemaglutinasi inhibasi ( Haemagglutination Inhibition Test = HI test)6,7
Diantara uji serologis, uji HI adalah uji serologis yang paling sering dipakai dan digunakan
sebagai baku emas pada pemeriksaan serologis. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam uji HI ini :
a. Uji ini sensitif tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji serologis ini tidak dapat menunjukan
tipe virus yang menginfeksi . Antibodi HI bertahan didalam tubuh sampai lama sekali (48 tahun),
maka uji ini baik digunakan pada studi seroepidemiologi.
c. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen empat kali lipat dari titer serum akut atau
konvalesen dianggap sebagai presumtive positif, atau diduga keras positif infeksi dengue yang
baru terjadi (Recent dengue infection )
2. Uji Komplement Fiksasi ( Complement Fixation test = CF test )6,7
Uji serologi yang jarang digunakan sebagai uji diagnostik secara rutin oleh karena selain cara
pemeriksaan agak ruwet, prosedurnya juga memerluikan tenaga periksa yang sudah
berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi komplemen fiksasi hanya bertahan sampai
beberapa tahun saja ( 2 – 3 tahun )
3. Uji neutralisasi ( Neutralisasi Tes = NT test )6,7
Merupakan uji serologi yang paling spesifik dan sensitif untuk virus dengue. Biasanya uji
neutralisasi memakai cara yang disebut Plaque Reduction Neutralization Test ( PRNT ) yaitu
berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Saat antibodi neutralisasi dideteksi dalam
serum hampir bersamaan dengan HI antibodi komplemen tetapi lebih cepat dari antibodi fiksasi
dan bertahan lama (48 tahun). Uji neutralisasi juga rumit dan memerlukan waktu yang cukup
lama sehingga tidak dipakai secara rutin.
4. IgM Elisa ( IgM Captured Elisa = Mac Elisa)8
Pada tahun terakhir ini, mac elisa merupakan uji serologi yang banyak sekali dipakai. Sesuai
namanya test ini akan mengetahui kandungan IgM dalam serum pasien. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam uji mac elisa adalah :
a. Pada perjalanan penyakit hari 4 – 5 virus dengue, akan timbul IgM yang diikuti oleh IgG.
b. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, secara cepat dapat ditentukan diagnosis yang
tepat.
c. Ada kalanya hasil uji terhadap masih negatif, dalam hal ini perlu diulang.
d. Apabila hari ke 6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai negatif.
e. IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2 – 3 bulan setelah adanya infeksi. Untuk
memeperjelas hasil uji IgM dapat juga dilakukan uji terhadap IgG. Untuk itu uji IgM tidak boleh
dipakai sebagai satu – satunya uji diagnostik untuk pengelolaan kasus.
f. Uji mac elisa mempunyai sensitifitas sedikit dibawah uji HI, dengan kelebihan uji mac elisa
hanya memerlukan satu serum akut saja dengan spesifitas yang sama dengan uji HI.
5. IgG Elisa
2.7.2 Pemeriksaan Radiologi
Kelainan yang bisa didapatkan antara lain 3:
1. Dilatasi pembuluh darah paru
2. Efusi pleura
3. Kardiomegali atau efusi perikard
4. Hepatomegali
5. Cairan dalam rongga peritoneum
6. Penebalan dinding vesika felea

2.8 Diagnosis Banding


a. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus, atau
penyakit protozoa seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis chikungunya, malaria.
Adanya trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi dapat membedakan antara DBD
dengan penyakit lain.
b. DBD harus dibedakan pada deman chikungunya (DC). Pada DC biasanya seluruh anggota
keluarga dapat terserang dan penularannya mirip dengan influenza. Bila dibandingkan dengan
DBD, DC memperlihatkan serangan demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu tubuh
tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular, injeksi kojungtiva dan lebih sering dijumpai
nyeri sendi. Proporsi uji tourniquet positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan DBD.
Pada DC tidak ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.
c. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi, misalnya
sepsis, meningitis meningkokus. Pada sepsis, anak sejak semula kelihatan sakit berat, demam
naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi. Disamping itu jelas terdapat leukositosis disertai
dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran ke kiri pada hitung jenis). Pemeriksaan laju endap
darah (LED) dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri dengan virus. Pada
meningitis meningkokokus jelas terdapat rangsangan meningeal dan kelainan pada pemeriksaan
cairan serebrospinalis.
d. Idiopatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat II, oleh
karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-hari pertama, diagnosis
ITP sulit dibedakan dendgan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat menghilang, tidak
dijumpai hemokonsentrasi, dan pada fase penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat
kembali normal daripada ITP.
e. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik. Pada leukemia demam tidak
teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat anemis. Pemeriksaan darah tepi dan sumsum
tulang akan memperjelas diagnosis leukemia. Pada anemia aplastik anak sangat anemik, demam
timbul karena infeksi sekunder

