Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Ternak Sapi
Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging terbesar setelah
ternak unggas di Indonesia, namun produksi daging dalam negeri belum mampu
memenuhi kebutuhan karena populasi dan produktivitas ternak rendah. Bangsa
sapi lokal yang berpotensi dikembangkan di Indonesia adalah sapi Ongole, sapi
bali dan sapi Madura disamping bangsa sapi peranakan hasil persilangan lainnya
seperti Limosin Ongole (limpo) dan Simental Ongole (Simpo). Bangsa sapi
tersebut telah beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan di wilayah
Indonesia.(9)
Sapi Bali adalah bangsa sapi lokal yang paling tahan terhadap cekaman
panas, di samping memiliki tingkat kesuburan yang baik, kemampuan libido
pejantan lebih unggul, presentase karkas tinggi (56%) dan kualitas daging baik.
Adanya tata laksana pemeliharaan yang baik, sapi potong dapat tumbuh kembang
dengan laju kenaikan bobot hidup harian 750 g, sementara pada kondisi pedesaan
kecepatan pertumbuhan hanya mencapai rata-rata 250/g/ekor/hari. Banyak faktor
yang turut mendukung menentukan berpotensi atau tidaknya suatu wilayah untuk
pengembangan peternakan. Faktor-faktor yang dimaksut antara lain: (1) potensi
daerah meliputi keadaan alam, sumberdaya manusia dan sarana prasarana serta
perkembangan perekonomian daerah; (2) potensi usaha ternak sapi potong yang
meliputi populasi ternak, bahan makanan ternak, potensi pasar dan potensi
peningkatan populasi ternak sapi potong.(10)
Kondisi alam atau lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan
dalam kehidupan makhluk hidup termaksut juga ternak sapi. Oleh karena itu
dalam usaha menentukan strategi pengembangan sapi potong perlu diperhatikan
faktor lingkungan (keadaan alam). Faktor lingkungan yang sangat menentukan

5
dalam pengusahaan atau pengembangan sapi potong adalaha kondisi lahan dan
iklim. Kondisi lahan yang dimaksut adalah luas lahan, jenis dan kesuburan lahan
sedangkan yang dimaksut iklim adalah curah hujan yang hubungannya dengan
ketersediaan air dan suhu.(10)

1. Sistem Pencernaan

Sapi adalah hewan ruminansia yang mempunyai 4 kompartemen perut,


yaitu rumen, retikulum, omasum dan abomasum. Keempat lambung tersebut
terletak di depan usus halus. Retikulum dan rumen secara bersama-sama
sering disebut sebagai retikulo-rumendan bersama-sama dengan omasum
ketiganya disebut perut depan (fore stomach) abomasums dikenal dengan
lambung sejati karena baik anatomis maupun fisiologinya sama dengan
lambung non ruminansia. Pencernaan pada ruminansia terjadi secara mekanis
(di dalam mulut), fermentatif (oleh mikroba di dalam rumen) dan hidrolisis
(oleh enzim pencernaan di abomasums dan usus).

Gambar 2.1 Lambung hewan ruminansia


Sumber : 16

6
Pada saat pedet lahir, volume retikulorumen hanya sekitar 30% dari
kapasitas total perut dan rumennya masih belum berfungsi. Pada saat anak
sapi minum susu dari induknya, susu mengalir dari mulut langsung ke
omasum, tanpa melewati rumen. Susu tersebut akan masuk melalui sebuah
saluran yang disebut esophageal groove. Saluran ini menghubungkan
esophagus dan reticular omasal orifice. Seiring dengan pertumbuhan sapi,
volume retikulo-rumen meningkat pula. Volume retikulo rumen mulai
berkembang setelah sapi mulai makan hijauan. Pada sapi dewasa volume
rumen mencapai 81%, retikulum 3%, omasum 7% dan abomasums 9% dari
volume total perut.
Perut sapi mengalami 3 fase perkembangan, yaitu fase non-ruminansia,
fase transisi dan fase ruminansia. Sampai umur 2 minggu setelah lahir, anak
sapi mendapatkan nutrisi hanya dari susu induknya.pada fase ini, lamina
rumen belum berfungsi dan susu mengalir langsung ke omasum melewati
esophageal groove. Setelah berumur 2 minggu, anak sapi mulai belajar
memakan pakan kasar (hijauan), rumen juga mulai berkembang lebih cepat
daripada kompartemen perut yang lain dan mikroba mulai tumbuh di
dalamnya. Fase ini merupakan fase transisi, yaitu rumen mulai berfungsi
sebagai tempat fermentasi karbohidrat. Setelah sapi berumur 6 minggu,
proporsi kompartemen perut sudah mulai stabil; papilla, lamina dan spike di
dinding rumen sudah berfungsi sepenuhnya.
a. Mulut
Di dalam mulut, pakan mengalami penghancuran pertama secara
mekanis oleh gigi. Di dalam mulut, pakan juga mengalami pencampuran
dengan saliva agar makanan mudah ditelan. Saliva disekresikan ke dalam
mulut oleh 3 pasang glandula saliva, yaitu glandula parotid yang terletak
di depan telinga, glandula submandibularis yang terletak pada rahang
bawah dan glandula sublingualis yang terletak di bawah lidah.

