Anda di halaman 1dari 3

Rumah Tua

Kosong, dingin.

Ruangan itu sangat berdebu. Pintunya bahkan sudah berkarat. Seorang gadis terlihat duduk
di pojok ruangan. Ia memegang sebuah bingkai foto. Pandangannya kosong.

Aku berjalan sangat pelan melewati ruangan berukuran 2x2m ini. Lantai kayu ruangan ini
terlihat sangat rapuh. Satu langkah yang kuat takut menghancurkan lantai beserta
pemiliknya.

Aku duduk di depan gadis itu. Lihatlah, dari dekat ia terlihat lebih menyesakkan. Debu
menempel di wajahnya. Entah sejak kapan ia terakhir menangis, namun di kedua pipinya
terlihat dua garis lurus turun dari ujung matanya. Sepertinya selain tangis tidak ada yang
bertambah dari ruangan ini. Rambutnya berantakan. Tulang wajahnya menonjol sangat
kelihatan. Paras wajahnya sudah susah dikenali. Aku menggenggam wajahnya perlahan.

"Sis, waktunya kita pergi".

Ia menatapku lamat lamat. Tidak ada tatapan lebih sedih dari ini. Serasa hidupnya sudah
berakhir namun raganya masih tersisa.

Setelah beberapa menit dia memutuskan berdiri. Seperti robot yang kehilangan oli, gerakan
tangan dan tubuhnya yang berusaha bangun terasa ringkih dan berbahaya.

Aku menggenggam tangannya, memberikan hangat di tengah ruangan yang dingin. Kami
berjalan melintasi ruangan. Ruangan kecil ini terasa sangat luas baginya. Langkah kecilnya
yang berat terasa harus berduel dengan waktu.

Sepintas aku melihat kalender tua diatas meja di ujung ruangan. Ujung ujung kertasnya
sudah hilang termakan waktu. Bahkan beberapa tinta di angka angka nya sudah
menghilang. Namun di tengah halaman kalender itu tertulis besar dengan huruf kapital
berwarna merah, "Agustus 2015".

Aku memandangi kalender itu beberapa saat, lalu mendorongnya hingga berdebam di atas
meja. Debu debu bertebaran di sekitarnya.

Kami kembali berjalan. Langkahnya terasa semakin berat saat kami mendekati pintu. Butuh
beberapa menit aku menunggu langkah terakhirnya melewati daun pintu. Cahaya matahari
menyinari debu yang menempel di atas rambutnya. Membuatnya semakin jelas.

Ia bebas, gadis ini sudah bebas.

"Siska, kamu bebas". Ucapku sambil memegang kedua pundaknya.

Namanya Siska Paramita. Usianya baru 17 tahun.


"Maafkan aku Sis, aku sudah membuatmu menderita selama ini. Tidak apa, sekarang
semua sudah selesai. Kamu bisa pergi. Kamu bisa meninggalkan rumah ini. Kamu bisa
bebas Sis".

Aku menangis. Air mata itu jatuh tanpa permisi, membasahi sepatu hitam milikku. Siska
yang dari tadi menunduk kini menengadahkan wajahnya menatapku. Air mata itu kembali
mengalir melalui dua garis lurus di pipinya. Entah berapa ribu kali air telah melewati garis itu
dalam kurun waktu 5 tahun ini.

Ia tersenyum, senyum pertama sejak waktu yang lama. Beberapa debu kering di sekitar
mulutnya retak. Lihatlah betapa debu itu menjadi saksi senyum yang telah lama menghilang.

Ia memegang tanganku, mengusapnya beberapa kali. Seperti ucapan selamat tinggal.


Suara serak yang dipaksakan keluar dari tenggorokannya, "Bahagialah, lanjutkan hidupmu".

Ia melepaskan tanganku. Lalu berjalan menuju matahari. Pelan, tubuhnya menghilang


seperti ditelan bumi.

Aku menoleh ke arah rumah tua tadi. Sudah selesai! Semuanya sudah selesai, ujarku dalam
hati.

****

"Apa kau baik baik saja?", tanya seorang berjubah putih.

Tak jauh dari wanita berjubah tadi, berdiri seorang lelaki memakai kemeja berwarna merah.
Wajahnya mengernyit, tangannya tak berhenti bergerak risau. Matanya menatap kedua
mataku dalam, ada rasa hangat didalamnya. Dia Erwin, calon suamiku.

Aku memejamkan mataku sekali lagi. Air mata itu kembali keluar beberapa bulir. Pelan aku
pun menganggukkan kepalaku.

Ingatanku kembali pulih. Aku sedang berada di ruang terapi psikologi. Wanita berjubah putih
ini adalah Doktor Regina, Psikolog pribadiku.

"Dia baik baik saja. Air matanya telah mengkonfirmasi bahwa dia sudah benar benar
berdamai. Pak Erwin harus sering menemaninya beberapa waktu ke depan", ucap Dokter
Regina.

Ia mundur beberapa langkah dari kursi terapiku, memberi ruang untuk Erwin maju beberapa
langkah. Ia segera menggenggam tanganku dengan kedua tangannya, mengusapnya
beberapa kali sambil mengucap kata "it's okay” tanpa suara.

Bulan depan kami akan menikah. Gadis di sebuah rumah tua tadi adalah diriku 8 tahun yang
lalu. Diriku versi remaja. Diriku saat kecelakaan itu datang dan merenggut seluruh
keluargaku. Iya benar, seluruh keluargaku. Ayah, Ibu dan kedua kakakku meninggal dalam
sebuah kecelakaan tunggal saat berusaha datang ke acara pentas seni sekolahku. Praktis,
aku menjadi aeorang gadis yatim piatu di sebuah panti asuhan kecil di sudut kota.

Sejak hari itu aku memiliki dua kepribadian. Satu adalah diriku yang bertumbuh dewasa dan
melanjutkan hidup dan satunya adalah seorang gadis berumur 17 tahun yang sedang patah
hati. Saat aku sedang sedih atau mendapat stress yang tinggi ia akan tiba tiba muncul.
Membuatku menangis sepanjang hari sambil duduk meringkuk di pojok ruangan, sama
persis seperti saat aku menemukannya di ruangan tadi.

Erwin adalah seorang kawan yang ku kenal saat aku bekerja di sebuah perusahaan swasta
tak lama sejak aku berhasil menyelesaikan kuliah ku. Dia seorang yang pengertian dan
sangat sabar menghadapiku. Ide ini muncul beberapa bulan lalu saat aku tak sengaja
membaca tentang terapi untuk menghilangkan trauma dan sisi ku yang lain.

Hari ini adalah hari terakhir. Hari pembebasan menurut Dokter Regina. Siska remaja telah
bebas. Aku telah berdamai dengan masa laluku yang pahit. Aku berjanji akan hidup dengan
bahagia bersama Erwin, melanjutkan hidupku seutuhnya. Tanpa Siska remaja, tanpa
penyesalan.

Anda mungkin juga menyukai