2.9 Penatalaksanaan
Berdasarkan panduan WHO 2009, pasien dengan infeksi dengue dikelompokkan ke
dalam 3 kelompok yaitu Grup A, B, dan C. Pasien yang termasuk Grup A dapat menjalani rawat
jalan. Sedangkan pasien yang termasuk Grup B atau C harus menjalani perawatan di rumah sakit.
Sampai saat ini belum tersedia terapi antiviral untuk infeksi dengue. Prinsip terapi bersifat
simptomatis dan suportif.
2.9.1 Grup A
Yang termasuk Grup A adalah pasien yang tanpa disertai warning signs dan mampu
mempertahankan asupan oral cairan yang adekuat dan memproduksi urine minimal sekali dalam
6 jam. Sebelum diputuskan rawat jalan, pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan. Pasien
dengan hematokrit yang stabil dapat dipulangkan. Terapi di rumah untuk pasien Grup A meliputi
edukasi mengenai istirahat atau tirah baring dan asupan cairan oral yang cukup, serta pemberian
parasetamol. Pasien beserta keluarganya harus diberikan KIE tentang warning signs secara jelas
dan diberikan instruksi agar secepatnya kembali ke rumah sakit jika timbul warning signs selama
perawatan di rumah.
2.9.2 Grup B
Yang termasuk Grup B meliputi pasien dengan warning signs dan pasien dengan kondisi
penyerta khusus (co-existing conditions). Pasien dengan kondisi penyerta khusus seperti
kehamilan, bayi, usia tua, diabetes mellitus, gagal ginjal atau dengan indikasi sosial seperti
tempat tinggal yang jauh dari RS atau tinggal sendiri harus dirawat di rumah sakit. Jika pasien
tidak mampu mentoleransi asupan cairan secara oral dalam jumlah yang cukup, terapi cairan
intravena dapat dimulai dengan memberikan larutan NaCl 0,9% atau Ringer’s Lactate dengan
kecepatan tetes maintenance. Monitoring meliputi pola suhu, balans cairan (cairan masuk dan
cairan keluar), produksi urine, dan warning signs.5
Tatalaksana pasien infeksi dengue dengan warning signs adalah sebagai berikut:
 Mulai dengan pemberian larutan isotonic (NS atau RL) 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam,
kemudian kurangi kecepatan tetes menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, dan kemudian kurangi
lagi menjadi 2-3 ml/kg/jam sesuai respons klinis.
 Nilai kembali status klinis dan evaluasi nilai hematokrit. Jika hematokrit stabil atau hanya
meningkat sedikit, lanjutkan terapi cairan dengan kecepatan 2-3 ml/kg/jam selama 2-4 jam.
 Jika terjadi perburukan tanda vital dan peningkatan cepat nilai HCT, tingkatkan kecepatan
tetes menjadi 5-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam
 Nilai kembali status klinis, evaluasi nilai hematokrit dan evaluasi kecepatan tetes infuse.
Kurangi kecepatan tetes secara gradual ketika mendekati akhir fase kritis yang diindikasikan oleh
adanya produksi urine dan asupan cairan yang adekuat dan nilai hematokrit di bawah nilai
baseline.
 Monitor tanda vital dan perfusi perifer (setiap 1-4 jam sampai pasien melewati fase kritis),
produksi urine, hematokrit (sebelum dan sesudah terapi pengganti cairan, kemudian setiap 6-12
jam), gula darah, dan fungsi organ lainnya (profil ginjal, hati, dan fungsi koagulasi sesuai
indikasi).
2.9.3 Grup C
Yang termasuk Grup C adalah pasien dengan kebocoran plasma (plasma leakage) berat
yang menimbulkan syok dan/atau akumulasi cairan abnormal dengan distres nafas, perdarahan
berat, atau gangguan fungsi organ berat. Terapi terbagi menjadi terapi syok terkompensasi
(compensated shock) dan terapi syok hipotensif (hypotensive shock).
Terapi cairan pada pasien dengan syok terkompensasi meliputi:
 Mulai resusitasi dengan larutan kristaloid isotonik 5-10 ml/kg/jam selama 1 jam. Nilai
kembali kondisi pasien, jika terdapat perbaikan, turunkan kecepatan tetes secara gradual menjadi
5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, kemudian 2-3
ml/kg/jam selama 2-4 jam dan selanjutnya sesuai status hemodinamik pasien. Terapi cairan
intravena dipertahankan selama 24-48 jam.
 Jika pasien masih tidak stabil, cek nilai hematokrit setelah bolus cairan pertama. Jika nilai
hematorit meningkat atau masih tinggi (>50%), ulangi bolus cairan kedua atau larutan kristaloid
10-20 ml/kg/jam selama 1 jam. Jika membaik dengan bolus kedua, kurangi kecepatan tetes
menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam dan lanjutkan pengurangan kecepatan tetes secara
gradual seperti dijelaskan pada poin sebelumnya.
 Jika nilai hematokrit menurun, hal ini mengindikasikan adanya perdarahan dan memerlukan
transfusi darah (PRC atau whole blood).