7
Saliva terdiri atas 99% air dan 1% sisanya terdiri atas mucin, garam-
garam anorganik, dan lisozim kompleks. Saliva pada sapi juga
mengandung urea, fosfor (P), dan natrium (Na) yang dapat dimanfaatkan
oleh mikrobia rumen. Saliva pada sapi tidak mengandung enzim a-
amilase, sehingga proses pencernaan hanya berlangsung secara mekanis.
Saliva memiliki sifat buffer atau penyangga karena adanya kandungan
bikarbinat sehingga saliva yang masuk ke dalam rumen sangan berguna
dalam menjaga pH rumen agar tidak naik atau turun terlalu tajam.
b. Rumen
Setelah mengalami pengunyahan di dalam mulut, pakan ditelan
melalui pharynx dan melalui oesophagus menuju rumen. Rumen
merupakan kantong yang besar sebagai tempat persediaan dan
pencampuran bahan pakan untuk fermentasi oleh mikroorganisme.
Fungsi utama rumen adalah tempat untuk mencerna serat kasar dan zat-
zat pakan dengan bantuan mikrobia. Mikroba tersebut hidup di dalam
suasana anaerob dan sebagian dapat hidup dalam suasana fakultatif
anaerob. Mikroorganisme dalam rumen mempunyai kemampuan
membentuk vitamin B komplek dan vitamin A, yang pada gilirannya
berfungsi sebagai sumber nutrisi bagi ternak induk semang.
Secara garis besar, mikroorganisme rumen dapat dibagi menjadi 5
kelompok besar, yaitu bakteri, protozoa, jamur (fungi), bakteriofage
(virus) dan amoeba. Aktifitas mikroorganisme rumen dapat berlangsung
dengan baik pada pH 6,7-7,0. Kondisi ini akan dipertahankan oleh salifa
yang masuk ke dalam rumen dan berfungsi sebagai penyangga. Agar
fermentasi berjalan nyaman, tempertaur rumen dipertahankan pada
kisaran 38-39° C.
Saluran pencernaan sapi tidak menghasilkan enzim untuk mencerna
selulosa yang merupakan bagian terbesar dari pakan berserat, yaitu
sekitar 30-60% dari total bahan kering. Meskipun demikian, proses

8
degradasi selulosa menjadi glukosa dapat berlangsung dengan cara
hidrolisis asam atau secara biologis melalui hidrolisis enzimatis. Enzim
selulase dihasilkan oleh mikroba dalam rumen. Enzim selulose
merupakan enzim yang mampu menghidrolisis komponen serat yang
difermentasi oleh mikroba rumen. Hasil fermentasinya berupa volatile
fatty acids (VFA) berguna sebagai sumber energy terutama bagi ternak
(induk semang).
Ruminansia mensintesis asam-asam amino dan zat-zat yang
mengandung nitrogen yang lebih sederhana melalui kerja
mikroorganisme dalam rumen. Mikroba rumen mempunyai kemampuan
mengubah protein pakan yang berkualitas rendah dan non-protein
nitrogen (NPN) menjadi protein penyusun tubuh mikroba yang
mempunyai komposisi asam amino ideal. Mikroba ruman yang mati
hanyut bersama digesta masuk kedalam usus halus dan oleh ternak
digunakan sebagai sumber protein yang berkualitas tinggi. Agar
mikroorganisme di dalam rumen dapat hidup dan berfungsi dalam
menjalankan proses fermentasi diperlukan adanya suplai pakan secara
teratur; hasil fermentasi harus disalurkan dan diserap; hasil sisa harus
dikeluarkan, pH rumen dalam batas 5,5-7,0; dan temperatur rumen dalam
batas 38-42° C.
c. Retikulum
Retikulum terletak di belakan rumen. Pada dinding retikulum
terdapat papiliae yang membentuk alur atau garis-garis yang saling
berhubungan sehingga berbentuk seperti sarang lebah. Secara fisik, tidak
terdapat batas yang jelas antara retikulum dengan rumen sehingga kedua
kompartemen tersebut sering disebut sebagai satu bagian, yaitu retikulo-
rumen atau rumino-retikulum. Retikulum berfungsi mengatur aliran
digesta dari rumen ke omasum.