Terapi cairan pada pasien dengan syok hipotensif meliputi:


 Mulai dengan larutan kristaloid isotonik intravena 20 ml/kg/jam sebagai bolus diberikan
dalam 15 menit.
 Jika terdapat perbaikan, berikan cairan kristaloid atau koloid 10 ml/kg/jam selama 1 jam,
kemudian turunkan kecepatan tetes secara gradual.
 Jika tidak terdapat perbaikan atau pasien masih tidak stabil, evaluasi nilai hematokrit sebelum
bolus cairan. Jika hematokrit rendah (<40%), hal ini menandakan adanya perdarahan, siapkan
cross-match dan transfusi. Jika hematokrit tinggi dibandingkan nilai basal, ganti cairan dengan
cairan koloid 10-20 ml/kg/jam sebagai bolus kedua selama 30 menit sampai 1 jam, nilai ulang
setelah bolus kedua.
 Jika terdapat perbaikan, kurangi kecepatan tetes menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam,
kemudian kembali ke cairan kristaloid dan kurangi kecepatan tetes seperti poin penjelasan
sebelumnya.
 Jika pasien masih tidak stabil, evaluasi ulang nilai hematokrit setelah bolus cairan kedua. Jika
nilai hematokrit menurun, hal ini menandakan adanya perdarahan. Jika hematokrit tetap tinggi
atau bahkan meningkat (>50%), lanjutkan infus koloid 10-20 ml/kg/jam sebagai bolus ketiga
selama 1 jam, kemudian kurangi menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian ganti
dengan cairan kristaloid dan kurangi kecepatan tetes.
 Jika terdapat perdarahan, berikan 5-10 ml/kg/jam transfusi PRC segar atau 10-20 ml/kg/jam
whole blood segar.

Kriteria memulangkan pasien


Pasien dapat dipulangkan apabila :
- Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
- Nafsu makan membaik
- Secara klinis tampak perbaikan
- Hematokrit stabil
- Tiga hari setelah syok teratasi
- Jumlah trombosit > 50.000/μl
- Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)1.