9
d. Omasum
Permukaan dinding omasum berlipat-lipat dan kasar. Terdapat 5
lamina (daun) yang mempunyai duri (spike). Semakin mendekati
abomasum, ukuran spike semakin kecil. Fungsi lamina adalah menyaring
artikel digesta yang akan masuk ke abomasums. Partikel digesta yang
masih terlalu besar akan dikembalikan ke retikulum. Selanjutnya, partikel
digesta tersebut akan mengalami regurgitasi (dikeluarkan kembali ke
mulut) dan remastikasi (dikunya lagi).
e. Abomasum
Abomasums atau perut sejati pada ternak ruminansia (termasuk sapi)
berfungsi seperti perut pada ternak non-ruminansia. Pada dinding
abomasums terdapat kelenjar-kelenjar pencernaan yang menghasilkan
cairan lambung yang mengandung pepsinogen, garam anorganik, mikosa,
asam hidrokholat dan faktor intrinsik yang penting untuk absorpsi
vitamin B12 secara efisien. Pepsinogen merupakan bentuk inaktif dari
pepsin yang menghidrolisis protein. Kondisi asam di lambung
mangaktifkan pepsinogen menjadi pepsin. Pada lambung anak sapi
terdapat rennin yang berfungsi mengumpulkan susu agar menjadi lebih
mudah dicerna. Hasil utama pencernaan protein di dalam abomasums
adalah polipeptida dengan panjang rantai yang bervariasi dan sedikit
asam amino.
e. Intestine (usus halus)
Intestine terdiri atas 3 bagian, yaitu duodenum, jejunum dan ilinum.
Panjang intestine pada sapi 20- 30 kali panjang tubuhnya. Duodenum
merupakan kelanjutan dari abomasums. Digesta yang masuk ke dalam
duodenum mengalami pencampuran dengan hasil sekresi dari duodenum
itu sendiri, hati dan pankreas. Kelenjar duodenum menghasilkan cairan
alkali yang berguna sebagai pelumas dan melindungi dinidng duodenum
dari asam hidrokholat yang masuk dari abomasum.

10
f. Usus besar
Ada 3 organ pokok yang terdapat di dalam kelompok usus besar,
yaitu colon, caecum dan rectum. Pada saat digesta masuk ke dalam colon,
sebagian besar digesta yang mengalami hidrolisis sudah terserap sehingga
materi yang masuk ke dalam colon adalah materi yang tidak tercerna.
Hanya sedikit sekali digesta yang terserap lewat dinding usus besar.
Materi yang tidak terserap kemudian dikeluarkan lewat anus sebagai
feces. Materi yang keluar sebagai feces meliputi air, sisa-sisa pakan yang
tidak dicerna, sekresi saluran pencernaan, sel-sel ephitelium saluran
pencernaan, garam-garam anorganik, bakteri dan produk-produk dari
proses dekomposisi oleh mikroba.(11)

Gambar 2.2 Saluran Pencernaan ruminansia

Sumber: 16

11
B. Fasciola hepatica

1. Klasifikasi Fasciola hepatica


Kingdom : Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class : Termatoda
Subclass : Digenea
Family : Fasciolidae
Genus : Fasciola
Spesies : Hepatica(18)

2. Ciri-Ciri Fasciola hepatica


Fasciola hepatica hidup pada saluran empedu hewan ternak. Tubuh
berbentuk seperti daun yang membulat pada ujung depan dan lancip pada
ujung belakang. Panjang tubuh sekitar 30 mm. Alat hisap depan dikelilingi
oleh mulut. Mulut dilengkapi dengan faring dan esophagus. Cacing ini
memiliki saluran pencernaan yang hanya memiliki satu lubang sebagai mulut
dan sekaligus sebagai anus. Alat eksresi fasciola hepatica berupa sel api
(flame cell). Sistem saraf dilengkapi sepasang ganglion dengan saraf
longitudinal dan saraf transversal.
Alat reproduksi pada Fasciola hepatica jantan memiliki sepasang testis
dan penis. Testis bercabang-cabang yang terletak di bagian tengah tubuh. Alat
reproduksi pada cacing betina adalah ovarium. Ovarium yang bercabang ini
memiliki kelenjar kuning telur. Setiap telur yang telah mengalami fertilisasi
bercampur dengan kuning telur dan diberi pelindung berupa cangkang. Telur
yang keluar dari tubuh cacing akan melewati saluran empedu yang kemudian
sampai di usus halus (intestin). Telur keluar dari tubuh hewan ternak melalui
feses. Telur yang berada pada lingkungan yang ideal akan menetas pada
waktu 9 hari. Jika suhu dingin, telur dapat bertahan untuk beberapa tahun.(12)

12
3. Daur Hidup Fasciola hepatica
Kejadian fasciolosis pada ternak ruminansia berkaitan dengan daur hidup
cacing. Ternak terinfeksi karena memakan hijauan yang mengandung
metaserkaria (larva infektif cacing hati). Sekitar 16 minggu kemudian cacing
tumbuh menjadi dewasa dan tinggal di saluran empedu. Cacing Fasciola
dewasa berada di dalam saluran empedu mamalia sebagai induk semangnya,
cacing dewasa tersebut menghasilkan telur-telur yang terbawa oleh cairan
empedu, masuk ke dalam lumen usus dan keluar bebas bersama tinja.
Mirasidium yang berhasil masuk ke dalam siput akan berkembang dan
memperbanyak diri menjadi larva selanjutnya menjadi sporokista, redia dan
serkaria. Selanjutnya serkaria menempel di tanaman air, menanggalkan
ekornya membentuk metaserkaria yang merupakan stadium infektif dari
cacing hati. Hewan akan terinfeksi bila memakan tanaman yang mengandung
metaserkaria. Di dalam tubuh hewan, metaserkaria mengalami ekskistasi di
dalam usus halus. Cacing muda yang keluar dari kista selanjutnya akan
menembus usus dan bermigrasi ke hati. Di dalam hati cacing akan
berkembang menjadi dewasa di dalam saluran empedu.
Cacing ini akan memakan jaringan hati dan darah pada saat masih muda,
dan makanan utama setelah dewasa adalah darah. Pada pemeriksaan hati sapi
di rumah potong hewan, luas kerusakan hati tergantung pada hebatnya infeksi
dan lamanya hewan sakit. Pada infeksi yang parah terlihat adanya perubahan
berupa pembengkakan yang berair dan penyumbatan saluran empedu, jaringan
hati mengeras karena terbentuk jaringan parut (cirrhosis) dan hati mengecil
(atrophi) (12).

13
Gambar 2.3 Daur Hidup Fasciola Hepatica
Sumber : www.dpd.cdc.htm

C. Uji Tapis (Screening Test)


Uji tapis adalah usaha untuk mengidentifikasi penyakit yang secara klinis
belum jelas dengan menggunakan pemeriksaan atau prosedur tertentu suatu (alat).
Uji tapis merupakan deteksi dini penyakit, bukan merupakan alat diagnostik. Bila
hasil positif, akan diikuti uji diagnostik atau prosedur untuk memastikan adanya
penyakit.(14)
1. Tujuan Uji Tapis
Tujuan uji tapis adalah untuk mendapatkan keadaan penyakit dalam keadaan
dini untuk memperbaiki prognosis, karena pengobatan dilakukan sebelum
penyakit mempunyai manifestasi klinis. Program uji tapis sangat dibutuhkan
karena adanya isu yang mendasari:
a. Penemuan gejala penyakit secara dini akan lebih baik dibandingkan
dengan dalam waktu yang lama