2.10 Penyulit
Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan
dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok. Gangguan
metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab
ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, kemungkinan dapat juga disebabkan
oleh trombosis pembuluh darah otak sementara sebagai akibat dari koagulasi intravaskuler yang
menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus dengue dapat menembus sawar darah otak. Dikatakan juga
bahwa keadaan ensefalopati berhubungan dengan kegagalan hati akut3.
Pada ensefalopati dengue, kesadaran pasien menurun menjadi apatis atau somnolen,
dapat disertai atau tidak kejang dan dapat terjadi pada DBD / SSD. Apabila pada pasien syok
dijumpai penurunan kesadaran, maka untuk memastikan adanya ensefalopati, syok harus diatasi
terlebih dahulu. Apabila syok telah teratasi maka perlu dinilai kembali kesadarannya. Pungsi
lumbal dikerjakan bila kesadarannya telah teratasi dan kesadaran tetap menurun (hati-hati bila
jumlah trombosit <50.000/μl). Pada ensefalopati dengue dijumpai peningkatan kadar
transaminase (SGOT/SGPT), PT dan PTT memanjang, kadar gula darah menurun, alkalosis pada
analisa gas darah, dan hiponatremia (Bila mungkin periksa kadar amoniak darah)3.
Kelainan Ginjal
Gagal ginjal akut umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang
tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun jarang. Untuk
mencegah gagal ginjal, maka setelah syok diobati dengan menggantikan volume intravaskuler,
penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis merupakan
parameter yang penting dan mudah dikerjakan, untuk mengetahui apakah syok telah teratasi.
Diuresis diusahakan > 1 ml / Kg BB per jam. Oleh karena bila syok belum teratasi dengan baik
sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada keadaan syok berat
sering kali dijimpai akut tubular nekrosis ditandai penurunan jumlah urine dan peningkatan kadar
ureum dan kreatinin3.
Oedema Paru
Merupakan komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat dari pemberian cairan yang
berlebihan. Pemberian cairan pada hari ketiga sampai kelima sakit sesuai dengan panduan yang
diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan oedema paru karena perembesan plasma masih
terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskuler, apabila cairan yang
diberikan berlebih (Kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit
tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami distres pernafasan, disertai sembab
pada kelopak mata dan ditunjang dengan gambaran oedema paru pada foto rontgen3.
2.11 Pencegahan Demam berdarah dapat dicegah dengan memberantas jentik-jentik nyamuk
Demam Berdarah (Aedes aegypti) dengan cara melakukan PSN (Pembersihan Sarang Nyamuk)
Upaya ini merupakan cara yang terbaik, ampuh, murah, mudah dan dapat dilakukan oleh
masyarakat, dengan cara sebagai berikut5:
1. Bersihkan (kuras) tempat penyimpanan air (seperti : bak mandi / WC, drum, dan lain-lain)
sekurang-kurangnya seminggu sekali. Gantilah air di vas kembang, tempat minum burung,
perangkap semut dan lain-lain sekurang-kurangnya seminggu sekali
2. Tutuplah rapat-rapat tempat penampungan air, seperti tampayan, drum, dan lain-lain agar
nyamuk tidak dapat masuk dan berkembang biak di tempat itu
3. Kubur atau buanglah pada tempatnya barang-barang bekas, seperti kaleng bekas, ban bekas,
botol-botol pecah, dan lain-lain yang dapat menampung air hujan, agar tidak menjadi tempat
berkembang biak nyamuk. Potongan bamboo, tempurung kelapa, dan lain-lain agar dibakar
bersama sampah lainnya
4. Tutuplah lubang-lubang pagar pada pagar bambu dengan tanah atau adukan semen
5. Lipatlah pakaian/kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak hinggap disitu
6. Untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin atau sulit dikuras, taburkan bubuk ABATE ke
dalam genangan air tersebut untuk membunuh jentik-jentik nyamuk. Ulangi hal ini setiap 2-3
bulan sekali.

2.12 Prognosis
Prognosis DHF ditentukan oleh derajat penyakit, cepat tidaknya penanganan diberikan,
umur, dan keadaan nutrisi. Prognosis DBD derajat I dan II umumnya baik. DBD derajat III dan
IV bila dapat dideteksi secara cepat maka pasien dapat ditolong. Angka kematian pada syok yang
tidak terkontrol sekitar 40-50 % tetapi dengan terapi penggantian cairan yang baik bisa menjadi
1-2 %. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang, dan Jakarta memperlihatkan bahwa
prognosis dan perjalanan penyakit DHF pada orang dewasa umumnya lebih ringan daripada
anak-anak. Pada kasus- kasus DHF yang disertai komplikasi sepeti DIC dan ensefalopati
prognosisnya buruk.
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO, Regional Office for South East Asia (2011). Comprehensive Guidelines for Prevention
and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever: Revised and expanded edition.
SEARO Technical Publication Series No. 60. India
2. Mansjoer, Arif & Suprohaita. (2000). Kapita Slekta Kedokteran Jilid II. Fakultas Kedokteran
UI : Media Aescullapius. Jakarta.
3. Hadinegoro, S.Sri Rezeki, Pitfalls and Pearls.(2004). Diagnosis dan Tata Laksana Demam
Berdarah Dengue, dalam: Current Management of Pediatrics Problem. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta. Hal 63-72
4. Hadinegoro, S.Sri Rezeki (2011). Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia.
Terbitan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta.
5. World Health Organization. DENGUE Guidelines for diagnosis, treatment, prevention and
control. New Edition 2009.
6. Buchy P, Yoksan S, Peeling RW, Hunsperger E. Laboratory Tests for The Diagnosis of
Dengue Virus Infection. J Clin Microbiol 2006;40:376-81.
7. Guzman MG, Kouri G. Dengue diagnosis, advances and challenges. Int J Infect Dis
2007;8:69-80.
8. Shu PY. Comparison of a capture immunoglobulin M (IgM) and IgG ELISA and non-
structural protein NS1 serotype-specific IgG ELISA for differentiation of primary and secondary
dengue virus infections. Clin Diagn Lab Immunol 2006;10:622-30.
9. Chien LJ. Development of a real time reverse transcriptase PCR assays to detect and serotype
dengue viruses. J Clin Microbiol 2008;44:1295-04.
10. Lanciotti RS. Rapid detection and typing of dengue viruses from clinical samples by using
reverse transcriptase-polymerase chain reaction. J Clin Microbiol 2008;30:545-51.

Anda mungkin juga menyukai