14
b. Pencegahan sebelum terjadinya penyakit akan lebih baik dibandingkan
dengan ketika menjadi tersebut sudah terjadi
c. Pencegahan membutuhkan biaya yang ringan
2. Kriteria Evaluasi
Untuk menilai hasil uji tapis dibutuhkan krtiteria tertentu seperti berikut.
a. Validitas
Uji tapis merupakan tes awal yang baik untuk memberikan indikasi
individu mana yang benar-benar sakit dan mana yang tidak sakit, disebut
validitas. Validitas mempunyai dua komponen yaitu:
1) Sensitifitas
Kemampuan suatu tes untuk mengidentifikasi individu dengan tepat,
dengan hasil tes positif dan benar-benar sakit
2) Spesifisitas
Kemampuan suatu tes untuk mengidentifikasi individu dengan tepat,
dengan hasil tes negatif dan benar tidak sakit.
secara ideal, hasil tes untuk uji tapis harus 100% sensitif dan
100% spesifik, tetapi dalam praktik hal ini tidak pernah ada dan
biasanya sensitifitas berbanding terbalik dengan spesifitas.(17)

Tabel 2.1 Uji Tapis


Sakit (+) Sakit (-) Total
Hasil pemeriksaan (+) TP FP a+b
a b
Hasil pemeriksaan (-) FN TN c+d
c d

Total a+c b+d a+b+c+d

15
Dari table diatas dapat dihitung nilai-nilai yang dimaksud yaitu :
a. Sensitifitas:

Sensitifitas adalah hasil dari true positif dibagi dengan true positif
ditambah false negatif

b. Spesifisitas:

Spesifisitas adalah hasil dari true negatif dibagi dengan false positif
ditambah true negatif
c. True positif: a
True positif menunjukan banyaknya kasus yang benar-benar menderita
penyakit dengan hasil test yang positif pula.

d. False positif:

False positif menunjukan pada banyaknya kasus yang sebenarnya


tidak sakit tetapi test menunjukan hasil positif.
e. True negatif: d
True negatif menunjukan pada banyaknya kasus yang tidak sakit
dengan hasil test yang negatif pula.
f. False negatif:

false negatif menunjukan pada banyaknya kasus yang sebenarnya


menderita penyakit tetapi hasil test adalah negatif.(15)
b. Reliabilitas
Tes dikatakan reliabel apabila tes yang dilakukan berulang-ulang
menunjukan hasil yang konsisten. Realibilitas ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu:
1) Variabilitas alat yang dapat ditimbulkan oleh stabilitas reagen dan
stabilitas alat ukur yang digunakan. Hal tersebut sangat penting karena
makin stabil reagen dan alat ukur, makin konsisten hasil pemeriksaan.

16
2) Variabilitas individu yang diperiksa. Kondisi fisik, psikis dan stadium
penyakit. Umumnya, variasi ini sulit diukur terutama faktor psikis.
3) Variabel pemeriksa, terdiri atas:
- Variasi interna, merupakan variasi yang terjadi pada hasil
pemeriksaan yang dilakukan berulang-ulang oleh orang yang
sama;
- Variasi eksterna ialah variasi yang terjadi bila satu sediaan
dilakukan pemeriksaan oleh beberapa orang.
c. Yield
Yield merupakan jumlah penyakit yang terdiagnosis dan diobati sebagai
hasil dari uji tapis. Hasil ini dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut.
1) Sensitifitas alat uji tapis
2) Prevalensi penyakit yang tidak tampak
3) Uji tapis yang dilakukan sebelumnya
Bila alat yang digunakan untuk uji tapis mempunyai sensitifitas yang
rendah, akan dihasilkan banyak negatif semu yang berarti banyak penderita
yang tidak terdiagnosis. Hal ini dikatakan bahwa uji tapis dengan yield
yang rendah. Sebaliknya, bila alat yang digunakan mempunyai sensitifitas
yang tinggi, akan menghasilkan yield yang tinggi.
Makin tinggi prevalensi penyakit tanpa gejala yang terdapat di
masyarakat akan meningkatkan yield, terutama pada penyakit-penyakit
kronis. Bagi penyakit-penyakit yang jarang dilakukan uji tapis akan
mendapatkan yield yang tinggi karena banyaknya penyakit tanpa gejala
yang terdapat di masyarakat. Sabaliknya, bila suatu penyakit telah
dilakukan uji tapis sebelumnya maka yield akan rendah karena banyak
penyakit tanpa gejala yang telah terdiagnosis.(17)

17
D. Uji Diagnostik

Uji diagnostik merupakan suatu uji penelitian yang bertujuan yaitu


untuk menegakkan diagnosis atau menyingkirkan penyakit, untuk skrining,
pengobatan pasien dan untuk studi epidemiologi. Uji diagnostik baru harus
memberi manfaat yang lebih dibanding uji yang sudah ada, meliputi beberapa
hal yaitu:

1. nilai diagnostik tidak jauh berbeda dengan uji diagnostik standar

2. memberi kenyamanan bagi pasien (tidak invasif)

3. lebih mudah atau sederhana

4. lebih murah atau dapat mendiagnosis pada fase lebih dini

Struktur uji diagnostik memiliki variabel prediktor yaitu hasil uji diagnostik
dan variabel hasil akhir atau outcome yaitu sakit tidaknya seorang pasien
yang ditentukan oleh pemeriksaan dengan baku emas. Apabila hasil uji
merupakan variabel berskala numerik, maka harus dibuat titik potong (cut off
point) untuk menentukan apakah hasil tersebut normal atau abnormal. Bila
variable prediktor (hasil uji) maupun variabel efek (hasil baku mas) dilakukan
dalam skala dikotom yaitu positif dan negatif, maka tidak diperlukan titik
potong.(25,26)
Struktur uji diagnostik memiliki variabel prediktor yaitu hasil uji diagnostik
dan variabel hasil akhir atau outcome yaitu sakit tidaknya seorang pasien
yang ditentukan oleh pemeriksaan dengan baku emas. Apabila hasil uji
merupakan variabel berskala numerik, maka harus dibuat titik potong (cut off
point) untuk menentukan apakah hasil tersebut normal atau abnormal.(21,22,23)
Baku emas atau gold standard adalah standar untuk pembuktian ada
atau tidaknya penyakit pada pasien, dan merupakan sarana diagnostik terbaik
yang ada. Baku emas yang ideal selalu memberikan hasil positif pada semua

18
subjek dengan penyakit dan hasil negatif pada semua subjek sehat. Dalam
praktek hanya sedikit baku emas yang ideal, sehingga kita sering memakai uji
diagnostik terbaik yang ada sebagai baku emas. Kata terbaik memiliki makna
bahwa uji diagnostik tersebut mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang
tinggi.(21,22,25)

Receiver operating characteristic curve (ROC)

ROC merupakan suatu cara untuk menentukan titik potong dalam uji
diagnostik berupa grafik yang menggambarkan tawar menawar antara sensitifitas
dan spesifisitas. Sensitifitas digambarkan pada ordinat Y sedangkan (1-
spesifisitas) digambarkan pada absis X. Semakin tinggi nilai sensitifitas akan
makin rendah nilai spesifisitas dan sebaliknya.
Kurva ROC berguna untuk respon diagnosis (screening test) yang kontinyu
atau mempunyai lebih dari dua nilai (jenis respon) dan menghubungkan
sensitifitas dengan 1- spesifisitas. Area bawah kurva ROC dapat digunakan untuk
menilai keakuratan suatu diagnosis.

19
E. Kerangka Teori

Keberadaan metaserkaria
pada hijauan

Keberadaan metaserkaria
yang masuk bersama
makanan sapi

Keberadaan metaserkaria
pada saluran pencernaan Lama
infeksi

Keberadaan cacing dewasa


pada saluran empedu Cacing hati dewasa di
dalam hati
Keberadaan telur cacing
pada saluran empedu

Temperatur Umur
Keberadaan telur fasciola
di tinja

Gambar 2.1 Kerangka Teori1,8

F. Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Terikat


Variabel Bebas
Keberadaan telur Variabel
Kejadian Ter
fasciolosis
fasciola di tinja

20
G. Hipotesis
1. Pemeriksaan telur pada tinja sensitif untuk deteksi kejadian fasciolosis
pada ternak sapi
2. Pemeriksaan telur pada tinja spesifik untuk deteksi kejadian fasciolosis
pada ternak sapi
3. Ada hubungan antara keberadaan telur fasciola di tinja sapi dengan
kejadian fasciolosis

21

Anda mungkin juga menyukai